Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 30 November 2019

Cerpen Jawa Pos grup RADAR BANYUWANGI, 1 Desember 2019

Guru Sobri
Cerpen karya Ahmad Zaini

Tubuhnya kerempeng. Dia berkulit putih. Rambutnya klimis. Dia tidak berkumis Kakinya ringan seringan kapas bila berjalan. Ia melesat bagai kilat. Pada jam ini di sini, lima menit kemudian sudah di sana. Orang-orang bingung mencarinya. Setiap ditanya, ia bisa saja menjawabnya. Dia memunyai sejuta alasan untuk menutupi kekurangannya yang selalu meninggalkan kantor tempat kerjanya sebagai kepala sekolah.
Namanya Muluk. Setiap berbicara selalu muluk-muluk. Keinginannya selangit. Muluk selalu membuat rencana besar, namun tidak pernah terlaksana. Rencana itu mangkrak. Bukan Muluk kalau tidak bisa berkilah. Dia selalu bisa berkelit dari tanggung jawab apabila ada pihak lain yang menuntut ketidakberesan kerjanya.
Kakinya yang hanya sebesar kaki kursi diangkat di atas meja. Ia buru-buru menurunkannya saat Sobri masuk ke ruangannya.
”Pak Sobri, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya pada Sobri yang datang tanpa mengetuk pintu ruang kerjanya.
”Maaf, Pak khilaf!” pintanya sambil menyodorkan berkas ke meja kepala sekolah itu.
”Ada perlu apa?” suara sumbang Muluk menanyakan keperluan Sobri menghadap kepadanya.
”Minta tanga tangan untuk pemberkasan besok pagi,” timpalnya.
”Mendadak sekali! Tidak bisa. Saya tidak bisa menandatangani berkas sembarangan sebelum tahu isinya. Paling tidak tiga hari sebelumnya berkas ini sudah kausodorkan sehingga saya bisa menelitinya,” alasan Muluk.
”Tapi ini mendesak. Pemberitahuannya baru kemarin sore. Semalam saya kerjakan, hari ini tanda tangan, besok pagi dikumpulkan,” kilah Sobri.
”Tidak bisa. Kamu taruh di meja situ. Besok lusa baru bisa kauambil,” kata jumawa Muluk membuat Sobri semakin gusar.
”Maaf, Bapak! Besok pagi sudah batas terakhir pengumpulan berkas ini,” desak Sobri.
”Pokoknya tidak bisa. Jangan memaksa saya. Bila kamu tidak mau mendengarkan omonganku, bawa kembali berkasmu keluar,” pungkas Muluk bernada tinggi.
Sobri hanya bisa diam. Dia tidak mampu membantah putusan Muluk. Sobri keluar dari ruang kerja Muluk dengan hati yang sangat mendongkol.
Begitulah Muluk. Dia raja tega. Kepala sekolah yang tidak tahu kebutuhan gurunya. Dia terlalu idealis, prosedural, namun tidak bisa kondisional. Dia lurus pada sesuatu yang diurus. Namun, sekali lagi dia tidak bisa membuat kebijakan yang berskala prioritas. Ia tidak pernah memedulikan urusan sangat penting, penting, agak penting, dan tidak penting dari gurunya. Meskipun berkas Sobri besok sudah batas terakhir penyerahan ke dinas atasannya, Muluk tetap tidak mau menandatanganinya saat itu juga.
Kejelian kepala sekolah memang diperlukan agar bisa memahami keperluan yang dibutuhkan guru. Dia juga harus meneliti secara rinci isi yang tertuang dalam berkas sebelum menandatanganinya. Namun, kepala sekolah semestinya juga harus bisa membuat keputusan ekstrem dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi. Yang penting berkas yang disodorkan itu sudah dijamin kebenarannya oleh sang guru. Kebutuhan bawahan juga harus diperhatikan lebih-lebih menyangkut nasib karier bawahannya. Apalagi bawahannya itu sudah menjamin kevalidan berkas tersebut. Kepala sekolah sudah semestinya harus segera menandatanginya.
Era teknologi komunikasi modern seperti sekarang ini sering ada isntruksi atau pemberitahuan secara mendadak dari dinas pendidikan. Hal semacam ini sangat menyengsarakan guru seperti Sobri. Perintah kedinasan tidak lagi menggunakan kertas yang dikirimkan kurir ke guru. Tak pernah terlihat lagi ada kurir menyodorkan buku ekspedisi untuk ditandatangani guru sebagai bukti telah menerima surat. Perintah hanya disampaikan lewat media sosial. Hal seperti inilah yang membuat Sobri kalang kabut. Dia baru menerima pesan menjelang maghrib. Malam langsung ia kerjakan. Pagi harinya dimintakan tanda tangan ke kepala sekolahnya. Keesokan harinya harus dikirim ke kantor dinas.
”Bagaimana, Pak?” tanya Sobri kepada Muluk pada keesokan harinya.
”Ke ruangan sebentar!” pinta Muluk. Sobri bergegas mengikuti Muluk masuk ke ruang kerjanya. Dia berharap berkas sudah ditandatangani tinggal mengirimkan ke kantor dinas pendidikan.
Muluk menyodorkan stop map bewarna merah pada Sobri. Sobri menerimanya dengan lega. Namun, senyum harapan itu hanya beberapa detik saja. Setelah membuka stop map dan melihat isinya, Sobri terperangah. Dia melihat kolom tanda tangan masih bersih. Tak ada goresan tanda tangan di atas nama Muluk yang tak ber-NIP itu.
”Belum Bapak tanda tangani?” tanya Sobri dengan suara penuh penasaran
”Memang belum. Saya tidak mau menantanganinya. Semestinya berkas ini harus dilengkapi dengan bukti fisik. Kau lengkapi dulu. Besok bawa ke sini lagi,” kata Muluk dengan kening berkerut.
”Hari ini batas terakhir pengiriman berkas ke kantor dinas, Pak. Bukti fisik yang Bapak maksud itu disertakan pada saat pengajuan kenaikan pangkat. Untuk pengurusan berkas ini, tidak perlu.”
”Tidak. Saya tidak mau disalahkan kepala dinas. Saya bekerja sesuai prosedur,” jawabnya dengan kaku.
”Berkas milik guru-guru yang lain juga tanpa bukti fisik, Pak,” sanggah Sobri.
”Biarkan mereka tanpa bukti fisik. Tapi, saya tidak mau seperti itu. Segera dilengkapi,” pungkasnya.
Sobri menghela napas panjang. Dia mendesah sesak. Pori-porinya mengeluarkan kubikan keringat. Sobri tidak berdaya. Dia tidak kuasa melawan keputusan kepala sekolahnya. Dia terpaksa mengikuti permintaan Muluk yang selalu muluk-muluk.
Guru  yang lugu ini tak menyangka pada kenyataan yang ada. Dia tidak mengira akan dipersulit kepala sekolahnya seperti ini. Dia sangat tega. Raja tega pada bawahannya. Pada gurunya sendiri yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah ini. Gigi-gigi Sobri terdengar berkerut-kerut. Kedua tangannya gemetar menerima stop map merah dari Muluk, kepala sekolahnya. Berkas itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Namun, apa boleh buat. Sobri harus bersabar. Dia menerima dengan pasrah berkas yang dikembalikan kepala sekolahnya itu.
Setengah hari Sobri berusaha melengkapi permintaan Muluk. Dia bekerja keras agar bisa memenuhi target waktu pengiriman berkas ke dinas pendidikan kabupaten. Telepon genggam yang tergeletak di samping monitor komputer berdering. Dia mengabaikan meski dia tahu bahwa yang menelepon itu adalah staf tata usaha kantor dinas pendidkan. Sobri cemas. Dia takut. Ia yakin bahwa staf kantor dinas itu akan menagih berkas yang semestinya harus dikirim sebelum pukul sebelas.
