Pertemuan Para Botoh
Cerpen karya Ahmad Zaini
Ketakutan itu hingga kini masih ada dalam diriku. Rasanya
bagai karat yang sulit dilepas dari batang besi. Ketakutan tersebut masih ada
meskipun sekarang aku sudah dewasa dan beranak pinak. Peristiwa itu selalu terbayang
setiap aku akan membuat keputusan. Rasa takut itu bahkan menjadi cap
kepribadianku. Menjadi alasan orang-orang menyebutku sebagai penakut. Bahkan,
cap sebagai pengecut.
”Pak, ditunggu bapak-bapak yang sudah datang,” ujar Fauzi
yang membangunkanku saat aku hendak merebahkan tubuh sambil menonton televisi.
”Ditunggu di mana dan dalam rangka apa?” tanyaku
penasaran.
”Di rumah Pak Nasrun. Diajak ngomong-ngomong
masalah pilkades,” pungkasnya. Gemetar tubuhku setelah mendengar kata terakhir
Fauzi. Kata pilkades itu yang membuatku hingga saat ini selalu dihantui rasa
takut.
”Kamu duluan, nanti aku menyusul.”
”Tidak. Saya disuruh mengawalmu,” tolaknya.
Rupanya orang-orang tahu dan sudah bisa menebak
gelagatku. Mereka khawatir aku tidak akan datang dalam pertemuan tersebut.
Sedikit banyak mereka sudah paham bahwa aku sejak dulu tidak mau masuk dan
bersentuhan dengan pilihan kepala desa. Meski aku sudah puluhan tahun tinggal
di desa ini, namun hingga kini aku tidak pernah melibatkan diri dalam
dukung-mendukung calon kepala desa. Risikonya besar. Rawan fitnah yang bisa menimbulkan
gesekan-gesekan sosial.
Aku mengenakan baju yang sudah kugantung di balik pintu.
Aku mengikuti Fauzi yang berjalan lebih dulu. Dia rupanya mendapat tugas khusus
untuk mengawalku sampai di rumah Pak Nasrun.
”Mari, Pak!” ajak Fauzi yang sudah nangkring di
atas motornya.
”Hati-hati mengendarai motor. Kau saat ini sedang
membonceng penakut,” aku menggoda Fauzi dengan sebutan diriku yang pernah
kudengar dari salah satu teman dekatnya.
”Beda, Pak. Masak dibonceng motor takut. Biasanya Bapak
juga mengendarai motor sendiri,” bantahnya bernada santai.
”Benar, Zi. Sekarang saya sedang ketakutan. Takut
terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam pertemuan itu,” jelasku.
Fauzi diam. Rupanya dia tidak mau memperpanjang
pembicaraan tentang ketakutan itu. Dia rupanya sudah paham dengan karakterku
sebagai penakut.
Di depan rumah Pak Nasrun terlihat puluhan motor berjajar
rapi. Rupa-rupanya sudah banyak yang datang. Dari beberapa motor yang berjajar
itu, sebagian aku sudah paham pemiliknya. Mereka adalah para tokoh desa yang
sudah tidak diragukan lagi kiprahnya dalam memajukan dan memberdayakan
masyarakat desa. Mereka menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Termasuk
dalam pilkades.
Aku jadi sungkan. Langkahku berat ketika hendak
melewati pintu rumah Pak Nasrun. Aku melihat ada Haji Salim, Haji Sunar, dan
Haji Misbah sudah duduk berwibawa di depan warga. Mereka adalah tokoh paling
berpengaruh di desa ini. Mereka, para tokoh sudah datang lebih awal, rupanya
sudah siap tempur di ’medan perang’ pilihan kepala desa. Sedangkan aku sebagai
penakut dan bukan siapa-siapa dalam masyarakat ini, datang terlambat. Itu pun
karena disusul oleh Fauzi yang katanya diutus para tokoh itu untuk menjemputku.
”Lupa, Pak?” tanya Haji Sunar kepadaku. Aku menjawab
dengan senyuman saja.
Haji Misbah memanggilku dengan melambaikan tangan. Dia
memintaku duduk di sebelahnya. Aku menolaknya karena lebih senang duduk di
dekat pintu keluar. Aku tahu diri karena aku datang paling akhir. Tak pantaslah
aku duduk bersanding dengan para tokoh di depan. Karena Haji Misbah terus-menerus
manggilku dengan suara kharismatiknya, aku akhirnya menurut juga.
Haji Misbah menepuk-nepuk pundakku setelah berjabat
tangan denganku. Dia membisikiku perihal rencana ke depan dalam pilkades. Aku
hanya mengangguk-angguk saja pura-pura paham dan biar terkesan sejalan
dengannya. Padahal, dalam hati kecilku sedikit pun aku tak tertarik sama sekali
dengan pertemuan membahas pilkades ini.
Aku diam seperti anak ayam yang bersembunyi di bawah
ketiak induknya. Aku hanya mendengar dan mengikuti sebagian arah pembicaraan
mereka. Nyaliku semakin ciut saat mendengar usulan-usulan terkait strategi
pemenangan yang akan mereka terapkan. Bahkan, ada yang berpendapat lebih
ekstrem dengan nada memaksa. Katanya warga kampung ini harus dipaksa memilih
calon yang disepakati dalam pertemuan ini. Bila tidak menurut, ia harus diusir
dari desa ini.
Aku teringat peristiwa yang pernah dialami ayahku ketika
aku masih anak-anak. Peristiwa yang membuat diriku trauma hingga saat ini. Pada
suatu malam, datang tiga orang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal. Lengan
bahunya seperti binaragawan yang berotot dan bertenaga. Mereka menggedor-gedor
rumahku. Ayahku bangun untuk membukakan pintu buat orang-orang yang kurang ajar
dan tidak tahu sopan santun. Masak bertamu tengah malam sambil menggedor-gedor
pintu rumah orang lain. Tak pantaslah itu dilakukan. Mestinya bertamu itu
melihat waktu. Paling tidak diperkirakan orang yang akan ditemui itu sudah
tidur atau belum. Bukannya malam-malam begini.
”Kalian? Ada apa tengah malam begini datang dengan
menggedor-gedor rumahku?” tanya ayahku dengan agak jengkel. Aku mendengarnya
dari dalam kamar bersama ibuku.
”Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu semestinya sudah bisa
menebak alasan kenapa aku membangunkanmu tengah malam begini,” sahut suara tamu
ini dengan kasar.
Aku ketakutan saat itu. Aku menyumbat telingaku dengan
jari telunjukku. Namun, suara bentakan-bentakan itu masih menembus gendang
telingaku. Orang-orang itu berbicara kasar terhadap ayahku.
”Kamu yang sudah menyebarkan fitnah di dusun sebelah
tentang Darmo. Para warga dusun itu sekarang anti-Darmo. Padahal, sebelumnya
mereka sudah terkondisikan akan memilih Darmo pada coblosan lusa. Kamu
harus bertanggung jawab dengan meralat fitnah yang telah kau sebar di dusun
tersebut. Kau wajib meluruskannya lagi,” gertak orang-orang kasar pada ayahku.
”Ini salah paham. Kalian salah orang. Aku tidak pernah
memfitnah Darmo. Dia itu masih keluargaku. Masak aku tega memfitnahnya,” sergah
ayahku dengan suara sedikit parau.
”Jangan mengelak. Banyak saksinya. Tadi pagi kamu datang
ke dusun tersebut. Kamu masuk-keluar dari rumah yang satu ke rumah yang lain.
Kau telah meracuni pikiran warga dusun itu agar tidak memilih Darmo. Besok pagi
kalau warga dusun itu masih anti-Darmo, kau akan tahu akibatnya,” ancamnya
dengan diikuti suara gebrakan meja.
”Tapi, apa yang harus aku luruskan? Saya tidak mengerti
tentang fitnah ini,” kata ayahku meminta pengertian dari mereka.
”Aku tidak mau tahu. Yang penting besok pagi semua harus
sudah beres,” pungkasnya congkak. Kemudian mereka keluar rumah dengan
meniggalkan suara gedoran pintu.
