Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 06 Maret 2021

Perempuan yang Mencumbui Hujan, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 7 Maret 2021

 



Perempuan yang Mencumbui Hujan

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Ranti duduk bersila di halaman rumah. Ia menghadap sebuah baskom berisi bunga tujuh rupa. Dia memejamkan mata. Tangannya menengadah sambil meraih asap dupa yang mengepul ke arah wajahnya. Ranti mendongak seperti mencari sesuatu di langit. Mulutnya berkomat-kamit. Ranti menyenandungkan doa-doa pengundang hujan. Tak lama kemudian mendung berarak-arak datang memayungi desa. Hujan lebat turun mengguyur tubuh Ranti yang dibiarkan terbuka tanpa sehelai kain yang menutupinya.

Kebiasaan seperti ini dilakukan oleh Ranti semenjak ia batal menikah dengan Slamet. Slamet telah berpaling hati pada Zaenab. Lelaki yang sehari-hari sebagai pedagang sayur itu lebih memilih Zaenab karena memiliki wajah yang lebih cantik daripada Ranti. Akhirnya, Ranti minggat dari rumah. Dia malu kepada tetangga yang telah mengetahui rencana pernikahannya dengan Slamet ambyar.

Selama dua tahun lebih Ranti hilang bak ditelan bumi. Dua tahun lebih kedua orang tua Ranti menahan rindu pada anaknya. Mereka berusaha ke sana kemari mencari keberadaan anaknya. Mereka juga mendatangi dukun yang bisa menerawang di mana anak perempuannya tinggal. Namun, tak satu pun dari para peramal itu yang mampu mengetahui tempat Ranti. Kedua orang tua Ranti pasrah dan berserah diri pada Sang Pencipta.

Suatu siang kedua orang tua Ranti dikagetkan oleh kedatangan gadis yang berparas cantik jelita. Matanya berbinar. Hidungnya mancung. Alisnya seperti bulan sabit. Bulu matanya laksana bulu burung merak, mekar dan berkilau.  Bibirnya merah delima. Sepasang suami istri yang selama dua tahun lebih merindukan kedatangan anaknya ini saling menatap. Mereka terperanga melihat keelokan gadis yang saat ini berdiri di depannya.

”Aku Ranti, Bapak-Emak,” kata gadis itu dengan lirih.

Kedua orang tua Ranti tidak langsung percaya mendengar pengakuan gadis tersebut. Mereka melihat dengan jeli sosok jelita di depannya dari ujung rambut sampai telapak kaki. Mereka tidak menemukan wajah asli anak yang telah diasuhnya selama dua puluh tahun.

”Tidak. Kau bukan Ranti,” sanggahnya.

Gadis yang telah malih rupa itu bercerita masa kecilnya. Dia ingin meyakinkan bahwa sosok yang berdiri di depan orang tua tersebut adalah anak perempuannya yang pergi dua tahun silam.

”Emak masih ingat anak kecil yang merengek-rengek meminta boneka? Kemudian Emak membuatkannya bonek dari kain sarung bapak yang tidak dipakai lagi kerena ngepir? Bapak tentu masih ingat menggendong anak kecil di punggung sambil berlarian mengitari balai-balai rumah seperti kuda? Anak tersebut tersungkur lantaran Bapak jatuh akibat kaki tersangkut sandal jepit emak? Masih tidak percayakah kalau aku ini Ranti, anak Bapak dan Emak yang pergi tanpa pamit karena pernikahannya dengan Slamet batal,” kata Ranti meyakinkan kedua orang tuanya yang mulai percaya bahwa gadis itu adalah anak perempuan yang telah dicarinya selama dua tahun. Ranti melebur jadi satu dalam pelukan kedua orang tuanya. Mata mereka banjir air mata karena tangis haru atas kepulangan anak perempuannya.

Sore hari terjadi pemandangan aneh pada diri Ranti. Tubuh Ranti tampak layu. Kulitnya mengeriput seperti kulit jeruk kering. Wajahnya gelap tak bersinar. Matanya seperti orang kurang tidur, merah-redup. Bibir Ranti berkerak. Lidahnya selalu diputar-putar untuk melumasi bibirnya yang semakin lama semakin kering. Ranti mengerang kesakitan. Suaranya mengiris hati orang-orang yang mendengarnya. Beberapa saat kemudian Ranti membawa baskom berisi bunga warna-warni ke halaman rumah. Ia duduk bersila sambil membakar dupa. Wajah ranti mendongak sembari mengucapkan mantra.  Ranti melaksanakan ritual memanggil hujan untuk mengembalikan kondisi tubuh dan wajah yang elok dan memesona seperti semula.

”Cukup Ranti. Malu dilihat tetangga,” tegur Bapaknya ketika melihat Ranti menari sambil telanjang di halaman rumahnya.

Ranti bergeming. Dia tetap melanjutkan ritual mengundang hujan agar tubuhnya bisa segar-bugar seperti yang dipesankan oleh guru spiritualnya.

Mendung datang bergumpal-gumpal menutupi matahari sore. Para tetangga yang baru sehari merasakan kehangatan sinar matahari terpaksa harus masuk rumah. Mereka mengambili jemuran yang baunya apek karena beberapa hari tidak terjamah sinar matahari. Tak berselang lama hujan lebat mengguyur desa tersebut.

Ranti berdiri di tengah halaman rumah. Dia menyambut girang kedatangan hujan. Mulutnya menganga lebar menelan guyuran air hujan. Ranti meliak-liukkan tubuhnya. Ia seperti penari erotis pembangkit syahwat para lelaki hidung belang. Setelah hampir satu jam Ranti bercumbu dengan hujan, tiba-tiba ayahnya keluar dari rumah. Dia berlari-hari menghampiri Ranti untuk menutupkan jarik ke tubuh bugil anaknya lalu menyeretnya masuk ke rumah. Kedua orang tua Ranti terpana saat melihat tubuh Ranti mengalami perubahan. Kulit yang semula keriput menjadi kencang. Mata yang sayu menjadi berbinar. Bibir yang semula kering dan berkerak, sekarang menjadi basah kemerah-merahan seperti delima. Ranti sore itu berubah menjadi sosok wanita yang cantik jelita.

Ranti bernapas lega sambil melihat kedua tangan dan kakinya yang mulus dan putih seperti susu. Ia juga lihat wajahnya dengan bantuan cermin yang tergantung di tiang rumahnya. Dia melihat bayangan wajahnya becahaya seperti purnama. Dia puas karena wajahnya kali ini tujuh kali lebih cantik daripada wajah Zaenab. Nah, Ranti melakukan ritual bercumbu dengan hujan untuk mengubah rupa ini setiap sore. Yakni, ketika nyoni ritual sebelumnya sudah pudar sehingga wajah dan tubuhnya berantakan.

***

Setiap sore hujan deras mengguyur kampung. Got dan sungai tak mampu menampung guyuran air mata langit. Hamparan hijau tanaman padi petani di persawahan berubah seperti lautan. Harapan panen padi para petani menipis. Dua atau tiga hari ke depan apabila curah hujan masih seperti ini, angan-angan panen raya para petani akan sirna. Akan banyak warga yang terpaksa membatalkan rencana gawe  untuk menikahkan atau mengkhitankan anaknya.

Ritual Ranti yang mengudang hujan lalu mengajaknya bercumbu di halaman rumah untuk mengubah rupa menjadi buah bibir warga. Warga kampung merasa mangkel dengan cara ritual Ranti yang menggunakan sarana hujan. Bagaimana tidak kesal, persawahan mereka sudah kebanjiran. Tanaman padi mereka hampir musnah. Persediaan pangan di rumah juga menipis. Sedangkan di sisi lain, Ranti demi mempercantik diri selalu melakukan ritual mengundang hujan.

”Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus mencari cara untuk membujuk Ranti agar menghentikan ritual itu. Kalau kita biarkan, bisa-bisa tanaman padi kita akan tenggelam lagi,” usul Jumari pada teman-temannya yang kebetulan berkumpul di warung kopi pojok kampung.

”Betul sekali. Kita temui dulu kedua orang tuanya. Kita suruh mereka membujuk anaknya agar tidak melanjutkan ritualnya,” sahut Samijan.

Halah...tidak perlu bertele-tele. Langsung saja kita gelandang si Ranti ke balai desa. Kita hakimi bersama-sama,” pungkas Kasto yang sudah tiga kali gagal menanam padi.

”Sabar! Ranti itu bukan orang sembarangan. Kalau dia murka lalu mengundang badai bagaimana?” sergah Jumari yang didukung oleh Samijan.

” Kita tidak perlu datang bersama-sama ke rumah Ranti. Kasihan orang tuanya. Mereka juga sudah terbebani dengan kebiasaan ritual anaknya yang merugikan kita semua. Cukup saya, Jumari, dan Kasto saja yang ke rumah Ranti,” usul Samijan.

***

Ranti keluar rumah. Dia hanya mengenakan selembar jarik untuk menutupi kemaluannya. Dia duduk bersila menghadap sebuah baskom yang berisi air dan kembang tujuh rupa. Wajahnya mendongak. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra. Perlahan-lahan dia berdiri lalu menari-nari di tengah kepulan asap dupa. Wajahnya menengadah seperti mengeluarkan kekuatan untuk menggeret mendung. Tak lama kemudian, langit mulai remang. Sinar matahari sirna tertutup gumpalan mendung. Butiran hujan mulai menjamah tubuh Ranti. Perempuan yang berkebiasaan ganjil ini lantas melepas jarik yang melekat di tubuhnya. Para lelaki yang mengerumuninya lari berhamburan. Mereka malu melihat tubuh bugil Ranti.

”Ranti, hentikan!” teriak Jumari dan ayah Ranti yang berlari mendekati Ranti. Ia menyeret masuk ke rumahnya.

Ranti gagal melakukan ritual. Dia tidak bisa bercumbu dengan hujan. Jari-jemari hujan tak sempat membelai tubuh Ranti yang sudah bugil. Ranti menjerit histeris karena kesal ritualnya terusik olah ayah dan warga lainnya. Walhasil, tubuh dan wajah Ranti tidak bisa kembali sempurna.

Ayah Ranti tertegun. Ia kaget saat melihat perubahan pada wajah dan tubuh Ranti. Kulit wajah, tangan dan sekujur tubuhnya mengeras, pecah-pecah, lalu mengelupas. Ranti menggelepar kesakitan. Ranti terhuyung-huyung. Tubuh perempuan yang selalu bercumbu dengan hujan ini ambruk dan tengkurap di pembaringan balai-balai rumahnya.

Kedua orang tua Ranti dan sebagian warga yang menyaksikan perstiwa itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menatap dan menyaksikan kejadian langka yang menimpa Ranti. Dia terkena tulah akibat ritual yang dilakukannya. Dia menjadi kembang ranjang sebagaimana sumpah serapah yang pernah diucapkannya pada Zaenab. (*)

Lamongan, 12 Februari 2021

 

Ahmad Zaini, guru SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku terbarunya berupa kumpulan puisi dengan judul Hanya Waktu Jelang Kematian.