Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 12 Oktober 2021

Puisi-Puisi Bertamu di Ujung Malam, Radar Bojonegoro, 10 Oktober 2021

 


Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini

 

Bertamu di Ujung Malam

 

Di ujung malam aku bertamu pada-Mu

mohon maaf,

badanku berdekil

pakaian compang

tanpa sopan menghadapMu

 

Jiwaku hilang melayang

terombang-ambing di pusaran kehidupan

aku lalai padaMu

tak pernah menyebut dan mengingatMu

aku semakin terbenam dalam lumpur

tertatih lemah

terbenam kubangan

semakin dalam

buta mata,

tuli telinga

gelap jiwa

 

sungguh tak berdaya

lantaran aku jauh dari-Mu

lama tak bersimpuh

di bawah kebesaranMu

sampai butiran tasbih

rapuh di tiang lapuk

 

aku sadar

jiwaku rapuh karena lama berpaling lari dari-Mu

kini aku datang bertamu   

memohon ampunan dan rahmat-Mu

semoga sudi menerimaku

 

Wanar, 5 Oktober 2021

 

 

Sanjungan pada Nabi

 

Shollu alan nabi Muhammad

Manusia sempurna yang tak pernah berdosa

senyum wangi jiwamu kurindu selalu

lembut perilaku dan kesederhanaan hidumu

selalu terbayang di tengah persaingan hidupku

 

Engkau menuntunku dengan suritauladan sabdamu

bahwa hidup di dunia tempat menabung pahala

berhamba padaNya

tapi aku malu karena bijak nasihatmu

berlalu dari telinga dan hatiku

 

Shollu alan nabi Muhammad

Sanjungku

berharap dirmu sudi mengakuiku sebagai umatmu

bersalawat dan berkirim salam padamu

agar muncul setitik pengakuan sebagai umatmu

betapa rugi dan celakaa hidup ini

apabila engkau tak mengenal dan tak mengakui diriku

lantaran hati dan bibirku kering dari nama dan kemulyaanmu

 

Shollu alan nabi Muhammad

Sungguh aku rindu

Cahayamu yang menuntun hidupku

ke jalan ridlo-Nya

 

Wanar, Oktober 2021

 

 

Main Rasa

 

rasa tanpa rasa

tak peduli jerit derita sesama

rasa tanpa rasa

hidup sendiri abai lainnya

rasa tanpa rasa

padahal manusia

 

Wanar, 6 Oktober 2021

 

 

Tawa Nista

 

tawa bukanlah keperkasaan

melainkan virus keyakinan

 

tawa orang merasa paling utama

memicingkan mata

merendahkan lainnya

 

tawa congkak

merontokkan kemulyaan

menjerumuskan manusia

dalam nista

 

Wanar, Oktober 2021

 

Potret Negeri

 

Potret wajah negeri mengerikan

keanggunan yang dulu dipuja

perlahan sirna

senyum dan teduh mata tak lagi mendinginkan

 

apakah karena luka

di sekujur tubuhnya

yang menjadikan potret negeri tanpa aura 

 

apakah karena murka melihat warga

yang tak pernah berhenti berdosa

akan berhenti ketika belati

menusuk hati

 

sungguh tatanan sosial yang  brutal

membuat negeri semakin sial

 

rindu potret wajah negeri

anggun dan memesona

 

Wanar, 7 Oktober 2021

 

Lupa Bercinta

 

bimbang hati jalani hidup ini

kesibukan dunia melupakan yang utama

saban hari wajah serupa matahari

pergi pulang hanya sinarnya yang menerpa

hingga lupa yang semestinya

terkadang terjebak malam gelap semua

 

pergantian hari tak pernah berhenti

demikian pula tugas dan tagihan

datang silih berganti

ruang di kepala dipenuhi kata dan angka

sampai lupa cara bercinta

 

sungguh dunia  melenakan segala

hingga buta perjalanan masa

 

