Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah
Cerpen karya Ahmad Zaini
Sulaiman terbujur di dipan yang berada di balai rumah.
Napasnya tersengal-sengal. Lelaki yang baru sehari menjadi wali pernikahan
putrinya ini sedang sekarat. Dia hendak menjemput ajal. Tubuhnya yang tinggi
dan besar ini sedang berjuang menghadapi maut. Istri dan anak-anak Sulaiman
mengerumuninya. Mereka menangis karena tidak tega melihat kondisi Sulaiman yang
napasnya tinggal di tenggorokan. Sementara istrinya terus membimbing Sulaiman
menyebut asma Allah. Ia membisikkannya di telinga kanan Sulaiman tanpa henti
agar saat nyawa terlepas dari raganya kata terakhir yang diucapkannya adalah kata
Allah.
Tangis pecah. Seluruh keluarga yang berada di ruang tamu
menangis histeris. Istri dan anak-anaknya memeluk jasad Sulaiman yang kini tidak
bernyawa lagi. Terlebih Maimunah. Anak pertama yang baru sehari melangsungkan
pernikahan. Dia lemas dan pingsan di sisi jasad walinya.
Sungguh haru persitiwa yang menimpa keluarga Sulaiman.
Kebahagiaan mereka belum terpuaskan. Senyum yang baru saja merekah saat resepsi
pernikahan direbut paksa oleh tangis duka kematian. Keluarga yang dibantu warga
harus menggali tanah kuburan pada saat Pak Jamin sedang menutup lubang yang
digalinya dua hari lalu. Galian di belakang rumah sebagai tempat membuang air
kotor bekas mencuci piring atau tempat membuang sisa makanan para tamu saat
resepsi pernikahan.
***
Seorang lelaki tua berudeng di kepala datang ke rumah
duka. Wajahnya tegang dan seram. Orang
ini datang dengan maksud akan menyampaikan sesuatu kepada keluarga Sulaiman. Lelaki
tua ini merupakan sosok yang dianggap warga sebagai tokoh yang sedhik
peningal atau dapat menerka sesuatu yang belum terjadi. Dia bernama Suro.
Warga kampung memanggilnya dengan sebutan Mbah Suro. Dia adalah kakek dari
menantu Sulaiman, Surya.
”Jangan kaulanjutkan perjodohan ini! Berbahaya bagi
keluarga kita,” bisik Mbah Suro kepada Rukayah, istri Sulaiman di ruang tamu siang
itu.
”Maksud Mbah Suro menceraikan mereka?” tanya Rukayah sambil
memandang ke kamar Maimunah.
”Benar. Kau harus menceraikannya,” kata Mbah Suro
menjawab pertanyaan Rukayah yang masih belum percaya dengan sarannya.
”Tidak, Mbah. Saya tidak akan menceraikan mereka. Mereka
saat ini sedang berbahagia menikmati keluarga yang baru mereka bina.”
”Terserah. Itu hakmu. Tapi, jangan menyalahkan aku kalau
ada salah satu dari keluargamu atau keluarga cucuku yang menyusul suamimu,”
kata Mbah Suro bernada ancaman dengan maksud agar Rukayah menuruti
permintaannya.
”Kita punya Tuhan. Hidup mati kita adalah kehendakNya.
Mbah Suro jangan mengait-ngaitkan kematian suami saya dengan perjodohan ini,” bantah
Rukayah.
Rukayah heran pada Mbah Suro. Dia hampir tidak percaya
karena di zaman seperti ini masih ada orang yang mengait-ngaitkan kematian seseorang
dengan hal lain di luar takdir Tuhan. Apalagi Rukayah telah melihat anak dan
menantunya saling mencintai. Mereka rukun dan bahagia meskipun sehari setelah
pernikahannya harus kehilangan sosok bapak untuk selamanya.
