Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 22 September 2019

Menjemput Bola Matahari di Depan Wajahnya, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro Minggu, 22 September 2019

Menjemput Bola Matahari di Depan Wajahnya
Cerpen karya Ahmad Zaini
Sungguh dingin udara pagi musim kemarau ini. Hembus anginnya semakin menegaskan semua orang agar segera membalut tubuhnya dengan kain tebal. Bila tidak demikian, tubuh mereka akan menggigil. Giginya gemeretak. Bibirnya membiru Kulit-kulitnya mengeriput karena tak mampu menahan tingkat kedinginan udaranya..
Suasana dingin tidak menjadi penghalang buat Jarot. Lelaki yang bekerja di instansi baru ini tak menghiraukan udara dingin. Dia tetap berangkat pagi sebelum matahari muncul agar dia bisa datang tepat waktu.
Dengan berjaket tebal warna coklat, Jarot memungkus tubuhnya yang semakin gemuk karena lemak yang menumpuk. Maklumlah badannya semakin tambun lantaran waktu olahraganya tersita tugas. Jarot menembus kabut yang bercampur debu kemarau. Dia menggilas kerikil di bahu jalan raya dengan roda motornya yang baru diganti seminggu lalu. Kemacetan akibat pengecoran jalan raya tak membuat dia patah semangat. Dia terus menggeber motornya melewati celah ratusan truk yang macet. Jarot tak menggubris para sopir truk yang duduk-duduk di bahu jalan dan lebih memilih cangkruan daripada duduk berjam-jam di belakang kemudi. Toh, takdir kemacetan tidak bisa mereka hindari pagi itu.
”Hoi, kurang ajar!” umpat sopir saat ada kerikil yang terlempar mengenai kakinya akibat tergilas roda motor Jarot.
Jarot tak mendengar umpatan sopir itu. Dia terus memacu motornya agar sampai di tempat tugasnya.
Motor yang sudah delapan tahun dimilikinya dengan sistem arisan itu terus membawa tubuh Jarot. Dia memacu motornya semakin kencang setelah lepas dari kemacetan. Dia menjemput bola matahari yang tepat bergantung tepat di depan wajahnya. Cahaya jingga matahari itu melecut semangat Jarot dan menjadi inspirasi keikhlasan kerjanya.
Di gerbang tempat tugasnya Jarot berhenti sejenak. Dia melepas masker pelindung hidung dan mulutnya. Di gerbang tersebut sudah berjajar rekan-rekan seniornya. Mereka mendapat gililran piket untuk menyambut kedatangan karyawan lain di instansi tersebut.
”Pagi Pak Jarot!” sapa mereka.
”Pagi juga! Maaf, agak telat!” kata Jarot dengan senyum ramah pada mereka.
Para piket yang menyambut Jarot itu geleng-geleng. Zaman begini masih ada karyawan selugu Jarot. Dia tetap minta maaf kepada mereka meskipun dia tidak bersalah. Dia juga tidak terlambat sama sekali. Dia merupakan karyawan yang datang setelah urutan mereka. Yang lain masih belum ada yang datang. Mungkin karena terjebak kemacetan di jalan raya atau masih ada keperluan di rumahnya.
Di ruang kerja, Jarot meletakkan tas yang sejak tadi terpanggul di punggungya. Dia duduk sambil melemaskan otot kaki dan tangan karena sepanjang jalan urat-uratnya tegang digunakan memacu motornya. Tiba-tiba ada yang mengganjal dalam pikiran Jarot pagi itu. Dia belum menuntaskan tugas yang diberikan atasan kepadanya. Bahkan, tugas itu belum dikerjakan sama sekali.
Sejak awal Jarot masuk di tempat kerjanya, dia sudah disambut dengan berbagai tugas dari atasannya. Terutama tugas tulis-menulis, ketik-mengetik. Dia memang terkenal sebagai orang yang punya kemampuan menulis. Tapi atasannya belum tahu jenis tulisan apa yang selalu melekat pada nama Jarot setiap muncul di berbagai koran dan majalah. Jarot itu penulis karya fiksi. Beberapa puisi dan cerpennya sudah sering bermunculan di berbagai media massa.
Nah, tugas yang diberikan oleh atasannya kali ini bukanlah tugas yang sesuai keahliannya. Bahkan, tugas ini sama sekali baru bagi Jarot. Masih asing. Dia tak tahu-menahu apa yang harus dikerjakannya.
Seminggu yang lalu Jarot disuguhi beberapa berkas lama. Dia disuruh atasaan untuk memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan yang ada saat ini.
”Aduh!” keluhnya saat setumpuk berkas itu diberikan oleh atasannya.
”Kenapa Pak Jarot?” lelaki itu menanyakan kata keluh Jarot.
”Tidak apa-apa, Pak.”
”Tugas ini harus selesai dalam waktu lima hari.”
”Siap!” kata kesanggupan Jarot yang membuat lelaki itu tambah bersemangat memberi tugas-tugas baru kepadanya.
