Munajat
Kaum Bola
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Karpet
merah mencolok mata terbentang di sebuah balai agung. Kontras warnanya
memedihkan tatapan sampai terasa pedih. Air mata duka mengucur deras lalu
mengalir memenuhi serat-serat karpet yang tergelar. Air mata kepedihan. Air
mata kekecewaan. Air mata kedukaan atas bola-bola yang menggelinding tak tentu
arah.
Langit
redup masih bergelayut memayungi balai agung. Hamparan awan melindungi para
lelaki, wanita, remaja dan anak-anak yang datang ke tempat pertemuan agung.
Riuh rendah tangisnya menahan beban. Sedu sedan atas perjalanan bola tanah air
yang tak kunjung menemukan lapangan hijau tempatnya bersemayam.
Haji
Maimun berdiri di depan balai agung. Ia memberikan aba-aba kepada para kaum
bola. Mereka yang datang atas undangan hati nurani, dipersilakan memasuki balai
yang menganga sejak tadi. Lelaki setangah baya berjubah putih dengan jambang
panjang besuara. Dentuman suaranya bak ledakan petasan di langit yang memayungi
stadion saat bola dimainkan. Gendang telinga para kaum bola bergetar. Mereka
pun mengikuti aba-aba yang dikumandangkan Haji Maimun yang berada di depan
balai.
Kaum
bola merayap. Mereka berjajar laksana semut yang antre memasuki lubang. Satu
persatu para kaum bola duduk bersila dengan sebuah bola di pangkuannya. Mereka
berdiam diri sambil menunggu aba-aba yang akan disampaikan oleh Haji Maimun.
Ratusan
mulut berkomat-kamit dalam formasi lingkaran. Hembusan udara suara mereka
mengepul memenuhi ruang balai pertemuan agung. Mereka mengungkapkan segala sesal
dan keprihatinan tentang bola-bola di tanah air. Jiwa-jiwa bola seluruh
nusantara menggema di balai dengan erangan pedih yang menyayat jiwa
penggemarnya hingga mereka menggelepar, menggeliat karena hantaman jiwa bola
yang masih merana.
“Tenangkan
jiwa kalian! Tenangkan jiwa kalian!” seru Haji Maimun dengan suara berwibawa.
Jiwa
para kaum bola bergemuruh. Hati mereka bergolak. Jiwa mereka terkena imbas
peperangan yang mahadasyat yang terjadi di jagad bola. Mereka bisa menerawang
jiwa-jiwa kotor para pengendali bola di negeri ini. Hati para kaum bola dapat
menembus aneka macam keinginan di balik semarak bola di nusantara. Jiwa bola
pengendali bola ternodai percikan-percikan nafsu untuk menguasai bola demi
kepentingan pribadi dan golongan. Mereka mengabaikan kesucian hati dan jiwa
para kaum bola di negeri gemah ripak loh jinawi ini.
“Persetan
dengan kalian!” umpat salah satu kaum bola yang masih duduk melingkar dengan
mulut yang berkomat-kamit tentang kekecewaan dan kekesalan kepada bola di negeri
percikan surga ini.
“Tumpahkan
semua rasa kesal! Tumpahkan rasa kecewa! Tumpahkan rasa ketidakpuasan kalian di
balai ini! Tumpahkan!” kata Haji Maimun memandu jiwa-jiwa bola yang
bergentayangan di balai agung.
Suara
kaum bola menyatu. Suaranya bergemuruh di balai yang penuh onak dan murka.
Rintih pedih dan kecewa menyatu hingga merontokkan bunga-bunga yang mekar di
halaman balai pertemuan agung. Dinding-dinding balai juga bergetar menahan
gemuruh suara kaum bola. Lampu hias yang menggantung di langit-langit balai
bergoyang tak betah menahan suara-suara amarah para kaum bola.
“Cukup!
Cukup!” pinta Haji Maimun.
Para
kaum bola meredakan emosinya. Perlahan suara tinggi mereka menurun. Sesaat
kemudian suasana balai pertemuan agung menjadi senyap. Sepi seperti balai yang
tak berpenghuni.
Para
kaum bola yang terdiri dari semua lapisan masyarakat dan dari jenjang usia yang
berbeda tertunduk. Mereka bertafakkur mencari jalan penerang yang dapat
menjadi solusi dari permasalahan yang membelenggu bola-bola di pangkuan mereka.
Namun upaya mereka gagal setelah bola yang berada di pangkuannya bergetar.
Bola-bola itu menggelinding sendiri. Bola-bola meronta lalu lepas dari
pangkuannya. Mereka berbenturan, bertumbukan, bertebaran hingga memenuhi balai
pertemuan agung.
Berbagai
ukuran bola dengan aneka warna seperti merasakan kepedihan hati para
juragannya. Hati para kaum bola teriris-iris oleh kekisruhan yang terjadi
selama ini. Dua penggede dengan dana gede berseberangan. Mereka
berebut ingin menguasai jagad bola negeri maritim. Mereka beradu kekuatan.