”Perjodohan mereka itu nggotong omah. Perjodohan
yang akan membawa kesengsaraan dan bahkan kematian anggota keluarga dari kedua
belah pihak,” jelas Mbah Suro.
”Suamiku meninggal bukan karena perjodohan nggotong
omah. Kang Sulaiman memang mengidap penyakit lemah jantung. Dia kelelahan karena
dua hari dua malam tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia kurang istirahat. Dia
kecapekan menerima tamu sehingga jantungnya mengalami masalah,” kata Rukayah
menjelaskan perihal kematian suaminya kepada Mbah Suro.
”Seumpama pernikahan itu tidak terjadi, suamimu pasti
bisa tertolong,” sela Mbah Suro.
”Kematian itu takdir atau kehendak Allah. Saya dan
keluarga sudah ikhlas menerima takdir
tersebut. Saya dan keluarga tidak mengungkit-ungkitnya lagi.”
”Tapi, aku tidak mau pihak keluargaku ada yang menyusul
suamimu. Sebagai pihak keluarga Surya, aku tetap akan memisahkan pernikahan
mereka. Aku pamit dulu,” pungkas Mbah Suro sembari meninggalkan Rukayah yang tetap
bergeming pada keputusannya.
Sebagian masyarakat kampung ini masih memercayai
perjodohan nggotong omah atau memikul omah. Yakni, perjodohan antara
pihak putra dan putri yang rumahnya saling berhadapan. Kedua rumah tersebut
terpisah oleh jalan desa yang dimaknai sebagai pikulan. Oleh karena itu, mereka
menamainya dengan istilah nggotong omah. Dalam menggotong atau memikul
beban, salah satu atau kedua keluarga pasti ada yang tidak kuat. Pihak yang
tidak kuat baik dari pihak putra maupun putri hidupnya akan sengsara. Salah
satu anggota keluarganya akan sakit-sakitan bahkan sampai pada kematian. Maka
dari itu, sebagian warga kampung ini, terlebih golongan tua menganggap
perjodohan seperti itu sebagai suatu pantangan.
Di ruang tengah Rukayah duduk di kursi peninggalan orang
tuanya. Tatapan matanya menuju kepada para famili dan tentangga yang ikut membantunya
membereskan perabot hajatannya. Dia memikirkan ucapan Mbah Suro yang terkadang
masih terngiang di telinganya..
Perjodohan nggotong omah. Hal ini yang masih
mengaduk-aduk pikiran Rukayah. Sebelumnya dia belum pernah mendengar istilah
itu. Mulai dari lamaran, ganjuran, sampai pada pelaksanaan akad nikah
anaknya istilah itu tidak muncul. Namun, kenapa setelah kematian suaminya
istilah itu baru muncul dari mulut Mbah Suro yang kempong itu, tanya Rukayah
dalam hati.
Dalam agama tidak ada istilah perjodohan nggotong omah
atau memikul rumah. Selama Rukayah mengikuti pengajian-pengajian, sekali pun
dia tidak pernah mendengar penjelasan dari kiai tentang pantangan perjodohan nggotong
omah. Yang diaketahui bahwa pernikahan itu merupakan perbuatan sunnah. Amalan
yang sangat dianjurkan oleh agama bagi mereka yang telah mampu memberi nafkah
lahir dan batin kepada istrinya. Oleh karena itu, sejak awal rencana
sampai pelaksanaan pernikahan anaknya tidak ada yang memermasalahkannya. Semua
berjalan dengan lancar tanpa ada perdebatan di antara kedua belah pihak.
Sementara itu, dari atas teras terdengar tawa Sumali. Dia
bergirang, berteriak-teriak senang kerena menemukan setakir beras kuning dan
sebutir telur ayam kampung. Dia memanggil Kholis, adik Maimunah yang masih
berumur sepuluh tahun.
”Kholis, cepat ke sini!” pintanya dari atas teras.
