Penunggu Gerimis
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Gerimis lembut tersapu angin yang bertiup lirih. Gerimis itu tak segera
menjelma hujan kemudian mereda dalam waktu yang
tak lama. Beberapa orang tertahan tak berani menyeberang alam terbuka
karena takut basah kuyup karenanya. Mereka terperangkap antara hujan dan reda
yang tak menentu.
Lelaki setengah tua duduk sambil bertopang dagu di beranda rumah. Dia
terpaksa harus menunda niatnya pergi ke rumah makelar sawah. Pikirannya kalut
karena ada hal penting yang harus segera diselesaikan.
Sore belum beranjak senja. Masih banyak waktu sebenarnya untuk
menyelesaikan keperluan itu. Namun, gerimis sore itu membuatnya ragu melangkah.
Antara berangkat dan menunggu gerimis berkecamuk dalam dada. Maklumlah lelaki
ini agak alergi dengan gerimis karena baru saja dia terjangkit tifus.
Batok kepala lelaki itu terasa pening. Dia terlalu serius memikirkan
permasalahan yang dihadapi. Dia tak ingin sebenarnya memikirkan sesuatu dengan
serius karena dia dalam tahap penyembuhan tifus. Bukankah orang setelah sakit
tifus harus berhenti aktivitas tenaga, pikiran, dan hanya boleh mengonsumsi
makanan tertentu saja. Lelaki itu sebenarnya ingin tarak seperti anjuran dokter. Namun bagaimana lagi karena ini
urusan penting. Dia harus tetap berpikir dan bekerja keras agar urusannya
beres.
Lima tahun lalu dia menguliahkan anaknya di fakultas kedoketeran. Waktu itu
anaknya gagal mendapatkan biaya pendidikan bagi mahasiswa miskin namun
berprestasi. Akhirnya lelaki itu menyarankan anaknya daftar di fakultas
kedokteran lewat jalur mandiri.
Setelah mengikuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri anaknya
lulus. Lelaki itu bingung karena anaknya meminta uang dua ratus juta untuk
melunasi berbagai persyaratan registrasi. Akhirnya, dia meminjam uang kepada
teman sesama pengusahanya. Dia berjanji akan melunasinya dalam waktu setahun.
Temannya setuju dengan peminjaman tersebut.
Usaha lelaki itu tak berjalan mulus. Dia mengalami berbagai masalah dalam
usahanya. Usahanya kian hari kian meredup sedangkan hutangnya semakin menumpuk.
Daripada usaha gagal dan hutang semakin banyak, dia memutuskan berhenti dari
usahanya itu. Dia mencari usaha lain. Akan tetapi, sampai sekarang dia belum
mendapatkan usaha yang sesuai dengan keinginannya.
Pagi hari dia mendapat undangan dari kepala desa. Lelaki itu bersama warga
lain yang memunyai sawah di utara jalan raya dikumpulkan di balai desa. Hadir
dalam pertemuan itu pengusaha dari kota yang akan mendirikan pabrik di lokasi
sawah-sawah mereka. Pengusaha itu akan membeli sawah mereka dengan harga yang
sangat tinggi. Lelaki itu tergiur dengan tawaran pengusaha itu. Dia akan
melepas sawahnya dibeli pengusaha tersebut agar dia bisa melunasi
hutang-hutangnya yang menggunung.
Istri lelaki itu tidak menyetujui rencananya. Dia bersikeras menolak
menjual sawah karena itu satu-satunya warisan dari orang tuanya yang tersisa.
Semua peninggalan orang tuanya sudah dijual demi usahanya dulu yang gulung
tikar. Di samping itu, istrinya berkeyakinan jika warisan orang tua dijual,
maka lama-kelamaan akan jatuh miskin. Keyakinan itu semakin mantap setelah
usaha suaminya gulung tikar. Modal usaha yang dilakukan suaminya merupakan
hasil dari menjual tanah warisan. Sekarang usahanya benar-benar bangkrut.