Karena telepon itu berdering terus, terpaksa Sobri meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar.
”Pak Sobri, bagaimana ini? Mana berkasmu? Tepat pukul 12 mestinya berkas sudah saya terima. Bila melebihi batas waktu tersebut, terpaksa berkas Pak Sobri saya tinggal,” suara staf kantor dinas melalui telepon genggamnya.
 Pikiran Sobri semakin kacau. Dia tidak fokus lagi menuntaskan berkas-berkas itu. Tubuhnya lemas. Dia putus asa sambil menyandarkan punggungnya di tembok ruang guru. Setumpuk berkas yang berada di depannya ditatap dengan pandangan hampa. Dia merasa bahwa peluang untuk menyelesaikan berkas sudah hilang. Sobri hanya bisa menggerutu menyesali sikap kepala sekolahnya yang tidak mau menandatangani berkas yang dia ajukan.
Sementara itu, guru-guru di sekolah lain telah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan. Berkas-berkas mereka sama dengan milik Sobri tanpa disertai dengan bukti fisik. Kepala sekolah di lembaga lain sudah paham bahwa berkas guru tersebut tak perlu bukti fisik. Bukti fisik baru disertakan jika guru tersebut hendak mengajukan angka kredit untuk kenaikan pangkat.
Mendengar bahwa guru-guru di sekolah lain sudah menyetorkan berkas ke dinas pendidikan, Sobri semakin tersiksa. Dia tidak bisa merasakan kemudahan seperti yang mereka alami. Dia merasa disiksa dan dipermainkan oleh kepala sekolahnya yang bersikap seperti baja. Prinsipnya seperti batu karang yang tak mudah goyang oleh gelombang meskipun permasalahan ini sangat penting bagi karier gurunya.
”Berkas Pak Sobri ini belum mendapat tanda tangan dari kepala sekolah. Padahal ini sudah batas akhir pengumpulannya. Dengan sangat terpaksa berkas Pak Sobri tidak bisa saya terima dan Pak Sobri bisa mangajukan usulan ini lagi pada bulan atau tahun berikutnya,” ujar staf tata usaha dinas pendidikan ketika Sobri menghadap staf dinas pendidikan untuk meminta keringanan menyetorkan berkas tanpa tanda tangan kepala sekolah. Padahal, Sobri tahu kalau itu tidak mungkin.
Sobri mendengarkan penjelasan pegawai tersebut dengan penuh rasa sesal. Dia menyesalkan sikap kepala sekolahnya yang tidak mengerti kebutuhan gurunya. Sobri menerima pasrah nasib yang menimpanya. Dia tertinggal dengan guru-guru seangkatannya dalam menapaki karier kepegawaiannya.
Hari-hari setelah kejadian itu, Sobri tak bertegur sapa dengan kepala sekolahnya. Dia tidak pernah mengajukan berkas apapun lagi kepadanya. Setiap ada perintah pemberkasan dari dinas pendidikan, dia tidak pernah lagi mengurusnya. Yang dia lakukan hanyalah melaksanakan tugas sebagai guru yaitu mengajar. Dia trauma dipermainkan kepala sekolahnya untuk kesekian kalinya.
Suatu pagi Sobri membaca surat yang difoto melalui media sosial. Surat itu berisi teguran keras dari dinas pendidikan bidang kepegawaian lantaran Sobri tak pernah memenuhi permintaan administrasi. Dia bergeming serta pasrah pada teguran tersebut. Dia siap menerima sanksi atas ketidaksiplinannya sebagai abdi negara. Bahkan, dia lebih senang dimutasi ke sekolah lain daripada tetap bertugas di sekolah yang dipimpin oleh Muluk. (*)

