PERTEMUAN DI STASIUN KOTA
Cerpen karya Ahmad Zaini*
Kursi tunggu di stasiun kota penuh sesak calon penumpang kereta. Tak ada
celah kursi sedikit pun untuk meletakkan tas di pangkuanku. Aku terpaksa
memangkunya karena tas ini berisi barang berharga. Aku tidak berani
meletakkannya jauh dariku karena khawatir para pencuri dan pencopet akan mengambilnya.
Beberapa calon penumpang bersliweran
di depanku. Mereka memaksa menerobos celah kursi yang menghimpit posisiku. Kedua
ujung lututku berkali-kali tersenggol anak-anak yang berlari ke sana kemari.
Terkadang aku memegangnya lalu menggoda anak yang kebetulan tidak bisa melewati
celah kursi yang menghimpitku.
“Permisi, Om!” kata seorang anak bertubuh gendut dengan lugu.
“Tak bisa. Kamu baru bisa lewat kalau bisa menjawab pertanyaanku,” godaku.
Anak kecil itu salah tingkah. Dia menengok ke kanan-kiri untuk mencari
teman atau mungkin saudaranya yang dikejar.
“Adik di sini dengan siapa dan akan ke mana?” Aku memberondongkan dua
pertanyaan sekaligus padanya. Dia kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab
yang mana. Kepanikannya karena tidak mampu menjawab kedua pertanyaanku membuat
aku lebih gemas melihatnya.
“Kemari! Mendekatlah!” tangan lembutnya kutarik pelan lalu kurangkul sambil
mengulang pertanyaanku lagi. Dia memperhatikan pertanyaanku lalu menjawabnya
satu persatu.
“Saya bersama bunda. Aku mau ke Surabaya.”
‘Di mana ibumu?”
Dia tanpa ragu menunjuk ke arah yang tidak jauh dari tempatku.
“Anak pintar. Silakan lewat!” Aku mengangkat kedua kakiku lalu memberi
jalan agar si gendut ini bisa lewat.
“Terima kasih, Om!” katanya sambil berlalu meninggalkan tempat.
***
Wanita yang masih muda dengan rambut
hitam sebahu duduk gelisah di kursi tunggu. Dia rupanya mencemaskan
kereta yang belum tiba. Dia berdiri lalu menuju kantin. Tak lama kemudian dia
kembali dengan membawa sebungkus kudapan. Dia tampak kesepian sehingga dia
membeli makanan ringan sebagai teman.
Saat dia menoleh ke belakang dan menampakkan wajahnya ke tempatku, ternyata
wanita itu sudah tidak asing bagiku. Aku sangat mengenalnya karena kami hampir
lima tahun menjalin kasih dengannya. Dia adalah Alisa.
Aku sedikit gugup. Aku khawatir jika dia mengetahui keberadaanku yang duduk
tidak jauh darinya. Aku membenamkan wajahku di balik topi putih lalu
menyembunyikan mataku dengan kacamata hitamku. Aku duduk tenang sambil
memerhatikan gerak-gerik Alisa.
“Untung saya membawa kacamata ini sehingga mataku bisa lebih liar
memerhatikannya,” kataku dalam hati.
Rupanya si gendut tadi adalah anaknya. Wajah dan sikapnya sedikit pun tidak
ada yang mirip dengan ibunya. Si gendut berwajah kalem dan tutur sapanya lebih halus. Tak seperti ibunya yang
berwajah garang dan tutur sapanya menggelegar bak guntur di tengah badai.
Apalagi kalau dia sedang marah. Semua orang selokasi wisata akan mendengar
semua. Ini pernah kualami ketika dia sedang memarahiku. Dia mengamuk dengan
suara lantang seperti auman harimau. Seluruh pengunjung objek wisata tertuju
pada kami kala itu.
Alisa wanita keras kepala. Dia sosok yang tak mudah diatur. Jika dia
memunyai kemauan maka tak satu pun orang yang mampu menghadang.
“Permisi, Om!” si gendut datang lagi dan meminta jalan kepadaku.
“Eh, kamu lagi! Mana temanmu?”
“Dia sudah bersama ibunya,” jawabnya dengan ramah.
“Ayahmu di mana?”
“Ayah? Maaf, Om, saya tidak punya ayah.”
Aku terhenyak. Darahku terasa berhenti mendengar pengakuan lugu anak Alisa.
“Kok, bisa?” jawabku menggoda.
“Kata ibu, ayahku sudah pergi jauh semenjak aku masih bayi.”
Aku menghentikan pertanyaanku. Aku tidak tega dengan jawaban lugunya. Aku
menahan berjuta-juta pertanyaan tentang kabar yang disampaikan si gendut
perihal ayahnya. Si gendut kupersilakan melintasi celah kursi menuju ibunya
yang sedang asyik menikmati camilan.
Sejenak aku menghela napas panjang agar debar jantungku normal kembali.
Terus terang aku sangat terkejut mendengar jawaban si gendut. Alisa yang cantik
dan menarik itu ternyata sifatnya masih begitu-begitu saja. Masih seperti yang
dulu. Garang dan keras kepala.
“Pergi jauh…! Pergi jauh!” Aku memeroleh tugas dari si gendut.