Akhirnya, lelaki itu menyetujui saran dari istrinya. Dia tidak jadi melepas
sawah warisan orang tua istrinya untuk dibeli pengusaha dari kota tersebut.
”Kenapa kau duduk bertopang dagu di situ?” tanya istrinya yang muncul dari
dalam rumah.
”Menunggu gerimis,” jawabnya singkat.
”Kalau gerimisnya sudah reda, memangnya kau akan ke mana?”
”Saya akan ke rumah Sulaiman. Makelar sawah.”
Istrinya kaget mendengar jawaban lelaki itu. Dia berperasangka kalau
suaminya yang tubuhnya semakin kerempeng itu akan menjual sawahnya ke Sulaiman.
”Kau akan menjual sawah di sebelah jalan raya itu?”
”Ya. Saya akan menjualnya untuk melunasi hutang-hutang kita. Biaya kuliah
anak kita belum terbayar sampai sekarang.”
”Jangan! Jangan kau jual sawah itu””
”Daripada kita menggarapnya dan tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik
sawah itu kita jual ke Sulaiman.”
”Tidak menghasilkan apa-apa bagaimana? Padi yang kau jual kemarin itu
merupakan hasil dari sawah kita.”
”Hasil penjualan padi kemarin itu impas dengan modal penggarapannya yang
tinggi. Bahkan kalau dihitung-hitung kita ini rugi. Biaya pupuk dan
obat-obatannya serta tenaga preman yang kita sewa sangat tinggi. Ketika panen
harga padi anjlok. Padi kita dibeli tengkulak dengan harga yang sangat murah.”
”Apa pun alasanmu untuk menjual sawah itu saya tetap tidak setuju. Masalah
membayar hutang yang masih segunung itu kita bayar dengan cara lain.”
”Tapi hutang kita ini sebenarnya sudah jatuh tempo sejak beberapa tahun
yang lalu. Saya malu pada teman itu.”
”Lantas kau mencari jalan pintas dengan rencana menjual sawah itu? Tidak.
Tidak setuju saya.”
Lelaki itu menghela napas panjang. Dia menyandarkan punggungnya di kursi teras
rumahnya. Pikirannya mengalami jalan buntu karena satu-satunya cara untuk
melunasi hutang-hutangnya ditentang keras oleh istrinya.
”Anak kita yang sudah praktik di rumah sakit kemarin mengatakan bahwa dia
punya tabungan banyak. Tabungan itu akan digunakan untuk melunasi hutang-hutang
kita,” kata istri lelaki itu.
”Benarkah? Kenapa kau tak menceritakan dari kemarin?”
”Mau cerita bagaimana, lha wong
kamu ini setiap akan diajak bicara selalu keluar lalu duduk di teras melamun
seperti orang sedang kasmaran,” sahut istrinya dengan tersenyum ceria.
Lelaki bertubuh kurus itu mulai tenang. Dia duduk santai sambil menyeret
istrinya duduk di sampingnya. Dia menceritakan beban hidup yang menindihnya
selama ini. Dia bersyukur karena anaknya yang kini sudah menjadi dokter akan
melunasi semua hutang-hutangnya.
”Kenapa kau masih diam di sini?”
”Menunggu gerimis reda. Saya akan ke Sulaiman untuk membatalkan rencana
saya menjual sawah itu. Kemarin saya sudah berbicara banyak dengannya dan
rencananya sore ini penandatangan akta jual beli.”
”Semprol kamu! Segera ke sana
untuk membatalkannya. Tidak usah menunggu gerimis reda,” bentak istrinya.
Lelaki mujur lantaran anaknya bersedia akan melunasi hutang-hutangnya ini
segera melompat dari tempat duduknya. Dia menerobos gerimis lembut yang tak
kunjung mereda. Dia tak memedulikan tubuhnya lembab karena gerimis. Dalam
benaknya yang paling penting sawahnya tidak jadi dijual dan hutang-hutangnya akan
segera terbayar. (*)
Wanar, Maret 2017