Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 09 Oktober 2022

Menziarahimu, cerpen di Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, Minggu, 9 Oktober 2022

 


Menziarahimu

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Hampir setiap malam Jumat aku ingin berziarah ke makammu. Namun, maaf hingga saat ini ada bisikan yang menahanku. Hingga kini aku benar-benar belum sempat melihat pusara dengan tanda dua batu nisan yang bertuliskan nama dan hari kematianmu.

Kamu orang baik. Semasa hidupmu kuanggap sebagai kakakku. Kamu penuh perhatian kepadaku dan keluargaku. Setiap kali kamu ingin keluar kota selalu meneleponku. Kamu mengajakku beserta istri dan anak-anakku. Kamu selalu membuat diriku sekeluarga turut senang dan bahagia sebagaimana kamu membahagiakan istri dan anak-anakmu.

Aku masih ingat kebaikanmu yang lain. Yakni, tatkala ayah kandungku sakit. Kamu memberi perhatian pada ayahku dengan mencarikan tempat pengobatan yang terbaik bagi ayahku. Kamu mengajakku ke daerah Panceng untuk menemui guru spiritualmu. Di tempat itu kamu menyuruhku menceritakan ihwal sakit yang diderita ayahku kepada gurumu. Aku pun menceritakan kondisi yang sebenarnya. Ayahku seperti terkena guna-guna ceritaku pada gurumu. Gurumu waktu itu membantah ceritaku bahwa itu bukan guna-guna. Aku sempat berdebat dengan gurumu. Kamu menengah-nengahi perselisihan ini. perdebetanku selesai.

”Sudah larut malam. Ayo, kita pulang,” ajakmu.

Aku menurutimu. Kamu membimbingku berjalan keluar dari rumah gurumu yang beraksesori nuansa mistis. Sesampai di sebuah surau kau mengajakku berhenti. Kamu menasihatiku seperti menasihati adikmu sendiri. Aku salut pada usahamu. Aku mengerti dan memahami maksudmu. Kamu ingin membantu penyembuhan ayahku dengan caramu sendiri.

”Besok malam aku ke rumah ayahmu,” janjimu padaku.

”Silakan. Apa yang dapat kamu perbuat untuk ayahku?” tanyaku sangsi.

”Ikhtiar zahir. Aku akan mengobati ayahmu dengan bantuan guruku dari jarak jauh.”

”Bisakah?”

”Lihat saja besok malam,” katamu menjanjikanku.

”Baiklah.”

Selepas isyak aku menunggumu di rumah ayahku. Hampir satu jam menunggu, kamu tidak muncul. Aku jadi ragu. Kamu serius atau tidak. Bisa mengobati penyakit ayahku atau hanya janji-janji palsu untuk menghiburku. Ternyata tidak. Prasangkaku keliru. Kamu benar-benar memenuhi janji. Kamu datang bersama teman seperguruanmu untuk melakukan pengobatan alternatif kepada ayahku.

Berkopiah hitam dengan ujung lancip mencari ciri khas dirimu. Kamu duduk berhadapan dengan ayahku. Sedangkan temanmu meletakkan kedua telapak tangannya ke punggungmu. Matamu terpejam. Mulutmu komat-kamit. Kamu meraih tangan kanan ayahku yang tak bisa bergerak sejak hampir tiga bulan. Kedua tanganmu menggosok-gosok lengan kanan ayah. Bibirmu terampil melafalkan doa-doa sambil sesekali kau berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu. Sejenak aku terhenyak. Aku kaget ternyata kamu termasuk orang sakti karena bisa berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu.

”Selesai,” katamu setelah hampir setengah jam memijit dan menggosok-gosok lengan ayahku.

”Mana hasilnya?” tanyaku.

”Lihat sendiri lengan ayahmu. Pakde, coba Panjenengan angkat lengan kanan perlahan,” perintahnya.

Aku mengamati dengan hati-hati perubahan lengan ayah. Kelima jarinya dapat digerak-gerakkan  pelan. Tak lama kemudian ayahku mampu mengangkat lengan kanannya. Wih, luar biasa. Ternyata kamu benar-benar bisa memulihkan kondisi tangan kanan ayahku.

”Kamu benar-benar sakti. Kamu mampu menyembuhkan penyakit ayah. Aku percaya padamu,” kataku.

”Bukan saya yang menyembuhkan ayahmu. Saya hanya sebagai perantara dalam pengobatan. Yang memberi sakit dan yang menyembuhkannya adalah Tuhan,” jawabmu merendahkan diri.

Setelah itu kamu pamit pulang bersama temanmu. Kujabatkan selembar amplop sebagai ungkapan terima kasih atau paling tidak sebagai ganti bensin sepeda motor. Namun, kamu menolak. Kamu tidak menerima pemberianku.

”Saya ini ikhlas menolong ayahmu. Anggap saja ini adalah kewajiban yang harus saya lakukan sesama manusia. Apalagi itu yang saya pijit tadi adalah ayahmu,” balasmu.

Kamu punya kelebihan dapat mengobati orang lain yang sakit, termasuk ayahku. Kamu bisa membuat resep dan memberi anjuran kepada orang lain agar terhindar dari penyakit yang membahayakan seperti kelumpuhan dan lain-lain. Tapi, kenapa kamu tidak berdaya ketika penyakit demi penyakit datang menggerogoti kesehatanmu. Tapi, kenapa kamu tidak bisa menasihati dirimu sendiri agar menghindari makanan dan minuman yang menjadi penyebab penyakit-penyakitmu itu? Bahkan, kamu mengabaikan anjuran dari beberapa dokter yang pernah kamu datangi untuk pengobatan penyakitmu itu. Saran istri dan keluargamu juga saranku tak pernah kamu dengarkan. Kamu selalu menerjang beberapa pantangan yang seharusnya kamu tinggalkan. Kamu selalu beralibi bahwa semua orang akan mati. Makan atau tidak makan pantangan itu pada saatnya nanti akan mengalami kematian. Selalu itu yang kaujadikan alasan melanggar pantangan.

Benar sekali omonganmu. Semua manusia yang hidup pasti akan mati. Namun, perlu diingat manusia harus berikhtiar untuk mempertahankan hidupnya. Termasuk menghindari makanan dan minuman atau lainnya yang bisa menjadi penyebab kematian.

Keras kepala dan egois. Dua sifat yang patut disematkan padamu. Kamu sosok yang sulit mendengarkan omongan orang lain. Lebih-lebih pesan kesehatan. Banyak orang yang memperhatikan kondisi kesehatanmu. Termasuk aku. Tubuhmu yang dulu gemuk, kini kurus. Seperti tinggal tulang dan kulit saja. Kornea matamu juga kekuning-kuningan. Apalagi perutmu sering sakit dan muntah-muntah. Siapa yang tega membiarkan dirimu dalam kondisi seperti ini. Tidak ada yang tega. Semua orang berempati kepadamu. Termasuk juga rival-rivalmu dalam dunia perpolitikan. Setiap kali ada masukan agar kamu harus beristirahat, kamu selalu menolaknya. Kamu menyanggah dengan argumen-argumen sebagai pembenar dirimu. Kamu malah sengaja sering ke restauran dan memesan makanan-makanan yang mengandung lemak. Bahkan, kamu juga pesan makanan yang pedas. Kamu sendiri tahu bahwa makanan pedas dan berlemak tinggi akan semakin memperparah kondisi kesehatanmu.

Sore itu kamu benar-benar tak berdaya. Kesehatanmu down. Kamu pingsan. Keluargamu panik lalu meneleponku. Aku datang lalu membantu istrimu melarikanmu ke rumah sakit. Beberapat perawat membawamu ke UGD. Kamu menjalani perawatan intensif. Lalu kamu dibiarkan bebarapa saat sebagai masa observasi atas perkembangan kondisimu. Kamu belum sadarkan diri hingga satu hari. Kamu tidak mengalami perubahan. Kemudian dokter merujukmu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap dengan dokter-dokter andal.

”Keluarga Zakaria?” tanya dokter.

”Betul, Dok. Saya adiknya dan ini istrinya,” jawabku.

Dokter mengajak kami berdua masuk ke ruangannya. Dia mengabarkan kepada kami kamu terkena liver stadium akhir. Dokter juga bilang bahwa kamu dalam keadaan kritis.

”Doakan saja semoga Tuhan menurunkan mukjizat untuk kesembuhannya,” kata dokter.

Sesuatu yang tidak mungkin. Mukjizat itu keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada nabinya. Sedangkan aku sendiri tahu kalau kamu ini bukan nabi. Kamu hanya orang biasa yang diberi kelebihan ilmu berdakwah dan punya banyak penggemar. Kamu hampir tiap malam kamu tidak di rumah karena memenuhi undangan ceramah sampai-sampai kamu kelelahan. Menurut dokter kelelahan inilah yang menjadi salah satu sebab liver yang kamu derita saat ini.

”Harapan tipis, Mbak,” bisikku pada istrimu.

Istrimu tak merespon bisikanku. Istrimu hanya bisa menyembunyikan wajahnya di jilbab yang basah oleh air mata. Tak lama  kemudian dokter datang untuk mengabarkan bahwa kamu telah tiada. Tuhan menjemputmu dengan perantaraan sakit liver tepat azan subuh berkumandang.

Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan saat itu. Aku tak doyan makan selama tiga hari. Hari-hariku diliputi ketidakpercayaan pada kematianmu. Kamu seolah-olah masih hidup dan mengajakku jalan-jalan ke luar kota. Tapi, fakta tak bisa dipungkiri. Takdir benar-benar telah merenggutmu. Kamu dan aku kini telah berbeda alam.

***

 Tiga tahun sudah kamu berada di peristirahatan akhir. Rasa rindu dan rasa hutang budi pada kebaikanmu menyentuh hatiku. Aku ingin menziarahimu pada tulat, Kamis malam Jumat. Senin ini aku berjanji akan datang menjenguk gundukan tanah bertanda dua batu nisan bertuliskan namamu dan hari tanggal kematianmu. Aku tak akan mengingkari janji seperti beberapa Kamis yang lalu.

Pemakaman desamu begitu rapi dan bersih. Warga kampung memiliki rasa tanggung jawab tinggi untuk merawat pemakaman. Di bagian timur pemakaman aku duduk sambil menghadap makammu. Aku berbincang-bincang dengan istrimu yang mengantarku ke makam sebelum berdoa bersama. Aku yakin bahwa kamu mengetahui kedatanganku. Aku yakin kamu mendengar pembicaraanku bersama istrimu yang masih setia menjanda. Aku yakin kamu juga mendengar dan mengamini doa-doa yang kulantunkan. Aku yakin kamu juga mendoakanku dari dalam kubur. Aku melihat tanda-tanda itu melalui semut dan serangga yang menghentikan jalannya tepat di ujung batu nisanmu.

”Maafkan aku karena baru bisa menziarahimu. Damailah di alammu, semoga Allah merahmatimu!” pintaku.

Aku meninggalkan tanah pemakaman setelah matahari sore terlihat semakin menguning. Kawanan kelelawar yang terbang di atas pemakaman mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi pergantian waktu dari siang menjadi malam. Cericit kelelawar berkabar janganlah lupa pada kebaikan orang yang telah mati. (*)

 

Wanar, 24 September 2022

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Selain itu juga sebagai anggota Kostela. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki yang Menikahi Bayangan Sendiri. Beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.