Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 17 April 2015

Ketika Senyum Itu Tiba



Ketika Senyum itu Tiba
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Jalan di sebuah gang menuntun langkah lelaki setengah tua yang memikul dua buah keranjang telur puyuh di pundaknya. Lelaki setengah tua itu setiap hari mengais rezeki sebagai pedagang telur puyuh yang berkeliling di gang-gang kota Surabaya. Dengan berbekal semangat dan keinginan agar mampu mencukupi kehidupan keluarganya, dia tidak pernah mengeluh karena kecapekan atau kepanasan. Terpaan sinar matahari di siang hari tak pernah dia rasakan. Dia menganggap sengatan sinar matahari itu ibarat sinar rembulan di malam purnama.
“Telur…! Telur…!” suaranya parau menjajakan telur puyuhnya yang masih tersisa setengah keranjang.
Suasana sepi di sebuah gang tak menyurutkan nyali dari lelaki itu. Dia tetap berjalan menyusuri gang-gang kota Surabaya sampai telur puyuhnya benar-benar habis.
“Telur puyuhnya, Pak!” seorang penjual bakso memanggilnya. Lelaki setengah tua berhenti. Dia menghampiri penjual bakso yang baru saja memanggilnya.
Penjual bakso akan membeli telur puyuh. Dia akan menggunakan telur puyuh itu sebagai isi baksonya.
Lelaki setengah tua itu dengan sigap melayani penjual bakso. Dia menghitung bungkus demi bungkus telur puyuh sesuai dengan permintaan penjual bakso.
“Tinggal lima puluh bungkus, Pak.”
“Tidak apa-apa,” sahut penjual bakso.
Wajah kusam karena hampir setengah hari belum tersentuh air sedikit ceria. Si lelaki setengah tua ini merasa bangga karena hasil dari dagangannya ini akan bisa dikirimkan kepada anaknya yang tinggal di sebuah rumah kos yang tidak jauh dari tempatnya saat ini.
Dua buah keranjang yang dipikulnya sudah kosong. Dia melenggang ke sebuah toko yang menyediakan alat tulis dan alat kantor. Toko yang juga menyediakan jasa fotokopi ini dijadikan lelaki setengah tua sebagai langganan menitipkan keranjang telur puyuhnya setiap dia akan mampir ke rumah kos naknya.
Di sebuah rumah kos yang berjarak sekitar seratus meter dari toko itu tinggal seorang pemuda yang bertubuh kurus. Dia sibuk membaca dan membolak-balik beberapa buku yang berada di sampingnya. Rupanya pemuda itu sedang mengerjakan tugas kuliah.
“Nak, Nak!” ucap lelaki setengah tua.
Pemuda tersebut lantas bangkit dari tempat duduknya lalu membuka pintu rumah kosnya yang terkunci dari dalam.
“Bapak!?” kata pemuda itu kaget setelah mengetahui yang berdiri di depan pintu rumah kosnya adalah ayahnya.
Pemuda berkulit sawo matang itu  lantas mempersilakan ayahnya masuk. Dia merapikan buku-buku yang berserakan di lantai agar ayahnya bisa duduk dengan nyaman. Dia masuk ke ruang belakang lalu kembali ke ruang depan dengan membawa sebotol air putih serta sebuah gelas.
“Diminum, Pak!” pintanya.
Lelaki setengah tua itu bermaksud membuka tutup botol air putih. Namun, dia tidak mampu membukanya. Dengan cekatan pemuda itu meraih botol untuk membantu ayahnya membukakan tutup botol lalu menuangkan airnya ke gelas yang berada di depan ayahnya. Lelaki setengah tua itu kemudian meminum segelas air yang dituangkan oleh anaknya.
Pemuda itu manatap ayahnya dengan iba. Dia merasa kasihan melihat ayahnya yang sudah tidak muda lagi, akan tetapi masih bersemangat mencari rezeki demi membiayai kuliahnya. Semangat orang tuanya dalam menyukseskan pendidikannya memang sejak dulu sangat tinggi. Sampai-sampai orang tuanya rela menjual sebagian sawah yang dimilikinya untuk membayar semua biaya perkuliahannya yang saat ini masih di semester dua.
“Ini uang untuk membayar kos kamu, Nak,” kata lelaki setengah tua itu sambil menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah kepada anaknya.
Pemuda itu menerimanya dengan beban yang sangat berat. Dia ingin mengatakan kepada ayahnya kalau uang tersebut masih kurang, tetapi dia tidak berani menyampaikannya.
“Kenapa, Nak? Masih kurang?” tanya lelaki tua itu.
Pemuda itu diam sambil menundukkan kepalanya.
“Kenapa diam? Kalau kurang, katakana saja!”
“Iya, Pak. Uangnya kurang. Besok saya harus membeli buku perkuliahan,” kata pemuda itu dengan nada berat sekali.
Setelah mendengar jawaban anaknya, lelaki setengah tua itu mengeluarkan dompetnya lagi untuk mengambil uang yang sudah tertata rapi. Uang tersebut adalah uang untuk setoran telur puyuh dagangannya dari pengepul telur puyuh di desa.
“Ini saya tambah lima puluh ribu lagi,” katanya sambil memberikan uang tersebut kepada pemuda itu.
“Jangan dulu, Pak! Itu uang setoran Bapak. Kalau belum ada uang, kapan-kapan saja. Saya akan pinjam ke teman dulu,” tolak pemuda itu.
“Tidak usah pinjam ke teman! Ini diterima dulu. Masalah uang setoran, itu urusanku,” kata lelaki setengah tua itu meyakinkan anaknya.
Setelah memberikan uang untuk kebutuhan hidup dan kuliah anaknya, lelaki setengah tua itu pamit dan menuju ke toko tempat dia menitipkan keranjangnya.
“Permisi, Pak saya mengambil keranjang!”
“O, silakan, silakan!” jawab pemilik toko dengan ramah sekali.
Ketika lelaki tua itu sudah mengambil keranjangnya dan ingin meninggalkan toko, dia terkejut karena dia mendengar suara pemilik toko menahannya.
“Tunggu dulu, Pak! Mari, masuk ke rumah sebentar!” ajak pemilik toko.
Lelaki setengah tua itu mengikuti saja permintaan pemilik toko. Dia diajak masuk oleh pemilik toko ke ruang tamu yang berada tepat di belakang tempatnya berusaha karena toko itu satu lokasi dengan tempat tinggalnya.
“Maaf, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Bapak!” kata pemillik toko.
“Tanya apa, Pak?” tanya lelaki setengah tua dengan nada penasaran.
“Bapak sering menitipkan kerangjang telur puyuh di sini. Sebenarnya Bapak pergi ke mana dan ada perlu apa?”
Pertanyaan dari pemilik toko ini tidak segera dijawab oleh lelaki setengah tua. Dia terkejut karena laki-laki pemilik toko ini bertanya seperti itu.
“Kenapa, Pak? Ceritakan saja!” desak pemilik toko setelah melihat lelaki setengah tua itu tidak segera menjawab.
Karena terdesak oleh pertanyaan pemilik toko, lelaki setengah tua yang biasa menitipkan keranjang telur puyuhnya itu bercerita.
“Saya dari tempat kos anak saya. Setiap selesai berjualan telur puyuh saya harus mampir ke tempat kos anak saya untuk memberinya uang.”
“Anak Bapak kerja?”
“Tidak. Dia masih kuliah semester dua.”
“Lantas biaya kulihnya dari mana?”
“Saya membiayai kuliahnya dari hasil menjual telur puyuh ini.”
“Hasil berjualan telur puyuh mana mungkin cukup untuk biaya kuliah?”
“Ya, begitulah. Terkadang uang setorannya juga ikut-ikutan saya berikan kepada anak saya.”
“Masya Allah! Lantas untuk kebutuhan keluarga di desa bagaimana?”
“Kami di desa masih menggarap sebagaian sawah yang tersisa setelah beberapa sawah saya juga terjual untuk biaya kuliah dan hidup anak saya di sini,” kata lelaki setengah tua dengan memelas.
“Kenapa Bapak tidak pernah cerita kepada saya kalau anak Bapak kuliah di sini dan masih menggantungkan biaya kuliahnya kepada Bapak yang hanya bekerja dengan menjual telur puyuh? Sekarang saya minta alamat tempat kos anak Bapak,” pinta laki-laki pemilik toko.
Lelaki setengah tua itu memberi tahu alamat rumah kos anaknya. Dia merasa malu setelah masalahnya ini diketahui oleh pemilik toko. Setelah memberikan alamat rumah kos anaknya, lelaki setengah tua itu akhirnya berpamitan kepada pemilik toko lalu meninggalkan rumah tersebut sambil memikul dua buah kerangjang telur puyuh yang sudah kosong.
***
Pemuda, anak penjual teluar puyuh, sedang merapikan buku-bukunya usai mengerjakan tugas. Dia menata buku-bukunya di rak yang sudah lapuk. Mesin ketik manual yang berada di ruang tamu diangkat lalu diletakkan di atas rak buku.
“Permisi!” ucap seseorang dari depan pintu.
Pemuda itu bergegas menuju ke pintu.  Setelah membuka pintu, dia melihat seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya. Pemuda itu sering memfotokopi tugasnya di toko milik laki-laki itu.
“Eh, Pak Imran! Ada apa, Pak? Silakan masuk!”
“Ternyata kamu yang tinggal di sini?” kata pemilik toko kepada pemuda tersebut. Laki-laki pemilik toko itu juga sudah tidak asing lagi dengan pemuda itu karena dia sering datang ke tokonya.
“Memang ada apa, Pak?”
“Saya ada keperluan yang sangat penting dengan kamu. Sekarang kamu kemasi pakaian dan buku-bukumu,” kata laki-laki pemilik toko.
Pemuda itu semakin tidak mengerti dengan maksud laki-laki itu. Dia datang tanpa pemberitahuan  lalu tiba-tiba menyuruhnya mengemasi pakaian dan buku-bukunya.
“Saya minta kamu bersedia tinggal di rumah saya sambil membantu saya kerja di toko. Urusan biaya makan dan tempat tinggal adalah tanggung jawab saya. Saya tadi mendapat cerita yang banyak dari lelaki setengah tua penjual telur puyuh. Ternyata dia adalah ayahmu. Jadi, Kamu jangan menolak permintaan saya.”
Pemuda itu tidak bisa berkutik lagi. Dia menuruti semua permintaan pemilik toko. Dia mengemasi pakaian dan buku-bukunya lalu berpamitan kepada pemilik rumah kos.
Sejak itulah pemuda tersebut merasa beruntung karena ditolong oleh pemilik toko langganan ayahnya menitipkan keranjang telur puyuh. Dia bisa kuliah sambil bekerja dan tidak lagi menggantungkan semua biaya hidup dan kuliahnya dari ayahnya yang hanya sebagai penjual telur puyuh.
***
Beberapa tahun kemudian, pemuda itu menamatkan kuliahnya tepat waktu. Dia termasuk lulusan yang mendapatkan IP yang baik. Saat ada lowongan pendaftaran CPNS, dia memberanikan diri dengan mengadu nasib sebagai peserta tes CPNS di daerahnya. Betapa beruntung dia karena dia termasuk salah satu dari dua ratus peserta tes yang diterima sebagai CPNS yang ditugaskan di daerahnya sendiri.(*)
Lamongan, Juli 2014