Lamongan, 23 November 2019

Ahmad Zaini, cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur



Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 1 Desember 2019

Santri ‘Kesayangan’ Kiai
Cerpen Ahmad Zaini

“Jangan banyak-banyak makanmu. Ini wilayahku,” cegah Faisal pada Romli. Dia kalah cepat melahap nasi liwet. Padahal, sebelum memakannya, keduanya telah sepakat menghabiskan nasi liwet sesuai dengan kaplingannya. Mereka sudah membuat garis tengah sehingga nasi liwet itu menjadi dua area.
Romli tidak memedulikan Faisal. Dia tetap menyantap nasi liwet dengan lauk ikan asin dan sambal terong. Dia mengalahkan Faisal yang jari dan mulutnya tidak kuat menahan panas.
Setelah mereka menghabiskan satu talam nasi liwet, mereka minum air intip. Air yang dimasukkan dalam panci bersama kerak nasi liwet. Airnya bewarna kecocklatan. Namun, segar sekali. Bila airnya telah habis, keduanya juga secara bergantian memakan intipnya yang sudah melunak.
”Faisal, Romli, waktu makan selesai. Sekarang waktunya salat berjamaah zuhur lalu mengaji Imrithi,” tegur Faruq, kepala keamanan di pesantren itu.
Faisal dan Romli mengangguk. Mereka menurut teguran Faruq. Remaja yang berasal dari desa yang berbeda ini meninggalkan tempat makan. Mereka menuju gotakan masing-masing.
Faisal dan Romli mandi satu tempat. Mereka tidak sabar menunggu antrean. Mereka tergesa-gesa. Dua santri ini mandi sambil bergurau dalam satu kamar mandi. Mereka cekikikan. Riuh sekali.
”Siapa dalam kamar mandi itu? Jangan bergurau. Salat jamaah segera dimulai. Sudah ditungga kiai,” Faruq mengingatkan Faisal dan Romli yang masih bergurau dalam kamar mandi.
”Iya, Kak. Sudah selesai, kok,” sahut Faisal dari dalam. Mereka berdua muncul dari kamar mandi yang sama.
”Tadi kalian mandi berdua?” tanya Faruq.
”Iya. Kamar mandi yang lain penuh,” elak romli.
”Ini pelanggaran. Siapa pun tidak boleh mandi bersamaan dalam satu kamar. Kalian bisa saling melihat aurat. Melihat aurat orang lain itu haram. Berdosa,” kata Faruq dengan nada tinggi.
Kedua santri ini hanya berdiri mematung sambil membiarkan butir-butir air di tubuhnya mengalir. Dia terdiam tak berani menatap wajah Faruq.
”Kalian telah melakukan pelanggaran. Jadi, nanti setelah jamaah zuhur dan pengajian, kalian ditakzir,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli saling memandang. Wajah mereka cemberut seperti kemukus. Sorot mata mereka saling menyalahkan.
”Gara-gara kamu yang memaksa masuk,” ucap Romli.
”Salah kamu kenapa pintunya tidak kau kunci,” bantah Faisal.
”Bagaimana bisa mengunci pintu, grendelnya saja sudah lepas semua tinggal baut,” balas Faisal.
”Sudah, sudah. Jangan berdebat di sini. Segera ke musallla,” lerai Faruq.
Kedua santri ini tertawa geli. Masak mereka baru mandi dan hanya pakai sarung disuruh jamaah.
”Kenapa kalian senyum-senyum?” tanya Faruq.
”Masak salat jamaah hanya mengenakan sarung tanpa baju dan kopyah,” jawab Romli sambil berlalu meninggalkan Faruq yang masih bingung memikirkan ucapannya.
”O, santri semprul,” gerutunya setelah menyadari kata-katanya salah.

Para santri selesai melaksanakan jamaah zuhur. Mereka berdiri membentuk barisan untuk mendapat kesempatan berjabat tangan dengan kiai. Secara bergiliran mereka menjabat dan mencium tangan kiai yang penuh aroma minyak Misik. Tiba-tiba dari arah belakang muncul Faisal dan Romli. Mereka muncul dari celah-celah santri yang lain untuk mendapat giliran menjabat dan mencium tangan kiainya.
”Faisal, Romli dari mana kalian?” tanya Kiai.
”Dari berkumur, Pak Kiai. Mulutku masih berbau ikan asin,” jawabnya.
”Hmmm. Sebelum salat berkumurlah agar sisa-sisa makanan tidak tertelan sewaktu salat. Bila itu terjadi, maka salat kalian tidak sah,” pesan kiai sambil menyentuh pundak kedua santrinya yang sangat ’menonjol’ itu.
Setelah berjabatan tangan dengan para santrinya, Pak Kiai yang penuh karisma itu duduk di belakang dampar atau meja kecil. Tangan lembut beliau meraih kitab Imrithi yang sudah ditaruh sebelumnya di atas dampar. Beliau memulai pengajian ilmu alat ini.
”Faisal, silakan ke depan!” pinta kiai.
”Inggih kiai. Ada apa?” tanya Faisal yang berpura-pura tidak mengerti maksud kiai.
”Kamu kemarin belum tuntas menghafalkan bab i’rob. Sekarang kamu ulang lalu lanjutkan ke nadlom berikutnya!” pinta kiai.
Faisal menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tidak berani melihat wajah kiai dan teman-temannya yang duduk melingkar di musalla. Keringat di keningnya mulai bermunculan. Tangannya yang memegang kitab Imrithi gemetar. Dia grogi karena belum mampu menghafalkannya.
”Ayo, mulai!” perintah kiai.
Kedua tangan Faisal yang gemetar itu perlahan membuka kitab yang dipangkunya. Dia melihat bab i’rob.
”Aqsamuhu arba’atun fal tu’tabah, rof’un wa nasbun wa kadza jazmun wa jar,” Faisal melafalkan bab i’rob dengan lantang.
Para santri tertawa semua. Mereka tak menduga kalau Faisal melafalkan nadlom itu dengan membaca. Selain itu, bagian awal bab tersebut tidak dilafalkan.
”Faisal, kamu belum hafal juga. Semalam belajar untuk menghafalkan atau tidak?” tanya kiai.
”Tidak, Pak Kiai,” jawabnya dengan pelan.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu dulu sambil belajar menghafalkan bab tersebut,” saran Kiai dengan sabar.
”Romli, giliranmu!” seru Kiai.
Romli pun mendekat ke Kiai. Dia bergerak dengan mengesot dari tempat duduknya ke samping Kiai.
”Idzil fata hasba’ tiqodihi rufi’, wakullu man la ya’taqid lam yan tafi’,” suara hafalan Romli dengan tiba-tiba.
Santri-santri yang lain, terutama Faisal tertawa terpingkal-pingkal. Dia geli mendengar hafalan Romli yang tidak sesuai dengan bab yang dimaksud Kiai.
”Faisal, Faisal,” dua kali Kiai menyebut nama teman karib Romli hingga dia berhenti tertawa, ”apa yang kau tertawakan sampai seperti itu?” sambungnya.
”Romli, Pak Kiai. Dia lucu karena tidak hafal,” jawab Faisal sambil terpingkal-pingkal.
”Tidak baik menertawai temannya yang belum hafal. Belum tentu orang yang menertawai itu lebih hafal daripada yang ditertawai,” pesan Kiai.
Faisal langsung terdiam. Dia menutup mulutnya rapat-rapat. Dia merasa tersindir dengan pesan yang disampaikan oleh Kiai.
”Romli, yang kau hafalkan itu bab muqoddimah yang sudah kau hafalkan pada pertemuan sebelumnya. Kau hafalkan bab i’rob,” Pak Kiai mengingatkan Romli.
”Saya belum hafal Pak Kiai,” kata Romli dengan jujur.
”Kalau begitu, kembali ke tempat dudukmu lalu belajarlah menghafal bab i’rob,” perintah Kiai. Romli kembali ke tempat duduknya dengan mengesot.
Faisal dan Romli merupakan dua santri yang berbeda dengan santri-santri lainnya. Mereka selalu menguji kesabaran Kiai dan para pengurus pesantren. Para pengurus terutama bagian keamanan sering memergoki dua santri tersebut di warung kopi, kemudian mengajaknya kembali ke pesantren karena ada kegiatan peringatan maulid nabi Muhammad SAW.
”Anak-anak, silakan kalian kembali ke gotakan masing-masing. Kecuali, Faisal dan Romli. Kalian berdua tetap di sini,” kata Faruq yang didampingi Kiai.
”Kalian sudah sering melakukan pelanggaran di pesantren ini. Sebagai pembelajaran agar kalian jera dan tidak mengulanginya lagi, kalian kami takzir. Kalian harus membersihkan toilet di belakang. Segera laksanakan!” sambungnya.
Kedua santri tersebut langsung melaksanakan takzir atau hukuman yang diberikan oleh pengurus pesantren. Keduanya melaksanakan dengan ikhlas. Mereka sadar bahwa selama ini mereka telah melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh pesantren.
”Sudah bersih toiletnya?” tanya Faruq.
”Sudah, Kak. Toiletnya sudah bersih,” jawab keduanya dengan rasa hormat kepada seniornya.
”Baiklah. Silakan bersihkan tubuh kalian lalu segeralah bersiap-siap mengikuti pengajian Imrithi,” pungkas Faruq.
Faisal dan Romli bergegas ke kamar mandi. Setelah itu mereka bergabung dengan para santri yang lain di musalla. Mereka bersama-sama menghafalkan nadlom imrithi dengan serempak. Gema hafalan nadlom-nadlom tersebut beriringan dengan suara deru angin sore yang mengiringi hujan pertama di musim ini. (*)

Wanar, November 2019

Ahmad Zaini, merupakan guru di SMK Negeri 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Beberapa cerpen telah terpublikasikan dalam bentuk buku kumpulan cerpen. Buku kumcer terbarunya berjudul Tadarus Hujan.





Sabtu, 09 November 2019

Lorong Kenangan, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 10 November 2019

Lorong Kenangan
Karya Ahmad Zaini

Hotel bintang dua. Bahkan mungkin tidak berlabel bintang sama sekali. Bayangkan, hotel tempat kumenginap ini tidak punya genset. Tidak punya energi listrik cadangan sebagai antisipasi jika listrik padam. Tidak ada shower. Mandi pakai gayung. Apalagi kamar ber-AC. Hotelku tidak ada fasilitas  mesin pengatur suhu itu. Bila udara gerah, kupakai selembar koran sebagai kipas. Kalau sudah terlalu parah gerahnya, jendela kubuka semua agar angin bisa masuk ke kamar. Meskipun malam hari.
Dari kamar hotel aku keluar mencari angin segar pagi hari. Kupakai sandal hotel putih tak berdaging. Aku menyusuri lorong hotel. Di kanan kiri kueja angka di setiap daun pintu kamar yang berjajar. Sesampai di ujung lorong tampak dua kursi tak berpenghuni. Kursi itu kosong meski terdapat meja kaca membujur di depannya.
Ada yang melintas dalam bayangku saat melihat dua kursi  yang kosong itu. Aku mengingat dirimu setahun yang lalu ketika kita berdua duduk di kursi yang berada di ujung lorong hotel. Kau bercerita tentang kegagalan keluargamu.
Saat itu aku tak berusaha bertanya kenapa keluargamu buyar. Namun, kau tetap bersemangat bercerita kepadaku tentang perilaku mantan suamimu yang suka semena-mena terhadapmu. Kau sering dipukul, disuruh tidur di luar kamar, bahkan kau pernah diturunkan di jalan tol saat terlibat percekcokan dalam mobil.
”Dia itu pecundang. Dia hanya menguras hartaku dan merenggut keperawananku. Setelah itu, rasa cinta dan kasih yang dulu digunakan untuk merayuku, lenyap begitu saja,” ucapmu dengan wajah terbakar amarah.
Aku menghela napas panjang. Secangkir kopi yang menemani percakapan kusruput. Aroma wanginya sudah tak terasa setelah mendengar kisah pilumu. Langit-langit hotel serasa tak meneduhkan lagi. Lorong hotel menjadi panas karena terbakar oleh ceritamu itu.
Aku melihat sorot matamu masih ada api amarah menyala-nyala. Bulat matamu memercikkan bara kebencian pada mantan suamimu. Kata-katamu mengepulkan asap. Kepulannya menyesakkan dadamu. Kau menyandarkan punggungmu di kursi yang kini sudah kusam. Kau menghela napas panjang untuk mengatur pernapasanmu. Desah kekesalan keluar-masuk dari tenggorokanmu. Kau seakan ingin menumpahkan semua gumpalan cerita kelam kepadaku. Kau hendak merogoh hatiku agar iba kepadamu.
”Semoga pengalaman pahitmu itu tidak terulang di masa mendatang,” kataku menimpali ceritamu.
Kau tertegun. Kau seperti kaget mendengar ucapanku. Kau sepertinya tak hanya ingin mendengar ucapan harapan dariku. Kau menghendaki aku mengucapkan sesuatu yang lebih dari itu. Buktinya bola matamu berputar kencang. Wajahmu mendongak ke langit-langit hotel. Kau mengarahkan pandanganmu pada lukisan bunga yang tergantung di dinding lorong.
”Aku ke kamar dulu,” pamitmu padaku.
”Silakan! Selamat beristirahat!” sahutku yang kaubalas dengan ketidaksiapan mendengar kata-kataku. Kau seperti berharap aku menahan pamitmu untuk melanjutkan kisah pilumu.
