Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 15 Agustus 2020

PELUKIS NASIB cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro edisi Minggu, 16 Agustus 2020



 Pelukis Nasib

Cerpen karya Ahmad Zaini



Tumpukan kertas di kamarku semakin meninggi. Kertas-kertas itu hampir mengubur diriku dalam kamar. Ah, tak pernah sesulit ini aku melukis nasib. Biasanya dalam sekali lukis, nasib itu dapat terlihat jelas. Namun, kali ini entah apa yang menyebabkan lukisan nasibku selalu gagal. Apakah aku kurang fokus atau karena aku memang tak becus melukis nasib yang bakal terjadi pada diriku.

”Sejak kapan kau mulai gila, Mas?” tanya istriku pada suatu malam. Dia kesal melihat diriku yang selalu begadang dalam tiga minggu ini sambil menghasilkan limbah-limbah kertas yang hampir membunuh diriku.

Aku tak memedulikannya. Aku tetap memungut kertas demi kertas yang berada di rak buku sampai benar-benar menghasilkan lukisan nasib yang sempurna. Aku ingin seperti beberapa tahun lalu sebelum aku menikah dengannya. Kala itu aku melukis nasib mendapatkan jodoh wanita yang cantik, sabar, dan rendah hati. Dua bulan kemudian datanglah dia dalam kehidupanku. Aku juga pernah melulis nasib dapat membeli mobil baru. Tiga bulan berselang, aku dapat membeli mobil meskipun bukan mobil baru. Setidaknya punya mobil yang pernah baru.

”Nasib manusia itu sudah ditulis Tuhan di lauhul mahfudz. Tak perlu kau melanjutkan pekerjaan gilamu ini,” cerca istriku sambil berdiri mematung di pintu kamar.

Tanganku terus bergerak. Jemari tanganku menggores lukisan karierku yang akan datang tanpa memedulikan ocehan istri. Dia belum tahu bahwa nasib itu bisa dilukis. Kita bisa mengubah nasib sesuai dengan kemauan kita dalam selembar kertas. 

”Mimpi, Mas. Semua itu tidak mungkin,” sergah wanita yang kunikahi dua puluh tahun silam.

”Kamu masih belum percaya pada lukisan nasib yang pernah kubuat beberapa tahun lalu? Tentang rumah, mobil, dan termasuk dirimu. Semua yang kualami saat ini adalah berkat lukisanku,” bantahku.

”Jangan kau teruskan, Mas! Bisa-bisa kau nanti melupakan Tuhan yang telah menggariskan nasib dalam kehidupan yang kita jalani. Rumah, mobil, dan termasuk saya adalah kehendak Tuhan. Semua itu anugerah Tuhan yang harus kau syukuri,” sanggahnya.

”Nasib yang digariskan Tuhan itu masih berupa sketsa. Kita bisa mengubahnya sesuai kehendak kita,” jelasku padanya.

”Terserah apa katamu. Yang penting aku tidak setuju dengan aksi gilamu ini. Berminggu-minggu mengurung diri di kamar melakukan pekerjaan konyol yang sekonyol-konyolnya,” kata istri yang semakin kesal pada diriku.

Beberapa hari tidak kuperhatikan, istriku sering marah-marah padaku. Mungkin dia cemburu pada kertas-kertas putih yang selalu kupegangi dan kulukisi nasib hidupku. Dia merasa tersingkirkan oleh kesibukanku untuk mewujudkan nasib sesusai dengan keinginanku. Tahun ini aku berusaha mewujudkan nasib hidupku lebih mapan dan nyaman. Aku ingin hidup damai tanpa memikirkan ratusan, ribuan, bahkan jutaan permasalahan dalam hidupku. Aku juga melukis nasib anak-anakku menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Aku melukis wajah ceria mereka pada selembar kertas yang sudah hampir setengah jam tergelar di depanku. Aku akan mempertegas sketsa nasib dari Tuhan lewat tangan-tanganku sendiri. 

Istriku pernah mengkhawatirkanku tentang perilakuku ini. Dia khawatir aku menjadi Firaun yang sombong. Dia takut kegemaranku melukis nasib ini dapat menjauhkan, bahkan melupakanku pada Tuhan. Namun, itu tidak mungkin. Aku masih masih percaya Tuhan. Tuhan sendiri yang telah memerintahkan kita agar memperjelas sketsa nasib yang telah dibuat-Nya. Kita jangan pasrah pada ketidakberuntungan nasib. Kita harus berusaha mengubahnya menjadi lebih beruntung.

Sungguh ketololan yang amat tinggi bagi mereka yang rela hidup miskin karena alasan nasib. Mereka tidak mau melukis kesejahteraan hidup untuk bisa mentas dari jurang kemiskinan. Manusia punya akal dan tangan. Manusia punya pikiran. Gunakan akal dan pikiran untuk mengubah sketsa nasib hidup dalam kemiskinan menjadi sebuah lukisan nasib hidup yang lebih sejahtera. Jangan berpangku tangan. Jangan bertopang dagu. Gerakkan tangan untuk melukis kehidupan yang lebih cemerlang.

Aku terkejut karena sentuhan tangan yang mendarat di pundakku. Sentuhan ini lebih halus dan memiliki rasa tersendiri. Aku sontak menoleh ke belakang. Ternyata anakku yang datang.

”Kapan kau pulang, Nak?” tanyaku padanya. 

”Baru saja, ayah,” jawab anakku dengan suara yang berat. Rupa-rupanya dia menangis.

”Kamu menangis? Apa yang kau tangiskan?” sambungku.

”Aku menangisi ayah. Aku sudah mendengar semua dari ibu tentang ayah. Berhentilah melukisi lembaran-lembaran kertas kosong yang tiada bermakna ini. Beraktivitaslah seperti biasanya. Melakukan hal seperti ini akan membuat ayah semakin terpuruk. Ayah akan sakit karena berhari-hari mengurung diri di kamar tanpa tidur, tanpa makan dan minum. Itu sama halnya menjerumuskan diri dalam kerusakan,” kata anakku.

”Tidak, Nak. Aku tidak akan berhenti melukis nasib ini. Aku ingin hidup lebih enak dari sebelumnya.”

”Kurang apa hidup kita ayah. Tuhan telah memberi kenikmatan yang lebih dari cukup kepada kita. Kita syukuri anugerah ini agar Tuhan memberi tambahan kenikmatan kepada kita. Sebagai anak, aku sudah bangga pada ayah. Ayah telah mewujudkan semua impian anak. Ayah telah berhasil mendidik anak sehingga aku sekarang bisa seperti ini. Lihatlah ayah. Lihat apa yang aku pegang ini. Aku telah berhasil meraih cita-cita sesuai dengan harapan ayah. Kurang apa lagi ayah?” kata anakku sambil menunjukkan penghargaan dari sebuah prestasi yang ia raih di sekolah.

”Satu lagi, ayah. Aku berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di fakultas kedokteran,” sambungnya.

Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca sehingga samar melihat wajah anakku yang tersenyum bahagia sambil menunjukkan penghargaan itu. Tiba-tiba aku ingat kalau wajah anakku ini persis seperti yang telah kulukis dua hari yang lalu. Tapi aku lupa di mana lukisan itu. Aku akan mencari dan menunjukkan kepada istri dan anakku bahwa aku pernah melukis nasib anakku persis seperti yang terjadi saat ini. 

Aku membongkar-bongkar tumpukan kertas yang hampir menguburku. Aku mengambil lalu membuka kertas-kertas yang sudah kuremas-remas dan berbentuk bulat seperti bola itu. Satu persatu aku buka lagi untuk mencari lukisan wajah ceria anakku. Ternyata yang kubuka dan kulihat malah lukisan nasib tentang keinginanku menikah lagi. Sial, istriku melihatnya! Dia berdiri di belakang punggung anakku yang sudah beranjak dewasa.

Istriku menyambar kertas yang kupegang. Dia melihat ada lukisan nasibku yang sudah barang tentu sangat ia benci. 

”Kau ingin menikah lagi?” tanya istriku dengan nada tinggi. Matanya mendelik seperti harimau betina. Dia geram seakan-akan ingin menerkamku.

”Tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu.Yang kau pegang itu hanyalah lukisan,” jawabku mengelak.

”Kau sering mengatakan bahwa yang kau lukis ini adalah gambaran nasib hidupmu di masa mendatang. Berarti kau ingin mengingkari pernikahan kita?” sergah istriku.

”Lukisan itu hanyalah iseng. Hanyalah mainan belaka. Aku sama sekali tidak punya keinginan seperti yang kaukatakan.”

”Nah, kalau yang kau katakan itu benar, maka mulai sekarang kau harus meninggalkan pekerjaan konyolmu. Hentikan kebiasaan melukis nasib yang sia-sia ini. Ubahlah nasib dengan bekerja, bukan dengan membuat lukisan,” kata istriku sembari membuang lukisan nasib yang membuatnya gerasm

”Benar yang dikatakan ibu, ayah. Sekarang ayah keluar dari kamar biar tumpukan kertas yang hampir mengubur ayah ini kurapikan,” pinta anakku.

Perlahan aku bangkit dari tempat duduk yang menyatu dengan pantatku karena sudah tiga minggu duduk dan melukis nasib yang tidak menentu. Sekarang aku baru sadar bahwa kebahaagiaan tidak bisa diraih dengan lamunan dalam lukisan. Kebahagiaan hidup harus direngkuh dengan usaha. 

Tumpukan-tumpukan kertas yang hampir menguburku dalam kamar menjadi saksi bisu. Kertas-kertas itu suatu saat nanti akan bercerita kepada orang-orang yang selama ini menganggapku sebagai pemalas bahwa aku juga ingin seperti mereka. Mereka yang sukses menjalani karier, mendidik dan mengantarkan anak-anakknya ke puncak karier. (*)


Wanar, Agustus 2020


Ahmad Zaini, guru di SMK Negeri 1 Lamongan. Dia juga menjadi anggota Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan serta aktif di Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela). Beperapa buku telah ia terbitkan. Buku tebarunya adalah kumpulan puisi yang berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.