”Ada apa Pakde?” tanya Kholis sambil mendongak ke arah
Sumali, kakak kandung ibunya, yang berada di atas teras untuk memasang genting
yang sempat dibuka sementara saat pemasangan tarup.
”Cepat terima ini!”
”Tanganku tidak sampai, Pakde,” sahut Kholis yang menjulurkan
tangan mungilnya sambil menjinjitkan kedua kaki.
”Ambil kursi itu lalu naiklah agar tanganmu bisa
menjangkau takir ini!”
Anak kedua almarhum Sulaiman itu segera mengambil sebuah kursi
dari tumpukan kursi di halaman rumah. Dia meletakkan kursi pada bagian tanah
yang rata karena khawatir akan terjatuh. Setelah posisi kursi sudah mapan, Kholis
menaikinya. Ia menengadahkan tangan untuk menerima sesajen dalam takir atau
wadah yang dibentuk dari daun pisang yang menyerupai perahu dari Sumali.
”Asyik, aku dapat telur ayam,” kata Kholis dengan senyum
bahagia sambil berlari mendekat ke ibunya.
”Apa ini, Nak?”
”Telur ayam. Diberi Pakde Sumali.”
”Dapat dari mana?”
”Pakde menemukannya di atas teras. Tadi ada campuran
beras kuningnya, tapi sudah saya buang,” jawabnya dengan lugu.
Rukayah mengangguk-anggukkan kepala sambil membelai
kepala anak keduanya ini. Dia sangat paham pada telur yang dibawa Kholis itu
sebagai pelengkap sesajen yang dipasang Mbah Romli sesaat setelah tenda
berdiri.
”Minta tolong bude di dapur. Suruh mendadarkan telur ini
buat laukmu nanti siang.”
”Baik, Ibu,” kata Kholis sebelum dia berlari menuju dapur
menemui budenya.
***
Di hari ketiga setelah pelaksanaan akad nikah, beluarga
besar wanita yang kini telah menjanda itu berkumpul lagi. Mereka dengan
sukarela membantu Rukayah memersiapkan acara sepasaran. Mereka yang laki-laki
mendapat bagian tugas meminjam gelaran dari tetangga untuk digelar di ruang
tamu, sedangkan yang perempuan membantu Rukayah memasak di dapur.
Sesaat setelah persiapan rampung, serombongan keluarga
besan datang dari rumah yang jaraknya hanya sejengkal. Kedua orang tua Surya
berada di bagian depan kemudian diikuti oleh sanak famili lainnya.
Dalam rombongan itu tidak terlihat Mbah Suro. Padahal, saat
acara sebelum-sebelumnya dia tidak pernah ketinggalan. Dia selalu turut serta
dalam rombongan keluarga Surya sebagai sesepuh keluarga.
”Silakan duduk! Maaf, hanya bisa menyediakan tempat
seperti ini,” kata Rukayah memersilakan tamu duduk di gelaran terpal bewarna
biru muda.
”Tidak apa-apa, San! Yang penting kita rukun,” sahut Suntini,
ibu Surya, dengan sapaan San kependekan dari kata besan.
”Mbah Suro mana?” tanya Surya setelah mengetahui kakeknya
tidak turut serta dalam rombongan itu.
”Kakekmu tidak bisa datang karena tidak enak badan. Menurut
pamanmu yang menyusul ke rumahnya tadi asam urat kakekmu kambuh sehingga tidak
bisa berjalan,” jawab ibunya.
Mendengar jawaban besannya itu Rukayah tersenyum dalam
hati. Dia agak geli menyimak alasan Mbah Suro yang tidak turut serta dalam
acara sepasar sebagaimana yang disampaikan oleh besannya. Hal itu karena
Rukayah mengetahui alasan yang sebenarnya perihal ketidakikutsertaan Mbah Suro.
Kakek Surya ini menghendaki perjodohan cucunya tersebut dibubarkan.
