Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 26 Juni 2016

KASIDAH CINTA (Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 5 Juni 2016)

Kasidah Cinta
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Malam baru saja tiba. Hari gelap telah datang bersama desir angin membelai dedaun mangga. Gerakan daun tersebut bagai lemah gemulai penari sufi dalam tarian cinta pada Sang Maha. Di sisi lain juga terlihat ujung cemara melambai-lambai memanggili purnama yang masih enggan muncul. Ujung cemara yang menjulang itu ingin menikmati malam dengan sempurna. Sungguh alam rindu pada kebersamaan, keberpaduan, riang gembira hingga suntuk malam.
Terlihat sekelompok lelaki datang ke surau. Mereka berjalan beriringan dengan membawa rebana berbagai ukuran. Para lelaki itu duduk duduk khusuk lalu bersimpuh sembari membenamkan wajah serta mengendapkan hatinya dalam kasidah cinta.
Salah satu dari mereka beringsut. Dia bergerak lalu mengisi bagian lingkaran yang rumpang. Lingkaran mereka menjadi sempurna. Tak ditemukan celah. Lingkaran itu rapat dan kuat. Mereka menyatukan niat dengan tulus untuk melantunkan puji-pujian pada sosok yang mereka rindukan.
Cinta dan rindu mereka pada sosok lelaki yang berwajah seperti purnama telah menyeret mereka dalam lantunan puji-pujian. Mereka berharap dari puji-pujian yang akan dilantunkan dapat menghadirkan sosok sempurna dalam jagad raya. Para lelaki yang berpakaian serba putih ini ingin sosok tersebut datang di tengah-tengah mereka. Mereka sangat merindukan pada sosok pencerah, pengubah, penuntun jalan umat menuju akhirat dengan keselamatan.
Sangat istimewa sosok berwajah purnama ini. Tak ada manusia dalam jagad raya yang menyamainya. Dia sosok yang dapat menjadi suri tauladan bagi manusia. Perilakunya, tutur sapanya, serta semua yang tergerak dari jasadnya dapat dijadikan cermin manusia di seluruh alam ini.
“Kapan kita mulai? Bukankah kita sudah lengkap?” kata salah satu dari lelaki yang berpakaian serba putih ini. Ia tidak sabar bertemu dengan sosok berwajah purnama, bergerigi seperti biji mentimun, beraroma seperti bau minyak misk yang harumnya tidak akan pernah lenyap dari suatu tempat meskipun sosok itu telah meninggalkannya.
“Bersabarlah! Sebentar lagi  kita akan menyenandungkan puji-pujian. Kita sama-sama ingin bertemu dan bersama beliau selamanya,” jawab lelaki yang bertubuh tinggi serta berwajah teduh ini.
Malam benar-benar telah sempurna. Fajar kemerah-merahan di langit sudah tertelan oleh gelap malam. Angin menghentikan desirnya. Dia membungkam berisik dedaun mangga. Burung-burung malam pun tak berseliweran lagi di angkasa. Mereka berdamai dalam sarang bersama betinanya. Burung-burung itu menahan cericit dan kicau merdunya demi niat mulya para umat yang ingin bertemu sosok yang mereka rindukan. Alam tidak ingin mengganggu kekhusukan dan kesyahduan puji-pujian mereka terhadap sosok lelaki berwajah purnama.
Rancak suara rebana pengiring pujian dimulai. Semua lelaki yang berada di surau itu menunduk khusuk. Mereka memfokuskan ingatannya pada sosok mulya yang tiada tandingannya di dunia. Sosok yang dimulyakan oleh jagad raya beserta isinya.
Shollu Alannabi Muhammad!” lelaki yang sebagai imam bersuara lirih namun merasuk dalam jiwa para lelaki yang hadir dalam surau.
