Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 22 Februari 2024

Dakwah di Suatu Senja, Radar Banyuwangi, 17 Februari 2024

 


Dakwah di Suatu Senja

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Hari menjelang maghrib. Wajah matahari tersisa separo. Dalam hitungan detik, raja siang akan benar-benar tenggelam. Udara yang semula gerah, kini agak mereda. Ditambah semilir angin senja, pergantian waktu siang ke malam ini terasa syahdu sekali.

Di beberapa tempat masih terlihat kerumunan remaja. Mereka duduk di atas jok motor masing-masing. Tak jelas apa yang mereka lakukan. Disela keseriusannya, tiba-tiba mereka tersenyum, tertawa, hingga terbahak-bahak. Adakah yang lucu? Tentu saja mereka sendiri yang tahu. Mungkinkah mereka menertawai diri sendiri karena di masa pergantian masa mereka masih berada di pinggir jalan umum.

Orang tua zaman dahulu akan mengalami kepanikan ketika maghrib anaknya belum pulang. Mereka mencari anaknya ke sana kemari. Apabila menemukan anaknya, mereka akan memaksa anaknya pulang untuk mandi, ganti pakaian, dan pergi ke masjid. Orang tua sekarang tidak lagi seperti itu. Mereka tidak peduli anaknya sudah pulang atau belum. Yang paling penting mereka sudah berpakaian rapi lalu pergi ke masjid bersama orang tua lainnya.

   Sebagai tokoh masyarakat Jazuli berhenti di tempat para remaja itu berkerumun. Kebetulan lelaki berkumis tipis ini dalam perjalanan pulang dari Surabaya. Jazuli menegur mereka agar segera membubarkan diri.

”Permisi! Kalian jam segini masih di sini. Bukankah ini waktu salat maghrib? Segeralah pulang untuk melaksanakan salat maghrib,” tegur Jazuli.

Para ABG ini bergeming. Mereka  tidak memedulikan teguran Jazuli. Anak-anak yang berjiwa labill ini masih asyik memainkan ponsel masing-masing. Alasan mereka nanggung. Jazuli terkejut mendengar alasan mereka. Ternyata pemuda-pemuda itu lebih mementingkan menuntaskan game mereka daripada melaksanakan salat maghrib.

Jazuli mengingatkan mereka lagi. Dia memberi petuah bahwa kegiatan mereka itu tidak berguna. Hanya membuang-buang waktu saja. Jazuli menyentil mereka dengan peringatan bahwa akhirat itu lebih penting daripada bermain. Salah satu dari mereka turun dari jok motor. Dia menghampiri Jazuli. Tangan kekarnya menyambar kerah baju Jazuli kemudian mengangkatnya pelan-pelan.

”Jazuli yang sok alim. Pulanglah sebelum gigimu rontok di sini,” ancam pemuda itu.

Lelaki bertubuh kurus ini langsung gemetar. Dia cepat-cepat menghindar lalu memacu motornya meninggalkan tempat itu. Pemuda-pemuda lainnya tertawa terpingkal-pingkal melihat Jazuli yang menggeber motornya meninggalkan tempat mangkal mereka.

Sesampai di rumah, Jazuli duduk sebentar. Dia minum segelas air putih. Dia menenangkan hatinya dengan karena hampir saja giginya dibuat copot oleh anak-anak itu. Jazuli menghela napas panjang. Dia tidak menyangka mendapat ancaman dari mereka. Tiga detik kemudian Jazuli beranjak dari tempat duduk, berwudlu, lalu beribadah salat maghrib di masjid.

Kira-kira apa penyebab mereka seperti itu, pikir Jazuli sembari duduk santai selepas salat maghrib. Mereka sensitif, mudah emosi. Mereka egois, tak pernah mendengar nasihat orang lain. Mereka tak merasa berdosa meninggalkan salat begitu saja. Apakah selama ini mereka tidak pernah diperintah orang tuanya melaksanakan salat? Apakah mereka di sekolah belum mendapatkan ilmu tentang salat. Mereka anak-anak usia sekolah. Sudah barang tentu mereka telah mendapatkan bimbingan tentang salat.

”Ada apa, Pak? Sejak tadi seperti ada yang kamu pikirkan,” kata istri Jazuli yang juga baru turun dari tempat salat. 

”Kita beruntung sekali, Bu karena anak-anak kita di pesantren,” ucap Jazuli.

”Memang kenapa?”

”Di empang sebelah jalan desa, aku menegur anak-anak seusia Tamam, anak kita. Mereka saya suruh pulang karena sudah saatnya waktu maghrib. Eh, mereka malawan. Aku hampir dicelakai mereka. Untung saja aku bisa kabur.”

”Tidak usah menegur anak orang lain. Biarkan saja mereka diurus orang tua masing-masing. Kita urus anak kita sendiri.”

”Tidak boleh seperti itu, Bu. Amar ma’ruf  itu dilakukan kepada siapa dan oleh siapa pun. Tidak bisa hanya mengurusi keluarga sendiri.”

”Tapi kalau mendapat ancaman seperti itu bagaimana?”

”Ya, kita harus menyadarkannya pelan-pelan dan tidak boleh putus asa.”

”Kenapa kamu lari? Hajar saja mereka hingga mau melaksanakan salat maghrib.”

”Berdakwah tidak boleh dengan kekerasan. Harus dilakukan dengan cara yang bijaksana.”

”Paham. Aku sangat paham. Tapi, kamu jangan kecewa terhadap mereka. Kamu harus berlapang dada mendapat perlakukan kasar mereka,” pungkas istri Jazuli.