Di sela-sela percakapan mereka, Rukayah memersilakan
keluarga besan agar menikmati hidangan yang disuguhkan dalam piring. Senyum
ramah dan sikap rendah diri Rukayah tetap terjaga meski dia masih dalam suasana
duka karena kematian suaminya. Dia juga tidak menampakkan sikap kecewa terhadap
keinginan Mbah Suro yang hendak menceraikan Surya dan Maimunah.
Tawa ringan sesekali mewarnai pertemuan kedua besan itu. Bahkan
ada yang berceloteh tentang rambut pengantin putri yang masih terlihat basah
hingga menembus jilbab yang dipakainya.
”Pengantin baru rambutnya masih basah. Semoga cepat punya
keturuan!” celetuk dari salah satu dari keluarga Surya yang diikuti oleh
gemuruh tawa yang lainnya.
Mendengar gojlokan seperti itu, Maimunah yang bersimpuh
di sebelah Rukayah jadi tersenyum malu.
”Nak Maimunah, segeralah duduk di samping Surya.
Lekaslah, ke sini!” seru Suntini, ibu Surya yang kemudian dituruti oleh
Maimunah.
”Nah, begitu biar tidak seperti pengantin yang tidak patut,”
sambung Suntini.
Berbagai hidangan disajikan dalam acara itu. Onde-onde,
kucur, reteh, wajik, rengginang tersaji dalam perjamuan tersebut. Wedang sirup
warna merah muda tidak ketinggalan. Minuman segar dan memiliki rasa khas ini menambah
kental suasana sepasaran keluarga dari kedua belah pihak.
”Silakan dinikmati. Maaf, hidangannya hanya sekadarnya
saja,” kata Rukayah merendahkan diri.
Rumah Rukayah yang ramai karena pertemuan keluarga kedua pihak
mendadak hening. Mbah Suro tiba-tiba muncul
di depan pintu. Dia berdiri tegak dengan pandangan mata yang tajam. Mulutnya
mendesis seperti ular yang sedang membelit mangsa. Lelaki tua yang tak pernah
melepas udeng dari kepalanya ini terlihat sesekali menyeringai menahan sakit sambil
memegangi kedua lututnya. Dia memaksa dirinya datang ke rumah Rukayah tanpa
memedulikan asam uratnya yang kambuh.
”Suntini, ke sini!” kata Mbah Suro dengan suara lantang
kepada putri sulungnya. Suntini bergegas mendekat ke Mbah Suro yang masih berdiri
di depan pintu.
”Kenapa acara sepasar ini masih kauadakan?” tanya Mbah
Suro bernada geram.
”Memangnya ada apa, Pak? Bukankah ini sudah menjadi
tradisi di daerah kita,” Suntini berbalik tanya kepada bapaknya dengan heran.
”Ke sini, cepat!” ajak Mbah Suro sambil menyeret tangan
anaknya menuju ke teras rumah Suntini yang berada tepat di depan rumah Rukayah.
”Pelan-pelan Bapak. Jangan kasar,” keluh Suntini atas
perlakuan ayahnya yang kasar.
”Ceraikan Surya!”
”Maksud Bapak?”
”Kalau kau tidak segera menceraikannya, aku akan menjadi
korban berikutnya dari pernikahan Surya, anakmu.”
”Astaghfirullah, Bapak! Apa-apaan ini? Kenapa
Bapak punya pemikiran seperti ini?”
”Perjodohan anakmu itu adalah pantangan yang harus
dihindari. Sulaiman mati karena perjodohan nggotong omah. Asam uratku
kambuh seperti ini juga rentetan tulah dari perjodohan anakmu,” ucap Mbah Suro
dengan serius.
”Tidak, Pak. Saya tidak percaya dengan hal-hal seperti
itu. Saya tidak akan menceraikan mereka. Lihatlah mereka duduk berdampingan
dengan bahagia. Mereka cocok sekali. Saya yakin perjodohan mereka akan
langgeng,” sergah Suntini.
