Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 29 November 2012

Hujan Enggan Datang

http://oase.kompas.com/read/2012/11/28/04345717/Hujan.Enggan.Datang


Hujan Enggan Datang
Cerpen Ahmad Zaini

Sudah hampir setahun hujan belum kunjung turun. Tanah merekah. Pohon-pohon meranggas. Sumur mengering. Sungai kerontang. Warga sekampung pada musim kemarau kali ini benar-benar menderita. Mereka kesulitan air. Untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, mereka harus rela mengantre berjam-jam dengan warga lain. Bahkan mereka ada yang mengantre berhari-hari di sumur kampung seberang yang jaraknya tujuh kilometer dari kampung mereka.
Kemarau tahun ini memang diluar kebiasaannya. Kemarau musim ini bisa dikategorikan sebagai kejadian luar biasa. Biasanya paling lama musim kemarau hanya berlangsung empat atau enam bulan. Setelah itu hujan sudah turun. Akan tetapi, kemarau tahun ini benar-benar di luar batas perkiraan warga.
Debu siang itu beterbangan melintas di atas kampungku. Matahari menyengatkan panasnya menembus ubun-ubun. Sambil membawa jerigen, aku mempercepat langkahku karena kakiku melepuh tak mampu menahan panas permukaan tanah yang kulewati. Aku ingin segera sampai di sumur untuk mengambil setimba air untuk keperluan hidup keluargaku.
Di tengah perjalanan aku beristirahat. Aku duduk di bawah sebatang pohon yang tak berdaun lagi. Batangnya meranggas. Akarnya rapuh. Belum puas aku beristirahat, terpaksa aku harus bangkit ketika pohon yang kusandari begerak-gerak karena hembusan angin. Aku melanjutkan perjalanan agar segera sampai di sumur kemudian mengantre mengambil air bersama warga yang telah tiba lebih dahulu.
Saat aku dalam perjalanan, aku mendengar suara orang yang sedang terlibat percekcokan. Eh, ternyata dua lelaki dewasa yang sedang adu mulut di depan rumah mereka. Aku bisa mendengar dengan jelas isi percekcokannya. Aku duduk sambil berpura-pura istirahat di sebuah warung kopi yang sudah tidak terpakai.
“Kamu yang telah mengambil airku,” tuduh lelaki yang usianya sekitar enam puluhan tahun.
“Jangan seenaknya pakde menuduhku!” sangkal laki-laki yang lebih muda yang ternyata masih keponakan lelaki tua itu.
“Dua jerigen air yang kudapatkan tiga hari yang lalu raib. Siapa lagi kalau bukan kamu yang mengambil.”
“Jadi, pakde masih menuduh aku yang mengambil air pakde?”
Si lelaki yang masih keponakan lelaki tua itu  berjalan mendekatinya. Ia geram karena telah dituduh mencuri dua jerigen air milik pakdenya. Tanpa basa-basi, si keponakan itu mendorong pakdenya hingga tersungkur di permukaan tanah yang kering merekah.
“Pakde, Pakde! Bangun pakde!” ujar sang keponakan.
Lelaki tua itu pingsan. Dia tidak sadar karena keningnya terbentur tanah keras seperti batu di halaman rumah mereka. Sang keponakan segera mengangkat tubuh kurus pakdenya ke dalam rumah yang kusam dan atapnya penuh debu itu.
Aku meninggalkan tempat tersebut dengan hati yang miris. Dalam hatiku berkata bahwa hati mereka benar-benar telah dibutakan oleh kebutuhan air. Air memang sumber kehidupan. Akan tetapi,  jangan sampai air menjadi sumber percekcokan dengan keluarga. Jika masalah air saja mereka tidak bisa hidup rukun, mana mungkin Tuhan akan menurunkan hujan!
***
Deratan para warga mencapai satu kilo meter. Mereka menunggu giliran menimba air di sumur yang berkedalaman lima puluh meter. Rasa lapar dan dahaga tak mereka hiraukan. Panas sengatan matahari musim kemarau tak mereka rasakan. Wajah para warga memelas. Mereka seperti tak bergairah. Mereka lelah karena sudah menunggu seharian penuh demi mendapatkan giliran menimba air. Guratan-guratan di wajah mereka seakan menggambarkan sebuah harapan agar penderitaan seperti ini tidak berlarut-larut. Mereka tak tega melihat keluarganya yang kesulitan air di musim kemarau ini. Mereka tidak tega keluargnya mandi dengan air bekas mandi yang ditampung lagi. Sampai-sampai air limbah mandi yang sudah keruh dan berbau digunakan mandi lagi. Oh, begitu menderintanya warga ini!
“Pak, bagaimana ini?” tanya warga yang mengantre giliran menimba.
“Apanya yang bagaimana?” tanyaku balik kepadanya.
“Ya, kemarau panjang ini, Pak.”
“Terus?”
“Kapan berakhirnya?”
“Ya, tidak tahu. Hujan atau tidak tergantung dari kemurahan Tuhan kepada kita. Tuhan akan memberikan kemurahanNya jika kita mau mendekat kepadaNya.”
“Mendekat bagaimana, Pak?” tanya warga awam itu kepadaku.
“Maksud mendekat kepada Tuhan itu, kita harus meningkatkan amal ibadah kita serta memperbanyak amal kebaikan. Jauhkan sifat-sifat tercela dalam diri kita. Jangan lagi melakukan dosa dengan berbuat maksiat.”
“Pak Ustadz, perbuatan maksiat itu seperti apa?”
“Perbuatan maksiat adalah perbuatan yang melanggar larangan-larangan Tuhan. Contohnya mencuri, minum-minuman yang memabukkan, berzina, dan masih banyak lagi yang lainnya ,” jelasku kepadanya.
“Berzina? Wah, kalau yang satu ini di kampung ini sudah menjadi kebiasaan Pak. Dalam waktu setengah tahun ini sudah lebih dari selusin gadis dan janda yang hamil. Yang terkahir anak Pak RT yang masih usia belasan tahun. Dia dihamili anak kepala desa.”
“Benarkah yang kamu katakan ini?” tanyaku.
“Benar, Pak.”
“Jika benar, hal inilah yang menjadi penyebab kampung kita dilanda kekeringan. Tuhan tidak akan menurunkan hujan kepada kaumNya yang sudah berbuat dosa besar seperti berzina.”
Aku terkejut mendengar cerita warga tersebut. Aku merasa ikut berdosa karena tidak mengetahui jika di kampungku telah terjadi hal yang memalukan seperti itu. Aku harus bertindak untuk memberikan pengertian kepada para warga bahwa berzina itu adalah perbuatan dosa besar yang bisa mendatangkan bencana. Kekeringan yang mereka rasakan selama ini adalah salah satu contoh bencana yang diturunkan oleh Tuhan sebagai teguran bagi umatNya yang telah berbuat dosa.
“Lho, akan ke mana?” tanyaku pada lelaki itu.
“Pulang, Pak. Air di sumur itu sudah habis. Sumbernya mampet,” jawabnya dengan nada kecewa.
“Sudah hampir sehari menunggu giliran menimba. Eh, tinggal menunggu empat orang saja airnya sudah habis! Sial!” gurutunya sambil melintas di depanku.
“Eh, tunggu!”
“Ada apa Pak Ustadz?”
“Mari kita pulang bersama kemudian temani aku ke rumah kepala desa!”
“Memangnya ada apa Pak?”
“Ini untuk mencari jalan keluar dari permasalahan di kampung kita. Kekeringan melanda desa ini karena banyak warganya yang telah lari menjauh dari aturan Tuhan.”
“Maksudnya hujan tidak turun karena banyak warga kampung yang berbuat zina?”
“Betul.”
Lha wong, mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, kok, Pak!”
“Maka dari itu kita harus menyadarkan warga melalui kepala desa.”
“Percuma, Pak. Anak kepala desa sendiri baru saja menghamili anak ketua RT. Mana mungkin dia mau menyadarkan warganya?”
“Jangan berperasangka buruk seperti itu. Kita coba saja datang kepadanya.”
“Baiklah, Pak Ustadz. Biar hujan cepat turun.”
Kami melangkah meninggalkan sumur yang telah mengering menuju kampung halaman. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan berkerikil tajam. Di kanan kiri jalan tak ada sesuatu yang bisa menyegarkan pandangan. Semuanya kering kerontang tak ada tanda-tanda kehidupan bagi tetumbuhan.