Sekarang kepala Jarot terasa berat. Dia memikirkan tugasnya yang belum tersentuh sama sekali. Padahal, pagi ini adalah batas waktu terakhir pengumpulannya. Dia mencoba menghibur diri dengan membaca sajak-sajaknya yang ditulis di catatan hapenya. Dia menikmati diksi-diksi yang dipilih dalam sajak-sajaknya perihal cinta, sosial, dan ketuhanan. Sejenak Jarot melupakan beban itu karena larut dalam karya-karyanya.
”Sudah selesai Pak Jarot?” suara rekan kerja wanita dari arah belakang tempat duduknya.
”Belum Bu Pram. Bagaimana dengan tugas ibu?” Jarot balik bertanya.
”Sudah. Tinggal mengumpulkan ke Bu Anis,” jawaban Bu Prametia yang semakin membuat Jarot tak mampu menegakkan kepalanya.
Teman-teman Jarot memang sudah terbiasa dengan tugas tersebut. Tugas-tugas itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Mereka sudah puluhan tahun bekerja di situ dan mengerti karakter tugas yang dikerjakannya. Celah-celah sedikit saja mereka sudah paham. Sedangkan bagi Jarot, tugas-tugas itu sesuatu yang baru. Dia belum mengenal beberapa istilah yang ada di dalamnya. Jarot tidak mengerti merah-hijaunya tugas itu.
Sering teman-temannya menanyakan kenapa Jarot menerima tugas itu. Mestinya kalau dia tidak mampu, katakan saja dengan jujur, saran mereka. Bila mengingat saran-saran itu Jarot semakin terbenam. Dia berusaha melenyapkan ingatan pertanyaan itu agar tidak semakin membebaninya.
Jarot orang baru yang terkenal juga sebagai penulis. Dia mungkin agak gengsi menolak tugas-tugas meskipun itu bukan keahliannya. Namun, sekarang dia baru merasakan bagaimana beratnya mengerjakan tugas yang tidak sesuai dengan keahliannya.
”Pak Jarot, dipanggil Pak Bayu,” ujar Prametia.
Napas Jarot seketika sesak mendengar kabar Prametia. Dia semakin susah bangkit dari tempat duduknya. Dia berat melangkahkan kaki menuju ruang kerja Pak Bayu.
”I, iya. Terima kasih Bu Pram!” ucapnya.
Karena ini panggilan atasannya, Jarot terpaksa harus memenuhinya. Dia masuk ke ruang kerja Pak Bayu dengan membawa berkas yang masih seperti sebelumnya.
”Lho, Pak, kok, masih seperti berkas lama?” tanya Pak Bayu.
Jarot semakin dalam membenamkan wajahnya menembus lantai putih ruang kerja Pak Bayu. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Pak Bayu. Seperti ada sesuatu yang tersedak di tenggorokannya.
”Maaf, Pak! Berkas itu belum saya kerjakan. Saya orang baru di sini dan tidak tahu sama sekali perihal tugas ini.”
”Memangnya kamu belum diberi tahu berkas ini harus diapakan gitu?”
”Sudah, Pak. Akan tetapi saya tidak mudeng. Saya tidak paham karena ini sesuatu yang baru bagi saya.”
”O, begitu. Baiklah kalau begitu. Khusus Pak Jarot batas akhir penyetoran tugas ini saya perlonggar sampai minggu depan. Dua hari Pak Jarot akan mendepatkan kursus kilat dari tenaga ahli saya, tiga hari Pak Jarot gunakan untuk mengerjakannya. Senin depan harus selesai,” pesan Pak Bayu.
Jarot bernapas lega. Tugas belum tuntas yang menyangkut di tenggorokannya bisa lepas. Dia menerima saran dari Pak Bayu dengan semangat tinggi. Dia tidak mau terus-menerus terpuruk dalam ketidakmpuan dan ketidakmengertian tugas tersebut.
Selama dua hari Jarot menerima bimbingan khusus dari Pak Fahri. Lelaki berjenggot tebal ini merupakan seorang tenaga ahli yang biasa membekali keahlian dan memotivasi tenaga kerja di instansi ini. Semangat kerja Pak Jarot semakin meningkat. Dia giat mengerjakan tugas-tugasnya itu dengan cepat. Dia mampu menyelesaikan tugas itu sebelum batas waktu akhir yang diberikan oleh Pak Bayu.
Pagi belum sempurna, Jarot sudah siap berangkat dinas. Dia melangkah tegap dengan wajah yang selalu terangkat. Tapi, dia bukan penyombong. Jarot orang yang rendah hati. Langkahnya ringan dengan wajah yang riang. Dia memacu motornya pagi itu menjemput bola matahari yang muncul tepat di wajahnya. Jarot menembus kemacetan dengan menyelinap di sela-sela truk yang terjebak kemacetan meski harus bertarung dengan debu-debu jalan raya.
Sesampai di tempat tugas, dia disambut beberapa pertanyaan dari rekan-rekannya perihal tugasnya. Bu Pram, Bu Anis, Mas Novi, dan Mas Arif sempat mencemaskanya. Takutnya jangan-jangan tugas itu belum disentuh oleh Jarot. Wajah-wajah cemas itu seketika tersenyum setelah Jarot menjawab bahwa tugasnya telah selesai dan sudah dikumpulkan pada Pak Bayu sejak kemarin. (*)