Mereka beradu dukungan. Mereka beradu kekayaan. Ujung-ujungnya mereka malah
memorakporandakan bola-bola di balai hingga terpental ke dataran yang lebih
rendah. Sungguh sesuatu yang lebih hina dan hal yang hina.
“Para
kaum bola, bersihkan hati kalian dengan meminta ampun kepada Tuhan!” suara Haji
Maimun memandu para kaum bola.
“Getarkan
hati kalian dengan keinginan-keinginan yang selama ini bersembunyi di lubuk
hati kalian yang paling dalam!” imbuhnya.
Para
kaum bola membeningkan hati agar mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Mereka
memusatkan mata hatinya untuk mengais bola-bola yang berserak. Para kaum bola
ingin menghimpun bola-bola yang hingga saat ini bergelindingan ke sana kemari
sampai menjadi bola yang utuh.
“Bagaimana
caranya?” getar hati salah satu kaum bola.
“Tetap
optimis!” imbau Haji Maimun mendengar getar hati salah satu kaum bola.
Bola-bola
kecil terus menggelinding menyusuri jalan masing-masing. Mereka melewati
gang-gang kecil yang sulit dilewati. Sesekali kulit bundar membentur-benturkan
kepalanya ke dinding stadion agar bisa masuk. Namun, kekokohan dinding stadion
membuat mereka terpental dan kembali menjauh dari kemegahan stadion.
Sementara
itu para kaum bola masih bermunajat memohon kepada Tuhan agar cepat mendapatkan
petunjuk untuk mengumpulkan bola-bola tersebut. Mereka terus berkomat-kamit
membaca doa agar perseteruan para penggede bola segera berakhir. Para
kaum bola yang masih bermunajat di balai pertemuan agung mengharap agar mereka
yang mengendalikan bola di seluruh nusantara bersatu. Dengan begitu, niscaya
kekuatan akan semakin bertambah sehingga bisa mengendalikan bola-bola liar di
negeri para wali ini.
Haji
Maimun mengusap jenggot yang bergelayut di janggutnya. Peluh lelah merembet di
beberapa helai jenggot diusapnya dengan tangan kekar. Ia mendesah sambil
memikirkan cara yang tepat untuk menyatukan kekuatan bola yang terberai hingga
saat ini. Ia tak habis pikir mengapa kedua kekuatan yang membuat bola-bola di
tanah air menggelinding sendiri sulit untuk disatukan? Jika hal ini dibiarkan
berlarut-larut maka tidak mungkin bola negeri ini bisa bersaing dengan kekuatan
negara-negara lain.
Degub
jantung para kaum bola berkembang kempis. Kondisi mereka melemah. Haji Maimun
akhirnya mengistirahatkan mereka. Para kaum bola berdiri kemudian keluar dari
balai agung. Mereka menghirup udara di luar balai agung untuk memulihkan tenaga
serta menyegarkan pikiran yang terkuras sejak tiga jam yang lalu. Air minum
yang telah tersedia dalam sekejap lenyap. Demikian juga dengan makanan ringan
yang dihidangkan dalam talam.
Mereka
duduk-duduk di luar balai agung sambil melihat bunga taman yang berantakan
karena dihantam bola-bola liar yang sampai kini belum mampu mereka himpun.
Mereka menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya terhadap peristiwa yang
terjadi. Bola yang semestinya jinak dan bisa mereka taklukkan ternyata menjadi
seliar itu.
Hampir
setengah jam mereka bersitirahat. Rasa kantuk dan lelah telah terkurangi.
Tenaga kini telah pulih. Demikian juga halnya dengan pikiran mereka yang terasa
lebih segar. Haji Maimun berdiri di ambang pintu balai agung dengan wajah yang
penuh optimis. Wajahnya tuanya tak menampakkan kelelahan. Rautnya bersinar di
bawah guyuran cahaya lampu yang tergantung di teras balai agung.
“Saudara-Saudara,
mari kita masuk ke balai agung lagi!” ajak Haji Maimun.
Mereka
segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan berurutan masuk ke dalam balai
agung yang berkarpet menyala merah. Hembusan dingin angin malam mulai merasuk ke dalam balai agung. Tulang-tulang
mereka terasa ngilu tertusuk lembut belai angin yang tiada henti.
Kondisi mereka semacam itu segera sirna oleh kekuatan dan kemauan mereka dalam
upaya menyatukan lagi bola-bola yang berserak.
Dengan
formasi melingkar mereka memejamkan mata dengan arahan Haji Maimun. Mereka
berzikir, memohon kepada Tuhan dengan melafalkan kalimat-kalimat suciNya. Para
kaum bola menyatukan niat dan keinginan untuk disampaikan kepada Tuhan, yakni
satukan lagi bola-bola liar di negeri ini agar menjadi utuh dan digdaya lagi
seperti puluhan tahun silam.
