Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 06 Oktober 2020

Layang-Layang Buku-Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, edisi MInggu, 4 Oktober 2020

 



Layang-Layang Buku

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Buku-buku anakku berserakan di samping meja belajar. Beberapa pensil dan penghapus berjumpalitan di atas meja. Tas menganga. Tlepak atau tempat alat tulis mulutnya terbuka. Seragam sekolahnya pun tergantung tak rapi di samping almari. Sepatu dan kaos kaki olahraganya dibiarkan berdaki sampai baunya seperti ikan asin yang dijemur namun belum kering.

”Abduh, di mana kamu?” tanyaku dengan suara datar.

”Di kamar belajarnya,” sahut istriku yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

”Tidak ada di kamar belajarnya. Buku dan alat tulis lainnya berserakan. Amburadul semua.”

Aku mencarinya ke belakang tempat dia biasanya membuat layang-layang. Aku tidak menemukannya. Aku hanya mendapati bilahan bambu yang akan dibuat kerangka layang-layang yang tersandar di pohon mangga. Aku menuju ke tempat yang biasanya digunakan anakku bersembunyi untuk bermain game. Di tempat itu juga tidak ada. Aku hanya menemukan bekas kepalan tangannya yang memukul-mukul tanah jika dia kecewa karena kalah dalam permainan.

Beberapa hari ini aku melihat sikap dan tingkahnya agak berbeda. Dia tak seperti biasanya yang rajin dan sigap mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolahnya. Untuk kali ini dia hanya menatap jadwal pelajaran yang tertempel di depan meja belajar. Beberapa detik kemudian dia pergi. Dia membiarkan buku-buku yang morat-marit di atas meja tanpa membuka, membaca, menata lalu memasukkan bukunya ke dalam tas.

Belajar dari rumah secara daring memang cara yang terpaksa diterapkan oleh sekolah dalam masa pendemi virus corona  ini. Anak-anak menerima materi yang disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan laptop atau sejenisnya. Pembelajaran nontatap muka ini ternyata mendapat reaksi yang berbeda dari para siswa. Ada siswa yang serius mengikutinya. Ada siswa yang kurang serius. Bahkan, ada pula siswa yang mengabaikan pembelajaran jarak jauh ini. Siswa tidak peduli. Dia mengacuhkan semua materi dan tugas yang disampaikan oleh gurunya.

”Saya bosan dengan tugas-tugas dari guru, Yah,” ungkap anakku karena lelah mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh gurunya hari itu.

”Yang sabar, Nak. Kerjakan yang mudah-mudah dulu. Yang sulit dicatat atau diberi tanda, kemudian tanyakan ke bapak atau ibu guru.”

”Sudah, Yah. Namun saya tidak mengerti dengan penjelasannya yang hanya lewat tulisan. Saya ingin dijelaskan secara langsung seperti biasanya,” sanggah anakku.

Aku memaklumi alasan anakku. Aku mengerti bagaimana kondisi fisik dan psikis anak saat menghadapi tugas yang menumpuk. Bagaimana tidak lelah, dalam sehari ada lima tugas dari guru yang berbeda-beda. Kemampuan berpikir anak jelas tidak menjangkau untuk menyelesaikannya dalam sehari. Maka sangat wajar jika anak-anak sekarang ini malas membuka buku atau gawai untuk belajar. Mereka lebih senang bermain game daripada pusing-puising memikirkan tugas yang tak kelar-kelar.

Siang hari menjelang zuhur anakku datang dari luar. Napasnya ngos-ngosan seperti habis mengikuti lomba lari cepat, bukan lari liar, lho. Dia menyandarkan punggungnya di tiang penyangga teras.

”Dari mana kamu dari pagi sampai siang baru pulang?” tanyaku sambil melihat keringat berleleran di kening anakku.

”Main layang-layang di persawahan, Yah,” jawabnya.

“Bukankah kamu tahu bahwa saat ini waktunya belajar daring? Meski kamu tidak ke sekolah, namun pembelajaran tetap dilaksanakan secara jarak jauh,” aku memberi sedikit penjelasan pada anakku.

”Malas, Yah. Guru-guru hanya memberi materi lewat tulisan, disuruh membaca, lalu diberi tugas. Setiap hari begitu. Padahal, tugas-tugas yang saya kerjakan sebelumnya belum dinilai,” anakku menyampaikan alasannya padaku.

