Layang-Layang
Buku
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Buku-buku anakku berserakan di samping meja belajar. Beberapa
pensil dan penghapus berjumpalitan di atas meja. Tas menganga. Tlepak atau
tempat alat tulis mulutnya terbuka. Seragam sekolahnya pun tergantung tak rapi
di samping almari. Sepatu dan kaos kaki olahraganya dibiarkan berdaki sampai
baunya seperti ikan asin yang dijemur namun belum kering.
”Abduh, di mana kamu?” tanyaku dengan suara datar.
”Di kamar belajarnya,” sahut istriku yang sedang
menyiapkan sarapan pagi.
”Tidak ada di kamar belajarnya. Buku dan alat tulis
lainnya berserakan. Amburadul semua.”
Aku mencarinya ke belakang tempat dia biasanya membuat
layang-layang. Aku tidak menemukannya. Aku hanya mendapati bilahan bambu yang
akan dibuat kerangka layang-layang yang tersandar di pohon mangga. Aku menuju
ke tempat yang biasanya digunakan anakku bersembunyi untuk bermain game.
Di tempat itu juga tidak ada. Aku hanya menemukan bekas kepalan tangannya yang
memukul-mukul tanah jika dia kecewa karena kalah dalam permainan.
Beberapa hari ini aku melihat sikap dan tingkahnya agak
berbeda. Dia tak seperti biasanya yang rajin dan sigap mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan sekolahnya. Untuk kali ini dia hanya menatap
jadwal pelajaran yang tertempel di depan meja belajar. Beberapa detik kemudian
dia pergi. Dia membiarkan buku-buku yang morat-marit di atas meja tanpa
membuka, membaca, menata lalu memasukkan bukunya ke dalam tas.
Belajar dari rumah secara daring memang cara yang
terpaksa diterapkan oleh sekolah dalam masa pendemi virus corona ini. Anak-anak menerima materi yang
disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan laptop atau sejenisnya.
Pembelajaran nontatap muka ini ternyata mendapat reaksi yang berbeda dari para
siswa. Ada siswa yang serius mengikutinya. Ada siswa yang kurang serius.
Bahkan, ada pula siswa yang mengabaikan pembelajaran jarak jauh ini. Siswa
tidak peduli. Dia mengacuhkan semua materi dan tugas yang disampaikan oleh
gurunya.
”Saya bosan dengan tugas-tugas dari guru, Yah,” ungkap
anakku karena lelah mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh gurunya hari
itu.
”Yang sabar, Nak. Kerjakan yang mudah-mudah dulu. Yang
sulit dicatat atau diberi tanda, kemudian tanyakan ke bapak atau ibu guru.”
”Sudah, Yah. Namun saya tidak mengerti dengan
penjelasannya yang hanya lewat tulisan. Saya ingin dijelaskan secara langsung
seperti biasanya,” sanggah anakku.
Aku memaklumi alasan anakku. Aku mengerti bagaimana
kondisi fisik dan psikis anak saat menghadapi tugas yang menumpuk. Bagaimana
tidak lelah, dalam sehari ada lima tugas dari guru yang berbeda-beda. Kemampuan
berpikir anak jelas tidak menjangkau untuk menyelesaikannya dalam sehari. Maka
sangat wajar jika anak-anak sekarang ini malas membuka buku atau gawai untuk
belajar. Mereka lebih senang bermain game daripada pusing-puising
memikirkan tugas yang tak kelar-kelar.
Siang hari menjelang zuhur anakku datang dari luar.
Napasnya ngos-ngosan seperti habis mengikuti lomba lari cepat, bukan
lari liar, lho. Dia menyandarkan punggungnya di tiang penyangga teras.
”Dari mana kamu dari pagi sampai siang baru pulang?”
tanyaku sambil melihat keringat berleleran di kening anakku.
”Main
layang-layang di persawahan, Yah,” jawabnya.
“Bukankah kamu tahu bahwa saat ini waktunya belajar
daring? Meski kamu tidak ke sekolah, namun pembelajaran tetap dilaksanakan
secara jarak jauh,” aku memberi sedikit penjelasan pada anakku.
”Malas, Yah. Guru-guru hanya memberi materi lewat
tulisan, disuruh membaca, lalu diberi tugas. Setiap hari begitu. Padahal,
tugas-tugas yang saya kerjakan sebelumnya belum dinilai,” anakku menyampaikan
alasannya padaku.
”Mungkin gurumu masih sibuk dengan urusan yang lain
sehingga belum sempat mengoreksinya.”
”Hari ini sudah tugas yang ketujuh, Yah. Masak setiap
hari ada urusan,” bantahnya.
”Sssst! Tidak boleh ngomong begitu tentang gurumu.
Awas kuwalat jadi jambu mente.”
”Buktinya!” desak anakku.
”Sudah, sudah. Jangan diteruskan!” pungkasku.
Anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah
mempunyai penilaian seperti itu tentang gurunya. Dia memberikan reaksi tentang
tugas belajar jarak jauh yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Namun, aku tidak menerimanya begitu saja. Mungkin itu hanya sebagai alasan
untuk menutup-nutupi kemalasannya.
”Tidak, Yah. Ini benar. Kalau ayah tidak percaya,
tanyakan ke Rangga, Ubet, Sadli, dan teman-teman saya yang lain,” kata anakku
untuk meyakinkan bahwa yang dikatakannya itu bukanlah kebohongan.
Tak berselang lama azan zuhur berkumandang. Anakku
beranjak ke kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah itu dia berpakaian rapi
dengan mengenakan songkok, baju koko, dan sarung yang dibelikan pakdenya
sebagai hadiah khitanannya. Dia pergi ke masjid untuk melaksanakan salat zuhur
secara berjamaah.
***
Angin siang berhembus kencang. Anakku dan teman-temannya keluar
rumah sambil membawa layang-layang. Mereka berlarian ke persawahan yang
korantang karena kemarau panjang. Mereka menerbangkan layang-layang yang
dimodel seperti buku. Setelah terbang tinggi, mereka mengikatkan benang
layang-layang di sebatang pohon turi. Mereka bertepuk tangan dan bernyanyi
riang tentang belajar dan bermain layang-layang.
Anak-anak melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
seorang pelajar. Mereka melupakan buku-buku yang berisi materi dan tugas.
Mereka lebih senang dengan ’buku’ yang diterbangkan. Layang-layang buku ini
lebih menyenangkan daripada belajar tanpa bertemu guru dan handai taulan,
pikirnya.
Aku sebagai orang tua prihatin pada sikap anakku dan
teman-temannya. Mereka enggan menjamah buku. Mereka lebih senang bermain
layang-layang yang dibentuk seperti buku. Hal ini mestinya tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Sekolah dan orang tua harus mencari solusi bagaimana anak-anak bisa
senang dan giat belajar lagi.
”Sampai kapan anak kita begini terus, Bu?” tanyaku pada
istri yang juga kebingungan mencari cara mengembalikan minat belejar sang anak.
”Anak kita akan kembali bersemangat belajar apabila
sekolah sudah masuk. Belajar tatap muka mulai dilaksanakan,” jawab istriku.
”Sama. Aku juga mempunya jawaban yang sama seperti itu.
Tapi ini masih masa pandemi virus corona. Tidak mungkin anak-anak
disuruh masuk ke sekolah. Nanti kalau mereka terpapar virus bagaimana?”
”Mereka disuruh belajar di rumah itu agar tidak
berkerumun dengan teman-teman sekolah. Tapi mereka malah bermain layang-layang
dan berkerumuan dengan teman-temannya di persawahan. Apa bedanya? Lebih baik
mereka dimasukkan saja biar bisa belajar tatap muka dan bersemangat dalam
belajar,” katanya yang mematikan alasanku.
Aku terdiam. Aku tidak bisa melanjutkan pembicaraanku
tentang pernyataan istriku. Aku membenarkan argumen istriku. Namun apa boleh
buat. Kebijakan para pemangku pendidikan seperti itu. Mau atau tidak mau kita harus
ikhlas dan pasrah menerima keputusan tersebut. Masalah belajar anak, kita
terima kondisi apa adanya. Yang penting anak-anak sehat dan bisa bermain
layang-layang buku.
Aku dan istri duduk berdampingan di bawah teras rumah.
Kami berdua menikmati es Morena di atas meja kecil di antara kursi
secara bergantian. Setelah itu, kami menikmati keindahan dan ketenangan
layang-layang buku anakku yang terbang tinggi di langit biru. (*)
Wanar, 25 September 2020