Wanar, 8 Oktober 2021

Sajak-Sajak Si Kecil yang Ditinggal Mati Orang tuanya karena Korona di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 September 2021



 

Sajak-Sajak karya Ahmad Zaini

 

Si Kecil yang Ditinggal Mati Orang Tuanya karena Korona

 #1

Pada langit si kecil tengadah sambil berharap ayah-ibunya mengirim senyum

mata berkaca-kaca lelah tak memberi cerah

matahari kian redup harapan bertemu ayah bunda kian surut

hanya batu nisan berjajar dipayungi kemboja  merengkuh surup

Wanar, Agustus 2021

 

#2

Si kecil janganlah berpangku tangan

janganlah lunglai di atas batu karang

janganlah diam oleh hantaman gelombang

terbanglah bagai camar ke angkasa

sesekali menjumput ikan berenang di wajah lautan

bawa hidupmu menyeberang lautan

lalu singgahlah di dermaga kebehagaian

damai dan tenteram

Wanar, Agustus 2021

 

#3

Mimpi si kecil perlahan  menjelma guratan

kian jelas meskipun belum tuntas

lewat jemari ia berkarya demi ayah-ibu bahagia

di alam peristirahatan sementara

tunggu anakmu di surga ayah bunda

harapnya

Wanar, Agustus 2021

 

#4

Cibir dan iba mana yang kupilih, kata si kecil bimbang

ia tak mau dikerdilkan oleh cibiran keputusasaan

iba tak pula membangkitkan rasa

ia semakin terbenam air mata

tekadlah yang menyingkirkan keduanya

si kecil pun muncul di tengah cakrawala

sambil menggengamkan cita yang tergapai

Wanar, Agustus 2021

 

#5

Sulur jingga mengundang rindu pada ayah-bunda

si kecil manja dipangku senja dibelai kasih sayang

ia rindu betapa hangat dekap ayah-bunda

sebelum korona merenggut keduanya

si kecil rindu belaian kasih manja 

dari balik singgasana pengusaha

Wanar, Agustus 2021

 

#6

Si kecil telah tumbuh remaja

berbadan tegap bertampang bak raja

ia telah mewujudkan mimpi kedua orang tuanya yang telah tiada

harta dan tahta hanyalah titipan Sang Mahakuasa

ia mendermakan hartanya buat mereka yang nestapa

ia ingin melihat senyum tersemai dalam baju kebesaran istana

Wanar, Agustus 2021

 

 




 

 

Cerpen Senja Hari di Gerbang Pesantren, Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 22 Agustus 2021


 

Senja Hari di Gerbang Pesantren

Cerpen Ahmad Zaini

 

Memendam rasa rindu memang sangat berat. Rasa itu akan menjadi beban hidup. Setiap hari hidup terasa tidak nyaman apabila rindu tidak segera dituntaskan. Apalagi rindu pada belahan jiwa yang sejak dua minggu ini berpisah. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Wajah polos anak selalu terbayang di kelopak mata.

Laila adalah seorang ibu dari tiga anak. Dia merasakan betapa beratnya menyimpan rasa rindu. Ia beberapa hari malas makan. Berbagai menu yang dia masak sendiri setiap hari dibiarkan tersisa. Setiap malam mata sayunya sulit sekali terpejam. Wajah anak keduanya yang dua minggu ini berpisah, seperti mengganjal kelopak matanya. Wajah lugu itu selalu hadir di setiap malamnya.

”Doakan semoga anakmu krasan. Jangan dipikirkan terus. Nanti anakmu akan merasakan hal yang sama sehingga dia ingin pulang,”  suaminya mengingatkan.

”Sebenarnya aku sudah berusaha mengikhlaskan perpisahan ini. Aku ingin anakku belajar di pesantren. Aku ingin anakku hidup di lingkungan para kiai dan santri. Aku ingin anakku bisa mengaji dan mengerti ilmu agama. Akan tetapi, aku merasa sulit membuang bayang-bayangnya yang selalu hadir di setiap aktivitasku sehari-hari,” kata Laila yang matanya terlihat berkaca-kaca.

”Niat baik itu harus disertai dengan keikhlasan. Kalau kamu tidak segera mengikhlaskannya, saya khawatir kejadian seperti yang menimpa anak-anak tetangga akan dialami anakmu juga,” sambung suaminya.

Laila terdiam. Dia memendam dalam-dalam wajahnya dengan jilbab yang sempat lepas dari mahkota rambutnya. Jilbab putih tulang itu juga digunakan untuk menutup mata yang hampir tumpah air matanya.

Wanita yang sehari-hari mengasuh dan membina anak-anak di Taman Kanak-Kanak ini lambat laun membenarkan nasihat suaminya. Dia teringat Rendi, anak sepupunya. Rendi waktu itu hanya tiga hari di pesantren. Dia gagal melanjutkan belajar di pesantren karena tidak krasan. Hal itu terjadi karena hati kedua orang tuanya sulit melepas buah hatinya. Setiap malam kedua orang tua Rendi menangis karena tak mampu menahan rindu pada anak. Sulit dipercaya sebenarnya. Perasaan kedua orang tuanya itu menembus relung hati anaknya yang  berada di pesantren. Setiap malam Rendi pun selalu menangis. Anak semata wayang ini juga kangen kepada kedua orang tuanya. Akhirnya, Rendi pulang karena ingin berkumpul lagi dengan kedua orang tuanya.

”Bu, kangen Mas Jauhar,” rengek si bungsu.

Rengek si bungsu membuat rindu Laila pada anaknya yang di pesantren kambuh lagi. Dia mendekap si bungsu dengan derai air mata.

Lho, kenapa kalian menangis?” tanya suaminya yang baru pulang dari kerja.

”Wardah kangen kepada kakaknya,” jawab Laila.

”Kangen? Ah, masak!”

”Iya, ayah. Aku kangen Mas Juahar,” jawabnya lugu.

”Baiklah. Apabila kalian kangen, besok sore kita sambang ke pesantren,” janji ayahnya.

”Hore, besok kita bertemu Mas Jauhar,” girang si bungsu.

***

Sore hari selepas asar, mereka berangkat ke pesantren Al Fattah 3. Sang imam keluarga memenuhi janjinya mengantarkan mereka sambang anak keduanya yang baru dua minggu belajar di pesantren. Rindu mereka menggebu-gebu. Mereka  tak sabar ingin segera bertemu Jauhar yang masih lugu.

Sesampai di gerbang pesantren perjalanan mereka terhalang. Seorang satpam berdiri di depan mobil mengentikan perjalanannya.

”Maaf, akan ke mana dan perlu apa?” tanya satpam berkumis lebat.

”Akan menjenguk anak saya,” sahut Laila yang duduk kursi mobil sebelah kiri.

”Iya, kami mengantar buku anakku yang tertinggal,” sambung suaminya untuk meyakinkan penjaga keamanan pesantren itu.

”Cukup sampai di gerbang ini saja, Bu. Dilarang keras masuk ke lokasi pesantren,” kata satpam.

”Terus bagaimana dengan buku anak saya ini?”

”Tulis identitas anak Ibu biar nanti saya yang akan mengantarkan buku ini ke dalam,” pungkasnya.

Laila kebingungan. Dia tidak punya alasan lagi agar bisa bertemu dengan anaknya.

”Sebenarnya kami sekeluarga sangat merindukannya. Izinkan kami menemuinya meskipun hanya lima menit. Bapak lihat di dalam mobil. Kakak dan adiknya juga ikut. Mereka semalam tidak bisa tidur karena kangen padanya,” kilah Laila.

”Tetap tidak bisa, Bu,” tegas Pak Satpam.

”Begini saja, Pak. Mohon bantuan sekiranya Bapak bisa mengajak anak saya keluar dari kamar pesantren untuk memperlihatkan diri dekat pintu gerbang. Kami hanya ingin melihat kodisinya saja,” kata suami Laila memberikan solusi.

Pak Satpam berpikir sambil memukul-mukulkan penthungnya ke telapak tangan kirinya. Pak Satpam sebenarnya enggan memenuhi permintaan orang tua santrinya ini. Dia takut ditegur oleh pengasuh pesantren. Maklumlah, karena saat ini masih musim pandemi covid-19. Pemberlakuan PPKM darurat level 4 belum usai sehingga masih ada pembatasan tamu yang masuk ke lokasi pesantren.

”Baiklah, Bapak dan Ibu tunggu di sini saja biar saya panggilkan anak kalian. Oh, iya. Siapa namanya?”

”Muhammad Jauharul Ma’arif,” jawab si bungsu yang tiba-tiba muncul dari belakang.

Oalah, si Jauhar,” pungkas Pak Satpam yang ternyata nama Jauhar tidak asing baginya.

Laila dan kedua anaknya yang berdiri di kanan-kirinya seperti tak sabar bertemu dengan Jauhar. Mereka gemas karena sosok yang ditunggu-tunggu tidak segera muncul. Sudah lima belas menit mereka menunggu di gerbang pesantren.

Kok, lama, Bu?” tanya si bungsu.

”Sabar! Sebentar lagi kakakmu akan keluar bersama Pak Satpam,” hibur ayahnya.

”Ini sudah kelewat sabar, Yah. Ini sudah senja sebentar lagi maghrib,” kata Laila.

”Kita tunggu saja. Mungkin Jauhar masih mengaji atau ada kegiatan lain,” celetuk suaminya.

Empat orang yang berdiri di depan gerbang pesantren memiliki perasaan yang sama. Mereka dirundung gelisah. Hati mereka menggebu-gebu ingin segera bertemu sampai berkelu.

Ketika Laila hendak berteriak lantaran kesal menunggu, tiba-tiba Pak Satpam muncul dari lokasi pesantren bersama anaknya yang sangat dirindukan. Laila meronta sambil kedua tangannya menggerak-gerakkan pintu gerbang. Dia ingin memeluk buah hatinya yang dua minggu berpisah dengannya. Demikian juga dengan anaknya. Setelah melihat ayah, ibu, kakak, dan adiknya, dia langsung berlari meninggalkan satpam. Dia berbaur dengan anggota keluarganya yang hampir setengah jam menunggu di gerbang pesantren. Tangan Laila mengelus-elus kepala anaknya dari kolong jeruji pintu gerbang. Dia merangkul tubuh anaknya menembus sekat pintu gerbang. Adik dan kakaknya pun demikian. Mereka memanggili nama Jauhar yang sosoknya berada dalam halangan pintu besi sambil menjulur-julurkan kedua tangannya agar bisa saling berjabatan.

”Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik, doakan saya bisa sabar dan rajin belajar di pesantren ini!” pinta Jauhar.

”Iya. Doa kami selalu untukmu, Nak. Semoga kamu mendapat ilmu yang manfaat dan berkah,” jawab ibunya.

”Maaf, waktunya sudah menjelang maghrib. Jauhar harus kembali ke pesantren untuk bersiap-siap melaksanakan salat maghrib,” kata Pak Satpam.

”Terima kasih, Pak Satpam,” ucap suami Laila.

Keempat orang yang berada di gerbang pesantren menatap anaknya yang kembali ke tempat belajar. Mereka melepas anaknya yang berjalan dengan tegap sambil digandeng oleh Pak Satpam menuju ke pesantren. Dalam hati mereka mendoakan semoga anaknya kelak menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa.

”Mari pulang. Kita salat maghrib di masjid biasanya,” ajak suami Laila.

Senja hari mereka meninggalkan pintu gerbang pesantren. Pintu yang menjadi prasasti rindu antara hati orang tua dan anak. Mereka perlahan menjauh dari gerbang pesantren diiringi kumandang azan maghrib yang terdengar di masjid pesanten. (*)

Wanar, 13 Agustus 2021