Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 21 Maret 2017

Penunggu Gerimis (Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, Minggu, 5 Maret 2017

Penunggu Gerimis
Cerpen karya Ahmad Zaini

Gerimis lembut tersapu angin yang bertiup lirih. Gerimis itu tak segera menjelma hujan kemudian mereda dalam waktu yang  tak lama. Beberapa orang tertahan tak berani menyeberang alam terbuka karena takut basah kuyup karenanya. Mereka terperangkap antara hujan dan reda yang tak menentu.
Lelaki setengah tua duduk sambil bertopang dagu di beranda rumah. Dia terpaksa harus menunda niatnya pergi ke rumah makelar sawah. Pikirannya kalut karena ada hal penting yang harus segera diselesaikan.
Sore belum beranjak senja. Masih banyak waktu sebenarnya untuk menyelesaikan keperluan itu. Namun, gerimis sore itu membuatnya ragu melangkah. Antara berangkat dan menunggu gerimis berkecamuk dalam dada. Maklumlah lelaki ini agak alergi dengan gerimis karena baru saja dia terjangkit tifus.
Batok kepala lelaki itu terasa pening. Dia terlalu serius memikirkan permasalahan yang dihadapi. Dia tak ingin sebenarnya memikirkan sesuatu dengan serius karena dia dalam tahap penyembuhan tifus. Bukankah orang setelah sakit tifus harus berhenti aktivitas tenaga, pikiran, dan hanya boleh mengonsumsi makanan tertentu saja. Lelaki itu sebenarnya ingin tarak seperti anjuran dokter. Namun bagaimana lagi karena ini urusan penting. Dia harus tetap berpikir dan bekerja keras agar urusannya beres.
Lima tahun lalu dia menguliahkan anaknya di fakultas kedoketeran. Waktu itu anaknya gagal mendapatkan biaya pendidikan bagi mahasiswa miskin namun berprestasi. Akhirnya lelaki itu menyarankan anaknya daftar di fakultas kedokteran lewat jalur mandiri.
Setelah mengikuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri anaknya lulus. Lelaki itu bingung karena anaknya meminta uang dua ratus juta untuk melunasi berbagai persyaratan registrasi. Akhirnya, dia meminjam uang kepada teman sesama pengusahanya. Dia berjanji akan melunasinya dalam waktu setahun. Temannya setuju dengan peminjaman tersebut.
Usaha lelaki itu tak berjalan mulus. Dia mengalami berbagai masalah dalam usahanya. Usahanya kian hari kian meredup sedangkan hutangnya semakin menumpuk. Daripada usaha gagal dan hutang semakin banyak, dia memutuskan berhenti dari usahanya itu. Dia mencari usaha lain. Akan tetapi, sampai sekarang dia belum mendapatkan usaha yang sesuai dengan keinginannya.
Pagi hari dia mendapat undangan dari kepala desa. Lelaki itu bersama warga lain yang memunyai sawah di utara jalan raya dikumpulkan di balai desa. Hadir dalam pertemuan itu pengusaha dari kota yang akan mendirikan pabrik di lokasi sawah-sawah mereka. Pengusaha itu akan membeli sawah mereka dengan harga yang sangat tinggi. Lelaki itu tergiur dengan tawaran pengusaha itu. Dia akan melepas sawahnya dibeli pengusaha tersebut agar dia bisa melunasi hutang-hutangnya yang menggunung.
Istri lelaki itu tidak menyetujui rencananya. Dia bersikeras menolak menjual sawah karena itu satu-satunya warisan dari orang tuanya yang tersisa. Semua peninggalan orang tuanya sudah dijual demi usahanya dulu yang gulung tikar. Di samping itu, istrinya berkeyakinan jika warisan orang tua dijual, maka lama-kelamaan akan jatuh miskin. Keyakinan itu semakin mantap setelah usaha suaminya gulung tikar. Modal usaha yang dilakukan suaminya merupakan hasil dari menjual tanah warisan. Sekarang usahanya benar-benar bangkrut. Akhirnya, lelaki itu menyetujui saran dari istrinya. Dia tidak jadi melepas sawah warisan orang tua istrinya untuk dibeli pengusaha dari kota tersebut.