Ayahnya merantau dan tak kembali atau meninggal dunia? Dua pilihan jawaban
yang kini berkecamuk dalam pikiranku. Kenapa aku harus bingung-bingung
memikirkan ‘pergi jauh’? Di situ masih ada Alisa yang bisa menceritakan
segalanya. Ah, tidak! Kalau aku
mendekatinya lalu menanyakan perihal itu maka topi dan kacamata hitamku akan
sia-sia. Akan tetapi, kalau tidak segera kutemukan jawabannya, maka sampai
kapan pun aku dihatui rasa penasaran itu.
Si gendut bersama ibunya. Dia seperti membicarakan sesuatu. Anak yang lucu
itu menunjuk ke arahku. Aku berusaha duduk tenang sambil melihat ibunya yang
melihat ke arahku juga. Wanita yang sangat kuhafal perangainya ini berjalan
mendekatiku. Aku gugup karena takut jika dia mengetahuiku.
“Permisi, Pak! Maaf mengganggu. Saya hanya mencari mainan anakku yang
hilang. Mungkin jatuh di sini,” katanya.
Aku kaget setengah mati. Alisa seperti sudah berubah. Selama pacaran aku
tidak pernah mendengar Alisa mengucapkan kata maaf, permisi atau kata-kata
santun lainnya. Yang kutahu dari dia selama ini selalu dar-der-dor jika berbicara. Tak peduli dengan pacar, orang tua,
atau orang lain.
“Oh, silakan dicari!” kataku
mempersilakannya.
Dia kaget saat aku berbicara. Dia seperti curiga dengan suaraku. Alisa
bangkit setelah beberapa saat merunduk mencari mainan anaknya sambil menatap
lebih dalam ke arahku.
“Kau???” tanya Alisa ragu sambil menunjukku.
Aku menahan diri. Aku duduk tenang sambil membuka media sosial di ponselku.
Aku tidak mereaksi kecurigaannya terhadapku. Aku berpura-pura tidak tahu kalau
dia sedang memperhatikanku.
“Eh, maaf salah orang!” katanya.
Dalam waktu sekejap aku sudah mendengar beberapa kata santun yang keluar
dari mulutnya. Alisa sekarang lebih
santun dan halus saat bertutur sapa daripada sebelumnya. Sudah ada perubahan
pada sikapnya.
Debar jantungku mereda ketika Alisa meninggalkan tempatku. Dia sudah
kembali ke tempat duduknya.
“Hampir saja penyamaranku terbongkar!”
***
Alisa telah menjanda. Dia sudah berpisah dengan suaminya. Aku jadi berpikir
apakah aku harus kembali padanya? Ah, tidak mungkin. Alisa sudah
mengeluarkan sumpah serapahnya untuk tidak lagi berhubungan denganku lagi. Tapi
itu dulu ketika dia sedang dikuasai emosi. Saat ini ketika kami sama-sama
‘kosong’ kukira hubungan ini bisa dijalin lagi. Dia beranak satu. Aku juga demikian.
Aku menduda sudah lama karena istriku meninggal dunia. Tumor ganas yang
bersarang di otaknya memaksaku berpisah dengannya untuk selama-lamanya. Ketika
aku bekerja di luar seperti ini, anakku sendiri di rumah dengan ibu mertuaku
yang sudah renta. Aku sangat kasihan pada anakku.
Sekarang Alisa sudah tidak seperti dulu. Rupanya dia sudah berubah. Tutur
dan sikapnya sekarang lebih halus daripada ketika masih berpacaran denganku.
Dia lebih dewasa setelah merasakan hidup berumah tangga.
“Apakah aku harus membongkar penyamaranku lalu menemuinya? Kukira tidak ada
jeleknya. Siapa tahu dia masih bersedia menjalin hubungan denganku. Apalagi
dulu aku berpisah dengannya karena termakan fitnah orang ketiga,” bisik suara
hatiku.
Aku berdiri lalu memberanikan untuk mendekatinya. Topi dan kacamata hitam
yang telah menyelamatkanku dalam penyamaran sudah kutanggalkan. Aku ingin
menemui Alisa sebagai diriku yang pernah menjadi kekasihnya. Aku merapikan
rambutku dengan sisir mungil yang tidak pernah lupa terselip di saku calana. Baju
yang kusut kurapikan. Aku ingin menemui Alisa dengan penampilan yang
meyakinkan.
Hatiku berdebar kencang ketika semakin dekat dengan Alisa. Jarakku
dengannya tinggal selangkah. Saat aku hendak menepuk pundaknya tiba-tiba dia
berdiri mengangkat tas koper sambil menuntun si gendut meninggalkan tempat
duduknya. Rupanya kereta jurusan Surabaya telah tiba.
“Alisa, tunggu!” seruku yang tergilas suara mesin dan roda-roda besi kereta
sehingga tidak sampai ke telinganya.
Aku terpaku sambil menatap Alisa yang sedang naik kereta bersama anaknya.
Hasratku untuk menyampaikan maksud menjalin hubungan lagi dengannya telah
sirna. Aku hanya bisa melepas Alisa kali kedua yang pergi dengan kereta menuju
Surabaya.
Suasana di staisun kota telah sepi. Tinggal aku sendiri berdiri mematung
meratapi diri. Tas yang kutinggalkan di tempat duduk juga telah raib. Rupanya
para pencuri masih berkeliaran di staisun kota ini. (*)
Wanar, November 2020
Ahmad Zaini adalah guru di SMKN 1 Lamongan.
Beberapa cerpen dan puisi pernah dimuat diberbagai media
cetak dan media online.
Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan