Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 28 November 2022

Butiran Tasbih Cinta, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 20 November 2022

 



Butiran Tasbih Cinta

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Kenang-kenangan tak ubahnya prasasti kejadian berharga dan berkesan dalam kehidupan. Tak ayal, kenangan-kenangan akan dijadikan sebagai tanda untuk mengukir peristiwa yang sangat bernilai dan memiliki citra kesakralan. Bahkan, kenang-kenangan tidak akan dibiarkan lenyap dari perjalanan hidup seseorang. Kenang-kenangan selalu dirawat dan diabadikan sepanjang hayat sampai kiamat.

Butiran tasbih kugenggam erat. Butiran-butiran kecil itu tidak akan kubiarkan lepas dari hidupku. Meskipun butiran tasbih hanya terbuat dari kayu, akan tetapi memiliki makna yang sangat berarti dalam hidupku. Ke mana pun aku berada, butiran tasbih selalu ikut bersamaku. Dari pagi hingga pagi lagi, benda kenang-kenangan pemberian dari Imelda dan Laila telah menjadi senyawa dengan diriku.

Baru satu bulan aku berkenalan dengan Imelda dan Laila. Di sebuah kantor lembaga bimbel dua gadis itu datang dalam hidupku. Mereka memperkenalkan diri padaku. Mereka mahasiswa yang sedang terlilit kesulitan materi salah satu mata kuliah. Dua gadis ini terang-terangan bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut. Mereka datang ke lembaga bimbel tempat aku bekerja. 

Kedua mahasiswa ini ternyata sangat supel. Mereka mudah akrab. Mereka secara gamblang menjelaskan inti dari permasalahan yang dihadapi. Kebetulan mata kuliah tersebut menjadi bidang keahlianku. Aku pun menjelaskan secara rinci materi sulit yang kini mereka hadapi.

Semula mereka benar-benar tidak mampu. Ini terlihat dari daya tangkap mereka yang menurut ilmu evaluasi pembelajaran di bawah rata-rata. Mereka serius memperhatikan penjelasanku. Mereka antusias mengikuti tahap demi tahap matari yang kusampaikan sampai berakhir.

Bermula dari sinilah sepertinya dua gadis itu terkesan padaku. Mereka mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda telah paham. Aku bisa melihat dari gestur kedua gadis ini memahami materi yang kusampaikan. Dari raut mukanya terlihat tidak setegang sebelumnya. Mereka pun bisa tersenyum lepas tanpa ditahan oleh masalah yang sempat membelenggungnya.

Imelda dan Laila berpamitan lantaran waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh. Waktu yang lama, namun terasa singkat bagiku dan bagi mereka. Hal ini tidak terlepas dari suasana bimbingan yang istimewa bagi kami.

”Hati-hati di perjalanan, ya!” pesanku pada dua gadis ini.

”Terima kasih, Master,” sahutnya dengan senyum lepas.

”Sama-sama,” pungkasku.

Pertemuan singkat antara aku dan kedua mahasiswa ini tenyata meninggalkan kesan mendalam. Ketika kami tidak lagi bersama-sama, seperti ada yang hilang dalam hidup. Kami saling merindukan suasana bimbel seperti ketika itu. Kami saling  berkirim kabar sambil melontarkan beberapa pertanyaan yang sebenarnya hanya sebagai lipstick belaka. Kami juga berlomba-lomba membuat jawaban sekenanya karena ini sifatnya hanya sebagai pengobat rindu.

”Master, adakah waktu luang buat kami?” tanya Imelda melalui telepon genggamnya.

”Memangnya ada apa kok menanyakan waktu luang? Untuk kalian tidak ada waktu sibuk. Semua waktu akan kuluangkan buat kalian,” jawabku bergurau.

”Master mulai menggombal, ya?” godanya.

”Serius ini. bahkan, duarius,” selorohku.

”Besok sore kita bertemu di kafe depan tempat bimbel,” ujarnya.

”Siap!” jawabku singkat.

Aku menghela napas pannjang. Bayang-bayang wajah mereka seakan selalu hadir dalam kesibukanku. Senyum mereka mencair dalam situasi apa pun. Sampai-sampai ketika aku dirundung kepenatan, solusinya hanyalah menelepon salah satu dari mereka. Seketika kepenatan itu meleleh dan mencair dalam celotehan.

Sore ketika langit diliput mendung tipis, aku berangkat menepati janji dengan mereka. Tanpa beban aku menuju kafe tempat yang telah kami sepakati. Aku melihat kedua gadis itu sudah duduk di sudut kafe dan telah menikmati menu yang disajikan pelayan kafe. Kafe yang setiap hari tidak pernah sepi ini mempertemukan aku dengan mereka.

”Master, selamat datang,” sambut mereka dengan bibir merekah.

”Terima kasih,” balasku.

Kedua gadis yang bersetatus sebagai mahasiswa ini memanggil pelayan kafe. Pelayan tersebut menyodorkan daftar menu ke kami. Aku memesan menu sederhana. Kentang goreng dan es teh.

”Master, tak salah dengan menu pesanan ini?” tanya Imelda dengan sedikit kaget.

”Tidak. Menu ini kesukaanku,” jawabku.

”Jauh-jauh dari rumah sampai sini hanya pesan kentang goreng dan es teh. Ini kafe Master,” kelakarnya.

Ah, ini sudah pantas dan istimewa buatku,” pungkasku.

Sudut kafe menjadi tempat favorit bagi kedua gadis itu. mereka memilih ruang bagian sudut dengan alasan tidak terganggu oleh lalu-lalang pengunjung dan pelayan. Memang benar di area tersebut kami bisa bercanda sambil menikmati menu yang ada di atas meja.

”Master, besok kami pamit. Paket bimbel kami sudah habis. Kami akan kembali ke kampus. Kami berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan dengan pembimbing hebat dan baik hati seperti Master. Kami mengucapkan terima kasih karena materi-materi yang telah Master sampaikan dapat menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi selama ini,”  ujar Laila yang kali ini menjadi juru bicaranya.

”Sama-sama. Saya juga senang dapat belajar bersama mahasiswa-mahasiswa pintar seperti kalian,” kataku.

”Nyindir, nih ye,” sahut Imelda.

”Sugguh. Aku tidak menyindir kalian. Kalian benar-benar mahasiswa yang luar biasa. Kalian punya semangat tinggi dalam belajar,” jelasku.

”Terima kasih Master yang baik hati,” kata mereka bersamaan.

Hampir satu jam kami berada di kafe. Matahari telah pamit dan meninggalkan cahaya merah jingga di langit. Aku pamit pada mereka lantaran punya jadwal bimbel malam hari.

”Master, tunggu!”serunya.

Aku menghentikan langkah. Kedua mahasiswa itu mendekat. Mereka memberikan bingkisan kepadaku.

”Apa ini? Tidak usah repot-repot,” kataku.

”Tidak ada yang merepotkan kami, Master. Hanya sekadar kenang-kenangan saja. Semoga Master berkenan menerimanya,” ungkapnya.

”Baiklah. Terima kasih, ya,”  pungkasku sambil meninggalkan mereka berdua yang masih mematung menatap kepergianku.

Ada kekuatan dari bingkisan yang kugenggam. Sepanjang jalan dari kafe sampai tempat bimbel tanganku terasa gemetar. Hatiku juga deg-degan. Rasa penasaran pada isi bingkisan memorakporandakan pikiranku. Sampai-sampai saat dalam perjalanan menuju tempat bimbel tadi, motor yang kukendarai hampir menyenggol tukang becak yang main potong jalan.

Sambil menuggu peserta bimbel, aku duduk di ruang sepi sambil membuka isi bingkisan itu. Kukupas kertas pembungkusnya dengan perlahan agar tidak menimbukan suara yang mengundang kecurigaan orang-orang di tempat bimbingan belajar ini. Kedua anak didik di bimbel ini mungkin sengaja menggodaku atau menguji kesabaranku lantaran kertas pembungkus bingkisan ini berlapis-lapis. Semoga ini adalah lapis terakhir atau yang kelima tersebab pembungkus ini ada tulisan semoga bermanfaat buat Master.

Aku membuka kardus mini yang dibungkus kertas berlapis lima. Ternyata bingkisan ini berupa untaian butiran tasbih dari bahan baku kayu jati yang dipermak dengan sangat indah. Ibu jari dan jari tengah membantu jari tulunjukku mengeluarkan tasbih tersebut. Kuangkat dan kupandang dengan tatapan mata lahir dan batin. Tasbih itu berkilau serta memunculkan makna tersirat sangat dalam. Makna ini dikuatkan oleh tulisan tasbih cinta di secarik kertas yang dijadikan alas benda istimewa itu dalam kardus mini.

Makna dibalik tasbih tersebut kuurai dengan kedalaman jiwa. Benda ini sebagai perantara pesan yang disampaikan oleh Imelda dan Laila kepadaku. Benda sakral yang biasa diputar orang-orang saleh saat berzikir dan bermunajat kepada Allah ini menyentuh lubuk kalbuku yang paling dalam. Aku digugah dan disadarkan oleh mereka agar mendekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Aku diingatkan mereka melalui tasbih ini agar lebih giat beribadah kepada-Nya dan banyak pesan yang terkandung dalam butiran tasbih cinta ini.

Tabih cinta kepada Allah, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada makhluk lain kugenggam erat ke mana dan di mana pun aku berada. Tasbih ini kuanggap sebagai penggugah kesadaran diri sebagai hamba agar semakin ingat dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam kesibukan sehari-hari sebagai mentor di tempat bimbel, ada nilai ibadah dalam setiap gerak dan desah napasku. Kekuatan niat dalam hati serta keikhlasan dalam beraktivitas telah memancarkan kemurnian cahaya. Cahaya penerang jalan kehidupanku menuju rida Tuhan. (*)

 

Wanar, 11 November 2022