Sekeji itu fitnah dalam pilkades. Berbagai cara dilakukan
oleh para botoh--sebutan buat tim sukses calon kades—untuk meraih
kemenangan. Mereka menanggalkan sopan-santun. Mereka beringas tak beradab.
Dalam batok kepala mereka hanyalah kemenangan jagonya dalam pilkades.
”Bagaimana Pak Sobirin?” pertanyaan Haji Misbah
membuyarkan rekaman peristiwa yang sedang tayang dalam memoriku.
”Eh, bagaimana apanya?” tanyaku kebingungan karena
tidak tahu apa yang mereka tanyakan.
”Pak Sobirin didaulat teman-teman sebagai ketua para
botoh dari calon kades kita,” kata Haji Misbah menjelaskanku.
”Maaf, saya tidak bersedia. Saya tidak bersedia,” jawabku
dengan keringat dingin yang bercucuran dari pori-pori keningku.
”Kenapa, Pak? Pak Sobirin mampu melakukan itu karena
punya pengaruh di masyarakat ini. Pak Sobirin merupakan sosok yang ditokohkan
oleh berbagai kalangan di desa ini. Jadi, kami mohon agar Pak Sobirin bersedia
sebagai ketua para botoh calon kita!”
”Sekali lagi saya mohon maaf kapada Bapak-Bapak. Saya
tidak bersedia,” jawabku perihal ketidakbersediaanku kepada usulan mereka.
”Alasannya apa?”
”Saya punya alasan yang tidak mungkin kusampaikan dalam
pertemuan ini.” kataku dengan nada datar. Aku tidak mau menyampaikan alasan
penolakan sebagai botoh karena trauma pada peristiwa yang pernah dialami oleh
ayahku dulu.
Orang-orang dalam pertemuan itu diam. Mereka seperti
heran melihat sikapku yang menolak dijadikan botoh dalam pilkades. Mereka
saling berbisik. Mereka membincangkan diriku yang mungkin bagi mereka aku
dianggap sebagai penakut, bahkan pengecut. Tapi, aku punya alasan tersendiri.
Aku tidak mau membuat fitnah dan menjadi sumber fitnah. Aku takut fitnah.
Haji Misbah menghargai sikapku. Dia tidak memaksaku lagi
meski dengan perasaan kecewa pada keputusanku. Sedangkan, orang-orang yang
datang dalam pertemuan itu saling berebut menjadi ketua para botoh. Mereka
mengunggul-unggulkan dirinya sendiri sambil meremehkan yang lain.
Agar tetap solid dan tidak terjadi perpecahan dalam
koalisi para botoh, akhirnya dalam pertemuan para botoh itu mereka bersepakat
tidak mengangkat ketua. Semua yang datang dalam pertemuan itu dianggap sebagai
botoh. Mereka memunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memenangkan calon
kadesnya. Kecuali, aku. (*)
Lamongan, Mei 2019
*Penulis aktif berkegiatan di Komunitas Sastra
dan Teater Lamongan (Kostela) dan Forum Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Ia
juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Tadarus
Hujan (Februari, 2019).
BIODATA PENULIS
Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik
berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain
Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, koran harian Duta
Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif
Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), Majalah Wanita UMMI
Jakarta, dan majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur).
Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di
antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa
Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu
(Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011), Pengembaraan
Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta
Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia
Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan
Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah
Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni
Asnur, Depok, 2018), Antologi Puisi bersama 1000 guru se-Asean Guru tentang
Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), dan Ini
Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018).
Buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Telaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka
Ilalang, 2014), Titik Nol (Pustaka
Ilalang, 2015), serta novel perdananya Mahar
Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017), Tadarus Hujan (Pustaka
Ilalang, 2019). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan
Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa
(cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018.
Cerpen-cerpennya juga bisa dibaca dalam antologi cerpen
bersama penulis lain. Di antaranya A Moment
to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap
Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari
Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), , Bukit Kalam (DKL, 2015), Penitis
Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung), Surat untuk Calon Guru
(PPI Moroko, 2017), dan Bocah
Luar Pagar (2018). Aktivitas sehari-hari seabagai guru di SMKN 1 Lamongan. Saat
ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur dengan nomor HP/WA
085732613412.