Kalimat-kalimat
suci menggema dari dalam balai agung. Suaranya menggoyangkan daun-daun bunga
yang berantakan di depan balai agung. Perlahan gumpalan mendung yang
menggantung di langit kelam tercabik-cabik oleh kalimat suci. Mendung pun sirna
terseret angin ke belahan langit yang lain. Mahasuci Tuhan! Langit kini tampah
cerah sekali. Biru warnanya dibingkai gelayut putih laksana kapas. Kerlipan
jutaan bintang menghias malam yang tinggal seperempat lagi.
“Tuhan
telah mengabulkan permohonan kita,” ucap optimis lelaki setengah baya yang
masih duduk dengan mata terpejam di dalam hati.
Suara
gemuruh datang dari luar balai. Suara itu semakin lama semakin keras terdengar.
Bunga-bunga di taman yang berantakan berdiri tegak dan menata dirinya seperti
semula. Bunga itu seperti memberikan penghormatan kepada sesuatu yang akan tiba
di balai agung. Para kaum bola berusaha sepenuh hati untuk memusatkan
perhatiannya kepada Sang Maha Pencipta. Mereka berupaya menjaga konsentrasinya
agar tidak terpengaruh dengan suara gemuruh yang terjadi di luar.
Maha
Suci Tuhan! Suara gemuruh itu ternyata suara ratusan bola yang menggelinding
sendiri melintasi senyap malam menuju balai pertemuan agung. Bola-bola itu
masuk satu persatu kemudian berhenti di tengah lingkaran para kaum bola yang
masih lelap dalam doa. Bola-bola itu sejenak diam. Ia pasrah pada kehendak
Tuhan yang telah mengabulkan doa para kaum bola. Bola-bola itu meleleh. Luluh
menjadi satu bola yang utuh. Kulitnya mengkilap menerpa wajah-wajah para kaum
bola yang masih bermunajat.
Para
kaum bola masih berkomat-kamit. Mereka berkomunikasi dengan Tuhan tentang bola.
Mereka mengadukan semua permasalahan bola yang terjadi di negeri ini. Mulai
dari dualisme kepemimpinan, kesimpangsiuran status induk sepak bola, dua liga
yang sama-sama mengatasnamakan PSSI, jadwal liga, kepemimpinan wasit yang
sering tidak adil, pemain-pemain yang sering adu jotos, sampai suporter yang
selalu membuat onar di dalam stadion.
Ketika
para kaum bola mengadukan permasalahan tersebut, tiba-tiba bola besar yang
duduk anggun di tengah-tengah para kaum bola bergerak. Lantai balai pertemuan
agung terasa terguncang. Atapnya rontok. Pepohanan yang tumbuh di sekeliling
balai meluruhkan daun-daunnya. Bola besar itu seperti terkejut dan tidak terima
kalau keburukannya diadukan kepada Sang Mahakuasa.
“Tenanglah,
Bola! Ini demi kebaikanmu dan kebaikan semuanya!” ucap Haji Maimun. Bola besar
itu menurut. Sesaat kemudian ia tenang kembali.
Para
kaum bola melakukan munajat bola ini memang murni untuk menjaga harga diri
bangsa. Mereka sangat prihatin pada kondisi persepakbolaan negeri ini. Mereka
ingin mengembalikan harkat dan martabat negeri yang mereka cintai ini dalam
bidang sepak bola. Mereka ingin melihat tim nasional berlaga dalam even piala
dunia. Mereka ingin timnas juara dunia seperti negara-negara lain di benua
Eropa dan Amerika Selatan. Mereka ingin para pemain timnas membawa pulang tropi
tersebut untuk memuaskan para penghuni
negeri ini. Hanya itu niat mereka melakukan munajat bola. Mereka tidak
mempunyai keinginan sebagai penguasa seperti yang diperebutkan oleh
begundal-begundal yang merusak reputasi sepak bola nasional sekarang ini.
Angin
bertiup kencang. Udara terasa dingin. Malam sepertinya akan pamit pada fajar
yang sudah mengintip di ujung cemara. Para kaum bola yang dipimpin Haji Maimun
segera mengakhiri munajatnya. Mereka melakukan ritual penutup dengan melafalkan
doa sapu jagat. Bersamaan dengan doa tersebut, ayam jantan para penduduk
berkokok memecah keheningan ujung malam. Langit yang semula gelap kini
memancarkan cahaya jingga.
Para
kaum bola mengarak bola besar berkeliling
nusantara. Mereka memberi tahu kepada semua orang yang dijumpai bahwa bola-bola
nusantara telah menyatu menjadi bola raksasa. Bola yang anggun, kokoh, wibawa.
Bola murni tanpa ada kepentingan pribadi di dalamnya. Bola ini akan terus
begerak ke kawasan Asia Tenggara, Asia hingga dunia. Ia akan melindas bola-bola
yang ada di beberapa benua. Bola raksasa ini akan kembali ke nusantara dengan
mengangkat tropi piala dunia. (*)
Lamongan, April 2012