Perempuan
yang Mencumbui Hujan
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Ranti duduk bersila di halaman rumah. Ia menghadap sebuah
baskom berisi bunga tujuh rupa. Dia memejamkan mata. Tangannya menengadah
sambil meraih asap dupa yang mengepul ke arah wajahnya. Ranti mendongak seperti
mencari sesuatu di langit. Mulutnya berkomat-kamit. Ranti menyenandungkan
doa-doa pengundang hujan. Tak lama kemudian mendung berarak-arak datang
memayungi desa. Hujan lebat turun mengguyur tubuh Ranti yang dibiarkan terbuka
tanpa sehelai kain yang menutupinya.
Kebiasaan seperti ini dilakukan oleh Ranti semenjak ia
batal menikah dengan Slamet. Slamet telah berpaling hati pada Zaenab. Lelaki
yang sehari-hari sebagai pedagang sayur itu lebih memilih Zaenab karena memiliki
wajah yang lebih cantik daripada Ranti. Akhirnya, Ranti minggat dari rumah. Dia
malu kepada tetangga yang telah mengetahui rencana pernikahannya dengan Slamet ambyar.
Selama dua tahun lebih Ranti hilang bak ditelan bumi. Dua
tahun lebih kedua orang tua Ranti menahan rindu pada anaknya. Mereka berusaha
ke sana kemari mencari keberadaan anaknya. Mereka juga mendatangi dukun yang
bisa menerawang di mana anak perempuannya tinggal. Namun, tak satu pun dari para
peramal itu yang mampu mengetahui tempat Ranti. Kedua orang tua Ranti pasrah
dan berserah diri pada Sang Pencipta.
Suatu siang kedua orang tua Ranti dikagetkan oleh
kedatangan gadis yang berparas cantik jelita. Matanya berbinar. Hidungnya
mancung. Alisnya seperti bulan sabit. Bulu matanya laksana bulu burung merak,
mekar dan berkilau. Bibirnya merah
delima. Sepasang suami istri yang selama dua tahun lebih merindukan kedatangan
anaknya ini saling menatap. Mereka terperanga melihat keelokan gadis yang saat
ini berdiri di depannya.
”Aku Ranti, Bapak-Emak,” kata gadis itu dengan lirih.
Kedua orang tua Ranti tidak langsung percaya mendengar
pengakuan gadis tersebut. Mereka melihat dengan jeli sosok jelita di depannya
dari ujung rambut sampai telapak kaki. Mereka tidak menemukan wajah asli anak
yang telah diasuhnya selama dua puluh tahun.
”Tidak. Kau bukan Ranti,” sanggahnya.
Gadis yang telah malih rupa itu bercerita masa
kecilnya. Dia ingin meyakinkan bahwa sosok yang berdiri di depan orang tua
tersebut adalah anak perempuannya yang pergi dua tahun silam.
”Emak masih ingat anak kecil yang merengek-rengek meminta
boneka? Kemudian Emak membuatkannya bonek dari kain sarung bapak yang tidak
dipakai lagi kerena ngepir? Bapak tentu masih ingat menggendong anak
kecil di punggung sambil berlarian mengitari balai-balai rumah seperti kuda?
Anak tersebut tersungkur lantaran Bapak jatuh akibat kaki tersangkut sandal
jepit emak? Masih tidak percayakah kalau aku ini Ranti, anak Bapak dan Emak
yang pergi tanpa pamit karena pernikahannya dengan Slamet batal,” kata Ranti
meyakinkan kedua orang tuanya yang mulai percaya bahwa gadis itu adalah anak
perempuan yang telah dicarinya selama dua tahun. Ranti melebur jadi satu dalam
pelukan kedua orang tuanya. Mata mereka banjir air mata karena tangis haru atas
kepulangan anak perempuannya.
Sore hari terjadi pemandangan aneh pada diri Ranti. Tubuh
Ranti tampak layu. Kulitnya mengeriput seperti kulit jeruk kering. Wajahnya gelap
tak bersinar. Matanya seperti orang kurang tidur, merah-redup. Bibir Ranti
berkerak. Lidahnya selalu diputar-putar untuk melumasi bibirnya yang semakin
lama semakin kering. Ranti mengerang kesakitan. Suaranya mengiris hati orang-orang
yang mendengarnya. Beberapa saat kemudian Ranti membawa baskom berisi bunga
warna-warni ke halaman rumah. Ia duduk bersila sambil membakar dupa. Wajah
ranti mendongak sembari mengucapkan mantra. Ranti melaksanakan ritual memanggil hujan untuk
mengembalikan kondisi tubuh dan wajah yang elok dan memesona seperti semula.
”Cukup Ranti. Malu dilihat tetangga,” tegur Bapaknya
ketika melihat Ranti menari sambil telanjang di halaman rumahnya.
Ranti bergeming. Dia tetap melanjutkan ritual mengundang
hujan agar tubuhnya bisa segar-bugar seperti yang dipesankan oleh guru
spiritualnya.
Mendung datang bergumpal-gumpal menutupi matahari sore.
Para tetangga yang baru sehari merasakan kehangatan sinar matahari terpaksa
harus masuk rumah. Mereka mengambili jemuran yang baunya apek karena beberapa
hari tidak terjamah sinar matahari. Tak berselang lama hujan lebat mengguyur
desa tersebut.
Ranti berdiri di tengah halaman rumah. Dia menyambut
girang kedatangan hujan. Mulutnya menganga lebar menelan guyuran air hujan. Ranti
meliak-liukkan tubuhnya. Ia seperti penari erotis pembangkit syahwat para
lelaki hidung belang. Setelah hampir satu jam Ranti bercumbu dengan hujan, tiba-tiba
ayahnya keluar dari rumah. Dia berlari-hari menghampiri Ranti untuk menutupkan
jarik ke tubuh bugil anaknya lalu menyeretnya masuk ke rumah. Kedua orang tua
Ranti terpana saat melihat tubuh Ranti mengalami perubahan. Kulit yang semula
keriput menjadi kencang. Mata yang sayu menjadi berbinar. Bibir yang semula
kering dan berkerak, sekarang menjadi basah kemerah-merahan seperti delima.
Ranti sore itu berubah menjadi sosok wanita yang cantik jelita.
Ranti bernapas lega sambil melihat kedua tangan dan
kakinya yang mulus dan putih seperti susu. Ia juga lihat wajahnya dengan
bantuan cermin yang tergantung di tiang rumahnya. Dia melihat bayangan wajahnya
becahaya seperti purnama. Dia puas karena wajahnya kali ini tujuh kali lebih
cantik daripada wajah Zaenab. Nah, Ranti melakukan ritual bercumbu dengan hujan
untuk mengubah rupa ini setiap sore. Yakni, ketika nyoni ritual
sebelumnya sudah pudar sehingga wajah dan tubuhnya berantakan.
***
Setiap sore hujan deras mengguyur kampung. Got dan sungai
tak mampu menampung guyuran air mata langit. Hamparan hijau tanaman padi petani
di persawahan berubah seperti lautan. Harapan panen padi para petani menipis.
Dua atau tiga hari ke depan apabila curah hujan masih seperti ini, angan-angan
panen raya para petani akan sirna. Akan banyak warga yang terpaksa membatalkan
rencana gawe untuk menikahkan
atau mengkhitankan anaknya.
Ritual Ranti yang mengudang hujan lalu mengajaknya
bercumbu di halaman rumah untuk mengubah rupa menjadi buah bibir warga. Warga
kampung merasa mangkel dengan cara ritual Ranti yang menggunakan sarana
hujan. Bagaimana tidak kesal, persawahan mereka sudah kebanjiran. Tanaman padi
mereka hampir musnah. Persediaan pangan di rumah juga menipis. Sedangkan di
sisi lain, Ranti demi mempercantik diri selalu melakukan ritual mengundang
hujan.
”Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus mencari cara untuk
membujuk Ranti agar menghentikan ritual itu. Kalau kita biarkan, bisa-bisa
tanaman padi kita akan tenggelam lagi,” usul Jumari pada teman-temannya yang
kebetulan berkumpul di warung kopi pojok kampung.
”Betul sekali. Kita temui dulu kedua orang tuanya. Kita
suruh mereka membujuk anaknya agar tidak melanjutkan ritualnya,” sahut Samijan.
”Halah...tidak perlu bertele-tele. Langsung saja
kita gelandang si Ranti ke balai desa. Kita hakimi bersama-sama,” pungkas Kasto
yang sudah tiga kali gagal menanam padi.
”Sabar! Ranti itu bukan orang sembarangan. Kalau dia
murka lalu mengundang badai bagaimana?” sergah Jumari yang didukung oleh
Samijan.
” Kita tidak perlu datang bersama-sama ke rumah Ranti.
Kasihan orang tuanya. Mereka juga sudah terbebani dengan kebiasaan ritual
anaknya yang merugikan kita semua. Cukup saya, Jumari, dan Kasto saja yang ke
rumah Ranti,” usul Samijan.
***
Ranti keluar rumah. Dia hanya mengenakan selembar jarik
untuk menutupi kemaluannya. Dia duduk bersila menghadap sebuah baskom yang
berisi air dan kembang tujuh rupa. Wajahnya mendongak. Mulutnya berkomat-kamit
membaca mantra. Perlahan-lahan dia berdiri lalu menari-nari di tengah kepulan
asap dupa. Wajahnya menengadah seperti mengeluarkan kekuatan untuk menggeret
mendung. Tak lama kemudian, langit mulai remang. Sinar matahari sirna tertutup
gumpalan mendung. Butiran hujan mulai menjamah tubuh Ranti. Perempuan yang
berkebiasaan ganjil ini lantas melepas jarik yang melekat di tubuhnya. Para
lelaki yang mengerumuninya lari berhamburan. Mereka malu melihat tubuh bugil
Ranti.
”Ranti, hentikan!” teriak Jumari dan ayah Ranti yang berlari
mendekati Ranti. Ia menyeret masuk ke rumahnya.
Ranti gagal melakukan ritual. Dia tidak bisa bercumbu
dengan hujan. Jari-jemari hujan tak sempat membelai tubuh Ranti yang sudah
bugil. Ranti menjerit histeris karena kesal ritualnya terusik olah ayah dan
warga lainnya. Walhasil, tubuh dan wajah Ranti tidak bisa kembali
sempurna.
Ayah Ranti tertegun. Ia kaget saat melihat perubahan pada
wajah dan tubuh Ranti. Kulit wajah, tangan dan sekujur tubuhnya mengeras,
pecah-pecah, lalu mengelupas. Ranti menggelepar kesakitan. Ranti terhuyung-huyung.
Tubuh perempuan yang selalu bercumbu dengan hujan ini ambruk dan tengkurap di
pembaringan balai-balai rumahnya.
Kedua orang tua Ranti dan sebagian warga yang menyaksikan
perstiwa itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menatap dan
menyaksikan kejadian langka yang menimpa Ranti. Dia terkena tulah akibat ritual
yang dilakukannya. Dia menjadi kembang ranjang sebagaimana sumpah serapah yang
pernah diucapkannya pada Zaenab. (*)
Lamongan, 12 Februari 2021
Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di
berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku
kumpulan cerpen dan puisi. Buku terbarunya berupa kumpulan puisi dengan judul Hanya
Waktu Jelang Kematian.