”Perjodohan anakmu langgeng, namun keluargamu akan mati
semua.”
”Bapak, Bapak! Pikiran kotor seperti itu kok masih
dirawat. Hidup mati seseorang itu kehendak Allah. Bukan karena yang lain,” kata
Suntini menimpali ucapan ayahnya dengan tanpa beban.
”Baiklah kalau begitu. Kau lebih memilih saya mati
daripada menceraikan anakmu,” gertak Mbah Suro sambil berdiri dan berkacak
pinggang.
”Akan ke mana, Pak? Ayo, ikut ke rumah Rukayah!” ajak
Suntini.
”Tidak. Aku tidak sudi datang ke tempat itu,” tolak Mbah
Suro.
Mbah Suro emosi. Mukanya memerah karena terbakar api
amarah. Dia mencak-mencak keluar rumah sampai-sampai kakinya tersandung batu
kumbung yang agak menonjol di pintu rumah Suntini. Tubuh Mbah Suro
terhuyung-huyung. Kedua kakinya yang asam urat tidak mampu menahan tubuh gemuk namun
berkulit kendor ini. Mbah Suro tersungkur di tengah jalan yang memisahkan rumah
Suntini dan Rukayah.
”Bapak, kenapa?” teriak Suntini yang berlari lalu merangkul
tubuh bapaknya yang tak berdaya di tengah jalan.
Rukayah, Maimunah, Surya, dan para anggota keluarga kedua
mempelai yang berada di rumah Rukayah berhamburan keluar. Mereka menolong Mbah
Suro yang lunglai karena pingsan. Sumali dan ayah Surya dibantu kerabat yang
lain membopong tubuh Mbah Suro ke dalam rumah Suntini. Mereka membaringkan
tubuh Mbah Suro di dipan bambu dengan pelan-pelan. Maimunah tidak ketinggalan.
Dia bergegas menuju ke rumah mertuanya dengan membawa minyak angin.
Sang cucu menantu itu mengoleskan minyak angin di bawah
lubang hidung Mbah Suryo. Tangan kanan Maimunah tidak merasa risih meskipun
menyentuh kumis Mbah Suro yang memutih. Tangan kanannya lemah gemulai
menari-nari meratakan minyak angin di bawah lubang hidung Mbah Suro. Tak berselang
lama jari-jemari Mbah Suro bergerak. Kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Matanya
melihat orang-orang di sekelilingnya meski masih agak kabur.
Saat tatapan mata Mbah Suro yang berbaring ini berhenti
di wajah Maimunah yang berdiri di sampingnya, ia duduk seketika. Dia mendorong
tubuh Maimunah yang baru saja mengoleskan minyak angin dengan lembut di bawah
lubang hidungnya. Maimunah jatuh terpental sambil memegang lututnya yang
terbentur tanah.
”Menjauhlah dariku. Kau pembawa sial,” bentaknya dengan suara
serak.
”Maimunah!” teriak Rukayah mendekati anaknya yang jatuh
lalu mendekapnya,”kau tidak apa-apa, Nak?”
”Tidak apa-apa, Bu,” jawab lirih Maimunah sambil
menyeringai menahan pedih luka di lututnya.
”Apa yang kaulakukan, Pak?” tanya Suntini sambil mengguncang-guncang
badan bapaknya.
”Usir mereka! Suruh pergi semua keluarga besanmu itu,” perintahnya
dengan paksa. Mata Mbah Suro terbelalak lebar. Bola matanya seperti mau
melompat keluar.
Suntini tidak enak kepada pihak keluarga besannya. Mata
Suntini melihat wajah-wajah keluarga besannya yang masih terpaku di samping
dipan tua itu. Ia malu karena ulah bapaknya. Dia pun langsung menyembunyikan
wajahnya dengan menunduk dalam-dalam.
