Ketika Senyum itu Tiba
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Jalan di sebuah gang
menuntun langkah lelaki setengah tua yang memikul dua buah keranjang telur
puyuh di pundaknya. Lelaki setengah tua itu setiap hari mengais rezeki sebagai
pedagang telur puyuh yang berkeliling di gang-gang kota Surabaya. Dengan
berbekal semangat dan keinginan agar mampu mencukupi kehidupan keluarganya, dia
tidak pernah mengeluh karena kecapekan atau kepanasan. Terpaan sinar matahari
di siang hari tak pernah dia rasakan. Dia menganggap sengatan sinar matahari
itu ibarat sinar rembulan di malam purnama.
“Telur…! Telur…!”
suaranya parau menjajakan telur puyuhnya yang masih tersisa setengah keranjang.
Suasana sepi di sebuah
gang tak menyurutkan nyali dari lelaki itu. Dia tetap berjalan menyusuri
gang-gang kota Surabaya sampai telur puyuhnya benar-benar habis.
“Telur puyuhnya, Pak!”
seorang penjual bakso memanggilnya. Lelaki setengah tua berhenti. Dia menghampiri
penjual bakso yang baru saja memanggilnya.
Penjual bakso akan
membeli telur puyuh. Dia akan menggunakan telur puyuh itu sebagai isi baksonya.
Lelaki setengah tua itu
dengan sigap melayani penjual bakso. Dia menghitung bungkus demi bungkus telur
puyuh sesuai dengan permintaan penjual bakso.
“Tinggal lima puluh
bungkus, Pak.”
“Tidak apa-apa,” sahut
penjual bakso.
Wajah kusam karena
hampir setengah hari belum tersentuh air sedikit ceria. Si lelaki setengah tua
ini merasa bangga karena hasil dari dagangannya ini akan bisa dikirimkan kepada
anaknya yang tinggal di sebuah rumah kos yang tidak jauh dari tempatnya saat
ini.
Dua buah keranjang yang
dipikulnya sudah kosong. Dia melenggang ke sebuah toko yang menyediakan alat
tulis dan alat kantor. Toko yang juga menyediakan jasa fotokopi ini dijadikan
lelaki setengah tua sebagai langganan menitipkan keranjang telur puyuhnya
setiap dia akan mampir ke rumah kos naknya.
Di sebuah rumah kos
yang berjarak sekitar seratus meter dari toko itu tinggal seorang pemuda yang
bertubuh kurus. Dia sibuk membaca dan membolak-balik beberapa buku yang berada
di sampingnya. Rupanya pemuda itu sedang mengerjakan tugas kuliah.
“Nak, Nak!” ucap lelaki
setengah tua.
Pemuda tersebut lantas
bangkit dari tempat duduknya lalu membuka pintu rumah kosnya yang terkunci dari
dalam.
“Bapak!?” kata pemuda
itu kaget setelah mengetahui yang berdiri di depan pintu rumah kosnya adalah
ayahnya.
Pemuda berkulit sawo
matang itu lantas mempersilakan ayahnya
masuk. Dia merapikan buku-buku yang berserakan di lantai agar ayahnya bisa
duduk dengan nyaman. Dia masuk ke ruang belakang lalu kembali ke ruang depan
dengan membawa sebotol air putih serta sebuah gelas.
“Diminum, Pak!”
pintanya.
Lelaki setengah tua itu
bermaksud membuka tutup botol air putih. Namun, dia tidak mampu membukanya.
Dengan cekatan pemuda itu meraih botol untuk membantu ayahnya membukakan tutup
botol lalu menuangkan airnya ke gelas yang berada di depan ayahnya. Lelaki
setengah tua itu kemudian meminum segelas air yang dituangkan oleh anaknya.
Pemuda itu manatap
ayahnya dengan iba. Dia merasa kasihan melihat ayahnya yang sudah tidak muda
lagi, akan tetapi masih bersemangat mencari rezeki demi membiayai kuliahnya. Semangat
orang tuanya dalam menyukseskan pendidikannya memang sejak dulu sangat tinggi.
Sampai-sampai orang tuanya rela menjual sebagian sawah yang dimilikinya untuk
membayar semua biaya perkuliahannya yang saat ini masih di semester dua.
“Ini uang untuk
membayar kos kamu, Nak,” kata lelaki setengah tua itu sambil menyodorkan uang
lima puluh ribu rupiah kepada anaknya.
Pemuda itu menerimanya
dengan beban yang sangat berat. Dia ingin mengatakan kepada ayahnya kalau uang
tersebut masih kurang, tetapi dia tidak berani menyampaikannya.
“Kenapa, Nak? Masih
kurang?” tanya lelaki tua itu.
Pemuda itu diam sambil
menundukkan kepalanya.
“Kenapa diam? Kalau
kurang, katakana saja!”
“Iya, Pak. Uangnya
kurang. Besok saya harus membeli buku perkuliahan,” kata pemuda itu dengan nada
berat sekali.
Setelah mendengar
jawaban anaknya, lelaki setengah tua itu mengeluarkan dompetnya lagi untuk
mengambil uang yang sudah tertata rapi. Uang tersebut adalah uang untuk setoran
telur puyuh dagangannya dari pengepul telur puyuh di desa.
“Ini saya tambah lima
puluh ribu lagi,” katanya sambil memberikan uang tersebut kepada pemuda itu.
“Jangan dulu, Pak! Itu
uang setoran Bapak. Kalau belum ada uang, kapan-kapan saja. Saya akan pinjam ke
teman dulu,” tolak pemuda itu.
“Tidak usah pinjam ke
teman! Ini diterima dulu. Masalah uang setoran, itu urusanku,” kata lelaki
setengah tua itu meyakinkan anaknya.
Setelah memberikan uang
untuk kebutuhan hidup dan kuliah anaknya, lelaki setengah tua itu pamit dan
menuju ke toko tempat dia menitipkan keranjangnya.
“Permisi, Pak saya
mengambil keranjang!”
“O, silakan, silakan!”
jawab pemilik toko dengan ramah sekali.
Ketika lelaki tua itu
sudah mengambil keranjangnya dan ingin meninggalkan toko, dia terkejut karena
dia mendengar suara pemilik toko menahannya.
“Tunggu dulu, Pak!
Mari, masuk ke rumah sebentar!” ajak pemilik toko.
Lelaki setengah tua itu
mengikuti saja permintaan pemilik toko. Dia diajak masuk oleh pemilik toko ke
ruang tamu yang berada tepat di belakang tempatnya berusaha karena toko itu
satu lokasi dengan tempat tinggalnya.
“Maaf, saya ingin
menanyakan sesuatu kepada Bapak!” kata pemillik toko.
“Tanya apa, Pak?” tanya
lelaki setengah tua dengan nada penasaran.
“Bapak sering
menitipkan kerangjang telur puyuh di sini. Sebenarnya Bapak pergi ke mana dan ada
perlu apa?”
Pertanyaan dari pemilik
toko ini tidak segera dijawab oleh lelaki setengah tua. Dia terkejut karena
laki-laki pemilik toko ini bertanya seperti itu.
“Kenapa, Pak? Ceritakan
saja!” desak pemilik toko setelah melihat lelaki setengah tua itu tidak segera
menjawab.
Karena terdesak oleh
pertanyaan pemilik toko, lelaki setengah tua yang biasa menitipkan keranjang
telur puyuhnya itu bercerita.
“Saya dari tempat kos
anak saya. Setiap selesai berjualan telur puyuh saya harus mampir ke tempat kos
anak saya untuk memberinya uang.”
“Anak Bapak kerja?”
“Tidak. Dia masih
kuliah semester dua.”
“Lantas biaya kulihnya
dari mana?”
“Saya membiayai
kuliahnya dari hasil menjual telur puyuh ini.”
“Hasil berjualan telur
puyuh mana mungkin cukup untuk biaya kuliah?”
“Ya, begitulah. Terkadang
uang setorannya juga ikut-ikutan saya berikan kepada anak saya.”
“Masya Allah! Lantas
untuk kebutuhan keluarga di desa bagaimana?”
“Kami di desa masih
menggarap sebagaian sawah yang tersisa setelah beberapa sawah saya juga terjual
untuk biaya kuliah dan hidup anak saya di sini,” kata lelaki setengah tua
dengan memelas.
“Kenapa Bapak tidak
pernah cerita kepada saya kalau anak Bapak kuliah di sini dan masih
menggantungkan biaya kuliahnya kepada Bapak yang hanya bekerja dengan menjual
telur puyuh? Sekarang saya minta alamat tempat kos anak Bapak,” pinta laki-laki
pemilik toko.
Lelaki setengah tua itu
memberi tahu alamat rumah kos anaknya. Dia merasa malu setelah masalahnya ini
diketahui oleh pemilik toko. Setelah memberikan alamat rumah kos anaknya, lelaki
setengah tua itu akhirnya berpamitan kepada pemilik toko lalu meninggalkan
rumah tersebut sambil memikul dua buah kerangjang telur puyuh yang sudah
kosong.
***
Pemuda, anak penjual
teluar puyuh, sedang merapikan buku-bukunya usai mengerjakan tugas. Dia menata
buku-bukunya di rak yang sudah lapuk. Mesin ketik manual yang berada di ruang
tamu diangkat lalu diletakkan di atas rak buku.
“Permisi!” ucap
seseorang dari depan pintu.
Pemuda itu bergegas
menuju ke pintu. Setelah membuka pintu,
dia melihat seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya. Pemuda
itu sering memfotokopi tugasnya di toko milik laki-laki itu.
“Eh, Pak Imran! Ada
apa, Pak? Silakan masuk!”
“Ternyata kamu yang
tinggal di sini?” kata pemilik toko kepada pemuda tersebut. Laki-laki pemilik
toko itu juga sudah tidak asing lagi dengan pemuda itu karena dia sering datang
ke tokonya.
“Memang ada apa, Pak?”
“Saya ada keperluan
yang sangat penting dengan kamu. Sekarang kamu kemasi pakaian dan buku-bukumu,”
kata laki-laki pemilik toko.
Pemuda itu semakin
tidak mengerti dengan maksud laki-laki itu. Dia datang tanpa pemberitahuan lalu tiba-tiba menyuruhnya mengemasi pakaian
dan buku-bukunya.
“Saya minta kamu
bersedia tinggal di rumah saya sambil membantu saya kerja di toko. Urusan biaya
makan dan tempat tinggal adalah tanggung jawab saya. Saya tadi mendapat cerita
yang banyak dari lelaki setengah tua penjual telur puyuh. Ternyata dia adalah
ayahmu. Jadi, Kamu jangan menolak permintaan saya.”
Pemuda itu tidak bisa berkutik
lagi. Dia menuruti semua permintaan pemilik toko. Dia mengemasi pakaian dan
buku-bukunya lalu berpamitan kepada pemilik rumah kos.
Sejak itulah pemuda
tersebut merasa beruntung karena ditolong oleh pemilik toko langganan ayahnya
menitipkan keranjang telur puyuh. Dia bisa kuliah sambil bekerja dan tidak lagi
menggantungkan semua biaya hidup dan kuliahnya dari ayahnya yang hanya sebagai
penjual telur puyuh.
***
Beberapa tahun
kemudian, pemuda itu menamatkan kuliahnya tepat waktu. Dia termasuk lulusan
yang mendapatkan IP yang baik. Saat ada lowongan pendaftaran CPNS, dia
memberanikan diri dengan mengadu nasib sebagai peserta tes CPNS di daerahnya.
Betapa beruntung dia karena dia termasuk salah satu dari dua ratus peserta tes
yang diterima sebagai CPNS yang ditugaskan di daerahnya sendiri.(*)
Lamongan, Juli
2014