Kau membiarkan rambut lurusmu terurai sebahu. Ujung bawah bajumu kusut karena terjepit bokong dan kursi tak kau urus. Kau berdiri lalu berjalan begitu begitu saja tanpa menoleh sejenak pun kepadaku. Kau kecewa lantaran curhatmu tak terbalas ibaku.
Aku meninggalkan kursi di ujung lorong hotel. Aku masuk kamar sambil membawa secangkir kopi yang telah dingin. Aku menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar ceritamu. Aku heran kenapa kau dengan mudah mengobral cerita kegagalan keluargamu padaku.
Pintu kamar hotelku diketuk-ketuk dari luar. Mungkin itu petugas hotel yang hendak mengantar pesanan sarapan pagiku. Aku beringsut lantas membuka pintu kamar.
”Kau? Ada yang bisa kubantu?” tanyaku setelah tahu bahwa orang yang mengetuk pintu adalah dirimu.
”Buat sarapan pagimu,” katamu sembari menyodorkan sekotak nasi bebek kepadaku.
”Maaf, saya tidak berani mengonsumsi nasi bebek. Khawatir kolestrolku naik,” tolakku.
Kau membalikkan badan begitu saja tanpa sepatah kata pun. Kau seperti kecewa. Kau mendongkol karena sarapan pagi yang kau kirimkan kutolak.
Aku tidak bermaksud menolak pemberianmu. Aku menolak sarapan itu karena label nasi bebek di kemasannya. Aku beberapa bulan ini tidak berani mengonsumsi daging bebek setelah dokter yang memeriksaku waktu itu berpesan begitu padaku. Daging bebek mengandung kolestrol tinggi.
Aku membayangkan betapa kesalnya dirimu padaku. Dua kali kau kukecewakan. Cerita panjangmu hanya berbalas harapan serta penolakan sarapan pagi yang kauantarkan. Aku jadi tidak enak. Aku jadi kepikiran. Bagaimana rasanya hati perempuan yang kecewa karena keinginannya belum tercapai.
Kuhempaskan tubuhku di kasur yang membujur di kamar hotelku. Mataku terbayang-bayang wajahmu yang cemberut. Gigimu yang rapi tertutup rapat kedua bibir saat cerita panjangmu kubiarkan berlalu dari balasan yang kauharapkan dariku. Aku tak membayangkan betapa semakin remuk hatimu.
Pelayan hotel belum mengantar pesanan sarapan pagi. Perutku semakin keroncongan. Aku keluar hendak membeli sari roti buat pengganti pesananku.
”Tunggu, Mas! Akan ke mana?” tanyamu tiba-tiba dari belakangku.
”Akan membeli sari roti buat sarapan pagi,” jawabku.
Kau berhenti mengikutiku. Kedua kakimu tiba-tiba terpaku di lantai lorong hotel setelah kau dengar jawabanku. Aku menoleh ke arahmu. Kau sudah lenyap di balik pintu kamarmu. Aku merasa berat melanjutkan langkah kakiku. Tiba-tiba aku meresa tidak enak terhadapmu. Aku berhenti lalu kembali ke arah kamarmu yang kebetulan berdekatan dengan kamarku. Aku mematung di depan pintu kamarmu. Punggung jemari tangan kananku hendak mengetuk pintu kamarmu. Namun, niat itu tertahan. Aku tak berani mengetuk pintu nomor 313. Ternyata kau sudah muncul lebih dahulu di balik pintu dengan membawa sebungkus sari roti kepadaku.
”Buat sarapanmu,” katamu singkat. Aku terkejut. Kau sudah punya sari roti.
“Dari mana kau dapat Sari roti?”
”Saya membelinya kemarin sore. Kebetulan saya membeli dua. Yang satu sudah kumakan semalam,” jelasmu.
Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku berdiri mematung di depan pintu kamarmu sambil menimang sari roti yang kauberi. Aku tidak menyangka kau begitu perhatian kepa
daku.
Kedua kaki kuangkat. Aku beranjak dari depan pintu kamarmu. Kau menatapku dengan pandangan teduh mengikuti gerak langkah kakiku. Sorot matamu selalu mengikat ke mana diriku bergerak.