”Siap. Aku tidak kecewa,” sanggup Jazuli.

Percakapan mereka selesai. Istri Jazuli balik kanan lalu berjalan menuju ruang dapur. Dia membuatkan kopi kesukaan suaminya.

Dalam temaram lampu ruang tamu, suami istri ini terlibat diskusi kecil-kecilan. Mereka ditemani secangkir kopi. Nyamuk-nyamuk mengusili mereka. Sesekali gigitannya membuyarkan kefokusan mereka.

”Orang mengajak kebaikan pasti ada tantangan. Jangankan manusia biasa. Setingkat nabi masih mendapat perlawanan dari umatnya. Yang penting manusia tetap menunaikan kewajibannya. Yakni, menyeru orang lain melakukan kebaikan,” kata Jazuli setelah menyeruput kopi panas.

”Kalau tantangan itu sampai membahayakan dirinya bagaimana? Bukankah Allah melarang hamba-Nya agar tidak terjerumus ke dalam kerusakan?” sanggah istrinya.

”Berdakwah sesuai dengan kemampuan. Bila kita sudah berusaha maksimal, kemudian mereka tetap menolak bahkan mengancam kita, cukuplah berdakwah dengan hati. Hati kita benci terhadap kemungkaran yang mereka lakukan,” jelas Jazuli.

 Istri Jazuli mulai puas. Dia bersyukur karena suaminya memahami semua permasalahan dakwah. Sejak awal istri Jazuli takut suaminya berdakwah dengan kasar kemudian keselamatannya terancam.

Malam sudah larut. Suasana di luar rumah sepi sekali. Tak terdengar suara motor melintas di jalan. Anak-anak tetangga juga telah pulas di dekap orang tua. Mata Jazuli juga tampak tidak mampu menahan kantuk. Demikian juga istrinya. Mereka pun beristirahat agar keessokan harinya dapat melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid.

Sungguh mulia orang yang masih ingat kewajiban berdakwah. Mereka tidak memikirkan diri dan keluarganya saja, tetapi juga orang lain. Betapa damai dan indahnya kehidupan ini apabila masih ada yang ikhlas berdakwah untuk menyeru kepada kebaikan. Kegaduhan dan keresahan akan hilang karena Allah menurunkan keberkahan hidup di tempat itu. Tempat yang nyaman penuh ampunan dari Allah.

Sore hari ketika Jazuli pulang kerja, dia tidak melihat kerumunan remaja yang sempat mengancam keselamatannya. Tempat itu sepi. Tidak ada satu pun pemuda yang duduk ongkang-ongkang kaki di jok motornya. Tidak terdengar tawa terbahak-bahak mereka. Tidak ada suara siulnya saat ada gadis melintas. Jazuli berhenti. Dia turun dari sepeda motor. Dia ingin memastikan anak-anak muda itu tidak di tempat tersebut. Setelah yakin bahwa mereka tidak berada di tempat mangkal ini, Jazuli melanjutkan perjalanan pulang.

Azan maghrib berkumandang dari masjid. Suara muazin merdu sekali. Jazuli dan warga lain penasaran karena selama ini belum pernah terdengar suara azan semerdu ini. Jazuli dan warga berbondong-bondong datang ke masjid guna melaksanakan salat maghrib berjamaah seperti biasanya. Subhanallah, ucap Jazuli dalam hati. Ternyata pemuda yang sempat menarik kerah baju Jazuli itu muazinnya. Di belakang pemuda itu, terlihat beberapa teman nongkrongnya duduk khusuk sambil mendengar dan menjawab azan temannya.

Hidayah Allah kapan dan kepada siapa akan diberikan, itu rahasia. Sebagai buktinya adalah para pemuda itu. Sesering apapun dakwah diberikan kepada umat, jika belum mendapat hidayah Allah, mereka tetap berada dalam kemungkaran. Apabila Allah telah menurunkan hidayah pada umat-Nya, sekali diajak atau bahkan tidak ada yang mengajaknya, mereka akan mentas dari kubang kemungkaran.

Setelah melaksanakan salat maghrib para pemuda itu menghampiri Jazuli yang saat itu sebagai imam. Mereka menjabat tangan Jazuli sambil berbisik minta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Para pemuda itu salut dan berterima kasih kepada Jazuli. Lantaran nasihat-nasihat yang disampaikan Jazuli kala itu, Allah menurunkan hidayah kepada mereka. (*)

 

Lamongan, 29 November 2023

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Negeriku dalam Cerita, Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 28 Januari 2024

 


Negeriku dalam Cerita

Karya Ahmad Zaini

 

Betapa anggun negeriku. Anugerah Tuhan tak terdustakan. Gunung-gunung duduk damai. Angin bertiup landai. Ombak bergulung di samudera luas. Langit biru membahana. Tanaman tumbuh subur dan rakyat sejahtera. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Begitu Tuhan menyindir penghuni negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Memang begitu adanya negeriku. Keelokan dan kesuburan mengundang penasaran negara-negara lain merebutnya. Cerita kakekku bangsa-bangsa Eropa dan Asia waktu itu sangat berambisi menguasai negeriku. Beberapa negara mengirimkan bala tentaranya untuk merebut dan menguasai negeri ini. Namun, penduduk pribumi kala itu tidak tinggal diam. Para leluhur berjuang mati-matian dalam mempertahankan negeri. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata. Mereka merelakan jiwa, raga, dan harta demi menjaga kedaulatan negeri.

Seorang teman dari Tunisia datang ke rumah. Namanya Ibrahim. Dia teman kuliahku di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Dulu dia berbadan tegap. Berwajah tampan dengan cambang yang berwibawa. Saat tersenyum, gigi-gignya putih berjajar rapi laksana biji mentimun. Aku sempat hampir tak bisa mengenalinya karena penampilannya sangat berbeda. Badannya kurus. Wajah agak kusam. Cambang dibiarkan memanjang dengan jenggot yang menjuntai hampir menyentuh dada. Penampilan Ibrahim kini berubah 180 derajat. Sepereti kurang terawat. Mungkin karena perang saudara beberapa bulan lalu yang telah menyebabkan dia menjadi begini.

“Rafi, izinkan aku tinggal di sini satu bulan. Aku ingin hidup damai dengan menetap di negerimu. Aku ingin mencari pekerjaan tetap, membangun rumah, lalu menetap di sini. Aku kagum dengan ceritamu semasa kita bersama-sama di Al Azhar,” kata Ibrahim menyampaikan maksud kedatangannya kepadaku.

“Silakan, Kawan! Aku tidak keberatan jika kamu mau tinggal sementara di rumahku. Namun, aku tidak menjamin apabila semua keinginanmu tercapai di negeriku ini,” aku meninmpalinya.

“Bukankah negerimu ini kaya raya. Negeri subur dengan sumber daya alam melimpah?” sambung Ibrahim.

“Betul sekali. Negeriku memang kaya sumber daya alam. Negeriku memang subur. Namun, peluang untuk bisa hidup bahagia sebagaimana keinginanmu, aku belum bisa menjamin,” jelasku.

“Aku yakin bisa. Aku akan kerja keras. Kerja apa saja yang terpenting halal,” kata Ibrahim dengan penuh keyakinan.

Aku salut dengan kegigihan Ibrahim. Tapi, aku tidak membiarkan dirinya asal kerja karena Ibrahim ini sosok yang pandai dan terampil. Aku akan mencoba menawarinya untuk bersama-sama membantuku dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang kukelola.

Sore hari aku mengajaknya melihat-lihat kondisi lembaga pendidikan yang kukelola. Sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarga besarku. Ketika ayah masih hidup, lembaga ini berkembang pesat. Tidak membutuhkan waktu lama, ayah bisa mengubah bangunan dan sistem pendidikan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Setelah ayahku meninggal karena badai Covid-19 menyerang negeri, tongkat estafet kepemimpinan lembaga diserahkan kepadaku.

“Luar biasa. Bangunan sederhana, namun  menyenangkan. Pasti muridnya banyak dan  belajar dengan nyaman di sini,” takjub Ibrahim.

Aku mengangguk pelan. Mungkin karena kondisi lembaga pendidikan saat ini tidak seluruhnya sesuai dengan ucapan Ibrahim. Makanya aku ragu untuk mengiyakan kata-kata Ibrahim. Kondisi sekarang jauh menurun dibanding saat ayah masih hidup. Orang-orang mengibaratkan lembaga pendidikanku ini kehilangan obor.

“Aku minta agar kamu bersedia membantu untuk membangkitkan dan mengembangkan lembaga ini,” pintaku padanya. Ibrahim diam. Dia tidak segera memastikan jawaban.

Aku memakluminya. Aku memberikan kesempatan pada Ibrahim untuk berpikir. Daripada aku memaksanya harus menjawab seketika lalu di kemudian hari dia berubah pikiran. Aku sendiri yang kerepotan.

“Jangan dibuat serius. Ini hanyalah tawaran saja,” kataku mencairkan suasana.

Urat-urat di wajah Ibrahim lentur kembali. Dia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia punya keyakinan bahwa aku bisa membangkitkan dan mengambangkan lembaga pendidikan ini seperti waktu dulu. Aku membalasnya dengan anggukan. Aku berharap isyarat dari Ibrahim merupakan doa buatku.

Suatu malam, Ibrahim mengajakku keluar rumah sekadar mencari camilan. Sebagai tuan rumah, aku harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Bukankah menghormati tamu itu sebagian tanda hamba beriman? Itu dulu yang pernah disampaikan oleh ustadzku saat pengajian di musalla kampung dulu.

Mobil peninggalan ayahku tapi masih sangat layak ditumpangi kukeluarkan dari garasi mobil. Ibrahim kupersilakan duduk di kabin depan sebelah kiri. Remaja Tunisia yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini kuajak berkeliling kota terlebih dahulu. Jalan raya yang tersorot lampu mobil terlihat bergelombang dan berlubang. Kondisi jalan raya seperti ini membuat perjalanan kami kurang nyaman. Mobil terasa melompat-lompat dan terkadang roda depan terperosok lubang hingga kepala Ibrahim terantuk bodi mobil.

“Jalan seperti ini yang tidak pernah kutemukan di negeriku. Meskipun, dari keamanan terkoyak karena perang saudara, infrastruktur jalan sangat bagus. Tidak bergelombang dan tidak berlubang,” sindir Ibrahim.

“Itulah sebagian keunikan di negeriku. Walaupun beberapa proyek perbaikan jalan telah dilakukan, tapi kondisi jalan masih sedemikian itu. Tak jarang banyak pengendara motor jatuh kemudian mati,” kataku.

“Mati? Berapa banyak?”

“Setahun bisa puluhan bahkan sampai ratusan jiwa melayang karena kondisi jalan.”

“Di negerimu nyawa melayang karena jalan. Di negeriku nyawa melayang karena tembakan. Itulah dunia. Beraneka peristiwa datang bergantian. Yang terpenting sebagai manusia kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.”

“Itu ada apa, kok, ramai sekali?” tanya Ibrahim.

“Kurang tahu,” jawabku singkat.