”Sabar, Mbak Suntini. Kami akan keluar dulu,” kata Rukayah
yang masih memapah Maimunah untuk berpamitan pada Suntini. Suntini membalas
pamitan itu dengan anggukan. Ia enggan berbicara karena jiwanya terpukul atas sikap
bapaknya.
Rukayah dan keluarganya kembali ke rumahnya. Mereka
berjalan pelan dengan memendam rasa penasaran atas sikap Mbah Suro yang ganjil.
Rukayah berjalan sambil menggandeng Maimunah. Dia berusaha menghibur hati
anaknya agar tidak memikirkan sikap kakek Surya yang hampir saja mencelakakannya.
”Tidak ada apa-apa, Bu. Mungkin kakek sudah pikun sehingga
dia berbuat seperti itu pada saya,” kata Maimunah bernada datar.
”Syukurlah, kalau begitu,” ucap Rukayah lega.
Setelah keluarga Rukayah meninggalkan mereka, terjadi
perdebatan sengit dalam rumah Suntini. Mbah Suro masih bersikukuh memertahankan
pendapatnya. Keyakinannya kokoh laksana tugu kampung yang tak mudah goyah meskipun
setiap hari dinaiki dan dibuat pijakan lompatan warga kampung yang menghibur
diri. Saran demi saran dari Suntini dan anggota keluarga yang lain dianggapnya
seperti angin lalu. Saran-saran tersebut tak sedikit pun menggoyahkan keyakinan
Mbah Suro.
”Sampai kapan pun aku akan berusaha menceraikan mereka.
Aku tidak mau menjadi korban dari kengawuran kalian,” ancam Mbah
Suro memungkasi perdebatan panjang dalam rumah tersebut.
”Antarkan aku pulang!” pinta Mbah Suro.
Salah seorang anggota keluarga segera mengambil sepeda
motor. Dia membonceng Mbah Suro dengan dipangku oleh Surya.
Suntini bingung. Ia berada dalam situasi yang dilematis.
Bagai judul film Maju Kena Mundur Kena yang dibintangi oleh Dono, Kasino,
dan Indro. Seperti peribahasa bagai makan buah simalakama. Dimakan mati bapak,
tidak dimakan mati ibu. Menuruti kata bapaknya yang keras kepala atau
memertahankan pernikahan anaknya yang masih hangat ini? Serba sulit menghadapi
masalah pelik seperti ini bagi seorang wanita seperti Suntini.
”Kamu ini sejak tadi seperti orang bingung. Mondar-mandir
ke sana dan ke sini,” tiba-tiba muncul suara Mat Rokim, suami Suntini.
”Aku bingung. Apa yang harus kita lakukan untuk
memertahankan pernikahan Surya sekaligus bisa melunakkan hati bapak,” keluh
Suntini kepada suaminya.
”Kita pindah rumah saja,” jawab Mat Rokim dengan enteng.
Mat Rokim yang sejak awal diam tiba-tiba berujar yang
teryata bisa menjadi pertimbangan bagi masalah yang sedang mereka hadapi.
Suntini lantas teringat rumah kosong kakak kandungnya yang sudah bertahun-tahun
tidak dihuni. Rumah itu dibiarkan kosong karena kakak dan anak istrinya sudah
menempati rumah permanennya di perantauan.
”Masuk akal juga usulanmu. Rumah Kakak Hambali kosong.
Kita bisa pindah ke situ. Apabila suatu saat kakak pulang kampung, mereka biar
menempati rumah ini.”
”Itu solusi yang sudah saya rencanakan semenjak bapak punya
rencana menceraikan pernikahan anak kita gara-gara takut tulah nggotong omah,”
sahut Mat Rokim.
Suntini dan Mat Rokim bergegas menyusul anaknya ke rumah
Mbah Suro. Mereka hendak menyampaikan solusi dari permasalah yang dihadapi
setelah kematian besannya, Sulaiman. Dengan sepeda onthel mereka menyusuri
jalan kampung. Suntini yang berada diboncengan Mat Rokim duduk tenang.