Para lelaki yang berpakaian serba putih meningkatkan konsentrasi. Mereka khusuk menyatukan jiwanya dengan sifat-sifat luhur dari sosok  yang diidolakan. Perlahan suara puji-pujian merayapi ruang dalam surau sederhana di tepi telaga. Gema suara yang semakin meninggi ini menghipnotis makhluk Allah yang berada di sekitar surau.
Shollu alaih!” suara mereka serentak menirukan imam.
Ketiplak suara rebana bergantian secara rancak mengiringi puji-pujian cinta pada manusia mulya. Mereka hanyut dalam sifat-sifat mulya dari sosok yang sangat mereka idolakan dan rindukan.
Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika, salawatullah alaika!”
Doa-doa suci berkumandang dari surau kecil yang dikelilingi pohon mangga. Suara itu menggema dan beterbangan di seluruh jagad raya. Doa keselamatan serta sanjungan cinta tiada henti berhamburan dari para lelaki yang berpakaian serba putih. Gema doa itu membentuk gumpalan-gumpalan putih dan bersinar di langit yang memayungi surau.
Langit yang semula kelam kian bercahaya. Lantunan salawat telah memancarkan cahaya lalu menyinari serta menghiasi malam. Para lelaki itu kian bersemangat serta khusuk melantunkan puji-pujian dan doa keselamatan bagi lelaki yang sangat diidolakan. Mata mereka terpejam. Mereka berusaha menyatukan jiwanya dengan salawat yang mereka kumandangkan.
Ketika mereka sedang khusuk melantunkan sanjungan pada sosok yang mereka idam-idamkan syafaatnya, tiba-tiba aroma wangi datang memenuhi surau sederhana itu. Aroma wangi surgawi itu semakin lama semakin menusuk penciuman para lelaki. Mereka yakin bahwa sosok tersebut akan segera hadir di tengah-tengah mereka.
Lewat perasaan dan mata batin mereka, tampaklah cahaya seperti purnama yang muncul dari arah yang tidak diketahui mereka. Cahaya itu tiba-tiba bersinar terang hingga suasana malam pun seperti siang.
Ya, nabi salam alaika, ya, rasul salam alaika, ya, habib salam alaika, salawatullah alaika!”
Para lelaki yang berpakaian serba putih itu tiada henti melantunkan salawat. Mereka menyenandungkan doa keselamatan bagi sosok yang dijadikan suri tauladan. Mereka teringat tausiah imamnya yang pernah mengatakan bahwa sekali menyampaikan salam pada beliau maka kita akan mendapatkan balasan sepuluh kali salam darinya. Para lelaki tersebut tidak merasa letih meskipun telah berjam-jam melantunkan salawat pada sosok yang sempurna itu.
Allahumma sholli wasallim wabarik alaihi.”
Doa pamungkas dari sang imam mengakhiri perjamuan para lelaki bersama cahaya cemerlang yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka perlahan mengembalikan kesadarannya  di alam nyata. Mata kasatnya perlahan dibuka. Tak lama kemudian mereka saling memandang.
“Kekasih kita telah datang malam ini. Manusia sempurna yang kita dambakan syafaatnya telah berada di tengah-tengah kita. Cahaya putih berseri itu merupakan serpihan cahaya kemulyaan sifatnya.”
Para lelaki itu mengamati seluruh sisi ruang surau. Mereka tidak menemukan cahaya putih yang dilihatnya sewaktu melantunkan puji-pujian. Akan tetapi, aroma wangi itu masih tajam dan  tertinggal di surau.
Subhanallah!” ucap para lelaki di surau itu. Mereka linglung dengan derai air mata kebahagiaan. Mereka hampir tak sadarkan diri. Para lelaki yang berpakaian serba putih itu terharu karena majlis mereka dihadiri cahaya wajah lelaki yang bersinar sempurna bagai bulan purnama. Sosok manusia yang diharapkan memberi syafaat kepada umat manusia di hari pembalasan. (*)

Wanar, Januari 2016

Jumat, 01 April 2016

Kacamata Gerhana (Majalah Media Jatim, edisi April 2016)

Kacamata Gerhana
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Adit sejak dua hari ini selalu murung. Dia mengurung diri di rumah. Teman-temannya setiap sore mencarinya. Mereka ingin mengajak Adit bermain air di empang sambil mencari ketam lalu dilombakan. Adit dan teman-teman ingin menikmati suasana meriah dan penuh gairah perlombaan ketam seperti hari-hari sebelumnya.
“Adit! Adit! Ayo ke empang!” teriak teman-teman Adit dari luar rumah.
Adit bergeming. Dia tidak menggubris teriakan teman-temannya. Dia tetap duduk di kursi ruang tengah sambil termenung sendiri.
Ibu Adit pulang dari rumah saudaranya yang sedang hajatan. Dai terkejut saat melihat anak-anak berkerumun di depan rumahnya.
“Anak-anak, ada apa? Adit di mana?”
“Tidak tahu Tante. Kami sudah memanggilnya berulang-ulang, akan tetapi Adit tidak muncul-muncul,” jawab Riko.
“Tunggu sebentar ya! Akan Tante panggilkan.”
Ibu Adit masuk ke rumah. Dia tertegun keheranan karena melihat Adit duduk sendiri sambil termenung di kursi ruang tengah.
“Adit, kenapa kamu? Teman-teman mencarimu di luar. Apakah kau tidak mendengar panggilan mereka?”
“Dengar, Bu.”
“Kenapa Kua tidak menemuinya?”
Adit diam. Dia tidak segera memberikan jawaban sebagai alasan atas sikapnya yang tak menghiraukan panggilan teman-temannya. “
“Kenapa Adit? Ayo, katakan kepada Ibu!” Setelah Adit didesak oleh ibunya, akhirnya dia membuka mulutnya.
“Aku malu pada mereka. Teman-teman sudah dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya. Sedangkan aku belum punya.”
“Oalah, itu tho yang membuatmu diam di sini sampai tidak mau menemui teman-temanmu,” “apakah itu harus kau miliki?” sambungnya.
“Iya, Bu. Kata ayah mereka kalau waktu gerhana matahari kita tidak memakai kacamata gerhana maka mata kita akan buta.”
“Iya, benar. Itu kalau kita melihat matahari secara langsung. Kalau kita tidak melihatnya, ya tidak apa-apa.”
“Tapi, Bu. Saya ingin melihat proses gerhana matahari bersama teman-teman. Bapak guru IPA memberi tugas kami untuk mengamati proses gerhana matahari.”
“Baiklah kalau begitu. Besok pagi akan ibu belikan.”
“Bu, gerhana mataharinya terjadi besok pagi mulai pukul 06.30?  Apabila besok pagi baru Ibu belikan, ya percuma!” sahut Adit dengan muka cemberut.
“Lantas kamu meminta ibu membelikan kacamata gerhana sekarang?
“Iya.”
“Ayahmu belum pulang kerja Adit.”
“Nah, kebetulan. Ibu tinggal menelepon ayah agar saat pulang kerja ayah mampir ke toko untuk membelikan kacamata gerhana buat saya.”
“Benar juga. Baiklah ibu akan menelepon ayahmu,” kata ibu Adit sambil mengusap kepala anaknya yang sejak dua hari ini murung.
Ibu Adit segera memenuhi janjinya. Dia segera mengambil hape lalu menelepon suaminya di tempat kerja.
“Bagaimana, Bu?” tanya Adit.
“Ayahmu akan membelikan kacamata gerhana buat anaknya yang paling cakep ini.”
“Benarkah? Terima kasih, Bu!” kata Adit sambil melompat-lompat kegirangan.
Adit segera keluar rumah menemui teman-temannya. Dia menyampaikan kabar kepada teman-temannya bahwa dia akan dibelikan kacamata gerhana oleh ayahnya.
Setelah itu, mereka berangkat menuju empang untuk bermain air dan mencari ketam bersama-sama.
Menjelang sore saat matahari sudah berwarna jingga, Adit dan teman-temannya baru pulang dari empang. Mereka berkerumun di depan rumah sederhana yang ditumbuhi tanaman hias di sekelilingnya. Teman-teman Adit ingin memastikan kabar yang disampaikan Adit. Mereka ingin mengetahui kacamata gerhana Adit yang dibelikan ayahnya.
“Mana, Dit kecamata gerhanamu?” tanya mereka pada Adit yang baru keluar dari rumahnya.
Adit diam. Dia tertunduk lesu. Dia tidak berani menatap wajah teman-temannya.
“Kenapa, Dit?” tanya teman-temannya.
“Ayah belum datang. Padahal, biasanya jam-jam sekian ayah sudah pulang kerja.”
“Sabar, Dit! Kita tunggu sampai ayahmu datang. Mari kita bermain dulu!” Mereka mengajak Adit bermain petak umpet sambil menunggu ayahnya datang.
Baru beberapa saat mereka bermain petak umpet, dari halaman rumahnya terdengar suara motor ayah Adit. Mereka menghentikan permainannya. Adit dan teman-teman segera berlari mendekati ayah Adit yang masih belum turun dari sepeda motornya.
“Ayah, mana kacamata gerhanaku?” tanya Adit.
Ayah Adit yang bekerja sebagai sales buku anak-anak perlahan turun dari sepeda. Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Saat ayah Adit mengeluarkan kacamata gerhana dari dalam tas, teman-teman Adit tercengang. Mereka takjub pada kacamata gerhana Adit yang lebih bagus daripada miliknya.
“Wow, bagus sekali Adit!” ungkap mereka.
“Terima kasih, Ayah! Terima kasih!” kata Adit kepada ayahnya.