Aku bertanya kepada seseorang yang baru saja meninggalkan kerumunan. Jawabnya ada korban tawuran.

“O, korban tawuran. Tawuran itu apa?”

“Tawuran itu semacam perang kecil-kecilan.”

“Sampai ada korban?”

“Iya.”

“Kamu pernah bercerita bahwa penduduk negerimu itu ramah-ramah,” tanya Ibrahim mengingatkan cerita yang pernah kusampaikan saat masih di Kairo.

Tentang pertanyaan ini aku menghela napas Panjang. Dadaku terasa sesak dan mulutku terasa berkaret. Berat sekali aku menjelaskannya.

Diakui atau tidak di negeriku dari tahun ke tahun mengalami kemerosotan moral. Orang-orang menyebutnya dakadensi moral. Banyak peristiwa kekerasan fisik dan psikis yang pelaku atau korbannya itu para remaja. Padahal remaja itu penentu kemajuan bangsa. Di pundaknyalah maju-mundur sebuah negeri.

“Kami para pelaku pendidikan sudah berupaya untuk menanggulangi kemerosotan moral. Beberapa pelajaran penting tentang moral kusisipkan dalam pembelajaran sehari-hari. Tapi lingkunganlah yang sangat berperan. Apabila di luar sekolah lingkungan kurang baik, pendidikan moral yang diterima di sekolah akan hilang begitu saja. Walhasil, lahirlah generasi-generasi yang suka tawuran dan aksi kekerasan lainnya.”

Belum sebulan Ibrahim tinggal di sini, banyak kejanggalan yang membuatnya jadi ragu berkarier di negeriku. Guratan di keningnya mengisyaratkan dia ingin segera balik ke negerinya.

“Bagaimana, Kawan? Adakah sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?” tanyaku padanya.

“Iya. Aku jadi…,”

“Jadi ragu tinggal di sini?” sergahku.

“Begitulah. Ternyata kondisi negerimu yang seperti kauceritakan dulu itu tinggal cerita. Sering terjadi tawuran, kondisi jalan rusak, banyak pengemis dan gelandangan. Belum lagi berita yang kusaksikan lewat berita televisi, banyak informasi terkait kekerasan fisik dan psikis. Juga kekerasan seksual,” kata Ibrahim terkait kondisi negeriku tidak seperti ceritaku beberapa tahun lalu.

 

Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku membiarkan Ibrahim untuk menentukan sikap setelah mengetahui kondisi nyata di lapangan. Ternyata dia memilih mengurungkan niat tinggal di sini. Aku tidak punya alasan mencegahnya. Aku sangat menghargai keputusannya.

Keesokan harinya, aku mengantarkan Ibrahim ke bandara Juanda. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Di kanan-kiri jalan raya yang kulintasi, banyak kesemerawutan. Banyak warga berebut nasib dengan mengantre sembako gratis yang dibagikan oleh para penggila jabatan untuk mendapatkan simpati warga. (*)

Lamongan, 18 Januari 2024

Sabtu, 09 Desember 2023

Jam Malam-cerpen Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 3 Desember 2023

 

Jam Malam

Karya Ahmad Zaini

 

Tiga minggu ini Karto terlihat bersedih. Wajahnya murung. Matanya sayu. Setiap pagi, siang, dan sore dia menghabiskan waktu duduk di kursi tua berbahan rotan di samping kanan pintu rumah. Dia berdiri bila perut lapar atau hendak buang air besar. Pantatnya seakan menyatu dengan kursi rotan meskipun punggungnya gatal-gatal oleh gigitan kutu rotan, tinggi.

Kesedihan Karto bukan tanpa alasan. Dia bersedih karena kebiasan anak keduanya yang sering berkeluyuran malam hari. Anak laki-lakinya sering pulang pukul satu atau dua dini hari. Entah dari mana dan apa yang dilakukan sampai pulang ke rumah larut malam.

”Di warung itu tiap malam dipenuhi anak-anak remaja hingga pagi. Mereka hanya duduk-duduk bermain hape,” kata Ruslan, rekan Karto, yang kebetulan rumahnya dekat dengan warung.

Sepanjang jalan di daerah Karto, warung-warung bermunculan seperti jamur tumbuh di awal musim hujan. Rata-rata warung tersebut menyediakan fasilitas wifi selain kopi dan gorengan. Inilah alasan mengapa anak-anak remaja betah duduk di warung semalam suntuk. Padahal, paginya mereka berangkat sekolah. Tak ayal Karto sering menerima kabar dari guru bahwa anaknya sering tidur di kelas.

Kabar tentang klitih yang terjadi akhir-akhir ini menambah beban pikiran Karto. Dia tidak bisa tidur selama Roni, anaknya,belum pulang. Karto gelisah. Dia takut anak lelaki satu-satunya ini menjadi korban klitih seperti yang dialami anak seusianya di daerah sebelah.

Karto sadar lingkungan pergaulan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anaknya. Dia khawatir anaknya terjerumus dalam pergaulan negatif di warung itu kemudian bergabung dengan kelompok kriminal.

Kekhawatiran Karto bermula saat Roni minta dibelikan sepeda motor.  Sepeda motor yang dibeli dengan uang penjualan sebagian sawahnya itu diprotoli. Kelengkapan bodi sepeda rakitan pabrik dilepasi semua. Sekarang sepeda Roni tinggal seperti kerangka manusia. Knalpot, setir, dan roda motor Roni tidak standar. Apabila motor Roni dinyalakan, raungan suara motornya terdengar dari jarak tiga kilo meter.

