Perempuan Berkaca Mata Minus
Cerpen karya Ahmad
Zaini*
Genangan
air hujan masih membekas di kubangan tanah berpasir. Setiap sisi jalan menuju
tempat pusat penanam mangrove masih terlihat becek. Butiran-butiran air masih
ada yang tersisa menempel di daun-daun mangrove dan cemara udang.
Aku
berhenti sejenak membersihkan butir-butir pasir yang menempel pada bagian bawah
celana yang lupa tidak kulipat. Aku membungkukkan badan agar tanganku mampu
mencapai pasir pantai yang melekat. Aku terkejut ketika di belakangku terdengar
klakson truk pengangkut anak sekolah yang akan berkemah. Seketika itu aku
berdiri tegak lalu menepi menghindari truk yang akan lewat.
Dari
balik kaca pintu truk sebelah kiri aku melihat sesosok wajah wanita yang
sepertinya tidak asing lagi bagiku. Kedua bola matanya yang berkaca mata minus
tampak berbinar saat menatapku. Kemudian sesimpul senyum mengembang dari bibir
yang berlipstick tipis. Ingatanku mengembara ke masa silam. Memori otakku
berputar untuk menjelajahi file wajah wanita yang mungkin masih
tersimpan.
Lama
aku berdiri di pinggir jalan. Anganku melayang ke sana kemari. Aku sangat
penasaran karena file wajah wanita itu belum juga kutemukan. Aku baru
mengcancel lamunanku saat sepeda motor penjual bakso menyiramkan air
keruh dari kubangan bekas roda truk ke arah badanku.
“Woi!”
teriakku pada pedagang bakso keliling yang tak peduli dengan tubuhku yang
berlepotan air keruh.
Langkahku
melompat-lompat. Aku berusaha menghindari lubang jalan yang menganga dan siap
menjerumuskan kaki setiap pejalan yang lewat. Saat sampai di lokasi perkemahan,
aku melihat lagi wanita berkacamata turun dari truk. Sebentar dia melihatku
kemudian dia berjalan ke arah kaplingan lokasi tempat siswanya akan
mendirikan tenda. Tubuh langsing yang berbalut seragam pramuka
berlenggak-lenggok menyusuri jalan yang di kanan kirinya dipenuhi tanaman
mangrove. Tas rangsel yang menggantung di pundaknya sedikit menghalangi gerakan
lambaian lengan tangannya. Dia berhenti di sebuah tempat duduk yang terbuat
dari beton. Lalu dia duduk sambil meletakkan tas rangsel yang mungkin berisi
pakaian ganti atau bekal perkemahan yang lain di samping kanannya.
Saat
aku hampir sampai di depan wanita yang duduk di bangku beton itu, tiba-tiba aku
teringat bahwa tubuhku berlepotan noda lumpur. Dengan serta merta aku berhenti.
Aku berbalik arah memilih jalan yang lain. Aku bergerak menuju bangunan MCK
yang berderet di sebelah kanan jalan guna membersihkan noda air keruh yang
masih menempel di baju dan celanaku. Satu gayung dua gayung air kuusapkan pada
noda yang melakat di pakaianku. Noda-noda itu akhirnya lenyap dan hanya
menyisakan bercak-bercak basah pada seragam pramukaku.
Aku
berdiri di tengah hembusan angin kencang yang melesat dari pantai yang berjarak
sepuluh meter dari tempatku. Aku sengaja berhenti di situ agar hembusan angin
pantai di lokasi Pusat Pembibitan Tanaman Mangrove Jenu Tuban ini sedikit
membantu mengeringkan bercak basah di seragam yang kukenakan. Sekitar dua menit
aku terdiam seperti arca. Lalu kuraba bagian seragamku yang basah tadi sedikit
sudah mengering. Aku melanjutkan perjalanan ke tenda utama tempat panitia
menunggu daftar ulang peserta perkemahan.
Pendopo
panitia berdiri anggun di tengah area pembibitan mangrove. Panitia berjajar
melayani peserta perkemahan yang sedang melakukan daftar ulang. Baru saja aku
menginjakkan kaki di pintu utama, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku
tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan detak jantungku seperti ini. Semakin
dekat aku melangkah ke arah panitia, semakin kencang detak jantungku terasa.
“Silakan
duduk, Bapak!” suara wanita yang duduk di sebelah kananku.
Saat
aku melihat ke arah suara wanita tersebut, ternyata suara itu datang dari
wanita berkacamata yang sejak tadi aku perhatikan. Dia dengan ramah
mempersilakan diriku duduk di kursi plastik. Aku segera duduk walaupun dengan perasaan
agak grogi.
Lagi-lagi
pikirku melayang. Pikiranku berusaha mengingat siapa wanita berkaca mata minus
yang sejatinya sudah tidak asing lagi bagiku. Peristiwa demi peristiwa masa lalu coba kueja satu persatu.
Mulai dari peristiwa yang kualami pada masa kanak-kanak, masa SD, SMP, SMA
sampai pada masa ketika aku belajar di Perguruan Tinggi. Namun, wajah wanita
berkaca mata minus itu sama sekali tidak tergores dalam ingatanku. Padahal
menurut kata hatiku dia itu tidak begitu asing bagi saya.
“Maaf,
Bapak dari sekolah mana?” tanya panitia kepadaku.
Aku
tergeragap mendengar pertanyaan itu. Lamunanku buyar. Bayangan masa silam yang
kuputar lenyap seketika. Wajah wanita berkaca mata minus itu lambat laun
terbang dari ingatanku.
“O,
iya. Saya dari SMA Mambaul Ulum Pucuk Lamongan,” jawabku singkat. Lelaki yang
menjadi panitia itu sibuk mencatat semua keterangan yang kuberikan.
“Ini
kuitansinya,” kata panitia sambil menyodorkan selebar kertas kuitansi berisi
biaya pendaftaran yang harus kubayar.
Tangan
kananku meraih dompet yang kutaruh di saku celana. Aku mengambil uang untuk
melunasi biaya pendaftaran. Saat dompet akan kumasukkan lagi ke dalam celana,
KTP-ku jatuh tepat di bawah wanita berkaca mata minus yang duduk di kursi
sampingku. Segera dia mengambilkan KTP-ku lalu memberikannya lagi kepadaku.
“Terima
kasih, Bu!” kataku kemudian dibalas dengan senyum yang merekah dari bibirnya
yang dipoles lipstick tipis.
Wanita
berkaca mata minus itu berdiri. Rupanya dia sudah merampungkan daftar ulang
peserta peserta perkemahan. Dia berpamitan kepada panitia dan mengangguk pelan
ke arahku. Aku pun membalasnya dengan anggukan penasaran kepada wanita berkaca
mata minus itu. Sorot mataku terseret oleh gerakan wanita berkaca mata minus
yang bergeser menjauh ke belakang. Kepalaku berpaling dari panitia mengikuti ke
mana arah wanita berkaca mata minus itu berjalan.
“Ini
Bapak uang kembaliannya.” Secepat kilat aku menarik otot-otot kepalaku ke arah
panitia yang meyodorkan uang sepuluh ribu rupiah kepadaku.
Proses
pendaftaran ulang selesai. Aku menerima kartu tanda pengenal peserta perkemahan
sejumlah siswa yang kudaftarkan. Aku lantas berjalan menuju tempat
siswa-siswaku yang sedang bergotong royong mendirikan tenda. Kartu tanda
pengenal itu kemudian kubagikan kepada para siswaku satu persatu.
“Kak
Ni dapat salam dari Kakak Saadah,” kata Mala, siswa putriku.
“Kakak
Saadah siapa?” tanyaku penasaran.
“Orangnya
manis, badannya tinggi semampai dan berkaca mata minus. Dia baru saja pergi ke
sana,” kata Mala sambil menunjuk ke arah remaja-remaja putri yang juga sibuk
mendirikan tenda.
Rasa
penasaranku kepada wanita berkaca mata minus sedikit terkurangi. Paling tidak
saya sudah bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar telah mengenalku. Tetapi,
kenapa dia tidak langsung menyapaku? Atau dia sengaja bersikap seperti itu agar
aku penasaran kepadanya?
Sehelai
daun cemara udang luruh di kepalaku. Aku meraih daun itu lantas aku mematahkan daun tersebut seukuran
ruas-ruasnya. Potongan-potongan kecil daun cemara udang itu kugenggam erat lalu
kehempaskan pada kolam kecil yang airnya sudah keruh dan berbau agak busuk.
“Bagaimana
adik-adik tendanya?” tanyaku kepada siswaku.
“Siap,
Kak!” jawab mereka dengan serentak.
“Sekarang
kalian harus bersiap-siap mengikuti acara upacara pembukaan perkemahan dengan
berpakaian pramuka lengkap!”
“Siap
melaksanakan!” Mereka dengan cekatan melengkapi pakaiannya dengan atribut
pramuka kemudian berjalan menuju ke lapangan upacara pembukaan perkemahan
sesuai dengan isntruksi panitia yang disampaikan lewat pengeras suara.
***
Pada
sebuah batu karang, aku melihat wanita berkaca mata minus duduk sendiri
menikmati pemandangan laut. Pandangannya
menjelajah pada gulungan ombak yang berjalan ke arahnya lalu pecah
berkeping-keping karena membentur batu karang yang didudukinya. Semilir angin
sore menambah keanggunan wajah wanita berkaca mata minus yang dipadu dengan
jilbab berwarna coklat tua.
Aku
memberanikan diri mendakat ke arah wanita berkaca mata minus itu. Pada
sebongkah batu karang yang kokoh di sampingnya aku berhenti lantas duduk. Aku
mencoba mengawali pembicaraan dengan menyapanya lalu memancingnya dengan
lukisan objek laut yang membahana.
Dia
membalasnya dengan kata-kata indah tentang suasana laut biru di pantai Panyuran
sepuluh tahun silam. Dengan lancar dan jelas bibir indahnya bercerita tentang
gadis remaja yang hampir tertimpa dahan kelapa. Untung ada lelaki yang datang
menyelamatkannya sampai kepalanya berdarah dan hampir pingsan.
Mendengar
tuturannya yang runtut, perlahan-lahan ingatanku hampir saja pada titik temu.
“Kaukah
gadis yang waktu itu aku tolong?” tanyaku untuk menegaskan agar tebakanku tidak
keliru.
“Benar,
Kak Ni. Akulah gadis pendamping peserta kemah siswa SD di Panyuran yang kau
tolong waktu itu,” jawabnya dengan tenang.
“Masya
Allah, kau sudah sedewasa ini dan sudah menjadi pembina pramuka pada tingkat
SLTA! Aku bangga padamu,” kataku kagum kepadanya.
Wanita
berkaca mata minus yang ternyata adalah gadis yang kutolong waktu itu kemudian
turun dari batu karang tempat duduknya. Dia menjabat tanganku sebagai tanda
perjumpaan setelah sekian tahun berpisah. Dia sudah dewasa dan anggun sekali.
Dia kemudian mengajakku ke sebuah warung dadakan yang berdiri di bibir pantai.
Dia memesankan diriku nasi jagung plus ikan laut serta teh hangat kesukaanku
untuk merayakan pertemuanku dengannya dalam sebuah perkemahan di Mangrove Centre
Jenu Tuban. (*)
Jenu,
25 Desember 2012
*adalah penulis
buku kumpulan cerpen Telaga Lanang.
Beberapa
karyanya dimuat di berbagai media massa