”Kenapa kau duduk bertopang dagu di situ?” tanya istrinya yang muncul dari dalam rumah.
”Menunggu gerimis,” jawabnya singkat.
”Kalau gerimisnya sudah reda, memangnya kau akan ke mana?”
”Saya akan ke rumah Sulaiman. Makelar sawah.”
Istrinya kaget mendengar jawaban lelaki itu. Dia berperasangka kalau suaminya yang tubuhnya semakin kerempeng itu akan menjual sawahnya ke Sulaiman.
”Kau akan menjual sawah di sebelah jalan raya itu?”
”Ya. Saya akan menjualnya untuk melunasi hutang-hutang kita. Biaya kuliah anak kita belum terbayar sampai sekarang.”
”Jangan! Jangan kau jual sawah itu””
”Daripada kita menggarapnya dan tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik sawah itu kita jual ke Sulaiman.”
”Tidak menghasilkan apa-apa bagaimana? Padi yang kau jual kemarin itu merupakan hasil dari sawah kita.”
”Hasil penjualan padi kemarin itu impas dengan modal penggarapannya yang tinggi. Bahkan kalau dihitung-hitung kita ini rugi. Biaya pupuk dan obat-obatannya serta tenaga preman yang kita sewa sangat tinggi. Ketika panen harga padi anjlok. Padi kita dibeli tengkulak dengan harga yang sangat murah.”
”Apa pun alasanmu untuk menjual sawah itu saya tetap tidak setuju. Masalah membayar hutang yang masih segunung itu kita bayar dengan cara lain.”
”Tapi hutang kita ini sebenarnya sudah jatuh tempo sejak beberapa tahun yang lalu. Saya malu pada teman itu.”
”Lantas kau mencari jalan pintas dengan rencana menjual sawah itu? Tidak. Tidak setuju saya.”
Lelaki itu menghela napas panjang. Dia menyandarkan punggungnya di kursi teras rumahnya. Pikirannya mengalami jalan buntu karena satu-satunya cara untuk melunasi hutang-hutangnya ditentang keras oleh istrinya.
”Anak kita yang sudah praktik di rumah sakit kemarin mengatakan bahwa dia punya tabungan banyak. Tabungan itu akan digunakan untuk melunasi hutang-hutang kita,” kata istri lelaki itu.
”Benarkah? Kenapa kau tak menceritakan dari kemarin?”
”Mau cerita bagaimana, lha wong kamu ini setiap akan diajak bicara selalu keluar lalu duduk di teras melamun seperti orang sedang kasmaran,” sahut istrinya dengan tersenyum ceria.
Lelaki bertubuh kurus itu mulai tenang. Dia duduk santai sambil menyeret istrinya duduk di sampingnya. Dia menceritakan beban hidup yang menindihnya selama ini. Dia bersyukur karena anaknya yang kini sudah menjadi dokter akan melunasi semua hutang-hutangnya.
”Kenapa kau masih diam di sini?”
”Menunggu gerimis reda. Saya akan ke Sulaiman untuk membatalkan rencana saya menjual sawah itu. Kemarin saya sudah berbicara banyak dengannya dan rencananya sore ini penandatangan akta jual beli.”
Semprol kamu! Segera ke sana untuk membatalkannya. Tidak usah menunggu gerimis reda,” bentak istrinya.
Lelaki mujur lantaran anaknya bersedia akan melunasi hutang-hutangnya ini segera melompat dari tempat duduknya. Dia menerobos gerimis lembut yang tak kunjung mereda. Dia tak memedulikan tubuhnya lembab karena gerimis. Dalam benaknya yang paling penting sawahnya tidak jadi dijual dan hutang-hutangnya akan segera terbayar. (*)

Wanar, Maret 2017