Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 10 November 2013

Wali Hakim

WALI HAKIM
Cerpen Ahmad Zaini*

Malam satu Muharram begitu ramai. Warga kampung mengadakan gelaran dzikir dalam rangka menyambut datangnya tahun baru Hijriyah. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa tumplek-blek dalam acara yang diselenggarakan oleh kepala desa. Mereka berdzikir mengumandang lafal-lafal suci, asma Allah, hingga acara muhasabah atau instropeksi mereka selama satu tahun terakhir. Kesalahan sebagai manusia yang menghasilkan dosa ditimbang dengan kebajikan yang membuahkan pahala. Jika banyak kesalahan, mudah-mudahan mulai awal tahun ini bisa menjadi baik. Jika banyak amal kebajikan, semoga tahun ini menjadi semakin baik.
“Ibu, kok, tidak ikut acara Muharraman?” tanya Ratna kepada ibunya yang duduk sendiri di ruang tamu.
“Tidak, Rat. Malam ini saya ingin sendiri di rumah,” jawab ibu Ratna.
“Kenapa Ibu ingin sendiri di rumah? Ini tak seperti biasanya. Tahun-tahun lalu ibu selalu datang lebih awal bahkan ikut menjadi panitia dalam acara Muharraman. Bu, memangnya ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Kalau kamu ingin pergi mengikuti acara Muharraman, silakan berangkat! Acara akan dimulai.”
“Baiklah, Bu. Saya berangkat dulu,” pamit anak gadis semata wayang dalam keluarga itu.
Jumaiyah mengantar keberangkatan Ratna hingga halaman rumah. Dia memandang anak gadisnya yang sebulan lagi akan melaksanakan pernikahan itu lenyap ditelan tikungan jalan. Jumaiyah membalikkan tubuhnya, kemudian bergegas masuk ke rumah menghabiskan sisa kopi suaminya yang masih berada di meja ruang tengah.
“Lho, Pak sudah pulang? Padahal acara Muharraman di halaman balai desa baru saja dimulai” tanya Jumaiyah kepada suaminya.
“Entah mengapa perutku tiba-tiba melilit. Saya ke belakang dulu, Bu,” jawab Sukirno ringkas sambil berlari-lari kecil menuju WC.
“Ah, ada-ada saja!” kata Jumaiyah sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Sebuah kursi rotan setengah lapuk menanti majikannya duduk. Anyaman rotannya banyak yang putus akibat sering digunakan duduk majikannya. Jika ada orang yang tak pernah duduk di kursi tersebut, kemudian menduduki kursi itu, pasti dalam beberapa detik saja ia tidak akan betah. Banyak binatang tinggi yang usil menghisap darah dari balik anyaman rotan.
Cangkir kopi yang berada di meja diangkat oleh Jumaiyah. Ia bermaksud meminum sisa kopi suaminya. Ia lupa bahwa sisa kopi tersebut sudah ia minum.
“Oalah, habis!” gumamnya.
“Pak, saya buatkan kopi, ya?” Jumaiyah menawari Sukirno.
“Sementara tidak usah, Bu. Pertutku kembung,” sahut Sukirno dari WC.
Kedua suami istri ini memang biasa bercakap-cakap ketika salah satunya ada yang buang air besar. Padahal, itu dilarang oleh agama. Ketika seseorang sedang buang air besar, sepatah kata pun tidak ada yang boleh keluar. Kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, kalau seseorang tidak bersuara meminta tolong, maka dia akan mati diserang binatang buas.
“Lega....!” kata Sukirno muncul dari WC.
“Eh, Bapak ini! Jijik tahu!?” celetuk Jumaiyah.
Jumaiyah membawa secangkir kopi ke ruang tengah. Sukirno berjalan membelakangi istrinya. Di kursi rotan yang bertahun-tahun setia menemani sang majikan, mereka duduk.
“Pak, ada sesuatu yang akan saya omongkan,” kata Jumaiyah mengawali pembicaraan.
“Masalah apa? Apakah ada kaitannya dengan rencana pernikahan anak kita? Bukankah persiapan biayanya sudah cukup?”
“Bukan masalah biaya, Pak. Ini masalah wali nikah.”
“Maksudmu?”
“Yang menjadi wali nikah Ratna.”
Sukirno tersentak. Ia terkejut mendengar ucapan Jumaiyah, istrinya.
“Kamu ini aneh sekali, Jum. Saya ini ayahnya. Sudah jelaslah yang akan menjadi wali pada pernikahan nanti pasti saya. Masak tetangga yang akan menjadi wali?”
“Bapak ingat puluhan tahun silam sebelum kita menjadi suami-istri?” tanya Jumaiyah mengungkap masa lalu mereka sebelum mereka terikat dalam ikatan suami istri yang sah.
“Memangya ada peristiwa apa pada puluhan tahun yang lalu?” kejar Sukirno menyelidik.
“Jika memang kau sudah lupa, baiklah saya ingin mengingatkanmu.”
Jumaiyah mengingat peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu. Jam, hari, bulan dan tahunnya, Jumaiyah sudah lupa. Namun, peristiwa itu tak pernah ia lupakan.
Sewaktu mereka masih pacaran, mereka pergi ke sebuah tempat wisata. Saat mereka sedang memadu kasih, syetan datang memasang perangkap agar mereka larut dalam buaian bujuk rayunya. Kedua insan yang dilanda asmara ini benar-benar masuk dalam perangkap nafsu syetan. Mereka melakukan perzinaan. Dari perbuatan nista dan menjijikkan itu, hamillah Jumaiyah.
Pada usia kehamilan lima bulan, mereka dinikahkan oleh orang tuanya untuk menutupi aib bagi dirinya dan keluarga. Mereka tidak ingin kejadian yang memalukan itu diketahui warga kampung. Dari perzinaan itu, lahirlah Ratna yang kini sudah remaja dan sebulan lagi akan dinikahkan.
“Lalu?” tanya Sukirno penuh dengan rasa penasaran.
“Ayah dari anak hasil berzina itu tidak boleh menjadi wali nikahnya.”
“Siapa yang mengatakan itu? Saya ini jelas-jelas ayah kandungnya. Yang menjadi wali dalam pernikahan nanti tetap saya.”
“Jangan, Pak! Jika kamu memaksa menjadi wali dalam pernikahan nanti, maka pernikahan anak kita tidak sah. Jika pernikahan anak kita tidak sah, maka hubungan badan yang akan mereka lakukan sama seperti yang kita lakukan pada waktu itu. Zina! Kita akan menurunkan beberapa keturunan zina, Pak!” kata Jumaiyah dengan muka bersedih.
“Lantas apa yang harus kita lakukan? Pernikahan tanpa wali nantinya juga tidak sah,” tanya Sukirno.
“Pada pernikahan anak kita nanti, kita mengundang wali hakim,” jawab Jumaiyah.
“Jangan mungundang wali hakim ke rumah, Jum! Apa kata warga kampung jika melihat anak gadis kita menikah dengan wali hakim? Mereka akan tahu bahwa Ratna adalah anak dari hasil hubungan kita di luar nikah. Dan itu akan sangat memalukan kita dan keluarga.”
“Lantas bagaimana?” tanya balik Jumaiyah.
“Terpaksa kita menikahkan anak kita ke kantor KUA,” jawab Sukirno memberikan solusi.
“Pengiringnya bagaimana?”
“Jangan memikirkan pengiring! Yang ke KUA cukup saya, kedua pengantin dan dua orang saksi saja,” bentak Sukirno.
Jumaiyah diam. Ia terisak-isak dalam tangis penyesalan. Dia menyesali perbuatan yang mereka lakukan puluhan tahun silam hingga menghasilkan anak zina yang dampaknya ayahnya sendiri tidak bisa menjadi wali nikahnya.
“Sungguh, nista diri ini!” kata sesal Jumaiyah dalam tangis penyesalan.
Tanpa mereka sadari, Ratna menguping pembicaraan mereka dari ruang tamu. Mereka tidak tahu kalau Ratna sudah datang dari acara Muharraman dan mengetahui inti dari pembicaraan mereka.
Ratna berlari dengan melintasi kedua orang tuanya yang masih duduk di kursi ruang tengah menuju kamarnya. Sukirno dan Jumaiyah tergeragap kaget. Mereka lantas mengejar anak gadisnya yang sebulan lagi akan menjadi pengantin.
Kedua orang tua itu berusaha membuka pintu kamar anaknya. Rupanya Ratna lebih cepat mengunci pintu kamarnya dari belakang agar dia bisa meluapkan segala kekecewaannya dari apa yang didengarnya dalam pembicaraan kedua orang tuanya.
“Ratna, buka pintunya!” kata Sukirno.
“Ratna, ibu mau bicara, Nak!” sambung Jumaiyah.
Ratna bergeming. Ia tetap membekap batinnya yang sedang bergejolak dengan sebuah bantal. Jiwanya hancur setelah dia tahu bahwa dirinya adalah anak hasil hubungan di luar nikah meskipun pada akhirnya ayah dan ibunya menjadi suami istri.  
Usai menumpahkan air matanya hingga bantalnya basah kuyup, Ratna perlahan bangkit dari keterpurukan jiwanya. Dia mencoba melupakan apa yang telah didengar dari orang tuanya dan akan memasrahkan nasib pernikahannya kepada mereka meskipun dengan wali hakim.
Suara kunci pintu kamar Ratna menggugah kedua orang tuanya yang sedang larut dalam kepanikan. Mereka lantas mendekati pintu itu kemudian masuk ke kamar Ratna. Ratna berusaha tegar menghadapi kedua orang tuanya. Dia akan memasrahkan pernikahan dirinya dengan wali seorang hakim.
“Maafkan, kami anakku!” kata kedua orang tua Ratna yang bersamaan sambil memeluk anaknya yang berusaha tegar menghadapi masalah ini.
Sebulan kemudian hari pernikahan Ratna telah tiba. Sukirno, Ratna, dan dua orang saksi berangkat ke kantor KUA kecamatan setempat. Di sana telah menunggu Jali, pengantin laki-laki dengan didampingi kedua orang tuanya. Petugas dari KUA dan wali hakim juga sudah siap melaksanakan upacara pernikahan. Akhirnya, akad nikah antara Ratna dan Jali dilaksanakan.  
Mata Sukirno berkaca-kaca. Ia hanya bisa duduk sambil termenung memandangi putri kesayangannya dinikahkan oleh seorang wali hakim. Ia tak menyangka kalau perbuatan yang ia lakukan beberapa puluh tahun silam berakibat seperti itu. (*)
Wanar, November 2013

*Cerpenis adalah mahasiswa program pascasarjana Unisda Lamongan
Tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan