Menziarahimu
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Hampir setiap malam Jumat aku ingin berziarah ke makammu.
Namun, maaf hingga saat ini ada bisikan yang menahanku. Hingga kini aku
benar-benar belum sempat melihat pusara dengan tanda dua batu nisan yang
bertuliskan nama dan hari kematianmu.
Kamu orang baik. Semasa hidupmu kuanggap sebagai kakakku.
Kamu penuh perhatian kepadaku dan keluargaku. Setiap kali kamu ingin keluar
kota selalu meneleponku. Kamu mengajakku beserta istri dan anak-anakku. Kamu
selalu membuat diriku sekeluarga turut senang dan bahagia sebagaimana kamu
membahagiakan istri dan anak-anakmu.
Aku masih ingat kebaikanmu yang lain. Yakni, tatkala ayah
kandungku sakit. Kamu memberi perhatian pada ayahku dengan mencarikan tempat
pengobatan yang terbaik bagi ayahku. Kamu mengajakku ke daerah Panceng untuk
menemui guru spiritualmu. Di tempat itu kamu menyuruhku menceritakan ihwal
sakit yang diderita ayahku kepada gurumu. Aku pun menceritakan kondisi yang
sebenarnya. Ayahku seperti terkena guna-guna ceritaku pada gurumu. Gurumu waktu
itu membantah ceritaku bahwa itu bukan guna-guna. Aku sempat berdebat dengan
gurumu. Kamu menengah-nengahi perselisihan ini. perdebetanku selesai.
”Sudah larut malam. Ayo, kita pulang,” ajakmu.
Aku menurutimu. Kamu membimbingku berjalan keluar dari
rumah gurumu yang beraksesori nuansa mistis. Sesampai di sebuah surau kau
mengajakku berhenti. Kamu menasihatiku seperti menasihati adikmu sendiri. Aku
salut pada usahamu. Aku mengerti dan memahami maksudmu. Kamu ingin membantu
penyembuhan ayahku dengan caramu sendiri.
”Besok malam aku ke rumah ayahmu,” janjimu padaku.
”Silakan. Apa yang dapat kamu perbuat untuk ayahku?”
tanyaku sangsi.
”Ikhtiar zahir. Aku akan mengobati ayahmu dengan bantuan
guruku dari jarak jauh.”
”Bisakah?”
”Lihat saja besok malam,” katamu menjanjikanku.
”Baiklah.”
Selepas isyak aku menunggumu di rumah ayahku. Hampir satu
jam menunggu, kamu tidak muncul. Aku jadi ragu. Kamu serius atau tidak. Bisa
mengobati penyakit ayahku atau hanya janji-janji palsu untuk menghiburku.
Ternyata tidak. Prasangkaku keliru. Kamu benar-benar memenuhi janji. Kamu
datang bersama teman seperguruanmu untuk melakukan pengobatan alternatif kepada
ayahku.
Berkopiah hitam dengan ujung lancip mencari ciri khas
dirimu. Kamu duduk berhadapan dengan ayahku. Sedangkan temanmu meletakkan kedua
telapak tangannya ke punggungmu. Matamu terpejam. Mulutmu komat-kamit. Kamu
meraih tangan kanan ayahku yang tak bisa bergerak sejak hampir tiga bulan.
Kedua tanganmu menggosok-gosok lengan kanan ayah. Bibirmu terampil melafalkan
doa-doa sambil sesekali kau berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu. Sejenak aku
terhenyak. Aku kaget ternyata kamu termasuk orang sakti karena bisa
berkomunikasi jarak jauh dengan gurumu.
”Selesai,” katamu setelah hampir setengah jam memijit dan
menggosok-gosok lengan ayahku.
”Mana hasilnya?” tanyaku.
”Lihat sendiri lengan ayahmu. Pakde, coba
Panjenengan angkat lengan kanan perlahan,” perintahnya.
Aku mengamati dengan hati-hati perubahan lengan ayah.
