Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 21 Agustus 2013

Perempuan Berkaca Mata Minus

Perempuan Berkaca Mata Minus
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Genangan air hujan masih membekas di kubangan tanah berpasir. Setiap sisi jalan menuju tempat pusat penanam mangrove masih terlihat becek. Butiran-butiran air masih ada yang tersisa menempel di daun-daun mangrove dan cemara udang.
Aku berhenti sejenak membersihkan butir-butir pasir yang menempel pada bagian bawah celana yang lupa tidak kulipat. Aku membungkukkan badan agar tanganku mampu mencapai pasir pantai yang melekat. Aku terkejut ketika di belakangku terdengar klakson truk pengangkut anak sekolah yang akan berkemah. Seketika itu aku berdiri tegak lalu menepi menghindari truk yang akan lewat.
Dari balik kaca pintu truk sebelah kiri aku melihat sesosok wajah wanita yang sepertinya tidak asing lagi bagiku. Kedua bola matanya yang berkaca mata minus tampak berbinar saat menatapku. Kemudian sesimpul senyum mengembang dari bibir yang berlipstick tipis. Ingatanku mengembara ke masa silam. Memori otakku berputar untuk menjelajahi file wajah wanita yang mungkin masih tersimpan.
Lama aku berdiri di pinggir jalan. Anganku melayang ke sana kemari. Aku sangat penasaran karena file wajah wanita itu belum juga kutemukan. Aku baru mengcancel lamunanku saat sepeda motor penjual bakso menyiramkan air keruh dari kubangan bekas roda truk ke arah badanku.
Woi!” teriakku pada pedagang bakso keliling yang tak peduli dengan tubuhku yang berlepotan air keruh.
Langkahku melompat-lompat. Aku berusaha menghindari lubang jalan yang menganga dan siap menjerumuskan kaki setiap pejalan yang lewat. Saat sampai di lokasi perkemahan, aku melihat lagi wanita berkacamata turun dari truk. Sebentar dia melihatku kemudian dia berjalan ke arah kaplingan lokasi tempat siswanya akan mendirikan tenda. Tubuh langsing yang berbalut seragam pramuka berlenggak-lenggok menyusuri jalan yang di kanan kirinya dipenuhi tanaman mangrove. Tas rangsel yang menggantung di pundaknya sedikit menghalangi gerakan lambaian lengan tangannya. Dia berhenti di sebuah tempat duduk yang terbuat dari beton. Lalu dia duduk sambil meletakkan tas rangsel yang mungkin berisi pakaian ganti atau bekal perkemahan yang lain di samping kanannya.
Saat aku hampir sampai di depan wanita yang duduk di bangku beton itu, tiba-tiba aku teringat bahwa tubuhku berlepotan noda lumpur. Dengan serta merta aku berhenti. Aku berbalik arah memilih jalan yang lain. Aku bergerak menuju bangunan MCK yang berderet di sebelah kanan jalan guna membersihkan noda air keruh yang masih menempel di baju dan celanaku. Satu gayung dua gayung air kuusapkan pada noda yang melakat di pakaianku. Noda-noda itu akhirnya lenyap dan hanya menyisakan bercak-bercak basah pada seragam pramukaku.
Aku berdiri di tengah hembusan angin kencang yang melesat dari pantai yang berjarak sepuluh meter dari tempatku. Aku sengaja berhenti di situ agar hembusan angin pantai di lokasi Pusat Pembibitan Tanaman Mangrove Jenu Tuban ini sedikit membantu mengeringkan bercak basah di seragam yang kukenakan. Sekitar dua menit aku terdiam seperti arca. Lalu kuraba bagian seragamku yang basah tadi sedikit sudah mengering. Aku melanjutkan perjalanan ke tenda utama tempat panitia menunggu daftar ulang peserta perkemahan.
Pendopo panitia berdiri anggun di tengah area pembibitan mangrove. Panitia berjajar melayani peserta perkemahan yang sedang melakukan daftar ulang. Baru saja aku menginjakkan kaki di pintu utama, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan detak jantungku seperti ini. Semakin dekat aku melangkah ke arah panitia, semakin kencang detak jantungku terasa.
“Silakan duduk, Bapak!” suara wanita yang duduk di sebelah kananku.
Saat aku melihat ke arah suara wanita tersebut, ternyata suara itu datang dari wanita berkacamata yang sejak tadi aku perhatikan. Dia dengan ramah mempersilakan diriku duduk di kursi plastik. Aku segera duduk walaupun dengan perasaan agak grogi.
Lagi-lagi pikirku melayang. Pikiranku berusaha mengingat siapa wanita berkaca mata minus yang sejatinya sudah tidak asing lagi bagiku. Peristiwa demi  peristiwa masa lalu coba kueja satu persatu. Mulai dari peristiwa yang kualami pada masa kanak-kanak, masa SD, SMP, SMA sampai pada masa ketika aku belajar di Perguruan Tinggi. Namun, wajah wanita berkaca mata minus itu sama sekali tidak tergores dalam ingatanku. Padahal menurut kata hatiku dia itu tidak begitu asing bagi saya.
“Maaf, Bapak dari sekolah mana?” tanya panitia kepadaku.
Aku tergeragap mendengar pertanyaan itu. Lamunanku buyar. Bayangan masa silam yang kuputar lenyap seketika. Wajah wanita berkaca mata minus itu lambat laun terbang dari ingatanku.
“O, iya. Saya dari SMA Mambaul Ulum Pucuk Lamongan,” jawabku singkat. Lelaki yang menjadi panitia itu sibuk mencatat semua keterangan yang kuberikan.
“Ini kuitansinya,” kata panitia sambil menyodorkan selebar kertas kuitansi berisi biaya pendaftaran yang harus kubayar.
Tangan kananku meraih dompet yang kutaruh di saku celana. Aku mengambil uang untuk melunasi biaya pendaftaran. Saat dompet akan kumasukkan lagi ke dalam celana, KTP-ku jatuh tepat di bawah wanita berkaca mata minus yang duduk di kursi sampingku. Segera dia mengambilkan KTP-ku lalu memberikannya lagi kepadaku.
“Terima kasih, Bu!” kataku kemudian dibalas dengan senyum yang merekah dari bibirnya yang dipoles lipstick tipis.
Wanita berkaca mata minus itu berdiri. Rupanya dia sudah merampungkan daftar ulang peserta peserta perkemahan. Dia berpamitan kepada panitia dan mengangguk pelan ke arahku. Aku pun membalasnya dengan anggukan penasaran kepada wanita berkaca mata minus itu. Sorot mataku terseret oleh gerakan wanita berkaca mata minus yang bergeser menjauh ke belakang. Kepalaku berpaling dari panitia mengikuti ke mana arah wanita berkaca mata minus itu berjalan.
“Ini Bapak uang kembaliannya.” Secepat kilat aku menarik otot-otot kepalaku ke arah panitia yang meyodorkan uang sepuluh ribu rupiah kepadaku.
Proses pendaftaran ulang selesai. Aku menerima kartu tanda pengenal peserta perkemahan sejumlah siswa yang kudaftarkan. Aku lantas berjalan menuju tempat siswa-siswaku yang sedang bergotong royong mendirikan tenda. Kartu tanda pengenal itu kemudian kubagikan kepada para siswaku satu persatu.
“Kak Ni dapat salam dari Kakak Saadah,” kata Mala, siswa putriku.
“Kakak Saadah siapa?” tanyaku penasaran.
“Orangnya manis, badannya tinggi semampai dan berkaca mata minus. Dia baru saja pergi ke sana,” kata Mala sambil menunjuk ke arah remaja-remaja putri yang juga sibuk mendirikan tenda.
Rasa penasaranku kepada wanita berkaca mata minus sedikit terkurangi. Paling tidak saya sudah bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar telah mengenalku. Tetapi, kenapa dia tidak langsung menyapaku? Atau dia sengaja bersikap seperti itu agar aku penasaran kepadanya?
Sehelai daun cemara udang luruh di kepalaku. Aku meraih daun itu lantas aku  mematahkan daun tersebut seukuran ruas-ruasnya. Potongan-potongan kecil daun cemara udang itu kugenggam erat lalu kehempaskan pada kolam kecil yang airnya sudah keruh dan berbau agak busuk.
“Bagaimana adik-adik tendanya?” tanyaku kepada siswaku.
“Siap, Kak!” jawab mereka dengan serentak.
“Sekarang kalian harus bersiap-siap mengikuti acara upacara pembukaan perkemahan dengan berpakaian pramuka lengkap!”
“Siap melaksanakan!” Mereka dengan cekatan melengkapi pakaiannya dengan atribut pramuka kemudian berjalan menuju ke lapangan upacara pembukaan perkemahan sesuai dengan isntruksi panitia yang disampaikan lewat pengeras suara.
***
Pada sebuah batu karang, aku melihat wanita berkaca mata minus duduk sendiri menikmati pemandangan  laut. Pandangannya menjelajah pada gulungan ombak yang berjalan ke arahnya lalu pecah berkeping-keping karena membentur batu karang yang didudukinya. Semilir angin sore menambah keanggunan wajah wanita berkaca mata minus yang dipadu dengan jilbab berwarna coklat tua.
Aku memberanikan diri mendakat ke arah wanita berkaca mata minus itu. Pada sebongkah batu karang yang kokoh di sampingnya aku berhenti lantas duduk. Aku mencoba mengawali pembicaraan dengan menyapanya lalu memancingnya dengan lukisan objek laut yang membahana.
Dia membalasnya dengan kata-kata indah tentang suasana laut biru di pantai Panyuran sepuluh tahun silam. Dengan lancar dan jelas bibir indahnya bercerita tentang gadis remaja yang hampir tertimpa dahan kelapa. Untung ada lelaki yang datang menyelamatkannya sampai kepalanya berdarah dan hampir pingsan.
Mendengar tuturannya yang runtut, perlahan-lahan ingatanku hampir saja pada titik temu.
“Kaukah gadis yang waktu itu aku tolong?” tanyaku untuk menegaskan agar tebakanku tidak keliru.
“Benar, Kak Ni. Akulah gadis pendamping peserta kemah siswa SD di Panyuran yang kau tolong waktu itu,” jawabnya dengan tenang.
“Masya Allah, kau sudah sedewasa ini dan sudah menjadi pembina pramuka pada tingkat SLTA! Aku bangga padamu,” kataku kagum kepadanya.
Wanita berkaca mata minus yang ternyata adalah gadis yang kutolong waktu itu kemudian turun dari batu karang tempat duduknya. Dia menjabat tanganku sebagai tanda perjumpaan setelah sekian tahun berpisah. Dia sudah dewasa dan anggun sekali. Dia kemudian mengajakku ke sebuah warung dadakan yang berdiri di bibir pantai. Dia memesankan diriku nasi jagung plus ikan laut serta teh hangat kesukaanku untuk merayakan pertemuanku dengannya dalam sebuah perkemahan di Mangrove Centre Jenu Tuban. (*)
Jenu, 25 Desember 2012

*adalah penulis buku kumpulan cerpen Telaga Lanang.
Beberapa karyanya dimuat di berbagai media massa



















Kamis, 01 Agustus 2013

Dominggus, Si Anak Perbatasan

Dominggus, Si Anak Perbatasan
Oleh Ahmad Zaini*

Senja telah menunggu perjalanan waktu. Sebentar lagi bedug maghrib akan bertalu. Matahari merah telah benar-benar dihinggapi rasa kantuk. Ia sebentar lagi akan pergi ke peraduan untuk beristirahat. Raja siang itu telah kelelahan karena seharian penuh dia menyinari alam.
Angin terasa dingin. Perlahan-lahan cahaya hari mulai remang. Aku dan Dominggus duduk di beranda rumah sambil menanti saat berbuka puasa. Nah, ketika terdengar suara bedug maghrib bertalu-talu, kami lantas masuk ke dalam rumah melaksanakan berbuka puasa.
Sebutir kurma kumakan sebagai ta’jil. Kemudian segelas teh manis kuteguk agar rasa dahaga yang kurasa selama seharian sirna. Dominggus hanya terdiam. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin saja apa yang kulakukan saat ini tidak pernah ia jumpai saat ia masih tinggal bersama keluarganya di Atambua. Seharian penuh mulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam, aku tidak memakan dan meminum apa-apa. Setelah ada bedug maghrib, aku baru melaksanakan makan dan minum. Dia belum mengerti kalau aku sedang melaksanakan puasa Ramadhan.
“Dominggus, silakan diminum susunya!” Aku mempersilakan Dominggus yang sejak tadi hanya duduk memperhatikanku.
“Terima kasih, Iwan!” sahutnya.
Dominggus berasal dari Atambua. Ia diajak oleh ayahku ke Lamongan. Menurut cerita ayah, Dominggus telah terpisah dengan ayahnya sejak Timor-Timur resmi lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil jajak pendapat itu telah memisahkan dirinya dan ayahnya.
Ayah Dominggus termasuk pejuang prokemerdekaan. Ayah Dominggus selalu berada di baris terdepan pada setiap aksi yang menuntut agar Timor Timur merdeka menjadi negara yang berdiri sendiri atau lepas dari NKRI. Nah, waktu itu pemerintah pusat memberikan opsi kepada warga Timor Timur dengan mengadakan jajak pendapat. Akhirnya, kelompok prokemerdekaanlah yang memenangkan jajak pendapat tersebut.
Timor Timur menjadi negara sendiri. Provinsi termuda Indonesia ini resmi menjadi sebuah negara. Namanya negara Timor Leste. Fransiscus, ayah Dominggus, menentukan sikap politiknya menjadi warga negara Timor Leste.  Oleh karena itu, ia harus pindah ke negara baru tersebut.
Dominggus dan dua adiknya bersikukuh tetap tinggal di Indonesia. Ia tidak ikut dengan jejak ayahnya yang lebih memimilih Timor Leste sebagai negaranya. Dominggus dan dua adiknya tinggal di pengungsian bersama warga Atambua yang lain.
Selama hampir lima tahun Dominggus bertahan di pengungsian. Kebutuhan hidupnya bergantung dari kiriman petugas dari Dinas Sosial. Awal-awal di pengungsian, para pengungsi mendapat pelayanan yang bagus. Akan tetapi, lama-kelamaan fasilitas dan kiriman bahan makanan dari petugas mulai menyendat. Kadang satu atau dua hari baru mendapat kiriman. Akhirnya, Dominggus memilih keluar dari pengungsian untuk mencari kebutuhan hidup bersama kedua adiknya. Setiap hari mereka mencari sisa-sisa makanan para tentara asing yang berjaga di perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Setiap hari mereka mengais-ngais tumpukan sampah di dekat markas pasukan penjaga perbatasan untuk mencari bahan pengganjal perut.
Suatu hari, dua adik Dominggus terserang sakit perut. Daniel dan Franklin terguling-guling di emperan bekas toko sambil memegang-megang perutnya. Dominggus berteriak-teriak minta tolong kepada warga yang melintas. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak membawa obat yang bisa mengurangi rasa sakit yang dialami kedua adiknya. Karena hampir dua jam tidak mendapatkan pertolongan, kedua adik Dominggus akhirnya meninggal dunia.
Dominggus terbebani rasa bersalah. Setiap hari ia menangis di depan kuburan adik-adiknya. Dia menyesal karena sewaktu adiknya sakit, dia tidak segera lapor ke petugas kesehatan di markas penjaga perbatasan. Andaikan dia melapor ke petugas, mungkin kedua adiknya bisa diselamatkan.
Kini kedua adiknya telah menyatu dengan tanah.  Tak ada guna ia menyesali apa yang telah terjadi. Dominggus ingin membuka lembaran baru dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah warung. Setiap hari dia mendapat makan dan minum secara gratis dari pemilik warung.
Beberapa tahun dia bekerja di warung. Setiap ia diberi uang oleh pemilik warung, uang tersebut selalu disimpan. Setelah terkumpul banyak, dia ingin membuka usaha kecil-kecilan sepeti membuat makanan ringan lalu dijajakan di markas para penjaga perbatasan.
Dengan bantuan pemilik warung, Dominggus membuat makanan ringan. Satu dua hari Dominggus berjualan dengan lancar. Namun hari-hari berikutnya, usahanya mendapatkan halangan. Anak-anak yang sebaya dengannya sering mengambil jajanannya secara paksa. Akhirnya dia tidak bisa berjualan lagi.
Setiap hari Dominggus menangis. Ia merindukan sosok ayahnya yang tinggal di Timor Leste. Suatu saat ia berharap bisa bertemu dengan ayahnya dan bisa mengajaknya kembali ke Atambua.
Pagi dan sore para warga Timor Leste pergi dan pulang kerja. Mereka selalu berjalan beriringan melintas di jalan dekat dengan perbatasan. Sambil duduk di sebuah batu, Dominggus mengamati wajah para warga. Satu persatu wajah yang melintas ditatapnya. Akan tetapi selama berbulan-bulan dia belum juga menemukan ayahnya.
Ayahku, sang pemilik warung, merasa iba. Ia kemudian menawarkan kepada Dominggus ikut bersama ayah tinggal di Lamongan. Tawaran itu diterima oleh Dominggus. Nah, setelah itu ayahku mengajaknya pulang ke rumahku. (*)