Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 04 Februari 2023

Cerpen Gerakan Bawah Tanah di Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Februari 2023


 

Gerakan Bawah Tanah

Cerpen Ahmad Zaini*


Suasana di  kantor siang itu berbeda dengan hari-hari biasanya. Ada semacam kabar yang tidak mengenakkan bagi karyawan seperti diriku. Menurut kabar dari seorang kepercayaan pemimpin, di perusahaan akan diberlakukan aturan baru. Aturan baru itu juga tidak jelas seperti apa. Kami para karyawan sementara ini hanya sebatas menduga-duga. Apakah wacana yang pernah disampaikan oleh pemimpin dalam salah satu rapat dulu itu yang dimaksud dengan kebijakan baru atau ada yang lainnya. Akan tetapi, kami sudah menebak bahwa wacana itulah yang akan ditelurkan sebagai aturan baru di perusahaan ini.

Kami menyayangkan jika aturan yang dulu pernah diwacanakan akan diberlakukan. Menurut wacana itu bahwa setiap hari akan ada survei dari para pemimpin perusahaan terhadap kinerja dan loyalitas para karyawan. Jika menurut penilaian para pemimpin loyalitas atau kinerja dari karyawan itu tidak sesuai dengan harapan dari mereka, maka gaji karyawan akan dipotong atau mengambalikan kepada perusahaan. Padahal penilaian pemimpin terhadap loyalitas karyawan sarat dengan unsur suka dan tidak suka. Alias subjektivitasnya tinggi.

Aku ingat pada istilah upeti. Yakni, uang yang dibayarkan oleh rakyat kepada penguas.. Ini tak ubahnya seperti yang akan diberlakukan di perusahaan ini. Karyawan harus menyetorkan sebagian gajinya kepada pemimpin kalau menurut penilaian pemimpin loyalitas dan kinerja karyawan tersebut tidak sesuai dengan harapannya.

Setiap hari kami berkumpul di ruang karyawan. Kami membicarakan mengenai isu pemberlakuan upeti di perusahaan ini. Sebagian besar para karyawan tidak menginginkan jika hal itu benar-benar diberlakukan. Sama saja karyawan akan menjadi korban pemerasan atasannya.

“Kita bekerja di sini sudah puluhan tahun. Sejak kita masuk dan mengabdi di perusahaan ini belum pernah diberlakukan hal seperti ini. Kalau sampai wacana upeti ini benar-benar diberlakukan oleh pemimpin perusahaan, kita harus melawan,” kata Prayit karyawan senior.

Mendengar kata-kata Prayit, kami sangat setuju karena kami tidak mau dijadikan sebagai sapi perahan di perusahaan ini. Kami setiap hari datang dan bekerja sudah sesuai dengan prosedur yang diberlakukan oleh perusahaan. Sudah sesuai aturan. Kami khawatir ada tujuan lain dengan diberlakukannya upeti. 

“Aku mendengar perusahaan ini sedang mengalami masalah. Perusahaan ini terancam bangkrut. Aku menduga uang setoran kita nanti, akan mereka gunakan sebagai penyokong dana perusahaan agar tidak mengalami kebangkrutan,” ungkap Sutejo.

Opini Sutejo memang masuk akal. Perusahaan bangkrut itu penyebabnya bukan karyawan. Itu murni karena kesalahan manajemen. Kalau karyawan disuruh membantu perusahaan mengatasi masalah itu dengan cara gajinya dipotong atau setor upeti kepada pemimpin, maka itu kebijakan yang sangat konyol dan bisa menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri.

“Kami tidak setuju dengan upeti. Kita harus melawan!” teriak Purnomo dari sudut ruang istirahat karyawan.

Perbincangan kami di ruang karyawan terhenti. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00. waktu kerja akan dimulai. Bel masuk kerja meraung-meraung memecah suasana panas siang itu. Aku dan karyawan lainnya berjalan menuju ke tempat kerja masing-masing. Di tengah perjalanan, para karyawan masih memperbincangkan isu upeti tersebut. Sebagian besar karyawan di perusahaan ini tidak setuju kalau isu itu benar-benar diberlakukan.

Para pemimpin perusahaan harus tahu bahwa kami ini adalah karyawan senior yang sudah tidak diragukan lagi kinerjanya. Sejak dulu, ketika perusahaan ini masih dikendalikan oleh almarhum Haji Sapari, perusahaan ini sangat kondusif sekali. Sepeninggal beliau, ketika tongkat estafet kepemimpinan dipegang oleh anak-anaknya, perusahaan ini mulai goyah. Berbagai masalah mendera perusahaan ini karena para pemimpin menjalankan perusahaan tidak sesuai dengan prosedur operasional. Ada kesalahan manajemen yang menyebabkan perusahaan ini tidak stabil lagi. Mereka juga tidak menghargai jerih payah para karyawan. Kalau dulu semasa hidup Haji Sapari, para karyawan sering mendapatkan penghargaan berupa souvenir atau paling tidak berupa ucapan terima kasih atas kinerja karyawan. Hal seperti ini tidak pernah terjadi lagi ketika perusahaan dikendalikan oleh anak-anaknya. 

Di kantin perusahaan, aku dan Prayit sedang terlibat perbincangan serius. Ditemani dua cangkir kopi, kami membahas isu yang sedang berkembang di perusahaan ini. Suasana di kantin sangat mendukung karena penjaga kantin juga sependapat dengan pemikiran kami. Kami menolak jika isu upeti diberlakukan. Kami mempunyai keluarga yang membutuhkan makan dan kebutuhan hidup  yang lainnya. Kami tidak ingin keluarga kami hidup sengsara hanya karena kebijakan sepihak dari perusahaan. 

“Jadi, kita akan menghadap pemimpin untuk menglarifikasi isu itu?” tanyaku kepada Prayit.

“Benar sekali. Besok pagi kita akan ke ruang pemimpin,” jawabnya.

***

Pagi ini udara dingin sekali. Tubuh yang sudah kubalut dengan jaket kulit masih belum mampu menghalau udara yang menerpa tubuhku. Aku duduk di depan pintu gerbang perusahaan sambil menikmati sebatang rokok yang baru saja kusulut. Aku menunggu Prayit yang belum datang sampai saat ini. Padahal, kemarin dia sudah berjanji akan tiba di perusahaan sebelum pukul tujuh. 

“Mas, tumben pagi-pagi sudah datang?” tanya satpam perusahaan.

“Iya, Pak. Aku akan menemui pemimpin,” jawabku sambil mengepulkan asap rokok.

“O, tunggu sebentar lagi! Bapak akan segera datang,” jawab satpam yang bertubuh tambun itu.

Belum lama satpam itu meninggalkanku di depan pintu gerbang, dari kejauhan terlihat Prayit datang dengan motor bututnya. 

“Sudah lama, Ji?” tanya Prayit.

“Sudah,” jawabku.

“Bapak pemimpin perusahaan sudah datang?”

“Belum. Kata satpam sebentar lagi dia akang datang.”

Percakapan kami belum selesai, dari arah depan terdengar suara klakson mobil sedan Mercy berwarna hitam. Ternyata pemimpin perusahaan yang datang. Portal yang melintang di pintu masuk perusahaan segera dibuka oleh satpam. Kami melihat wajah pemimpin perusahaan yang tersembunyi di balik kaca mobil sedan. Dahinya berkerut dan kelihatan tegang sekali. Dia melintas di depan kami tanpa menyapa atau sekadar mengklakson mobil memberi isyarat permisi kepada kami. Kami hanya diam menatap wajah pemimpin dengan rasa penasaran terhadap kebijakan upeti yang isunya akan diberlakukan tahun ini. 

“Bagaimana, Yit, Kita jadi menghadap pemimpin atau tidak?” tanyaku.

“Kita tetap akan menghadap pemimpin. Ini adalah amanat karyawan, Ji,” jawabnya.

“Aku ragu penyampaian aspirasi kami kepada pemimpin akan berhasil. Aku melihat dalam situasi seperti ini kurang tepat. Tadi sewaktu pemimpin melintas di depanku, wajahnya tampak tegang sekali. Aku khawatir bukannya dia menerima aspirasi yang akan kami sampaikan, melainkan kami akan kena damprat dari pemimpin.”

“Optimis, Ji! Jangan takut! Kita akan tetap menghadap dia,” ucap Prayit dengan nada yakin.

“Baiklah kalau begitu. Mari kita menghadap pemimpin!” ajakku.

Kami berdua berjalan menuju ruang pemimpin dengan  membawa selembar stopmap yang berisi tanda tangan penolakan pemberlakukan upeti di perusahaan ini. 

“Permisi!” kata kami sambil mengetuk pintu ruang pemimpin.

Belum ada suara balasan dari ruang pemimpin. Kami mengetuk sekali lagi. Nah, kali ini tampak bayangan pemimpin berjalan mendekat pintu. Gagang pintu bergerak-gerak. Suara gemerincing kunci pintu terdengar jelas. Daun pintu dibuka. Wajah pemimpin muncul dari balik pintu dengan tegang. Kami berdua lantas menundukkan wajah tak kuasa menatap wajah pemimpin yang seperti macan kelaparan. 

“Ada apa?” tanya pemimpin dengan nada garang. 

Prayit menjelaskan maksud kedatangan kami. Pemimpin perusahaan mendengarkan sesaat. Kemudian pemimpin mempersilakan kami masuk ke dalam ruangan.

“Maaf, Bapak! Kami hanya mengklarifikasi tentang kabar yang tersebar akhir-akhir ini. Apakah benar di perusahaan ini akan diberlakukan sistem upeti bagi karyawan yang dinilai lamban kinerjanya atau kurang loyal kepada perusahaan?” tanya Prayit.

“Kalau benar kalian mau apa?” tanya balik dari pemimpin.

“Kami, para karyawan sangat keberatan jika itu diberlakukan. Ini bukti penolakan mereka kepada sistem upeti ini,” jawabku sambil menyodorkan stopmap merah yang berisi tanda tangan penolakan.

Selembar kertas yang ada dalam stopmap disambar oleh pemimpin. Ia melihat isi dari stopmap kemudian kertas tersebut disobek-sobek dengan tangan kekarnya.

“Jika kalian menolak sistem upeti ini, silakan kalian keluar dari perusahaan ini. Masih banyak pelamar yang antre ingin bekerja di sini. Keluar dari ruangan ini! Cepat!” pinta pemimpin dengan muka yang merah padam.

Kami berdua keluar ruangan pemimpin dengan geram. Kami merasa kecewa karena tidak menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. 

Kami menemui para karyawan lalu menyampaikan kepastian bahwa sistem upeti benar-benar akan diberlakukan di perusahaan ini. Mereka sangat kecewa dengan keputusan tersebut.

Kami dan para karyawan senior merasa dilecehkan oleh perusahaan. Mereka tidak menghargai pengabdian kami di perusahaan ini sejak puluhan tahun yang lalu. Karena tidak ada solusi untuk program sistem upeti yang sepihak ini, maka kami para karyawan senior sepakat mengundurkan diri dari perusahaan. 

Para petinggi perusahaan kelabakan. Mereka kesulitan mencari karyawan yang bisa diandalkan seperti kami. Kualitas produksi perusahaan menurun. Konsumen dan mitra kerja juga tidak percaya lagi pada perusahaan. Omset perusahaan dari bulan ke bulan terus mengalami penurunan. Perusahaan semakin kolap. Kini perusahaan benar-benar bangkrut. 

Keesokan hari tersiar kabar bahwa pemimpin perusahaan tempat kami bekerja selama puluhan tahun silam terkapar bersimbah darah di halaman gedung perusahaan. Ia mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai tiga kantor perusahaan. (*)


*cerpenis merupakan guru SMKN 1 Lamongan

Puisi-Puisi di Radar Banyuwangi, Sabtu, 4 Februari 2023

 Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini





Bayang Kematian di Lubang Jalan


Saban mendung datang 

Hati terasa teriris

Saat gerimis 

hati menangis

Hujan datang 

jiwaku semakin terguncang

Menatap bayang-bayang darah

Di setiap lubang jalan


Ada ketakutan 

Kematian setiap melintas

Jalan berlubang

Di kubang air ada wajah 

Anak-anak menangis

Karena orang tuanya

Meregang nyawa

Ada jerit histeris orang tua

Kerna anaknya

Tertelan jalan berlubang 

Di setiap jengkal langkah


Tak adakah mereka peduli

Menghapus bayang kematian 

Di sepanjang jalan

Sebelum habis air mata

Anak dan orang tua


Wanar, Januari 2023 


Hari Berkabut


Iringan pekat mendung 

membayang gumpalan duka 

menyesak dada 

seakan hari berujung di sini


adakah matahari di esok hari

hangatkan gigil tubuh 

semalam suntuk


pagi pun berkabut 

tak terlihat seraut rupa

merayu bahagia

lara


Wanar, Januari 2023


Rindu Meluka Jiwa


Wajahmu tersimpan di dedaun asam setapak jalan

Merindu sapa sepekan sepi tanpa senyum merekah

Duh, gerangan hati hanyut dalam lamunan mata 

Tak bersua sehari saja luka jiwa


Samakah gundah dikau saat sendiri seperti aku

Membayang masa-masa tatkala hati merindu pujaan hati

Dalam hening kurajut cinta serupa surga

Berkenang bunga-bunga asmara

Bahagia 


Wanar, Januari 2023


Melukis Cinta 


Ada keraguan pada sketsa hati

Remang terpatahkan  kata bias

Tak bertaut makna


Segenap jiwa raga

Kuberanikan diri

Melukis wajah berkacamata

Bersanggul cinta

Menggenggam kasih

Rupa yang menggoda


Wanar, Januari 2023

Ahmad Zaini, tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur. Beberapa puisi dan cerpennya beredar di berbagai media cetak dan online, serta di beberapa buku antologi puisi dan cerpen baik tunggal maupun komunal.