Beberapa kali Karto menegur Roni. Dia malu ulah anaknya menjadi buah bibir masyarakat. Namun, teguran Karto sering diabaikan Roni. Bahkan, suatu hari Roni pernah mengancam akan minggat jika sang ayah selalu melarang keinginannya.

”Tolong, tolong, tolong!” teriak dari kejauhan.

Karto dan para tetanggga keluar rumah. Mereka melihat ada beberapa remaja berkejar-kejaran. Mereka saling menyerang dengan senjata tajam. Mereka beradu senjata hingga menimbulkan bunyi dentingan mengiris hati. Salah satu dari mereka tersungkur. Kemudian yang lain berlari menjauh meninggalkannya. Seketika itu pula suasana menjadi senyap. Tak ada teriakan minta tolong. Tak ada dentingan senjata tajam. Tak ada kilauan pedang yang beradu ketajaman di bawah sorot lampu jalan.

Karto dan para tetangga menghampiri korban yang meringkuk bersimbah darah. Korban tak berdaya. Dia hanya mengerang kesakitan karena luka sabetan pedang di sekujur tubuhnya.

”To, Roni anakmu,” kata Ruslan.

Karto mendekati korban dengan tubuh gemetar. Tangan kanan karto mengusap wajah korban yang berlumuran darah dengan pelan-pelan untuk memastikan kebenaran ucapan Ruslan. Ternyata benar. Korban itu adalah Roni.

”Anakku,” jerit Karto sambil membopong tubuh anaknya.

”Ambulan desa. Cepat hubungi sopirnya,” pinta Ruslan.

Tangis Karto pecah. Dia menjerit sekuat-kuatnya. Dia tidak mengira kalau remaja yang menjadi bulan-bulanan pelaku tadi adalah anaknya. Dia menyesal kenapa tidak langsung menolongnya saat itu.

”Andai tadi kita langsung ke sini, tidak mungkin anakku seperti ini,” kata Karto lirih kepada tetangga lainnya.

Ambulan datang dengan raungan suara sirinenya. Karto dibantu tetangga mengangkat korban kemudian membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.

***

  Klitih telah merajalela. Klitih merambah daerah kita. Semalam Roni anak Pak Karto, warga kita, telah menjadi korban.  Kita harus bertindak supaya tidak ada korban-korban lainnya,” kata kepala desa dalam rapat di balai desa.

”Betul sekali, Pak. Kita harus menjaga desa kita dari aksi klitih yang membahayakan nyawa warga,” sambung Ruslan.

”Bagaimana dengan yang lain?” tanya kepala desa.

”Setuju,” sahut warga yang hadir dalam rapat itu dengan serentak.

”Bagaimana caranya?”

”Kita berlakukan jam malam. Semua warga dilarang keluar kampung malam hari,” usul Ruslan.

”Setuju. Mulai jam berapa dan siapa petugasnya?” tanya peserta rapat lainnya.

”Mulai pukul sembilan malam, semua warga tidak boleh keluar kampung. Kecuali, ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Untuk mengawasi warga agar tidak keluar kampung, kita bentuk jadwal piket jaga yang melibatkan seluruh warga. Terutama warga laki-laki baik remaja maupun dewasa,” jawab Ruslan.

”Saya sangat setuju usulan Pak Ruslan. Mulai besok, rencana ini kita jalankan agar warga kita aman. Tidak ada korban lainnya,” pungkas kepala desa.

Hasil pertemuan para tokoh kampung ini disebarluaskan ke warga lain. Tidak membutuhkan waktu lama, kebijakan pemberlakuan jam malam telah sampai ke telinga seluruh warga. Para orang tua juga diimbau untuk menjaga anak-anaknya agar tidak keluar rumah atau kampung.

Para pemilik warung kopi tak luput dari kebijakan ini. Mereka harus menutup warungnya mulai pukul sembilan malam. Jika ada pelanggar aturan jam malam, maka perangkat desa segera memberi sanksi. Warung mereka akan ditutup paksa oleh petugas.

”Pendapatanku turun apabila diberlakukan jam malam,” kata pemilik warung kopi tempat mangkal remaja kampung.

”Sementara saja, Cak. Bila sudah aman dan situasi normal, bisa buka lagi,” jelas Ruslan, penggagas program jam malam.

Hari pertama pemberlakuan jam malam terasa berat. Petugas jaga kewalahan menghalau anak-anak remaja yang nekat akan keluar kampung. Mereka tidak betah tinggal di rumah. Mereka tetap ingin ke warung kopi meskipun ibunya telah menyiapkan kopi di rumah.

”Demi keselamatan kalian, ayo, kembali! Jangan ada yang keluar kampung,” bujuk petugas jaga. Anak-anak  yang rerata usia sekolah ini menuruti permintaan petugas. Mereka kembali ke rumah.

Jalan raya tak seperti biasanya. Jalan beraspal itu hanya dilalui truk, bus, dan kendaraan lain. Para pengguna jalan sekadar melintas saja. Tidak terlihat kerumunan remaja yang biasa mangkal di bawah lampu penerang jalan atau di bundaran. Tak ada remaja di warung kopi. Selain warung tutup, para orang tua telah berhasil melaksanakan tugas dengan baik.

Petugas jaga duduk di area gapura kampung. Mata mereka mengamati situasi sekeliling dengan jeli. Mereka tidak mau kecolongan aksi nekat warganya yang menyelinap melalui semak belukar. Para petugas jaga jam malam benar-benar fokus melaksanakan tugas. Demi keamanan dan keselamatan warganya.

”Drun, semak-semak itu bergerak-gerak,” bisik Sukri pada Badrun.

”Benar. Pasti itu ada warga yang akan keluar kampung,” sahut Badrun.

Kedua petugas ini berjalan mengendap-endap mendekati semak belukar. Mereka hendak memastikan siapa yang ada dalam semak.

”Siapa itu?” tanya Badrun. Namun, tidak ada jawaban.

”Hai, siapa di sana,” sambung Sukri. Sama tidak ada yang menyahuti pertanyaan Sukri.

Kedua orang ini memberanikan diri menyisir semak belukar. Mereka tak gentar dengan bahaya sengatan atau gigitan serangga malam dan ular. Sesampai di tempat dimaksud, eh, ternyata hanya seekor kucing yang memangsa tikus.

Kedua petugas jaga malam kembali ke pos. Mereka siap begadang semalam suntuk sampai jam malam berakhir, yakni ketika azan subuh dikumandangkan Mbak Rifai. Mereka bertekad bulat melayani masyarakat dengan menjaga keamanan kampung dari ancaman klitih dan genk motor yang meresahkan warga kampung.

Pemberlakuan jam malam benar-benar ampuh. Tidak ada gangguan keamanan lagi di kampung. Para pelaku aksi kekerasan yang biasanya berkeliaran di wilayah ini tidak ada yang berani mendekati kampung. Mereka menyadari niat jahatnya telah terendus oleh warga kampung. Mereka tidak mau mati sia-sia akibat dikeroyok warga yang siap menghalau dan menumpas aksi jahatnya.

Sekarang kampung ini damai. Warga tidak dirundung kecemasan. Roni anak Pak Karto juga sudah pulang dari perawatan di rumah sakit. Luka akibat terkena sabetan pedang anggota genk motor telah sembuh.

Bulan purnama yang turut menjaga kampung undur diri. Dewi malam menyelinap di balik pepohonan perdu tempat burung-burung bersitirahat. Azan subuh berkumandang. Petugas jaga jam malam pulang ke rumah masing-masing. Mereka hendak beristirahat untuk memulihkan energi agar dapat melaksanakan tugas jaga malam pada jadwal berikutnya. (*)

Wanar, 18 November 2023

 

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa karya puisi dan cerpennya beredar di berbagai media cetak dan online. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku karya fiksi. Buku terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun.

 

  

 

 

 

 

 

  

 

 

Sabtu, 28 Oktober 2023

Syakaila, cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 29 Oktober 2023

 



Syakaila

Cerpen karya Ahmad Zaini


Alun-alun kota pagi berseri. Aneka tanaman hias bersolek dengan bunga warna-warni beraroma harum. Banyak kumbang beterbangan di sekitarnya. Sesekali kumbang hinggap sekadar menghisap madu. Matahari pagi itu juga tersenyum. Raja siang mengintip pengunjung alun-alun dari celah akasia. Cahayanya menerpa wajahku yang sedang duduk di bangku besi. Serasa aku berada di taman raja didampingi wanita terkasih. 

”Pak, kita jalan-jalan lagi mumpung masih pagi. Nanti pukul delapan sinar matahari sudah panas,” ajak istriku yang setia menemani jalan-jalan pagiku.

”Baik,” sanggupku. 

Istriku menarik kedua tanganku. Dia membantuku berdiri. Dia menggandeng tangan dengan setengah memapah karena fisikku tak sekokoh dulu. Aku dan istri berkeliling alun-alun kota sambil menikmati tanaman hias segar dan berbunga harum. 

Di masa tuaku, hampir setiap pagi waktu kugunakan berolahraga ringan di alun-alun kota. Dengan ditemani istri, aku menggerak-gerakkan anggota tubuh agar tidak kaku. Maklumlah, usiaku kini sudah delapan puluh tahun. Usia yang terbilang bonus dari Tuhan karena rata-rata usia manusia itu hanya sampai enam puluh sampai tujuh puluh. Aku manfaatkan usia bonus ini untuk memperbanyak ibadah kepada Tuhan dan menjaga kondisi fisik. 

Sudah dua puluh tahun aku menikmati masa purnatugas. Masa-masa memanjakan diri dari kesibukan tugas setiap hari. Tumpukan berkas di meja tugas tak ada lagi. Agenda kegiatan yang tertulis di papan kecil ruang kerja juga tidak pernah kulihat lagi. Kini aku menghabiskan waktu setiap hari hanya dengan istri. Ketiga anakku juga sudah hidup bahagia bersama keluarga mereka. Jika rindu anak dan cucu, tinggal video call mereka. Bahagia hatiku apabila sudah bertemu mereka meskipun hanya dari layar ponsel.

Mataku tertambat pada baliho besar di sudut alun-alun. Ada acara konser musik yang dimeriahkan penyanyi ibu kota. Aku amati baliho yang memampang foto bintang tamu dan waktu pelaksanaanya. 

Ada kekuatan menyeret ingatanku saat membaca nama sang bintang tamu, Syakaila. Nama yang tidak asing. Nama itu seperti dekat dengan masa laluku. Lisanku seakan masih ada bekas karena sering menyebut nama bintang tamu. Siapa, ya, dia? 

”Ada apa, Pak? Kuamati dirimu merenung seperti itu? Memikirkan apa?” tanya istriku.

”Lihat baliho itu. Konser musik dengan bintang tamu Syakaila,” jawabku sambil menunjuk ke arah baliho.

”Terus kenapa? Bapak mau menonton konser musik? Ingat usia,” goda istri.

”Bukan itu yang kupikirkan, melainkan nama bintang tamunya. Syakaila itu nama yang sepertinya dekat denganku. Nama itu ada dalam memori ingatanku,” jelasku pada istri.

”Jangan sok kenal sok dekat. Dia itu penyanyi ibu kota. Mana mungkin orang seusiamu dekat dengan penyanyi ibu kota.”

”Benar, Bu. Nama itu ada dalam ingatanku. Tapi, aku lupa siapa?”

”Katanya ada dalam ingatan, kok, lupa. Aneh,” sahut istriku.

Aku diam. Aku masih berusaha menyeret ingatanku ke masa lalu. Aku membuka memori ingatan untuk menemukan nama Syakaila. Aku membuka ingatan di sekitar keluarga, tetangga, dan handai tolan. Nama itu masih belum ketemu. Aku mencoba mengingat-ingat teman dan keluarga mereka di tempat kerja. Aku menyelami memori ingatanku pada satu persatu teman karibku. 

Hasmayati Farida. Dulu dia punya anak kecil yang lucu dan cerdas. Gadis kecil yang menggemaskan ini sering diajak ke tempat dinas. Dia kalau masuk ruang kerja, pinggangku selalu dikitik-kitik. 

”Apakah benar dia, Bu?”

”Siapa yang kamu maksud?”

”Dia itu Kaila. Anak teman saya. Gadis kecil dan imut yang selalu memanggilku Mbah Zain.”

”Ah, tidak mungkin, Pak. Kamu salah orang,” bantah istriku.

”Kita buktikan Minggu depan,” kataku.

Rasa penasaran mengaduk-aduk pikiranku. Wajah Kaila kecil muncul dan berseliweran di kornea mataku. Setiap aku melangkah menapaki jalan kecil berhias bunga di kanan-kiri, wajah Kaila selalu muncul.

”Aku yakin bintang tamu konser musik itu Kaila, Anak Farida,” kataku spontan tanpa kusadari terdengar istriku.

”Hati-hati kalau jalan. Jangan melamun Kaila saja. Besok Minggu kita buktikan,” sergah istriku. 

Tubuhku terasa hangat. Rupanya matahari sudah naik hingga pucuk akasia. Istriku menegur agar jalanku dipercepat untuk bisa sampai di trotoar jalan raya pinggir alun-alun. 

”Becak,” panggil istriku. Tukang becak sedang tidur-tiduran di becaknya bergegas bangun. Dia berdiri lantas menghampiri kami.

Angin sepoi menerpa wajah kami seiring laju becak kian mengencang. Aku melirik wajah istriku ceria. Dia sepertinya juga menikmati semilir angin yang menantang perjalanan. Tak membutuhkan waktu lama, becak berhenti tepat di depan rumah kami.

Perjalanan usia terkadang jarang disadari oleh seseorang. Waktu dibiarkan mengurangi jatah hidup di dunia begitu saja. Usia senja seperti diriku rasanya masih muda. Baru sadar tua ketika mengingat teman-teman sebayaku sudah banyak yang meninggal dunia. 

”Pak, susunya ini segera diminum. Keburu dingin lagi, lho,” seru istriku dari ruang tamu. 

Aku ke ruang tamu. Di atas meja terdapat segelas susu yang masih mengepulkan asap. Aromanya sedap menggiurkan. Kutuang susu dalam lepek. Kubiarkan sesaat kemudian kusruput pelan. 

”Alhamdulillah, pas susunya,” ungkapku disambut tepukan istri di punggungku.

***

Minggu pagi yang kutunggu datang juga. Aku bersama istri seperti biasa. Jogging ringan berkeliling alun-alun kota. Namun, Minggu ini tidak seperti mingu-minggu biasanya. Ada yang istimewa. Aku akan membuktikan bahwa bintang tamu Syakaila itu pasti si kecil imut anak Farida.

Muda-mudi berjubel. Mereka mendekat panggung konser demi ingin bisa melihat langsung penyanyi idolanya. Mereka tak memedulikan orang-orang di depannya. Para penggandrung Syakaila terus merangsek dan merangsek hingga dapat melihat jelas area panggung berdesain seni tinggi. 

”Bu, kita mendekat. Biar dapat melihat Kaila,” ajakku.

”Cukup dari sini saja, Pak. Toh, sudah nyaman,” tolak istriku.

Benar juga. Aku dan istriku berdiri di bawah tanaman perdu. Terlindung dari sengatan sinar matahari kemarau. Tapi rasa penasaranku kepada bintang tamu ini membuat aku ingin sekali lebih mendekat ke panggung. 

”Nah, lihat, Bu! Bintang tamu muncul. Coba kita amati,” kataku dengan sedikit gugup.

Aku dapat melihat dengan jelas penyanyi ibu kota ini. Wajahnya manis. Kulitnya putih. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya agak sipit.

”Benar sekali, Bu. Dia Kaila. Anak Farida. Kita mendekat agar bisa menyapanya,” ajakku.

”Yakin bisa berjalan ke depan? Ingat kondisi fisikmu. Jalan saja tidak tegak,” cerca istriku dengan nada kesal.

Aku mengurungkan niatku. Tapi aku tak pantang menyerah. Aku akan mencari cara bagaimana aku bisa bertemu Kaila.

”Kita ke panitia untuk menanyakan mobil Kaila. Kalau dulu mobil ibunya berwarna putih. Yang sekarang aku tidak tahu. Nanti kita menunggu Kaila di mobilnya.”

”Baiklah. Semoga tidak sampai siang, konser sudah selesai,” sanggup istriku yang kali ini menerima ideku.

Benar sekali. Konser musik selesai lebih pagi. Menurut informasi, Kaila hari ini juga akan manggung di tempat lain. Jadi, di alun-alun kota ini dia hanya mendendangkan tiga lagu saja. 