”Mungkin gurumu masih sibuk dengan urusan yang lain sehingga belum sempat mengoreksinya.”

”Hari ini sudah tugas yang ketujuh, Yah. Masak setiap hari ada urusan,” bantahnya.

”Sssst! Tidak boleh ngomong begitu tentang gurumu. Awas kuwalat jadi jambu mente.”

”Buktinya!” desak anakku.

”Sudah, sudah. Jangan diteruskan!” pungkasku.

Anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah mempunyai penilaian seperti itu tentang gurunya. Dia memberikan reaksi tentang tugas belajar jarak jauh yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun, aku tidak menerimanya begitu saja. Mungkin itu hanya sebagai alasan untuk menutup-nutupi kemalasannya.

”Tidak, Yah. Ini benar. Kalau ayah tidak percaya, tanyakan ke Rangga, Ubet, Sadli, dan teman-teman saya yang lain,” kata anakku untuk meyakinkan bahwa yang dikatakannya itu bukanlah kebohongan.

Tak berselang lama azan zuhur berkumandang. Anakku beranjak ke kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah itu dia berpakaian rapi dengan mengenakan songkok, baju koko, dan sarung yang dibelikan pakdenya sebagai hadiah khitanannya. Dia pergi ke masjid untuk melaksanakan salat zuhur secara berjamaah.

***

Angin siang berhembus kencang. Anakku dan teman-temannya keluar rumah sambil membawa layang-layang. Mereka berlarian ke persawahan yang korantang karena kemarau panjang. Mereka menerbangkan layang-layang yang dimodel seperti buku. Setelah terbang tinggi, mereka mengikatkan benang layang-layang di sebatang pohon turi. Mereka bertepuk tangan dan bernyanyi riang tentang belajar dan bermain layang-layang.

Anak-anak melupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar. Mereka melupakan buku-buku yang berisi materi dan tugas. Mereka lebih senang dengan ’buku’ yang diterbangkan. Layang-layang buku ini lebih menyenangkan daripada belajar tanpa bertemu guru dan handai taulan, pikirnya.

Aku sebagai orang tua prihatin pada sikap anakku dan teman-temannya. Mereka enggan menjamah buku. Mereka lebih senang bermain layang-layang yang dibentuk seperti buku. Hal ini mestinya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sekolah dan orang tua harus mencari solusi bagaimana anak-anak bisa senang dan giat belajar lagi.

”Sampai kapan anak kita begini terus, Bu?” tanyaku pada istri yang juga kebingungan mencari cara mengembalikan minat belejar sang anak.

”Anak kita akan kembali bersemangat belajar apabila sekolah sudah masuk. Belajar tatap muka mulai dilaksanakan,” jawab istriku.

”Sama. Aku juga mempunya jawaban yang sama seperti itu. Tapi ini masih masa pandemi virus corona. Tidak mungkin anak-anak disuruh masuk ke sekolah. Nanti kalau mereka terpapar virus bagaimana?”

”Mereka disuruh belajar di rumah itu agar tidak berkerumun dengan teman-teman sekolah. Tapi mereka malah bermain layang-layang dan berkerumuan dengan teman-temannya di persawahan. Apa bedanya? Lebih baik mereka dimasukkan saja biar bisa belajar tatap muka dan bersemangat dalam belajar,” katanya yang mematikan alasanku.

Aku terdiam. Aku tidak bisa melanjutkan pembicaraanku tentang pernyataan istriku. Aku membenarkan argumen istriku. Namun apa boleh buat. Kebijakan para pemangku pendidikan seperti itu. Mau atau tidak mau kita harus ikhlas dan pasrah menerima keputusan tersebut. Masalah belajar anak, kita terima kondisi apa adanya. Yang penting anak-anak sehat dan bisa bermain layang-layang buku.

Aku dan istri duduk berdampingan di bawah teras rumah. Kami berdua menikmati es Morena di atas meja kecil di antara kursi secara bergantian. Setelah itu, kami menikmati keindahan dan ketenangan layang-layang buku anakku yang terbang tinggi di langit biru. (*)

 

Wanar, 25 September 2020