Tangannya melingkar erat di perut Mat Rokim agar tidak terjatuh dari boncengan.
Wajah wanita ini sudah mulai ceria. Tidak seperti dua, tiga hari sebelumnya
yang selalu cemberut karena menyedihkan sikap bapaknya.
Sesampai di rumah bapaknya, Mat Rokim menyandarkan sepeda
onthelnya di tiang teras rumah Mbah Suro. Mereka masuk ke dalam rumah sederhana
yang hanya dihuni oleh bapaknya itu. Mereka terkejut saat melihat Surya menenggelamkan
diri dalam kesedihan dan ketakutan. Suntini lekas mendekati Surya.
”Kenapa, Nak?” tanya Suntini.
”Kakek, Bu.” jawabnya singkat.
Suntini sudah bisa menebak penyebab Surya bersedih
seperti itu. Dia yakin bapaknya telah menyampaikan permasalahan perjodohan nggotong
omah itu kepada anaknya.
”Mbah Suro memaksa agar saya menceraikan Maimunah,”
sambung Surya.
”Jangan bersedih. Ayah dan ibu sudah menemukan jalan
keluarnya. Pernikahanmu tidak akan bubar. Tidak akan ada perceraian,” kata
Suntini meyakinkan Surya.
”Benarkah? Terima kasih Bu,” kata Surya sambil mengangkat
wajahnya lalu menatap ibunya. Kedua orang ini saling berpelukan dengan perasaan
penuh keharuan. Mereka berharap agar Mbah Suro bersedia menerima solusi yang
saat itu sedang disampaikan oleh Mat Rokim di dalam kamar.
Suntini dan Surya menunggu Mat Rokim yang masih berada
dalam kamar. Ibu dan anak itu gelisah karena khawatir Mbah Suro tidak menerima
gagasan yang disampaikan oleh imam keluarganya.
Setelah hampir satu jam, Mat Rokim muncul dari kamar Mbah
Suro. Wajahnya cemberut tidak mencerminkan kepuasan. Dia perlahan-lahan
menyarangkan bokongnya di kursi yang terbuat dari anyaman rotan. Dia duduk di
sisi kanan Suntini.
”Bagaimana, Pak?” tanya Suntini hampir bersamaan dengan
Surya.
Mat Rokim tidak segera menjawab. Dia masih membenamkan
wajahnya sambil menatap lantai rumah Mbah Suro. Suntini dan Suryo semakin
gelisah. Mereka takut Mat Rokim tidak berhasil membujuk Mbak Suro.
”Bapak Suro..., Bapak Suro..., menerima saran kita,”
jawab Mat Rokim dengan gaya seakan-akan usahanya gagal, namun dipertegas dengan
keberhasilannya membujuk Mbah Suro.
”Alhamdulillah, Alhamdulillah!” kata Suntini dan
Surya untuk mengungkapkan kebahagiaannya.
Saat mereka berdiri dan hendak masuk ke dalam kamar Mbah
Suro untuk menyampaikan terima kasih, tiba-tiba lelaki tua itu muncul dari
balik kelambu kamarnya. Mbah Suro sudah berpakaian rapi dengan udeng di
kepalanya. Wajahnya tampak santai tidak setegang sebelumnya.
”Mari kita ke rumah mertua Suryo untuk menyampaikan
rencana ini sekaligus meminta maaf atas sikap emosi saya kepada mereka,” ajak
Mbah Suro.
Sore hari ketiga orang ini berjalan bersama-sama menuju
rumah Rukayah. Mbah Suro berjalan agak pincang karena menahan sakit asam uratnya.
Surya berada di samping kiri kakeknya, sedangkan Suntini dan Mat Rokim yang
menuntun sepeda onthelnya berjalan di belakang mereka.