Kelima jarinya dapat digerak-gerakkan
pelan. Tak lama kemudian ayahku mampu mengangkat lengan kanannya. Wih,
luar biasa. Ternyata kamu benar-benar bisa memulihkan kondisi tangan kanan
ayahku.
”Kamu benar-benar sakti. Kamu mampu menyembuhkan penyakit
ayah. Aku percaya padamu,” kataku.
”Bukan saya yang menyembuhkan ayahmu. Saya hanya sebagai
perantara dalam pengobatan. Yang memberi sakit dan yang menyembuhkannya adalah
Tuhan,” jawabmu merendahkan diri.
Setelah itu kamu pamit pulang bersama temanmu. Kujabatkan
selembar amplop sebagai ungkapan terima kasih atau paling tidak sebagai ganti
bensin sepeda motor. Namun, kamu menolak. Kamu tidak menerima pemberianku.
”Saya ini ikhlas menolong ayahmu. Anggap saja ini adalah
kewajiban yang harus saya lakukan sesama manusia. Apalagi itu yang saya pijit
tadi adalah ayahmu,” balasmu.
Kamu punya kelebihan dapat mengobati orang lain yang
sakit, termasuk ayahku. Kamu bisa membuat resep dan memberi anjuran kepada
orang lain agar terhindar dari penyakit yang membahayakan seperti kelumpuhan
dan lain-lain. Tapi, kenapa kamu tidak berdaya ketika penyakit demi penyakit
datang menggerogoti kesehatanmu. Tapi, kenapa kamu tidak bisa menasihati dirimu
sendiri agar menghindari makanan dan minuman yang menjadi penyebab
penyakit-penyakitmu itu? Bahkan, kamu mengabaikan anjuran dari beberapa dokter
yang pernah kamu datangi untuk pengobatan penyakitmu itu. Saran istri dan
keluargamu juga saranku tak pernah kamu dengarkan. Kamu selalu menerjang
beberapa pantangan yang seharusnya kamu tinggalkan. Kamu selalu beralibi bahwa
semua orang akan mati. Makan atau tidak makan pantangan itu pada saatnya nanti
akan mengalami kematian. Selalu itu yang kaujadikan alasan melanggar pantangan.
Benar sekali omonganmu. Semua manusia yang hidup pasti
akan mati. Namun, perlu diingat manusia harus berikhtiar untuk mempertahankan
hidupnya. Termasuk menghindari makanan dan minuman atau lainnya yang bisa menjadi
penyebab kematian.
Keras kepala dan egois. Dua sifat yang patut disematkan
padamu. Kamu sosok yang sulit mendengarkan omongan orang lain. Lebih-lebih
pesan kesehatan. Banyak orang yang memperhatikan kondisi kesehatanmu. Termasuk
aku. Tubuhmu yang dulu gemuk, kini kurus. Seperti tinggal tulang dan kulit
saja. Kornea matamu juga kekuning-kuningan. Apalagi perutmu sering sakit dan
muntah-muntah. Siapa yang tega membiarkan dirimu dalam kondisi seperti ini.
Tidak ada yang tega. Semua orang berempati kepadamu. Termasuk juga
rival-rivalmu dalam dunia perpolitikan. Setiap kali ada masukan agar kamu harus
beristirahat, kamu selalu menolaknya. Kamu menyanggah dengan argumen-argumen
sebagai pembenar dirimu. Kamu malah sengaja sering ke restauran dan memesan
makanan-makanan yang mengandung lemak. Bahkan, kamu juga pesan makanan yang
pedas. Kamu sendiri tahu bahwa makanan pedas dan berlemak tinggi akan semakin
memperparah kondisi kesehatanmu.
Sore itu kamu benar-benar tak berdaya. Kesehatanmu down.
Kamu pingsan. Keluargamu panik lalu meneleponku. Aku datang lalu membantu
istrimu melarikanmu ke rumah sakit. Beberapat perawat membawamu ke UGD. Kamu
menjalani perawatan intensif. Lalu kamu dibiarkan bebarapa saat sebagai masa
observasi atas perkembangan kondisimu. Kamu belum sadarkan diri hingga satu
hari. Kamu tidak mengalami perubahan. Kemudian dokter merujukmu ke rumah sakit
yang memiliki fasilitas lebih lengkap dengan dokter-dokter andal.
”Keluarga Zakaria?” tanya dokter.
”Betul, Dok. Saya adiknya dan ini istrinya,” jawabku.
Dokter mengajak kami berdua masuk ke ruangannya. Dia
mengabarkan kepada kami kamu terkena liver stadium akhir. Dokter juga bilang
bahwa kamu dalam keadaan kritis.
”Doakan saja semoga Tuhan menurunkan mukjizat untuk
kesembuhannya,” kata dokter.
Sesuatu yang tidak mungkin. Mukjizat itu keistimewaan
yang diberikan Tuhan kepada nabinya. Sedangkan aku sendiri tahu kalau kamu ini
bukan nabi. Kamu hanya orang biasa yang diberi kelebihan ilmu berdakwah dan
punya banyak penggemar. Kamu hampir tiap malam kamu tidak di rumah karena
memenuhi undangan ceramah sampai-sampai kamu kelelahan. Menurut dokter
kelelahan inilah yang menjadi salah satu sebab liver yang kamu derita saat ini.
”Harapan tipis, Mbak,” bisikku pada istrimu.
Istrimu tak merespon bisikanku. Istrimu hanya bisa menyembunyikan
wajahnya di jilbab yang basah oleh air mata. Tak lama kemudian dokter datang untuk mengabarkan
bahwa kamu telah tiada. Tuhan menjemputmu dengan perantaraan sakit liver tepat
azan subuh berkumandang.
Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan saat itu. Aku tak
doyan makan selama tiga hari. Hari-hariku diliputi ketidakpercayaan pada
kematianmu. Kamu seolah-olah masih hidup dan mengajakku jalan-jalan ke luar
kota. Tapi, fakta tak bisa dipungkiri. Takdir benar-benar telah merenggutmu.
Kamu dan aku kini telah berbeda alam.
***
Tiga tahun sudah
kamu berada di peristirahatan akhir. Rasa rindu dan rasa hutang budi pada
kebaikanmu menyentuh hatiku. Aku ingin menziarahimu pada tulat, Kamis malam
Jumat. Senin ini aku berjanji akan datang menjenguk gundukan tanah bertanda dua
batu nisan bertuliskan namamu dan hari tanggal kematianmu. Aku tak akan
mengingkari janji seperti beberapa Kamis yang lalu.
Pemakaman desamu begitu rapi dan bersih. Warga kampung
memiliki rasa tanggung jawab tinggi untuk merawat pemakaman. Di bagian timur pemakaman
aku duduk sambil menghadap makammu. Aku berbincang-bincang dengan istrimu yang
mengantarku ke makam sebelum berdoa bersama. Aku yakin bahwa kamu mengetahui
kedatanganku. Aku yakin kamu mendengar pembicaraanku bersama istrimu yang masih
setia menjanda. Aku yakin kamu juga mendengar dan mengamini doa-doa yang
kulantunkan. Aku yakin kamu juga mendoakanku dari dalam kubur. Aku melihat
tanda-tanda itu melalui semut dan serangga yang menghentikan jalannya tepat di
ujung batu nisanmu.
”Maafkan aku karena baru bisa menziarahimu. Damailah di
alammu, semoga Allah merahmatimu!” pintaku.
Aku meninggalkan tanah pemakaman setelah matahari sore
terlihat semakin menguning. Kawanan kelelawar yang terbang di atas pemakaman
mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi pergantian waktu dari siang
menjadi malam. Cericit kelelawar berkabar janganlah lupa pada kebaikan orang
yang telah mati. (*)
Wanar, 24 September 2022
Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Selain itu juga
sebagai anggota Kostela. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki
yang Menikahi Bayangan Sendiri. Beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.