Kami melintasi kampung tetangga sambil melihat para warga yang mandi kemudian limbahnya ditampung lagi di penampung air. Air bekas mandi tersebut akan digunakan mandi lagi oleh anggota keluarga yang lain. Jika sudah selesai mandi semua, maka air yang telah ditampung tadi akan disimpan lalu digunakan mandi pada hari berikutnya.
***
“Ada perlu apa, Pak Ustadz kemari?” tanya kepala desa.
“Maaf, Pak. Kedatangan saya kemari hanya ingin membicarakan nasib warga kampung yang menderita karena kekeringan.”
“Lantas?”
“Saya ingin mengajak para warga kampung bertaubat karena sudah banyak warga yang telah berbuat maksiat dengan berzina.”
“Kau menyindir anakku, ya?”
“Tidak, Pak. Saya tidak bermaksud menyindir anak Bapak. Saya hanya ingin menyadarkan para warga bahwa kekeringan yang melanda desa ini karena ulah mereka mereka sendiri yang telah melanggar aturan-aturan Tuhan.”
“Sok tahu kamu. Aku ini kepala desa yang tentu lebih mengerti daripada kamu. Kekeringan melanda desa ini karena hujan belum turun. Kalau hujan sudah turun, kekeringan akan lenyap sendiri.”
“Tapi, Pak, musim kemarau ini sudah hampir satu tahun. Ini bukan musim kemarau seperti tahun-tahun lalu. Kekeringan melanda desa karena banyak warga yang berzina. Para gadis dan janda banyak yang hamil di luar nikah.”
“Urusan apa kau dengan semua itu?” tanya kepala desa dengan sengol.
“Untuk meluruskan mereka agar kembali ke jalan Tuhan. Para warga akan saya ajak beristighfar sambil melaksanakan shalat istisqo’, memohon hujan kepada Tuhan.”
“Silakan! Terserah kau! Kalau belum waktunya hujan, ya, kekeringan tetap akan melanda desa ini. Sok, tahu!” ucap kepala desa.
Aku berpamitan kepada kepala desa. Dengan ditemani seorang warga, kami berjalan menuju ke mushalla desa untuk mengumumkan kepada para warga bahwa besok siang sekitar pukul 10.00 akan diadakan shalat istisqo’ di tanah lapang. Para warga kami himbau datang dengan membawa binatang ternak yang mereka miliki serta mengenakan pakaian yang sudah kumal yang suci.
Para warga menyambut rencana kami dengan antusias tinggi. Para warga menyiapkan segala keperluan untuk melaksanakan shalat memohon hujan kepada Allah. Tak terkecuali kepala desa. Dia juga menyiapkan tiga ekor sapi hasil bantuan dari gubernur untuk dibawa ke tanah lapang ketika pelaksanaan shalat istisqo’ nanti.
Kepala desa dengan terpaksa harus ikut dalam pelaksanaan shalat tersebut karena dia harus memberikan contoh yang baik kepada warga yang mayoritas mendukung kegiatan itu.
Warga berduyun-duyun datang ke tanah lapang. Mereka menuntun binatang ternaknya sambil mengenakan pakaian kusam yang mereka miliki menuju hamparan persawahan yang kering kerontang itu. Saya dan beberapa warga yang mandegani kegiatan tersebut sibuk mengatur para warga yang ikut melaksanakan shalat.
Kami melihat kepala desa datang beserta anak lelakinya sambil menuntun tiga ekor sapi. Hati kami sangat lega karena ucapan-ucapan kepala desa yang pesimis dengan kegiatan ini tidak terbukti. Dia beserta anaknya datang dan berbaur dengan warga.
“Mari, Pak!” kataku mempersilakan kepala desa.
Dia tak mereaksi sapaanku. Dia nyelonong menuju ke tempat yang telah kami sediakan. Rupa-rupanya dia belum ikhlas mengikuti kegiatan ini.
Matahari siang itu mengganas. Raja siang tersebut mengeluarkan sinar panasnya menyengat tubuh para warga. Keringat bercucuran. Cairan limbah makanan itu membasahi pakaian kusam yang dikenakan para warga. Mereka tetap tenang dan khusuk berdzikir, beristighfar memohon ampunan kepada Tuhan.
Kepala desa berdiri. Dia lantas berjalan mendekati kami yang masih menunggu dan mengatur jamaah yang lain.
“Ayo, cepat dimulai! Sudah panas ini. Becus atau tidak kalian menyelenggarakan shalat minta hujan ini? Kalau tidak bisa, bubarkan saja!” umpat kepala desa kepada kami.
“Sabar, Pak! Masih menunggu warga yang lain.”
“Halah..., alasan!” umpatan kepala desa itu tidak berlanjut karena tangannya keburu ditarik anaknya kemudian diajak duduk lagi.
Setelah warga kampung sudah berkumpul, kami bersiap-siap melaksanakan shalat istisqo’. Para warga mempersilakan saya menjadi imam dalam pelaksanaan shalat ini.
Aku berjalan menuju tempat imam. Di barisan depan terlihat kepala desa beserta anak lelakinya. Kami memulai shalat yang diikuti warga yang menjadi makmum. Rakaat pertama dengan takbir tujuh kali kemudian kami lanjutkan rakaat kedua dengan takbir lima kali sebagaimana shalat id. Usai melaksanakan shalat kami melanjutkan dengan khutbah dua kali.
Dalam khutbah saya berpesan kepada jamaah agar mereka memperbanyak amal shaleh serta menghindari perbuatan-perbuatan dosa, seperti berzina dan minum-minuman keras.
“Hai, kamu menyindir anak saya, ya?” sanggah kepala desa kepada saya.
Sontak para jamaah melihat ke arah kepala desa.
Aku tak menghiraukan sanggahannya karena ini bukan diskusi. Ini adalah khutbah yang tidak boleh disela-selai dengan tanya jawab atau sanggahan-sanggahan. Aku tetap melanjutkan khutbah sambil melirik kepala desa yang ditenangkan oleh anak lelakinya.
Ulah kepala desa ini tak perlu dicontoh. Sebagai seorang pemimpin, semestinya dia harus memberikan contoh  yang baik kepada para warga. Bukan malah sebaliknya. Dia seharusnya menunjukkan sikap yang arif bijaksana dalam bertutur serta bertindak.
“Sabar, Bapak! Sabar!” kata anak kepala desa menenangkan ayahnya.
“Sabar ada batasnya. Dia selalu menyindir keluargaku. Aku tidak terima.”
Suara kepala desa lantang di tengah lapang. Suaranya hampir mengalahkan suaraku saat memberikan khutbah kepada jamaah. Anak lelakinya serta para jamaah tidak mampu mengendalikan emosi kepala desa. Dengan sangat terpaksa, anak semata wayang tersebut menyeret tangan kanan ayahnya pergi meninggalkan tanah lapang agar tidak mengganggu kekhusukan jamaah yang lain.
Peluh di kening kuusap dengan ujung surban. Butiran-butiran keringat lenyap dalam sekejap. Sudah hampir lima belas menit saya berkhutbah. Akhirnya, khutbah kuakhiri. Para warga saling berjabat tangan sebelum meninggalkan tanah lapang. Mereka saling bermaafan agar Tuhan segera menurunkan hujan.
Allahummasqina ghoisan mughisa, wala taj’alna minalqonithin!” gemuruh suara doa para jamaah sambil meninggalkan tanah lapang yang kering-kerontang itu. Mereka kembali ke kampung sambil menuntun binatang ternak masing-masing.
Matahari meredup. Mendung bergulung menutup awan biru. Suasana siang seperti senja. Udara gerah berubah menjadi agak dingin. Para warga berharap-harap cemas menanti air dicurahkan Tuhan dari langit. Mereka bersiap-siap menyambut kedatangan tamu alam yang sudah setengah tahun mereka tunggu.
Gemerisik kaki-kaki hujan menginjak rontokan dedaun pohon jati kering di kampung sebelah. Suaranya semakin lama semakin mendekat. Kami sudah tak sabar lagi ingin mengambil air hujan dengan penampung air yang sudah kami siapkan. Ketika satu dua tetes hujan sempat mampir di penampungan air, lambat laun gemuruh suara hujan di kejauhan mereda. Langit kembali cerah. Gumpalan mendung pun sirna dihempas tiupan angin ke belahan langit yang jauh di sana.
Kami tertegun. Kami hampir tidak percaya dengan fenomena yang baru saja kami alami. Kami harus bersabar dengan ujian ini. Kami juga tahu diri mengapa hujan enggan turun di kampung ini. Kami harus berbenah diri. (*)
Lamongan, Oktober 2012