Di rumah Rukayah, tepatnya di balai-balai rumah, Rukayah
dan keluarga lainnya berusaha menenangkan hati Maimunah. Mereka mengerubuti
istri Surya ini sambil menasihati agar dia bersabar atas ulah kakek suaminya
secara bergantian.
Maimunah tengkurap di atas dipan luas yang berada di
ruang di sebelah kiri ruang tamu. Dia menutup wajahnya dengan bantal bermotif
bunga mawar. Jiwanya sedang terluka oleh sayatan pernyataan Mbah Suro yang
hendak memisahkannya dengan Surya. Dia takut menjadi janda kepagian. Janda muda
dari usia perkawinannya yang baru sepasar.
”Assalamualaikum!” ucap salam Mbah Suro dari depan
pintu secara tiba-tiba.
Mereka yang sedang dalam suasana sedih lantas menjawab
suara salam yang sudah tidak asing bagi mereka.
Semua pandangan mengarah ke pintu rumah. Mereka melihat
Mbah Suro, Surya, Mat Rokim, dan Suntini. Rukayah bergegas menyambut kedatangan
mereka lalu memersilakan duduk di gelaran terpal warna biru.
Maimunah bangkit. Dia mengangkat wajahnya yang dibenamkan
di atas bantal. Ia pun berdiri dan menyalami mereka satu persatu. Mata Maimunah
masih lembab. Air mata yang sempat terkuras belum kering sepenuhnya. Sisa-sisa
kepedihan dan ketakutan masih tergores jelas di wajah itu.
”Duduklah di sebelah kiri Surya, Nduk!” pinta Mbah
Suro.
Rukayah dan keluarga heran dan hampir tidak percaya pada
sikap Mbah Suro. Sikapnya berubah menjadi lunak. Tutur sapanya tidak sekeras
seperti sebelumnya. Mbah Suro menyampaikan permintaan maaf atas perilakunya
yang kasar pada Maimunah dan keluarga. Dia juga menyampaikan telah mengurungkan
niatnya yang hendak membubarkan rumah tangga Surya dan Maimunah.
Suntini menyambung pembicaraan bapaknya. Ia menyampaikan
rencananya yang akan pindah rumah. Suntini dan keluarga menempati rumah
saudaranya yang berada di dekat rumah Mbah Suro. Rumahnya yang berhadapan
dengan rumah Rukayah akan dikosongkan. Suatu saat apabila saudaranya pulang
dari perantauan, rumah tersebut akan ditempati saudaranya itu.
Suasana telah mencair. Kedua pihak keluarga telah
mendapatkan jalan keluar untuk memertahankan mahligai rumah tangga yang baru
dibentuk oleh Surya dan Maimunah. Mereka larut dalam suasana haru dengan saling
meminta dan memberi maaf. Mereka sangat senang dan bersyukur kepada Tuhan.
Mereka telah mampu memertahankan adat untuk menghormati orang tuanya dan
memertahankan keutuhan keluarga yang baru dibangun oleh Surya dan Maimunah. (*)
Lamongan, Juni 2018
BIODATA PENULIS
Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa
Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu
(Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011), , Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan
Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi
Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550
mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya
Kauci, YMK, Bali, 2017), Musafir Ilmu (Perkumpulan Rumah Seni Asnur,
Depok, 2018).
Cerpen-cerpennya terkumpul dalam buku kumpulan cerpenTelaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka
Ilalang,2014), Titik Nol (Pustaka
Ilalang, 2015), Bukit Kalam (DKL,
2015) dan Penitis Jiwa (Pena Ananda
Indie Publishing, Tulungagung). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang
Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan
Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018. Novel perdananya
berjudul Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka
Ilalang, 2017). Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur. Nomor HP/Wa 085732613412, Facebook: ilazen@yahoo.co.id/ Ahmad Zaini. Nomor rekening 0532067634, Bank Jatim atas nama A. Zaini.