WALI
HAKIM
Cerpen
Ahmad Zaini*
Malam
satu Muharram begitu ramai. Warga kampung mengadakan gelaran dzikir dalam
rangka menyambut datangnya tahun baru Hijriyah. Mulai dari anak-anak, remaja,
hingga orang dewasa tumplek-blek dalam acara yang diselenggarakan oleh
kepala desa. Mereka berdzikir mengumandang lafal-lafal suci, asma Allah,
hingga acara muhasabah atau instropeksi mereka selama satu tahun
terakhir. Kesalahan sebagai manusia yang menghasilkan dosa ditimbang dengan kebajikan
yang membuahkan pahala. Jika banyak kesalahan, mudah-mudahan mulai awal tahun
ini bisa menjadi baik. Jika banyak amal kebajikan, semoga tahun ini menjadi semakin
baik.
“Ibu,
kok, tidak ikut acara Muharraman?” tanya Ratna kepada ibunya yang duduk sendiri
di ruang tamu.
“Tidak,
Rat. Malam ini saya ingin sendiri di rumah,” jawab ibu Ratna.
“Kenapa
Ibu ingin sendiri di rumah? Ini tak seperti biasanya. Tahun-tahun lalu ibu
selalu datang lebih awal bahkan ikut menjadi panitia dalam acara Muharraman.
Bu, memangnya ada apa?”
“Tidak
ada apa-apa. Kalau kamu ingin pergi mengikuti acara Muharraman, silakan
berangkat! Acara akan dimulai.”
“Baiklah,
Bu. Saya berangkat dulu,” pamit anak gadis semata wayang dalam keluarga itu.
Jumaiyah
mengantar keberangkatan Ratna hingga halaman rumah. Dia memandang anak gadisnya
yang sebulan lagi akan melaksanakan pernikahan itu lenyap ditelan tikungan
jalan. Jumaiyah membalikkan tubuhnya, kemudian bergegas masuk ke rumah
menghabiskan sisa kopi suaminya yang masih berada di meja ruang tengah.
“Lho,
Pak sudah pulang? Padahal acara Muharraman di halaman balai desa baru saja
dimulai” tanya Jumaiyah kepada suaminya.
“Entah
mengapa perutku tiba-tiba melilit. Saya ke belakang dulu, Bu,” jawab Sukirno
ringkas sambil berlari-lari kecil menuju WC.
“Ah,
ada-ada saja!” kata Jumaiyah sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Sebuah
kursi rotan setengah lapuk menanti majikannya duduk. Anyaman rotannya banyak
yang putus akibat sering digunakan duduk majikannya. Jika ada orang yang tak
pernah duduk di kursi tersebut, kemudian menduduki kursi itu, pasti dalam
beberapa detik saja ia tidak akan betah. Banyak binatang tinggi yang usil
menghisap darah dari balik anyaman rotan.
Cangkir
kopi yang berada di meja diangkat oleh Jumaiyah. Ia bermaksud meminum sisa kopi
suaminya. Ia lupa bahwa sisa kopi tersebut sudah ia minum.
“Oalah,
habis!” gumamnya.
“Pak,
saya buatkan kopi, ya?” Jumaiyah menawari Sukirno.
“Sementara
tidak usah, Bu. Pertutku kembung,” sahut Sukirno dari WC.
Kedua
suami istri ini memang biasa bercakap-cakap ketika salah satunya ada yang buang
air besar. Padahal, itu dilarang oleh agama. Ketika seseorang sedang buang air
besar, sepatah kata pun tidak ada yang boleh keluar. Kecuali dalam keadaan
darurat. Misalnya, kalau seseorang tidak bersuara meminta tolong, maka dia akan
mati diserang binatang buas.
“Lega....!”
kata Sukirno muncul dari WC.
“Eh,
Bapak ini! Jijik tahu!?” celetuk Jumaiyah.
Jumaiyah
membawa secangkir kopi ke ruang tengah. Sukirno berjalan membelakangi istrinya.
Di kursi rotan yang bertahun-tahun setia menemani sang majikan, mereka duduk.
“Pak,
ada sesuatu yang akan saya omongkan,” kata Jumaiyah mengawali pembicaraan.
“Masalah
apa? Apakah ada kaitannya dengan rencana pernikahan anak kita? Bukankah
persiapan biayanya sudah cukup?”
“Bukan
masalah biaya, Pak. Ini masalah wali nikah.”
“Maksudmu?”
“Yang
menjadi wali nikah Ratna.”
Sukirno
tersentak. Ia terkejut mendengar ucapan Jumaiyah, istrinya.
“Kamu
ini aneh sekali, Jum. Saya ini ayahnya. Sudah jelaslah yang akan menjadi wali
pada pernikahan nanti pasti saya. Masak tetangga yang akan menjadi wali?”
“Bapak
ingat puluhan tahun silam sebelum kita menjadi suami-istri?” tanya Jumaiyah
mengungkap masa lalu mereka sebelum mereka terikat dalam ikatan suami istri
yang sah.
“Memangya
ada peristiwa apa pada puluhan tahun yang lalu?” kejar Sukirno menyelidik.
“Jika
memang kau sudah lupa, baiklah saya ingin mengingatkanmu.”
Jumaiyah
mengingat peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu. Jam, hari, bulan dan
tahunnya, Jumaiyah sudah lupa. Namun, peristiwa itu tak pernah ia lupakan.
Sewaktu
mereka masih pacaran, mereka pergi ke sebuah tempat wisata. Saat mereka sedang
memadu kasih, syetan datang memasang perangkap agar mereka larut dalam buaian
bujuk rayunya. Kedua insan yang dilanda asmara ini benar-benar masuk dalam
perangkap nafsu syetan. Mereka melakukan perzinaan. Dari perbuatan nista dan
menjijikkan itu, hamillah Jumaiyah.
Pada
usia kehamilan lima bulan, mereka dinikahkan oleh orang tuanya untuk menutupi
aib bagi dirinya dan keluarga. Mereka tidak ingin kejadian yang memalukan itu
diketahui warga kampung. Dari perzinaan itu, lahirlah Ratna yang kini sudah
remaja dan sebulan lagi akan dinikahkan.
“Lalu?”
tanya Sukirno penuh dengan rasa penasaran.
“Ayah
dari anak hasil berzina itu tidak boleh menjadi wali nikahnya.”
“Siapa
yang mengatakan itu? Saya ini jelas-jelas ayah kandungnya. Yang menjadi wali
dalam pernikahan nanti tetap saya.”
“Jangan,
Pak! Jika kamu memaksa menjadi wali dalam pernikahan nanti, maka pernikahan
anak kita tidak sah. Jika pernikahan anak kita tidak sah, maka hubungan badan
yang akan mereka lakukan sama seperti yang kita lakukan pada waktu itu. Zina!
Kita akan menurunkan beberapa keturunan zina, Pak!” kata Jumaiyah dengan muka
bersedih.
“Lantas
apa yang harus kita lakukan? Pernikahan tanpa wali nantinya juga tidak sah,”
tanya Sukirno.
“Pada
pernikahan anak kita nanti, kita mengundang wali hakim,” jawab Jumaiyah.
“Jangan
mungundang wali hakim ke rumah, Jum! Apa kata warga kampung jika melihat anak
gadis kita menikah dengan wali hakim? Mereka akan tahu bahwa Ratna adalah anak
dari hasil hubungan kita di luar nikah. Dan itu akan sangat memalukan kita dan
keluarga.”
“Lantas
bagaimana?” tanya balik Jumaiyah.
“Terpaksa
kita menikahkan anak kita ke kantor KUA,” jawab Sukirno memberikan solusi.
“Pengiringnya
bagaimana?”
“Jangan
memikirkan pengiring! Yang ke KUA cukup saya, kedua pengantin dan dua orang
saksi saja,” bentak Sukirno.
Jumaiyah
diam. Ia terisak-isak dalam tangis penyesalan. Dia menyesali perbuatan yang
mereka lakukan puluhan tahun silam hingga menghasilkan anak zina yang dampaknya
ayahnya sendiri tidak bisa menjadi wali nikahnya.
“Sungguh,
nista diri ini!” kata sesal Jumaiyah dalam tangis penyesalan.
Tanpa
mereka sadari, Ratna menguping pembicaraan mereka dari ruang tamu. Mereka tidak
tahu kalau Ratna sudah datang dari acara Muharraman dan mengetahui inti dari
pembicaraan mereka.
Ratna
berlari dengan melintasi kedua orang tuanya yang masih duduk di kursi ruang
tengah menuju kamarnya. Sukirno dan Jumaiyah tergeragap kaget. Mereka lantas
mengejar anak gadisnya yang sebulan lagi akan menjadi pengantin.
Kedua
orang tua itu berusaha membuka pintu kamar anaknya. Rupanya Ratna lebih cepat
mengunci pintu kamarnya dari belakang agar dia bisa meluapkan segala
kekecewaannya dari apa yang didengarnya dalam pembicaraan kedua orang tuanya.
“Ratna,
buka pintunya!” kata Sukirno.
“Ratna,
ibu mau bicara, Nak!” sambung Jumaiyah.
Ratna
bergeming. Ia tetap membekap batinnya yang sedang bergejolak dengan sebuah
bantal. Jiwanya hancur setelah dia tahu bahwa dirinya adalah anak hasil
hubungan di luar nikah meskipun pada akhirnya ayah dan ibunya menjadi suami
istri.
Usai
menumpahkan air matanya hingga bantalnya basah kuyup, Ratna perlahan bangkit
dari keterpurukan jiwanya. Dia mencoba melupakan apa yang telah didengar dari
orang tuanya dan akan memasrahkan nasib pernikahannya kepada mereka meskipun
dengan wali hakim.
Suara
kunci pintu kamar Ratna menggugah kedua orang tuanya yang sedang larut dalam
kepanikan. Mereka lantas mendekati pintu itu kemudian masuk ke kamar Ratna.
Ratna berusaha tegar menghadapi kedua orang tuanya. Dia akan memasrahkan
pernikahan dirinya dengan wali seorang hakim.
“Maafkan,
kami anakku!” kata kedua orang tua Ratna yang bersamaan sambil memeluk anaknya yang
berusaha tegar menghadapi masalah ini.
Sebulan
kemudian hari pernikahan Ratna telah tiba. Sukirno, Ratna, dan dua orang saksi
berangkat ke kantor KUA kecamatan setempat. Di sana telah menunggu Jali,
pengantin laki-laki dengan didampingi kedua orang tuanya. Petugas dari KUA dan
wali hakim juga sudah siap melaksanakan upacara pernikahan. Akhirnya, akad
nikah antara Ratna dan Jali dilaksanakan.
Mata
Sukirno berkaca-kaca. Ia hanya bisa duduk sambil termenung memandangi putri
kesayangannya dinikahkan oleh seorang wali hakim. Ia tak menyangka kalau
perbuatan yang ia lakukan beberapa puluh tahun silam berakibat seperti itu. (*)
Wanar,
November 2013
*Cerpenis
adalah mahasiswa program pascasarjana Unisda Lamongan
Tinggal
di Wanar, Pucuk, Lamongan