Teman-teman Adit sangat lega dan bahagia karena Adit sudah memunyai kacamata gerhana. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Mereka sebelumnya sudah janjian berkumpul di empang besok pagi untuk melihat proses gerhana matahari dengan memakai kacamata gerhana. (*)

Kamis, 04 Februari 2016

Dananjaya (Cerpenku di buku kumcer Bukit Kalam, Dewan Kesenian Lamongan, 2015)

Dananjaya
Cerpen karya Ahmad Zaini

“Dananjaya keparat!” teriak Narti dari balik jeruji besi. Gema teriaknya merambati lorong-lorong ruang tahanan.
Para penjaga tahanan melongo lalu melihat ke ruang tahanan Narti. Mereka bergegas menuju ke arah Narti.
“Jangan berisik! Dasar wanita penilap uang negara,” umpat penjaga tahanan sambil membuang puntung rokok dari jari tangan kanannya.
“Apa katamu? Kau mengataiku sebagai penilap uang negara?” tanya Narti geram. Tangan kanan Narti menerobos celah jeruji. Dia menarik kerah baju penjaga tahanan. Wanita ini tidak rela jika disebut sebagai penilap uang negara.
Cih, najis!” umpat penjaga tahanan sambil melempar tangan Narti yang berusaha menarik kerah seragamnya.
Mata Narti melotot. Dia bagai harimau yang sedang berusaha menerkam mangsanya. Giginya gemeretak ingin menelan penjaga tahanan keparat yang mengatainya sebagai penilap uang negara.
“Dananjaya. Dialah orang yang paling bertanggung jawab atas semua hinaan yang sering kuterima. Dananjaya keparat!” teriak Narti yang gemanya menggetarkan seluruh dinding tahanan.
“Diam…! Kalau kau tidak bisa diam, mulutmu akan kusumpal dengan kaos kaki ini!” bentak penjaga tahanan sambil menunjuk kaos kaki kumalnya.
Narti tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya mampu berteriak lalu menangisi kesialan hidup yang menimpanya sekarang ini. Janda satu anak yang dulu pernah menjadi buruan para lelaki hidung belang ini tak berdaya menghadapi masalah hukum yang dialaminya. Dia menjadi tahanan karena disangkutpautkan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Dananjaya.
***
Narti merupakan janda kembang beranak satu. Dia berpisah dengan suaminya karena dia tidak betah menerima perlakuan suaminya. Narti sering menjadi korban keegoisan suaminya yang berlatar belakang kelurga kaya raya. Wanita anggun ini sering dikatai suaminya sebagai wanita kere. Wanita mlarat. Wanita gelandangan. Bahkan yang sampai sekarang masih diingat oleh Narti dan luka hatinya masih menganga adalah umpatan suaminya yang mengatakan bahwa Narti pelacur, lonte, dan sebangsanya. Sungguh siksaan batin yang luar biasa dialami oleh Narti.
Pernah suatu malam Narti diajak jalan-jalan oleh suaminya. Karena masalah sepele, Narti diturunkan oleh suaminya di tengah jalan. Dia terpaksa harus berjalan kaki sampai ke rumahnya. Di sepanjang jalan Narti berjalan sendiri tak ada seorang pun yang dijumpainya. Tak ada jasa angkutan atau ojek yang ditemuinya karena sudah larut malam. Narti harus berjalan sekitar lima kilometer untuk bisa sampai ke rumahnya.
Sesampai di rumah, pintu utama rumah telah dikunci suaminya. Narti berusaha membangunkan sang suami dengan memanggilinya serta mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Dia juga berusaha menelepon nomor hape suaminya. Akan tetapi, usaha Narti sia-sia karena suaminya memilih merapatkan selimut tidurnya daripada membukakan pintu untuk istrinya.
Narti berjalan ke arah samping rumahnya. Dia mengecek beberapa daun jendela dengan harapan ada yang lupa dikunci. Daun-daun jendela itu ternyata terkunci rapat sehingga Narti tidak menemukan celah sedikit pun untuk menyelinap ke dalam rumah. Pada sofa bekas yang berada di samping rumahnya, Narti terpaksa tidur di situ hingga pagi hari.
***
Setelah menjanda beberapa tahun, Narti bertemu dengan Dananjaya. Bermula dari usahanya sebagai jasa katering, Dananjaya datang kepadanya untuk memesan makanan. Waktu itu ada kegiatan sosialisasi proyek pembangunan rumah susun yang dipimpinnya. Dananjaya memesan ribuan paket konsumsi untuk warga yang diundang dalam acara tersebut.
Dananjaya memiliki trik khusus agar proyek yang dipimpinnya berjalan mulus tanpa ada hambatan atau gangguan dari warga sekitar. Warga yang tinggal di sekitar proyek sering diundang makan-makan. Setelah makan bersama, mereka mendapatkan uang transport dua ratus ribu per kepala keluarga. Kegiatan seperti itu sering dilakukan oleh Dananjaya agar mereka ikut membantu serta mengamankan terlaksananya proyek Dananjaya. Pengusaha sukses ini pandai mengambil hati warga agar tidak berbuat macam-macam untuk menggagalkan proyeknya.
Rencana Dananjaya berjalan mulus. Para warga tidak ada yang memprotes proyek itu meskipun mobil proyek yang memuat material sering melintas di jalan tempat mereka tinggal. Jalan rusak parah. Jalan yang baru dibangun satu tahun itu sudah pecah-pecah dan berlubang.  Apalagi kalau musim kemarau. Setiap kendaraan proyek melintas, debu beterbangan ke sana kemari. Debu-debu itu menyerobot celah-celah ventilasi lalu masuk ke rumah warga. Seluruh perabot dan aksesori rumah diliputi debu. Mereka juga banyak yang mengeluh pada pernapasan. Tidak sedikit dari mereka terkena infeksi saluran pernapasan akut. Akan tetapi, tak satu pun warga yang berani mengadukan masalah ini kepada pihak yang berwajib. Mereka juga tidak berani melakukan blockade jalan dengan menanam pohon pisang atau memalangi jalan dengan bongkahan kayu agar kendaraan proyek tidak bisa melintas di jalan mereka.
Para warga tahu diri. Mereka selama ini sudah dimanjakan oleh Dananjaya karena sering diundang makan-makan serta mendapat uang pesangon. Mereka tidak enak pada Dananjaya jika melakukan aksi penolakan terhadap pelaksanaan proyek meskipun mereka sangat dirugikan oleh proyek tersebut.
Pernah ada aksi dari gabungan LSM yang mengatasnamakan pembela rakyat kecil. Mereka menentang proyek yang dipimpin Dananjaya ini karena merugikan warga. Para warga itu malah membubarkan paksa gabungan LSM yang sebenarnya memerjuangkan hak-haknya. Mereka mengusir para demonstran hingga mereka lari tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri. Demikian cerdik dan liciknya Dananjaya dalam memuluskan proyeknya sehingga warga sekitar proyeknya tunduk padanya. Para warga seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Mereka menuruti semua kemauan dan membiarkan niat Dananjaya itu berjalan sesuai dengan keinginannya.
Narti sebagai pemilik jasa katering kewalahan menerima pesanan konsumsi dari Dananjaya. Setiap bulan Narti menerima order lima sampai sepuluh kali. Setiap ordernya bernilai enam sampai sepuluh juta. Jadi, selama ada proyek Dananjaya di tempat itu, Narti perbulannya bisa meraup keuntungan antara sepuluh hingga lima belas juta. Sungguh penghasilan yang fantastis bagi seorang janda beranak satu ini.
***
Janda kembang beranak satu ini mulai genit. Narti berpenampilan seperti anak baru gede. Setiap hari dia berpenampilan modis sekali. Bahkan anak gadisnya yang duduk di bangku SMA kalah modis bila dibandingkan dengan ibunya. Para lelaki hidung belang berebut simpati Narti. Mereka sering datang ke tempat Narti meskipun perut mereka belum waktunya diisi nasi. Mereka memesan nasi hanya sekedar basa-basi. Para lelaki itu hanya ingin menikmati kecantikan Narti.
Dananjaya sebagai pemimpin proyek juga sering datang ke tempat usaha Narti. Dengan berlindung di balik topi kuningnya dia bebas datang menemui Narti untuk memesankan konsumsi karyawan dan para warga. Toh, hal semacam itu mestinya bisa dilakukan oleh bawahan Dananjaya.. Dananjaya tidak memedulikan jabatannya sebagai pemimpin proyek. Dia rela menanggalkan jabatannya demi bertemu dengan Narti.
Gayung pun bersambut. Narti juga sangat tertarik dengan Dananjaya. Mereka saling mencintai. Akhirnya, mereka resmi menikah di depan penghulu daerah itu.
Dananjaya terkenal sebagai pengusaha yang memunyai kedekatan dengan penguasa. Di antara mereka tidak ada tabir pemisah. Jika Dananjaya mengurus izin pelaksanaan proyek di mana pun tempatnya, maka penguasa selalu mengabulkannya. Hal ini tidak lepas dari kecerdikan Dananjaya dalam merebut hati orang yang dianggap menguntungkannya. Dananjaya selalu mengirimi mereka dengan segepok uang.
Di samping itu, Dananjaya memiliki perempuan di mana-mana. Setiap ada proyek Dananjaya, di situ pasti ada perempuan yang telah dinikahi secara sirri. Andai dalam setahun dia pindah proyek lima kali, dia juga menikahi perempuan sebanyak lima kali. Oleh karena itu, perempuan-perempuan yang mengaku sebagai istri Dananjaya bisa lebih dari lima jumlahnya dalam satu bulan.
Rumah tangga Dananjaya dengan Narti tak selurus akal bulusnya dalam memuluskan proyek-proyeknya. Rumah tangga mereka dihantam badai perpecahan. Setiap hari dia cekcok dengan Narti. Puncaknya ketika perilaku bejat Dananjaya menghamili anak semata wayang Narti terbongkar.
“Siapa, Lesi yang menghamilimu?” tanya Narti menyelidiki pelakunya.
“Dananjaya,” jawabnya.
Bak disambar petir, tubuh Narti gemetar. Matanya melotot. Mulutnya menganga. Dia lantas melesat mencari Dananjaya.
“Dananjaya, keparat!” teriak Narti sambil menggebuki Dananjaya yang pura-pura tidak tahu kepanikan istrinya dengan rotan pemukul kasur. Dananjaya bangkit dari duduknya. Dia berdiri melawan Narti. Bogeman mentah yang akan dilayangkan kepada Narti mengenai Lesi, anak semata wayang Narti. Lesi tersungkur. Darah segar mengucur dari kepalanya setelah menghantam tiang rumahnya. Lesi tak sadarkan diri. Dia koma. Akhirnya, Lesi meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Binatang kau Dananjaya!” umpat Narti sembari meratapi kematian anak tunggalnya.
***
Setahun Narti hidup dalam duka. Dia berusaha melupakan kematian anak tunggalnya. Narti mencari kesibukan dengan membuka usaha baru agar bisa terbebas dari ketergantungannya kepada Dananjaya.
Narti membuka usaha warung makan di pusat keramaian kota. Setiap hari warungnya tidak pernah sepi dari pengunjung. Hal ini dikarenakan warung Narti berada di dekat kantor pemerintah. Setiap pagi atau pada saat istirahat kerja, warung Narti dijejali konsumen yang kebanyakan adalah laki-laki.
Narti berusaha memekarkan senyum pada setiap pengunjung warungnya. Dia ingin melenyapkan kenangan pahit jilid kedua bersama Dananjaya yang telah menghilangkan nyawa anak tunggalnya. Kini Narti hidup mandiri. Dia ingin sukses membuka usaha warung dengan modal sendiri.
Saat usaha Narti mencapai puncaknya, tiba-tiba badai cobaan datang lagi. Narti mendengar kabar bahwa Dananjaya sedang ditangkap dan disidik oleh pihak kepolisian atas dugaan penyelewengan dana proyek pimpinannya. Dia dijerat pasal korupsi yang telah merugikan negara 800 milyar rupiah.
Dananjaya adalah orang yang licin. Dia orang yang sulit ditaklukkan. Para penyidik tidak berhasil menemukan barang bukti keterlibatan Dananjaya dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga 800 milyar rupiah. Akhirnya, Dananjaya dibebaskan dari dugaan kasus korupsi.
Penyidik tidak berhenti sampai disitu. Mereka mengembangkan penyidikan pada orang-orang terdekat dengan Dananjaya. Mereka memanggili para mantan istri Dananjaya yang berjumlah lima belas orang. Salah satunya adalah Narti. Mereka didatangkan untuk dimintai kesaksian atas dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan suaminya.
Para penyidik berhasil menemukan barang bukti baru. Mereka mendapatkan buku rekening bank para mantan istri Dananjaya yang dinilai tidak wajar. Para penyidik menemukan transaksi keuangan yang tidak wajar. Ternyata Dananjaya dalam melakukan transaksi terkait dengan proyek-proyeknya menggunakan nomor rekening istri-istrinya. Oleh karena itu, dalam kasus ini para mantan istri Dananjaya dijadikan sebagai tersangka. Lima belas perempuan mantan istri Dananjaya itu ditangkap lalu dijebloskan ke tahanan oleh para petugas dari pihak kepolsian dan KPK.
Sementara itu, Dananjaya sebagai biang keladi masalah itu tertawa terbahak-bahak. Dia bisa menghirup udara bebas. Dia berkeliaran memimpin proyek-proyek baru yang bernilai milyaran rupiah.
“Dananjaya keparat! Manusia setengah setan! Tunggulah balasan dari perbuatan yang telah kau lakukan ini!” teriak Narti dari balik jeruji. Penjaga tahanan datang menghapiri Narti. Dia menegur Narti agar tidak berteriak-teriak seperti itu lagi.
Narti diam. Dia tidak  berani membantah petugas itu lagi. Dia tidak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya mampu meratapi nasib hidup yang di luar batas kemampuannya sebagai seorang janda.
Suasana ruang tahanan pun hening. Tak ada suara dari para narapidana. Yang terdengar hanyalah suara gemerincing borgol Narti yang dibentur-benturkan pada jeruji besi. Gelombang suara borgol itu merembet di sepanjang lorong ruang tahanan. (*)