Sari roti kugeletakkan begitu saja di atas meja kamar hotelku. Roti itu kubiarkan membisu bersama botol-botol air minum yang isinya tinggal separoh. Pikiranku menerawang tinggi menyapu langit-langit kamar hotel. Wajahmu terbayang di antara gantungan lampu yang sinarnya tergeser oleh cahaya matahari. Aku mengusir bayang itu dengan mematikan saklar lampu. Bayang wajahmu buyar lalu menyelinap di balik lukisan pemandangan alam yang tergantung di dinding kamar hotel.
***
Aku berdiri memandangi dua kursi kosong di ujung lorong hotel. Aku tak memedulikan para pesera diklat yang berlalu di belakang punggungku. Mereka berbelok dan menuruni tangga lantai dua menuju ruang pertemuan di lantai dasar untuk menerima materi pagi itu. Dari beberapa peserta yang mengantre menuruni tangga, kusempat melihat dirimu di antara himpitan peserta yang lain. Kau menoleh ke arahku. Kau tersenyum sambil menyelinap di sela-sela peserta. Rambut sebahumu masih seperti yang dulu. Kau menyibak dua helai rambut yang sempat mengganggu penglihatanmu dengan tangan kananmu.
”Hermin, Hermin, tunggu!” seruku sambil berlari mengejarmu.
Kau hilang. Wajah ayumu tak terlihat. Rambut yang terurai sebahu tak berkelebat. Aku meneliti satu persatu peserta yang menuruni tangga itu dari belakang. Dirimu tidak terlihat dalam kerumunan para peserta. Aku menuruni tangga mendahului mereka. Aku berhenti lalu mengecek wajah-wajah mereka yang masih tersisa. Aku berharap dirimu ada di bagian belakang mereka. Namun, sampai orang terakhir yang menuruni tangga itu dirimu tidak juga kutemukan.
”Mbak, Mbak, maaf, kau lihat Hermin?” tanyaku pada seorang wanita yang bejalan paling belakang.
”Hermin siapa? Apakah Hermin yang kau maksud adalah guru yang berasal dari Sampang?” wanita itu balik bertanya. Wanita itu rupanya berasal dari daerah yang sama dengan dirimu. Sama-sama dari Sampang, Madura.
”Betul. Betul sekali. Hermin dari Sampang. Di mana dia? Tadi  saya melihatnya bersama-sama kalian,” sahutku dengan tergopoh-gopoh.
”Kau temannya?”
”Iya. Saya temannya sewaktu mengikuti pelatihan yang sama setahun yang lalu di tempat ini.”
”Mas, apakah tidak tahu kalau Mbak Hermin sudah meninggal empat bulan yang lalu?”
”Apa? Meninggal? Tidak. Tidak. Dia tadi berada di sini bersama-sama dengan kalian. Saya melihatnya. Dia sempat melihatku sambil tersenyum.”
”Mas salah orang. Mbak Hermin itu sudah meninggal. Dia dibunuh oleh mantan suaminya. Mantan suaminya cemburu karena Mbak Hermin sudah hidup bahagia bersama suami barunya.”
Setelah mendengar kisah yang lebih memilukan dari wanita itu, jiwaku terpukul. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Aku hanya meremas-remas rambutku sambil melihat bayang-bayang wajahmu yang mengharap perhatian dariku setahun yang lalu. Aku menyesal karena waktu itu tak menggubris cerita ibamu.
Suasana di bawah tangga ujung lorong hotel telah sepi. Aku meninggalkan tangga itu menyusul mereka yang sudah menerima materi pelatihan di ruang pertemuan. Di setiap langkah kakiku seperti terdengar detak-detak sepatumu mengejarku untuk memberiku sari roti buat sarapan pagiku. Namun, semua itu hanyalah sisa-sisa bayangan masa laluku yang merasa bersalah padamu. Aku hanya berdoa semoga kau dapat hidup damai di alam barumu. (*)

Lamongan, Oktober 2019

*Ahmad Zaini merupakan guru SMK Negeri 1 Lamongan