                                                                                              


Kamis, 08 November 2012

Camar di Bibir Samudera


Camar di Bibir Samudera

Pasir terhampar dipijak kaki-kaki angin laut
gemuruh gelombang membahana
di riang siang yang memesona
hati tenggelam pun muncul
di permukaan samudra keceriaan
menikmati laut biru berombak putih tipis
di sela batu karang

camar mengitari cakrawala
menunggu mangsa berenang
di luas samudra
sekali terkam
kenyang
lalu terbang ke sarang
bercumbu dengan pejantan
yang mengerami anaknya

Lamongan, 19 Juli 2011

Kamis, 01 November 2012

Lukisan Matahari


Lukisan Matahari
Cerpen: Ahmad Zaini *

Lukisan matahari yang terbit di pagi hari tergantung di dinding rumah bergerak tertiup angin di malam itu. Rona merah yang terpancar dalam lukisan menyadarkan hatiku bahwa esok telah berganti hari, juga berganti tahun. Jam dinding yang tergantung di sebelah lukisan itu masih berdetak mengikuti putaran waktu. Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 wib. Sementara suasana di luar begitu ramai oleh geberan motor dari muda-mudi yang tak ingin melewatkan malam pergantian tahun baru.
Rona merah yang memancar dari lukisan perlahan remang karena lampu yang bergantungan di atas plafon rumah kuganti dengan yang lebih kecil. Hatiku terasa deg-degan saat kakiku melangkah masuk ke dalam kamar yang telah kupersiapkan untuk malam renungan tahun baru. Ya, setiap tahun menjelang pergantian tahun baru aku selalu melakukan perenungan malam sebagai upaya untuk mengevaluasi diri selama satu tahun yang akan kutinggalkan.
Lampu yang menyala segera kumatikan. Kamar berubah menjadi gelap gulita. Bising suara motor yang berlalu-lalang di depan rumah tak terdengar sama sekali karena kamar ini kudesain kedap suara. Segala gejolak dalam batinku selama sehari kini perlahan sirna. Pikiran-pikiran yang seharian penuh dijejali oleh permasalahan pekerjaan mulai kusingkirkan. Kini hatiku benar-benar hening, sehening pertapaan para wali di dalam gua Pamijahan. Pikiran kukonsentrasikan pada semua tingkah polah yang kulakukan pada tahun yang segera kutinggalkan ini.
Dalam hatiku hanya ada satu tekad. Bahwa hari, bulan, tahun ini harus lebih baik daripada hari, bulan dan tahun sebelumnya. Aku benar-benar ingin menjadi manusia yang beruntung. Ingin menjadi manusia yang sempurna di mata masyarakat, dan sempurna di hadapan Allah. Biarkan mereka mencibirku dengan kata-kata serta komentar yang negatif. Biarkan mereka mengatakan bahwa aku  adalah pemuda yang penuh dengan dosa. Biarkan mereka mengatakan ini, itu tentang diriku. Yang terpenting dalam hati ini benar-benar tulus ingin memperbaiki sikap dan perilaku buruk yang pernah kulakukan pada tahun lalu. Saya yakin bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun atas segala dosa yang telah diperbuat oleh hambanya.
Perlahan aku duduk bersila seraya memejamkan mata kemudian mengungkap rekaman-remakan yang memenuhi memoriku. Terlintas dalam hatiku orang-orang yang pernah kukecewakan dalam hidupnya. Mulai dari para gadis yang pernah kupacari hingga kawan yang pernah kusakiti hatinya gara-gara pacarnya kurebut. Bayangan-bayangan yang jelas di mataku ternyata mampu mengalirkan air mata penuh onak dosa merembet di pipiku.
Wajah Ratna yang begitu cantik dengan polesan make up merah muda yang mendesak wajah-wajah lain dalam bayanganku. Tergambar dengan jelas wajah cantiknya berubah menjadi lembab oleh air mata. Kata rayuan yang pernah kuucapkan padanya tertancap sangat dalam di hatinya. Ia kemudian mencintai diriku sepenuh hati. Di kala cintanya sedang mekar, belum sempat harum baunya kunikmati ternyata aku sudah kepincut dengan gadis lain. Dengan kasar ia kuputus cintanya di tengah jalan. Saya masih ingat jerit tangisnya melengking di tengah taman kota. Tangis kepedihan hati laksana tersayat sembilu yang penuh dengan racun. Dia mendekapku tak rela melepas badan ini meninggalkan dirinya. Kaos yang ia kenakan masih melukis kenangan indah bersamaku namun sirna oleh guyuran air mata yang mengalir deras dari kedua matanya.
"Maafkan aku, Rat! Aku telah bersalah padamu. Aku yang memulai dan aku juga yang mengakhiri. Aku berdoa semoga kau mendapatkan yang melebihi diriku," ucapku sambil duduk bersila di tengah gelap kamar.
Wajah Ratna sirna berganti wajah manis Laila. Dia adalah gadis kampung yang baru saja pulang dari pesantren. Ia bertahun-tahun memperdalam ilmu agama di pesantren yang diasuh oleh kyai Samad yang dikenal sebagai ulama besar yang di negeri ini. Setiap kali Laila keluar rumah berkunjung ke rumah bibinya yang kebetulan tetangga saya, ia tak pernah membuka auratnya. Rambut serta kaki tak pernah terlihat olehku walau hanya sekejap. Sejak pandangan pertama aku langsung jatuh cinta kepadanya.
Nah, menghadapai gadis seperti dia saya berguru kepada teman saya, Ahmad. Dia juga pernah menetap di pesantren beberapa tahun lamanya. Ia pulang ke kampungnya gara-gara dikeluarkan dari pesantren itu. Sungguh keterlaluan dia. Masak anak kyainya dipacari. Tidak sembarangan pemuda bisa menggaet anak kyai sebagai pacarnya. Dari pengalaman Ahmad itulah saya coba untuk mengambil hati Laila. Ternyata cukup manjur juga. Sekali gerak ternyata Laila klepek-klepek jatuh cinta kepadaku. Wow, luar biasa. Orang-orang di sekelilingku heran semua. Pemuda sebejat saya mampu menggaet Laila menjadi pacarku.
"Wah, jelas pakai pelet ini. Masak Laila jatuh cinta pada si kampret seperti kamu. Dasar paly boy!" umpat temanku.
Saat kami berpacaran tiba-tiba Laila tersinggung oleh sikapku. Pada suatu hari tepatnya di rumah bibinya, jilbab yang ia kenakan kubuka dengan sengaja. Pada saat itu aku benar-benar penasaran ingin tahu rambutnya yang selalu tertutup oleh jilbabnya. Dia marah dan menangis tersedu-sedu. Saat itulah aku baru tahu bahwa Laila memang gadis yang sempurna. Rambutnya sebahu hitam laksana arang. Dipadu dengan kulitnya yang putih ia tampak begitu anggun. Namun penampilannya sangat terganggu karena ia sedang menangis tersedu-sedu menyayangkan perbuatan  yang kulakukan padanya. Ia kemudian pulang meninggalkan diriku begitu saja di balai depan rumah bibinya.
"Lho, kenapa Laila?" tanya bibinya.
"Tidak tahu, Mbak!" jawabku pura-pura tidak tahu.
Bibinya mengejarnya keluar namun Laila sudah meninggalkan halaman rumah bibinya.
Selama seminggu aku tak berani menemuinya lagi. Dia selama itu pula tak pernah lagi datang ke rumah bibinya. Hampir setiap hari selalu kutitipkan salam kepadanya jika bibinya akan ke rumahnya. Namun tidak pernah ada balasan salam darinya. Berarti ia benar-benar marah pada saya.
"Dasar, bodoh! Kenapa diriku sebodoh ini? Dia gadis yang terlalu baik untukku. Andaikan dia berhasil menjadi pendampingku mungkin aku tidak separah ini?" tangis sesalku di tengah kegelapan malam.
Aduh, begitu penat diri yang penuh dengan masalah. Persoalan datang silih berganti mendera diriku yang lemah. Aku menyadari bahwa diriku mudah terkena pengaruh keadaan. Terutama masalah wanita. Persoalan dengan Ratna kemudian berganti dengan Laila. Laila yang begitu baik kusakiti hatinya.
"Ya, Tuhan! Masih maukah Kau mengampuni dosa-dosaku?" pintaku dalam doa.
"Berilah kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri," tambahku yang kemudian bayangan-bayangan Ratna dan Laila menghilang ditelan malam.
Yang terakhir bayangan yang muncul dari batinku adalah wajah Mahmud. Dia pemuda lugu yang pernah kusakiti hatinya. Wajah Mahmud memang tak setampan wajahku. Namun pacarnya yang bernama Resti luar biasa cantiknya. Setiap hari ketika dia berjalan bersama melintas di depanku, darah saya langsung mendidih. Entah mengapa aku  sangat cemburu jika melihat mereka berjalan berduaan. Pada suatu pagi aku merencanakan niat bejat untuk membuyarkan hubungan mereka. Temanku si Toni kusuruh menyerempetnya dengan motor bututnya. Aku akan berpura-pura melindunginya. Ketika motor Toni benar-benar melaju dengan kencang mau menyerempet Resti dengan cekatan aku melindunginya. Tubuhku yang terkena motor Toni terguling-guling ke tanah. Bahuku lecet-lecet dan sedikit memar karena terbentur motor Toni. Si Resti segera menghampiriku seraya mengusap darah yang memerah di luka-luka bahuku.
"Maaf, ya, Mas aku telah mencelakakanmu! Aku yang lalai tidak melihat jika ada motor di belakangku," kata Resti lembut dengan sedikit ketakutan.
"Ah, tidak apa-apa, kok. Aku ikhlas melakukan ini," ucapku membalas ucapannya.
Tanpa disengaja mata beningnya menatap mataku. Aku pun menatap mata beningnya. Sekitar empat detik kami saling berpandangan. Tangan si Mahmud tiba-tiba meraih tangan Resti yang begitu lembut dengan kasar. Dia merasa cemburu karena ia melihat Resti begitu mesra menolongku. Resti kaget dan hampir saja ia terjatuh.
"Apa-apaan, sih, kamu! Kasar banget! Saya ini sedang menolong, Mas, ini!" katanya sambil cemberut.
"Ayo, pergi dari sini!" paksa Mahmud dengan menggelandang tangan Resti.
Mahmud memang sudah kenal lama dengan saya. Jadi wajar jika dia cemburu seperti itu. Dia hapal dengan tabiat saya. Mungkin dia juga sadar bahwa aku punya maksud yang tersembunyi..
Siang hari ketika aku berjalan melewati tempat biasa Resti dan Mahmud bertemu, aku melihat dia bertengkar.
"Dasar lelaki tidak berguna. Ada orang celaka dibiarkan saja. Saya menolong malah dicemburui. Maksud kamu apa, sih?"
"Dia itu pemuda kurang ajar. Dia itu play boy. Wajar saja kalau saya cemburu saat kamu mengusap luka di bahunya dengan tisu yang kubelikan," kata Mahmud membenarkan sikapnya.
"Hai, Mahmud! Kamu jangan seenaknya mengatakan bahwa dia itu play boy. Mungkin kamu lebih play boy daripada dia," kata Resti.
Mendengar kata-kata Resti yang pedas, telingan Mahmud semakin panas. Tangan kanannya mengepal dengan geram. Bogeman mentah sempat mendarat di pipi Resti yang halus mulus itu. Saat Mahmud akan melayangkan bogeman kedua dengan sigap aku melompat menahan bogeman yang akan mendarat di pipi Resti lagi.
"Hentikan! Beraninya hanya dengan wanita yang tidak berdaya!" teriakku melarang.
"Walah, walah, walah! Ada pahlawan kesiangan, ta?" katanya mengejekku.
Aku tak pedulikan ejekannya. Segera kuhampiri Resti yang masih tersungkur di tanah dengan meringis menahan sakit di pipinya. Setetes darah keluar dari bibirnya kemudian kuusap dengan sapu tangan.
"Tidak apa-apa kamu?" tanyaku.
"Tidak, Mas," jawabnya sambil merangkul pundakku. Tak kusadari Mahmud menerjangku dari belakang kemudian menendangku berkali-kali hingga kuterjerembab di rerumputan tempat itu.
"Mahmud, jika berani jangan main belakang, dong! Kita berkelahi secara laki-laki. Saat Mahmud akan menyeragku tiba-tiba Resti bangkit dan  berdiri di hadapanku.
"Bukk!!" suara dari perut Resti saat tendangan Mahmud mengenainya. Resti lemas kemudian bergelayut di dekapanku. Ia pingsan.
Mahmud panik saat mengetahui bahwa tendangannya mengenai perut Resti. Dia gugup kemudian melarikan diri dari tempat itu.
Segelas air kuminumkan kepada Resti. Seteguk, dua teguk air masuk ke dalam perutnya. Perlahan resti siuman dari pingsannya kemudian kubopong berteduh bawah pohon yang rindang. Perutnya kuraba dengan kain yang kubasahi air sebelumnya. Dia merintih kesakitan. Perlahan-lahan dia bangun dan meminta diriku mengantarnya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah dia kusandarkan pada sebuah kursi tua di ruang tengah. Di rumah dia hanya tinggal bersama neneknya. Dia menarik tanganku kemudian mengecup mesra keningku sebagai mengucap terima kasih karena aku telah menolongnya.
"Mas! Maukah kau sebagai pacarku?" ucapnya mesra.
"Ah, jangan. Kamu kan pacarnya Mahmud," balasku dengan berharap agar dia benar-benar memutus Mahmud dan mengalihkan cintanya kepadaku.
"Jangan sebut lagi nama itu. Itu kenangan masa lalu. Kau begitu baik mau menolongku. Sebagai ucapan terima kasih maukah kau menjadi pacarku?" desaknya.
Aku diam sebentar untuk mencari waktu yang tepat. Dia memandangku dengan penuh kemanjaan. Hatiku berdebar-debar melihatnya memandangku seperti itu.
"Ya. Aku terima tawaranmu. Aku mau menjadi pacarmu!"
Dia kemudian memelukku di tengah panas matahari siang itu.
Jalinan kasih antara diriku dengan Resti tidak berlangsung lama saat orang tuaku tidak merestui hubunganku dengannya. Ayahku pernah memergoki Resti bermesraan dengan Mahmud di alun-alun kota. Dengan dasar itulah orang tuaku tidak menghendaki hubunganku dengan Resti berlanjut. Aku menurut kata meraka. Karena hubungan tanpa restu dari orang tua akan meninggalkan penderitaan yang berkepanjangan.
Di saat Resti sedang menikmati aroma bunga cinta yang kutiupkan pada hatinya, tanpa sebab aku datang ke rumahnya. Aku tak berpikir panjang kemudian Resti kuputus siang itu juga. Mendengar kata putusku di siang itu, dia laksana disambar petir. Dia kaget dan matanya terbelalak dengan mulut yang menganga lebar tanda tak percaya. Mata indahnya lembab kemudian mengalir deras membasahi celana ketat yang dipakainya.
"Apa salahku, hingga kau memutus cintaku?" tanya Resti dengan muka merah padam menahan kecewa.
"Panjang ceritanya. Yang jelas mulai detik ini, kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. Titik!"
Wajah cantik Resti kini bermurung durja. Ia kesal dengan sikapku yang arogan memutus cintanya. Aku sebenarnya tak tega melihat dia dalam kondisi seperti itu. Namun takdir telah berkata lain. Aku harus pergi dari kehidupan Resti. Biarlah aku membujang selamanya.
"Tuhaaaan! Maukah Kau memaafkan dosaku ini...?" teriakku dari dalam kamar sambil menengadahkan tangan meminta ampunan dariNya.
Bersamaan dengan itu jam alarmku berbunyi menandakan pukul 00.00 wib. Sedetik kemudian terdengar dentuman meriam dan petasan menggema memecah keheningan malam. Pemuda-pemudi yang berkumpul semenjak tadi meniup terompetnya dengan nada yang tak terartur. Kubuka perlahan pintu kamar dan keluar melihat suasana ramai di sepanjang jalan. Arak-arakkan motor berkeliling kota meninggalkan kebisingan di sepanjang jalan yang mereka lalui. ***
Lamongan, 31 Desember 2008




Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Pertama


Cinta Pertama
Cerpen Ahmad Zaini *

Kerlap-kerlip lampu aneka warna gemerlap di malam itu. Suasana ramai oleh lalu-lalang pengunjung yang memadati tampat pertunjukan ludruk Baru Budi. Di kanan kiri jalan yang menuju tempat pertunjukkan ramai oleh celoteh anak kecil yang merengek kepada orang tuanya meminta dibelikan mainan yang dijajakan pedagangnya di sepanjang jalan. Suara parau dari perempuan tua menawarkan dagangan kacang  kepada setiap pengunjung yang melintas di depannya.
Di samping kanan pintu gerbang berjubel orang yang sedang mengantri membeli tiket. Di sebuah loket sederhana yang terbuat dari dinding triplek terlihat seorang gadis yang melayani calon pembeli tiket dengan ramah. Lewat lubang yang hanya berukuran kepalan tangan terlihat bibir yang terpoles gincu dengan gigi yang terjajar rapi menanyakan jumlah tiket yang mereka butuhkan.
Tak ketinggalan serombongan mahasiswa yang ingin melakukan studi banding tentang teori pementasan drama yang mereka peroleh di bangku perkuliahan dengan melihat proses pementasan secara langsung yang akan dilakukan oleh kelompok ludruk tersebut. Tanda pengenal yang mengalung di leher berkelebat saat angin malam lewat. Jas almamater berwarna biru tua sedikit dapat melindungi tubuh mereka dari undara malam. Mereka membeli tiket secara kolektif. Kemudian mereka membagi satu per satu pada para mahasiswa yang lain.
Antrian pengunjung pertunjukan ludruk cukup panjang dan melelahkan. Namun karena dengan antusias dan semangat, rasa lelah dan kesal sedikit terlupakan hingga mereka sudah melewati pintu gerbang yang dijaga oleh empat orang. Dua orang di sisi kanan dan yang lainnya di sisi kiri yang manariki tiket mereka kemudian menyobeknya.
“Khoirul, tungguuu!” teriak seorang mahasiswi yang berlari menyusul kelompok yang sudah masuk lokasi.
“Kamu dari mana Ira?” tanya Khoirul kepada Ira yang napasnya masih terengah-engah.
“Ini, lihat! Aku membawa dua bungkus kacang untuk camilan nanti di dalam,” jawab Ira sambil menujukkan dua bungkus plastik yang digelantungkan di tangannya.
“Ayo, cepat kita kumpul dengan teman-teman yang lain!” ajak Khoirul.
Ketika Khoirul berjalan menuju ke teman-temannya yang sudah duduk di pelataran, tiba-tiba tangan Ira meraih tangan Khoirul. Ia menahan Khoirul agar tak berkumpul dengan teman-temanya.
“Ada apa, Ir?” tanya Khoirul bernada heran. Ira diam tak menjawab pertanyaan Khoirul.
“Ayo, ikut aku!” Ira menyeret tangan Khoirul menuju ke sudut gedung pertunjukkan. Sebuah sudut yang sepi dari pengunjung yang lain dan hanya tersinari temaram lampu dari depan.
“Nah, kita duduk di sini. Tenang dan  nyaman,” ucap Ira yang kemudian duduk bersimpuh di lapangan berumput itu.
“Lho, kok, kita duduk di sini? Terus bagaimana dengan kelompok yang lain? Ira, mengertilah bahwa kita datang ke sini untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Masak, bisa kita megerjakan di tempat yang gelap seperti ini!” kata Khoirul yang mencoba menyadarkan Ira agar mau berkumpul dengan teman-teman yang lain.
“Tugasnya, kan, sama. Ini soal-soalnya. Kan sama dengan yang mereka bawa. Jadi mengerjakan di sana atau di sini sama saja. Toh, kita juda bisa mendengar alur ceritanya nanti. Itu ada sound system!” bantah Ira dengan menunjuk ke arah sound system yang di pasang di sebelah kanan kiri panggung.
Tak lama kemudian seorang pemandu acara naik ke panggung untuk memperkenalkan personel mereka dan menyampaikan sekilas cerita yang akan dimainkan oleh kelompok ludruk Baru Budi. Spontan ratusan pengunjung yang memadati gedung itu  riuh memberi tepuk tangan. Tak lama berselang alunan gending jawa dan tabuhan gong bertalu-talu membentuk irama yang cukup rancak dan kompak.
Cerita pun dimulai. Ratusan penonton tampak serius mengikuti jalan ceritanya. Dialog demi dialog yang diucapkan oleh para pelaku begitu menggema. Suaranya mantap hingga terasa dada ini mau pecah tak mampu menahan gema suaranya. Di bagian depan para mahasiswa dengan serius mencatat dan mengamati segala yang ia dengar dan yang ia lihat. Tak ketinggalan para pengunjung umum. Mereka antusias mengikuti cerita dengan duduk bersila di tanah lapang berumput.
Hembusan angin malam saat itu tak begitu kencang. Tiupannya tak mampu menerobos tripleks yang dipasang mengitari tanah lapang. Hingga dari mereka yang mengenakan jaket terpaksa melepasnya. Kemudian ia mengibas-ngibaskan jaketnya untuk mengusir hawa gerah, ongkep. Tetapi mereka terpaksa harus memakai jaketnya lagi ketika hembusan angin mulai datang. Kali ini triplek yang berdiri kokoh mengelilingi tanah lapang tak mampu menahan tiupan angin yang menerobos lewat celah-celah antara tripleks yang satu dengan yang lainnya.
Di tengah hembusan angin malam yang semakin kencang, Ira dikagetkan oleh suara letusan mercon dari arah panggung. Spontan Ira pun terhenyak dan mendekap tubuh Khoirul yang duduk serius mengikuti cerita. Khoirul diam tak bereaksi dengan apa yang ia alami. Tapi lama semakin lama ia pun bereaksi karena Ira tak segera melepaskan dekapannya.
“Ira, tuh sudah nggak ada suara mercon!” kata Khoirul mengingatkan pada Ira.
“Oh, iya. Maaf, ya!” kemudian dengan perlahan Ira melapaskan tangannya yang merangkul Khoirul. Ia agak tersipu malu dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Suasana di pojok tempat pertunjukan sebentar terasa sepi. Kedua mahasiswa yang duduk berpisah dengan teman-temannya mulai serius lagi mengikuti cerita. Pandangan Ira pelan tapi pasti memelototi wajah Khoirul. Ya, wajah yang tampan dengan kumis tipis melengukung di atas bibir. Tahi lalat yang berada di dagunya dengan ditumbuhi sehelai rambut yang panjang. Sifat agresif seorang wanita mulai muncul pada diri Ira. Spontan tanganya berberak perlahan membelai rambut Khoirul yang lurus memanjang. Dengan rasa sayang tangan yang halus dan lembut itu menari-nari lemah gemulai di kepala Khoirul.
“Ira, ada apa?” tanya Khoirul. Spontan Ira kaget dan serta merta menarik tangannya yang membelai rambut Khoirul.
“Eh, nggak! Nggak ada apa-apa, Rul,” jawabnya dengan gugup.
Malam semakin larut dan cerita semakin mendekati ending. Tetabuhan musik yang mengiringi pementasan ludruk semakin mengalun. Dan suara dialog dari para pelaku semakin syahdu ketika hembusan angin malam membawanya terbang riuh rendah di udara. Sementara Khoirul membolak-balik kertas yang ia persiapkan untuk mencatat alur cerita, tokoh serta penokohan, dialog, hingga busana yang mereka pakai. Sejenak ia menoleh ke arah Ira. Wajah yang manis tersorot oleh lampu temaram. Matanya sayu seperti menahan rasa kantuk yang menghinggapinya. Ia kemudian menguak dengan telapak tangan yang menutup mulut yang menganga.
“Sudah ngantuk, Ir?” tanya Khoirul.
“Aauhhh, iya! Saya mengantuk,” jawab Ira. Setelah menjawab pertanyaan Khoirul, tiba-tiba Ira merebahkan kepalanya di pangkuan Khoirul. Ia jadi salah tingkah. Bergejolak dalam diri Khoirul dua hal yang sangat bertetangan. Satu sisi ia kasihan dengan Ira yang sedang diliputi rasa kantuk dan membiarkannya ia tertidur di pangkuannya dan di sisi yang lain ia membayangkan bagaimana kalau yang dilakukan Ira itu diketahui oleh teman-teman yang lain.
Tatkala pementasan ludruk dengan lakon Buto Ijo itu sudah selesai, Khoirul segera melipat kertas yang digunakan mencatat sejak tadi. Ia tak sadar bahwa suara lipatan kertasnya membangunkan Ira dari pangkuannya. Perlahan ia duduk dengan memandangi wajah Khoirul. Tatapan mata sayunya menyimpan berjuta rahasia. Perlahan bibir manis Ira yang sejak tadi terbungkam oleh kantuk bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Khoirul jadi malu ketika padangan matanya juga menerpa tatapan mata Ira. Ia berpikir dalam hatinya ada sesuatu yang berbeda pada diri Ira.
“Khoirul, bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” tanya Ira dengan sedikit bernada merayu.
Khoirul lagi-lagi salah tingkah. Ia tak segera menjawab pertanyaan Ira. Namun dalam batin Khoirul sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan oleh Ira. Jika melihat tingkahnya sejak pertunjukan dimulai hingga akhir cerita, mungkin rasa itu yang hendak ia ucapkan. Belum selesai gejolak batin dalam diri Khoirul, tiba-tiba ia merasakan telinganya tersentuh oleh bibir Ira seraya mengucapkan rasa cintanya pada Khoirul. Mata Khoirul terbelalak keheranan. Ia seperti dalam mimpi. Karena ucapan cinta yang diucapkan oleh Ira adalah yang pertama selama hidupnya.
“Rul !” tegur Ira.
“Oh, iya. Aku juga mencintaimu!” balas Khoirul. Kemudian kedua mahasiswa itu larut dalam kegembiraan karena perasaan mereka saling gayung bersambut.
Pada saat mereka sedang asyik memadu kasih, tiba-tiba para mahasiswa yang lain datang dan mereka serempak bernyanyi, “O,o kamu ketahuan, pacaran lagi dengan si Ira!” seraya mereka bersorak dan mengucapkan selamat pada pasangan yang baru jadian itu.(*)

Penulis adalah penghuni Sanggar Sastra “Telaga Biru”
Wanar, Pucuk, Lamongan




























Rabu, 10 Oktober 2012

Perempuan di Ambang Jendela


Perempuan di Ambang Jendela
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Perempuan itu setiap hari duduk di dekat jendela rumah. Pagi sampai menjelang sore dia selalu mengintip keluar rumah sambil berharap anak laki-lakinya yang merantau di bumi Cendrawasih datang. Rasa cemas. Rasa khawatir berbaur menjadi satu dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia merindukan anak semata wayangnya datang dengan tubuh tegap sambil memanggul tas rangsel seperti ketika dia berpamitan mengais rezeki di tanah Papua sebagai tukang ojek tiga tahun yang lalu.
Angin siang datang membelai rambut sebahu perempuan itu. Dia tiada henti memandangi setiap pesawat yang melintas di udara. Ia membayangkan dari balik jendela pesawat yang tidak jelas itu muncul wajah anaknya tersenyum bahagia melihat uraian rambut ibunya di dekat jendela rumah. Perempuan bertahi lalat di pipi kirinya itu masih duduk hingga  menjelang siang di dekat jendela. Ia lupa kalau perutnya semenjak pagi belum terisi makanan.
Rasa perih terasa di lambungnya. Perempuan itu beringsut pindah tempat duduk yang dijajar dekat jendela sambil memungut ubi yang direbus kemarin pagi. Ia kupas kulitnya yang sudah berlendir. Ujung ubi setengah basi ia masukkan ke dalam mulut. Perempuan tersebut tampak malas memakan ubi sendiri tanpa ditemani anak semata wayangnya.
Air mata kerinduan menetes di lekuk pipi keriputnya. Ia terisak sambil menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata  yang terus mengalir setiap ia mengingat anak lelakinya. Seekor capung hinggap di kuncup bunga matahari yang sebentar akan merekah. Capung menghisap madu bunga matahari sambil menatap perempuan itu yang sedang bersedih merindukan anaknya. Capung bertubuh kecoklatan seakan mengajak berbicara dengan perempuan itu. Dia sepertinya ingin menghibur perempuan janda agar tidak menguras air matanya setiap hari. Akan tetapi, air matanya akan mengalir sendiri jika wajah anaknya melintas di pelupuk matanya.
Tiga tahun yang lalu anak lelakinya diajak oleh pamannya pergi ke Papua. Waktu itu anak lelakinya baru saja menamatkan pendidikan tingkat SMA. Niat pamannya sangat baik yaitu memberikan kesibukan dengan bekerja sebagati tukang ojek di Papua. Di sana memang sangat mudah mengais rezeki sebagai tukang ojek. Sekali jalan mengankut penumpang ongkosnya bisa mencapai tiga puluh ribu hingga seratus ribu rupiah. Sehari terkadang bisa mendapatkan penghasilan sampai lima ratus ribu.
Ayahnya meninggal karena penyakit liver. Ia merupakan tulang punggung ekonomi keluarganya. Sepeninggalnya beban ekonomi keluarga dibebankan kepada ibunya dengan berjualan sayur keliling kampung. Pamannya tidak tega ibu keponakannya atau  saudara tuanya itu berjualan sayur dengan penghasilan dua puluh lima  ribu  perhari. Sedangkan anaknya yang sudah remaja menganggur tidak berpenghasilan apa-apa. Akhirnya, pamannya berusaha membujuk keponakannya agar ikut bersamanya pergi ke tanah Papua menjadi tukang ojek.
Satu tahun anaknya berada di Papua. Dia sudah bisa mengirimkan uang senilai lima juta. Uang kiriman anaknya gunakan oleh perempuan itu untuk membayar hutang pengobatan ayahnya. Dalam waktu tiga hari uang tersebut habis. Dua tahun berikutnya, anak lelakinya mengirimkan uang dua puluh lima juta. Uang kiriman tersebut dibagi dua. Separo untuk menutup hutangnya, yang separoh lagi digunakan untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh. Memasuki tahun ketiga anaknya tidak mengirimkan uang.
Perempuan itu gelisah. Dia berusaha menghubungi anaknya melalui telepon genggamnya agar dia segera mengirimkan uang untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, perempuan itu bernasib malang karena beberapa kali dia gagal menghubungi anaknya. Nomor telepon yang dia tuju tidak bisa dihubungi. Sebulan berikutnya dia mendengar kabar dari televisi bahwa di tanah Papua kondisi keamanan sangat memprihatikan. Ada beberapa warga sipil yang ditembak mati oleh penembak misterius.
Suatu sore adik lelakinya datang dari perantauan. Perempuan itu sangat senang karena dia berpikir bahwa anaknya ikut bersama adiknya. Perempuan tersebut berkata dalam hati mungkin karena dia pulang inilah, anaknya tidak mengirimkan uang kepadanya lagi.  akan tetapi, perempuan itu sangat terpukul kesekian kalinya karena adiknya hanya datang bersama istri  dan kedua anaknya.
Mata perempuan tersebut berkaca-kaca. Dia bertanya tentang kabar anaknya. Adiknya hanya menjawab singkat kalau keponakannya tidak mau diajak pulang karena sudah enak hidup dan bekerja di sana. Dia juga bercerita kalau keponakannya sudah mempunyai teman dan langganan ojek yang banyak di sana. Adiknya menyodorkan uang kiriman keponakannya kepada perempuan itu. Dia menyampaikan pesan keponakannya agar uang tersebut digunakan sebagai modal usaha atau membeli ladang. Perempuan itu menerima uang kiriman anaknya sambil meneteskan air mata. Dia menerima dengan perasaan haru bercampur sedih karena anaknya tidak ikut pulang bersama dengan pamannya.
“Keadaan keponakanmu di sana bagaimana?” tanya perempuan itu.
“Dia baik-baik saja, Mbak Yu,” jawab adik lelakinya.
Setelah mendengar jawaban dari adiknya, perempuan itu berpamitan pulang.
Di rumah, perempuan yang memendam rasa rindu kepada anaknya tertunduk lesu. Dia duduk di dekat jendela sambil membayangkan anaknya datang dari Papua. Dia menangis sambil melihat batang pepaya menjulang di pinggir rumahnya. Dia tidak bisa tersenyum walau tanaman pepayanya menyangga beberapa buah yang sudah tua. Air matanya malah mengalir deras saat melihat buah pepayanya yang berwarna merah merona. Dia ingat bahwa anak lelakinya suka sekali dengan pepaya. Perempuan yang bertubuh kurus karena digerogoti rasa rindunya kepada anak lelakinya tak kuasa menahan tangis. Dia pun berdiri meninggalkan kursi di dekat jendelanya agar perasaan kangen kepada anaknya tidak semakin menjadi-jadi. Dia berjalan gontai membelah cahaya matahari senja menuju kamar mandi.
Malam datang. Perempuan itu merasa tubuhnya lebih segar karena usai mandi lalu memakan ubi hasil berkebunnya untuk mengganjal perutnya. Lampu berkepasaitas 10 w yang tegantung di ruang depan remang menyala. Wajah sedih perempuan itu samar tak terlihat. Ia berusaha bisa tabah menjalani hidup seorang diri dengan beban rindu yang melandanya kini.
Detak jarum jam terdengar semakin tajam. Hentakannya menyeret waktu sampai larut malam. Rasa kantuk perempuan tersebut tergoda oleh perasaan rindu kepada anak lelakinya. Dia tidak jadi membaringkan tubuh kurusnya di dipan kamar. Dia keluar kamar menuju kursi di dekat jendela rumahnya.
Perempuan yang telah menjanda selama tiga tahun itu dengan perlahan membuka kedua daun jendela rumahnya. Dia melihat bulan purnama bersinar terang ditemani jutaan bintang. Dia iri kepada bulan karena sang bulan bisa bergurau bersama bintang-bintang yang mengelilinginya. Sementara dirinya setiap hari harus hidup sendiri tidak ada yang menemani. Perempuan itu melambaikan tangan kepada bulan. Dia mengundang bulan datang ke rumahnya bersama anak lelakinya. Dia ingin melihat anaknya datang bersama cahaya sang dewi malam yang menembus lobang dinding rumahnya yang terbuat dari bambu. Namun, lagi-lagi itu hanya hayalan semu yang tak mungkin terjadi.
Malam purnama berikutnya, perempuan itu membuka jendela rumahnya lagi. Dia berharap sang bulan datang dengan membawa anak lelakinya. Mata perempuan itu menatap bulan dengan kerdipan layu. Ternyata bulan itu  bergantung sendirian dengan tenang di atas langit. Dia tidak mengantarkan anak lelakinya pulang. Rasa sedih semakin menusuk hati perempuan itu karena bulan kini malah menyelinap di balik gumpalan awan yang datang. Cahayanya meremang semakin lama semakin meredup. Malam akhirnya benar-benar menunjukkan jati dirinya yang hitam pekat tak ada setitik warna putih di sekujur tubuhnya.
Perempuan itu semakin menderita karena kerinduan kepada anak lelakinya tak mungkin terobati. Ratap sedih kerinduannya  selama ini terasa percuma saja sebab anak lelakinya tidak akan pulang dan berkumpul lagi dengannya untuk selama-lamanya. Jadi, kabar yang disampaikan oleh adiknya waktu itu ternyata hanya kabar bohong untuk menghibur perempuan itu agar tidak terus-menerus menyedihkan anaknya. Anak lelaki yang dirindukan perempuan itu sebenarnya sudah mati karena dadanya ditembus tiga butir timah panas dari penembak misterius. Ia ditemukan warga tergeletak bersimbah darah bersama motornya di tengah jalan kemudian dikubur di tanah Papua sana.
Perempuan itu menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata karena menahan kerinduan semu kepada anak lelakinya yang telah tiada. Dia hanya berharap kepada angin dan rembulan di waktu malam agar memberi kabar kepadanya jika anak lelakinya akan datang. Dia akan menyiapkan ubi-ubian dari hasil berkebun di ladang pembelian anak lelakinya. (*)
Lamongan, Juli 2012






RIWAYAT KEPENULISAN
Karya-karya sastranya baik berupa puisi maupun cerpen pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), Tabloid Ma’arif Lamongan, majalah MPA (Depag Jatim), Radar Bojonegoro dan Kompas.com. Beberapa puisinya  terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama antara lain Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011). Buku kumpulan cerita pendeknya Telaga Lanang akan segera terbit.