Wanar, 15 September 2015


BIODATA PENULIS


Ahmad Zaini, dilahirkan di Lamongan. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com, Radar Bojonegoro, Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), dan Majalah Wanita UMMI. Cerpen-cerpen yang terbukukan berjudul Telaga Lanang (Lima Dua Gresik, 2012), A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang,2014). Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011). Aktivitas sehari-hari sebagai guru di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk Lamongan. Sekarang berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur

Facebook: ilazen@yahoo.co.id/ Ahmad Zaini.












Kamis, 14 Januari 2016

Peluru Terakhir

Peluru Terakhir
Cerpen karya Ahmad Zaini



Wajah garang Sukirno tak pernah gentar menatap ratusan senjata musuh. Dia terus merangsek mendekati musuh yang bersembunyi di balik semak belukar persawahan di desanya. Dia terus memekikkan takbir untuk memberikan semangat pada kawan-kawan seperjuangan. Semangatnya terus berkobar demi membebaskan desanya dari kepungan penjajah. Dia ingin menjaga martabat dan harga diri bangsanya dari cengkeraman penjajah.
Dor!!!
Peluru terakhir Sukirno muntah dari moncong senjatanya. Peluru tersebut mengenai bak truk musuh yang mengangkut ribuan senjata dan mesiu. Ledakan dasyat  terdengar menggema di seluruh penjuru kampung. Jilatan api meluluhlantakkan iring-iringan kendaraan penjajah. Daging-daging tentara musuh tercabik kemudian bersemburat di udara. Mereka mati tak bersisa. Kepulan asap pekat membumbung menutup cakrawala di desa. Bau anyir darah menyeruak di seluruh persawahan hingga tercium oleh para pejuang kemerdekaaan yang mengintip mereka dari balik pepohonan besar dan semak belukar di desa tersebut.
“Merdeka!!!” pekik Sukirno.
Pekikan itu lantas disambut oleh puluhan pejuang. Mereka berlari mendekati Sukirno yang mengepalkan tangan ke atas sebagai tanda kemenangan negeri tercinta ini.
”Sukirno! Sukirno! Sukirno!” suara penduduk yang bersenjatakan bambu runcing mengelu-elukan Sukirno.
Berkat peluru terakhir Sukirno desa tersebut selamat dari penjajah. Peluru terkahir tersebut menjadi peluru penyelamatan dan penjaga harkat dan martabat negeri ini. Peluru yang menyelamatkan anak-anak dan remaja dari doktrin penjajah yang akan menghancurkan negeri ini.
***
 Makam Sukirno setiap hari tidak pernah surut dari peziarah. Makam yang berada di tengah-tengah pemakaman umum ini selalu ada yang mendatanginya. Para peziarah mengenang perjuangan pahlawan desa ini yang namanya tidak semencuat pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Sosok pejuang yang bersahaja namun mampu mengobarkan semangat bertempur para pejuang-pejuang bangsa dari desa ini selalu dikenang warga. Para penduduk sangat bersyukur karena berkat perjuangan Sukirno dan kawan-kawan desa yang berada di perbatasan kota Surabaya ini menjadi desa yang damai dan sejahtera seperti sekarang ini.
Para peziarah mendoakan semoga arwah Sukirno dan pejuang-pejuang lain mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah. Mereka juga memohon kepada Allah agar muncul pahlawan-pahlawan masa kini yang gigih dalam menjaga martabat negeri ini sebagaimana kegigihan Sukirno dan kawan-kawan membebaskan desa tersebut dari cengkeraman penjajah.
“Berjuang saat ini tidak harus mengangkat senjata karena peperangan fisik sudah selesai. Perjuangan kita tidak seperti yang dilakukan oleh pahlawan kita, Sukirno dan kawan-kawan kala itu. Musuh kita datang secara samar bahkan kita tidak menyadarinya,” nasihat kepala desa saat menjadi inspektur upacara peringatan hari pahlawan di pelataran pemakaman desa.
 “Pak Kades, saya takut anak kami menjadi korban penjajahan modern ini. Kami tidak bisa membayangkan masa depan anak-anak kita yang mengalami penjajahan moral, bahasa, dan keyakinan setiap hari seperti sekarang ini,” keluh seorang ayah kepada kepala desa.
“Maka dari itu kita sebagai orang tua harus selalu mendampingi anak. Kita harus membekali mereka dengan pendidikan cinta tanah air, pendidikan agama, dan pendidikan moral lainnya. Kita tidak bisa menolak penjajahan modern masuk ke negeri ini. Kita sendiri yang harus berupaya melindungi diri kita dan anak-anak kita,” kata Kepala Desa memberikan penejelasan kepada Tukijan yang mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya tadi.
Tak berselang lama mereka berbincang tentang masa depan anak-anaknya, dari kejauhan terlihat dua orang polisi berjalan mendekati mereka.
“Selamat siang, Pak!” sapa petugas kepolisian itu.
“Siang juga. Ada apa, Pak?” tanya kepala desa dengan perasaan gusar.
“Apakah dua pemuda dalam foto ini warga sini?” tanya salah satu petugas kepolisian sambil menunjukkan foto. Kepala desa mengamati foto dua pemuda yang disodorkan oleh petugas kepolisian.
“Benar, Pak. Mereka warga kami. Kebetulan salah satu pemuda dalam foto ini adalah anak Bapak Tukijan ini,” jawab kepala desa sambil menunjuk kepada Tukijan yang semenjak tadi sudah mengkhawatirkan anaknya.
“Kebetulan sekali. Perlu Bapak ketahui bahwa anak Bapak terlibat dalam kasus pengedaran narkoba. Anak Bapak sekarang kami tahan di polres.”
Tukijan terbengong-bengong mendengar penjelasan petugas kepolisian tersebut. Dia tidak mampu menimpali informasi dari pihak berwajib itu. Tukijan yang setiap hari bekerja sebagai petani hanya bisa termenung. Kedua mata lugunya berkaca-kaca. Tak lama kemudian air mata penyesalan tumpah dari kedua matanya.
“Pak Kades, bagaimana ini?” kata lirih Tukijan sembari menatap wajah kepala desa yang mengekspresikan kerpihatinan yang mendalam.
“Sabar, Pak. Ini negara hukum. Biarlah anak Bapak menjalani proses hukum. Kami tidak dapat berbuat apa-apa,” kata kepala desa.
Setelah memberikan penjelasan kepada kepala desa dan Tukijan yang anaknya tersandung masalah narkoba, kedua polisi itu undur diri untuk lembali ke tempat mereka bertugas. Sementara itu, Kepala desa dan Pak Tukijan termenung sambil menyesali diri mereka karena tidak mampu memberikan pendidikan kepada warga dan anaknya. Mereka merasa dirinya tidak bisa meneruskan nilai-nilai kepahlawanan almarhum Sukirno, pahlawan desanya, yang telah menghancurkan penjajah dengan peluru terakhirnya. Berkat peluru terakhir Sukirno, warga desa ini bisa terbebas dari pejajah dan bisa hidup aman sentausa seperti sekarang ini. (*)