Butiran Tasbih Cinta
Cerpen karya Ahmad Zaini
Kenang-kenangan tak ubahnya prasasti kejadian berharga
dan berkesan dalam kehidupan. Tak ayal, kenangan-kenangan akan dijadikan
sebagai tanda untuk mengukir peristiwa yang sangat bernilai dan memiliki citra
kesakralan. Bahkan, kenang-kenangan tidak akan dibiarkan lenyap dari perjalanan
hidup seseorang. Kenang-kenangan selalu dirawat dan diabadikan sepanjang hayat
sampai kiamat.
Butiran tasbih kugenggam erat. Butiran-butiran kecil itu
tidak akan kubiarkan lepas dari hidupku. Meskipun butiran tasbih hanya terbuat
dari kayu, akan tetapi memiliki makna yang sangat berarti dalam hidupku. Ke
mana pun aku berada, butiran tasbih selalu ikut bersamaku. Dari pagi hingga
pagi lagi, benda kenang-kenangan pemberian dari Imelda dan Laila telah menjadi
senyawa dengan diriku.
Baru satu bulan aku berkenalan dengan Imelda dan Laila.
Di sebuah kantor lembaga bimbel dua gadis itu datang dalam hidupku. Mereka
memperkenalkan diri padaku. Mereka mahasiswa yang sedang terlilit kesulitan
materi salah satu mata kuliah. Dua gadis ini terang-terangan bahwa mereka tidak
mampu menyelesaikan masalah tersebut. Mereka datang ke lembaga bimbel tempat
aku bekerja.
Kedua mahasiswa ini ternyata sangat supel. Mereka mudah
akrab. Mereka secara gamblang menjelaskan inti dari permasalahan yang
dihadapi. Kebetulan mata kuliah tersebut menjadi bidang keahlianku. Aku pun
menjelaskan secara rinci materi sulit yang kini mereka hadapi.
Semula mereka benar-benar tidak mampu. Ini terlihat dari
daya tangkap mereka yang menurut ilmu evaluasi pembelajaran di bawah rata-rata.
Mereka serius memperhatikan penjelasanku. Mereka antusias mengikuti tahap demi
tahap matari yang kusampaikan sampai berakhir.
Bermula dari sinilah sepertinya dua gadis itu terkesan
padaku. Mereka mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda telah paham. Aku bisa
melihat dari gestur kedua gadis ini memahami materi yang kusampaikan. Dari raut
mukanya terlihat tidak setegang sebelumnya. Mereka pun bisa tersenyum lepas
tanpa ditahan oleh masalah yang sempat membelenggungnya.
Imelda dan Laila berpamitan lantaran waktu sudah
menunjukkan pukul dua puluh. Waktu yang lama, namun terasa singkat bagiku dan
bagi mereka. Hal ini tidak terlepas dari suasana bimbingan yang istimewa bagi
kami.
”Hati-hati di perjalanan, ya!” pesanku pada dua gadis
ini.
”Terima kasih, Master,” sahutnya dengan senyum lepas.
”Sama-sama,” pungkasku.
Pertemuan singkat antara aku dan kedua mahasiswa ini
tenyata meninggalkan kesan mendalam. Ketika kami tidak lagi bersama-sama,
seperti ada yang hilang dalam hidup. Kami saling merindukan suasana bimbel
seperti ketika itu. Kami saling berkirim
kabar sambil melontarkan beberapa pertanyaan yang sebenarnya hanya sebagai lipstick
belaka. Kami juga berlomba-lomba membuat jawaban sekenanya karena ini sifatnya
hanya sebagai pengobat rindu.
”Master, adakah waktu luang buat kami?” tanya Imelda
melalui telepon genggamnya.
”Memangnya ada apa kok menanyakan waktu luang?
Untuk kalian tidak ada waktu sibuk. Semua waktu akan kuluangkan buat kalian,”
jawabku bergurau.
”Master mulai menggombal, ya?” godanya.
”Serius ini. bahkan, duarius,” selorohku.
”Besok sore kita bertemu di kafe depan tempat bimbel,”
ujarnya.
”Siap!” jawabku singkat.
Aku menghela napas pannjang. Bayang-bayang wajah mereka
seakan selalu hadir dalam kesibukanku. Senyum mereka mencair dalam situasi apa
pun. Sampai-sampai ketika aku dirundung kepenatan, solusinya hanyalah menelepon
salah satu dari mereka. Seketika kepenatan itu meleleh dan mencair dalam
celotehan.
Sore ketika langit diliput mendung tipis, aku berangkat
menepati janji dengan mereka. Tanpa beban aku menuju kafe tempat yang telah
kami sepakati. Aku melihat kedua gadis itu sudah duduk di sudut kafe dan telah
menikmati menu yang disajikan pelayan kafe. Kafe yang setiap hari tidak pernah
sepi ini mempertemukan aku dengan mereka.
”Master, selamat datang,” sambut mereka dengan bibir
merekah.
”Terima kasih,” balasku.
Kedua gadis yang bersetatus sebagai mahasiswa ini
memanggil pelayan kafe. Pelayan tersebut menyodorkan daftar menu ke kami. Aku memesan
menu sederhana. Kentang goreng dan es teh.
”Master, tak salah dengan menu pesanan ini?” tanya Imelda
dengan sedikit kaget.
”Tidak. Menu ini kesukaanku,” jawabku.
”Jauh-jauh dari rumah sampai sini hanya pesan kentang
goreng dan es teh. Ini kafe Master,” kelakarnya.
”Ah, ini sudah pantas dan istimewa buatku,”
pungkasku.
Sudut kafe menjadi tempat favorit bagi kedua gadis itu.
mereka memilih ruang bagian sudut dengan alasan tidak terganggu oleh
lalu-lalang pengunjung dan pelayan. Memang benar di area tersebut kami bisa
bercanda sambil menikmati menu yang ada di atas meja.
”Master, besok kami pamit. Paket bimbel kami sudah habis.
Kami akan kembali ke kampus. Kami berterima kasih kepada Tuhan karena telah
mempertemukan dengan pembimbing hebat dan baik hati seperti Master. Kami
mengucapkan terima kasih karena materi-materi yang telah Master sampaikan dapat
menyelesaikan masalah yang sedang kami hadapi selama ini,” ujar Laila yang kali ini menjadi juru
bicaranya.
”Sama-sama. Saya juga senang dapat belajar bersama
mahasiswa-mahasiswa pintar seperti kalian,” kataku.
”Nyindir,
nih ye,” sahut Imelda.
”Sugguh.
Aku tidak menyindir kalian. Kalian benar-benar
mahasiswa yang luar biasa. Kalian punya semangat tinggi dalam belajar,”
jelasku.
”Terima kasih Master yang baik hati,” kata mereka
bersamaan.
Hampir satu jam kami berada di kafe. Matahari telah pamit
dan meninggalkan cahaya merah jingga di langit. Aku pamit pada mereka lantaran
punya jadwal bimbel malam hari.
”Master, tunggu!”serunya.
Aku menghentikan langkah. Kedua mahasiswa itu mendekat.
Mereka memberikan bingkisan kepadaku.
”Apa ini? Tidak usah repot-repot,” kataku.
”Tidak ada yang merepotkan kami, Master. Hanya sekadar
kenang-kenangan saja. Semoga Master berkenan menerimanya,” ungkapnya.
”Baiklah. Terima kasih, ya,” pungkasku sambil meninggalkan mereka berdua
yang masih mematung menatap kepergianku.
Ada kekuatan dari bingkisan yang kugenggam. Sepanjang
jalan dari kafe sampai tempat bimbel tanganku terasa gemetar. Hatiku juga deg-degan.
Rasa penasaran pada isi bingkisan memorakporandakan pikiranku. Sampai-sampai
saat dalam perjalanan menuju tempat bimbel tadi, motor yang kukendarai hampir
menyenggol tukang becak yang main potong jalan.
Sambil menuggu peserta bimbel, aku duduk di ruang sepi
sambil membuka isi bingkisan itu. Kukupas kertas pembungkusnya dengan perlahan
agar tidak menimbukan suara yang mengundang kecurigaan orang-orang di tempat bimbingan
belajar ini. Kedua anak didik di bimbel ini mungkin sengaja menggodaku atau
menguji kesabaranku lantaran kertas pembungkus bingkisan ini berlapis-lapis.
Semoga ini adalah lapis terakhir atau yang kelima tersebab pembungkus ini ada
tulisan semoga bermanfaat buat Master.
Aku membuka kardus mini yang dibungkus kertas berlapis
lima. Ternyata bingkisan ini berupa untaian butiran tasbih dari bahan baku kayu
jati yang dipermak dengan sangat indah. Ibu jari dan jari tengah membantu jari
tulunjukku mengeluarkan tasbih tersebut. Kuangkat dan kupandang dengan tatapan
mata lahir dan batin. Tasbih itu berkilau serta memunculkan makna tersirat
sangat dalam. Makna ini dikuatkan oleh tulisan tasbih cinta di secarik
kertas yang dijadikan alas benda istimewa itu dalam kardus mini.
Makna dibalik tasbih tersebut kuurai dengan kedalaman
jiwa. Benda ini sebagai perantara pesan yang disampaikan oleh Imelda dan Laila
kepadaku. Benda sakral yang biasa diputar orang-orang saleh saat berzikir dan
bermunajat kepada Allah ini menyentuh lubuk kalbuku yang paling dalam. Aku
digugah dan disadarkan oleh mereka agar mendekat kepada Tuhan Yang Maha
Pencipta. Aku diingatkan mereka melalui tasbih ini agar lebih giat beribadah
kepada-Nya dan banyak pesan yang terkandung dalam butiran tasbih cinta ini.
Tabih cinta kepada Allah, cinta kepada sesama manusia,
cinta kepada makhluk lain kugenggam erat ke mana dan di mana pun aku berada.
Tasbih ini kuanggap sebagai penggugah kesadaran diri sebagai hamba agar semakin
ingat dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam kesibukan sehari-hari
sebagai mentor di tempat bimbel, ada nilai ibadah dalam setiap gerak dan desah
napasku. Kekuatan niat dalam hati serta keikhlasan dalam beraktivitas telah
memancarkan kemurnian cahaya. Cahaya penerang jalan kehidupanku menuju rida
Tuhan. (*)
Wanar, 11 November 2022