Syakaila turun panggung dan berhenti sejenak. Dia bercakap-cakap dengan panitia konser. Aku dan istri berdiri tepat di depan pintu mobil yang ditunjukkan oleh panitia. Syakaila yang didampingi kru berjalan mendekat ke arahku. Namun, belum sampai Syakaila sampai di mobil, para kru menyuruhku minggir agar tidak menghalangi Syakaila.

”Sebentar. Kami ada perlu penting dengan Syakaila. Aku kerabatnya,” bujukku.

”Baik. Sebentar saja, Pak,” timpal salah satu kru.

Syakaila datang. Aku menyambutnya dengan rasa haru hingga tak kuasa air mataku keluar tanpa sadar. 

”Kaila. Masih ingat aku?” kataku. 

Kaila tengok ke kanan-kiri. Dia pangling. Aku memperkenalkan nama panggilan yang dulu sering digunakan Kaila saat memanggilku.

”Aku Mbah Zain. Teman ibumu,” kataku mengingatkan Kaila.

”Mbah Zain yang dulu sering kukitik-kitik lalu tertawa geli. Mbah Zain yang di meja kerjanya selalu ada makanan dan selalu menawariku menikmatinya,” sahut Kaila.

”Betul sekali. Ternyata ingatanmu tajam sekali. Syukurlah kamu masih seperti Kaila yang dulu. Meskipun menjadi penyanyi nasional, kamu tetap sudi meluangkan waktu sekadar mengobati rasa penasaranku.”

”Sama-sama Mbah Zain. Semoga Mbah Zain dan Nenek sehat selalu. Ini Mbah Zain nomor teleponku. Lain kali kita sambung ngobrolnya lewat telepon,” pungkas Kaila sambil menyodorkan secarik kertas kepadakku. Dia terburu-buru karena agendanya sangat padat.

Syakaila menjabat tanganku dan istriku. Dia tetap bersikap santun kepada siapa pun meskipun sebagai artis ibu kota. Didikan kedua orang tuanyalah yang membuatnya seperti itu.

Kini hatiku puas karena rasa penasaranku sejak tiga minggu lalu terobati. Dugaanku tidak meleset. Dia ternyata Kaila. Gadis imut menggemaskan yang sering diajak ibunya ke tempat kerja. Dia telah  menjadi penyanyi terkenal. Punya ribuan bahkan jutaan penggemar sejagad raya.

Matahari memanjat langit semakin tinggi. Sinarnya panas sekali. Istriku mengajak pulang. Aku mengikutinya sambil menggamit secarik kertas berisi nomor telepon Syakaila, penyanyi ibu kota yang kini digandrungi muda-mudi.(*)

 Wanar, 21 Oktober 2023 


Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya menyebar di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan dalam beberapa buku. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bukan Kisah Laila Majnun (2023). 





 

 




Sabtu, 23 September 2023

Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, 24 September 2023


 


Sajak-Sajak karya Ahmad Zaini

 

Dunia Perayu dan Penipu

 

selamat senja dunia

terima kasih engkau menerimaku

sebagai penghunimu

memberi makan dan minum

menyuguhkan segala isimu kepadaku

 

dunia penuh rayu

engkau jauhkan diriku

dari istri dan anak-anakku

engkau jauhkan diriku

dari orang tua dan guru-guruku

 

engkau menipuku dengan kegilaanmu

engkau memperdayaku

dengan cinta fatamorgana

yang tak pernah kurasa

 

selamat senja dunia

sadarlah engkau dan aku

sama-sama ciptaan-Nya

beri ruang untukku

tanpa bujuk rayumu

menikmati hidup

dalam bimbingan penciptamu

 

Wanar, September 2023

 

Pusaka Agung

 

beruntung masih hidup

di bulan mulia

kelahiran manusia agung

Muhammad nabi dan rasul

berderajat luhur

 

sejuta makna tanpa rahasia

membimbing perjalanan keselamatan

dengan pusaka agung

yang kau wariskan kepada ummat

engkau curahkan cinta dan kasih sayang

tanpa berharap apa pun dari mereka

 

pusaka agung gamblang

membuka jalan pengabdian

hamba pada Tuhannya

pusaka agung terang melarang

melintas jalan kehancuran

 

nyata ummat

mengabaikannya

sengsara dunia-akhirat

 

Wanar, 23 September 2023

 

Menyiksa Diri

 

karunia Tuhan

tak terkira

tak terhitung

mengapa mempersulit diri

mengingkarinya

 

dunia luas

kenapa mempersempit diri

berburuk sangka pada anugerah-Nya

 

napas tersengal

terjejali kecurigaan

napas mampat

tersumbat ketidakjujuran 

 

mati terbujur

di liang penuh siksa

 

Wanar, 23 September 2023

 

 

Lakune Awak lan Sikil

 

awak lan sikil

rina wengi mung agawe mampir

sak cegluk banyu kendi

seger ono ing ati

 

lapo urip gawe loro ati

senahoso saben dino

umpomo blati

nguliti kulit iki

 

alangan yo teko gembruduk

lir kadyo bandang

kang  nyeret sembarang kalir

nugsang jungkir

sirah lan sikil

tanpo rupo

anggonmu mikir

 

ati ikhlas lan bener

lakune agawe

senahoso diclathu

wong liyan sak pinunggale

 

Wanar, September 2023

 

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat diberbagai media cetak dan online serta menerbitkan beberapa buku. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen Bukan Kisah Laila Majnun, (2023). Dia berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan.