Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 22 Agustus 2014

Surat dari Gaza (Cerpen Radar Bjn, Jawa Pos Grup)

SURAT DARI GAZA
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Sudah puluhan tahun Zainab menjadi TKW di Palestina. Dia berpisah dengan suami dan kedua anaknya ketika anak-anaknya masih sekolah di bangku SD. Berulang-ulang Zainab ingin pulang ke negaranya, akan tetapi selalu gagal. Zainab terperangkap oleh konflik yang berkepanjangan di negeri Yassir Arafat ini.
Menjelang puasa tahun ini Zainab juga berencana mudik ke kampung halaman. Dia tidak mampu lagi menahan rasa rindunya kepada keluarga yang telah ditinggalkannya sejak puluhan tahun yang lalu. Dia ingin berlebaran dengan anggota keluarganya.
Rencana itu sudah matang. Bahkan dia sudah diajak majikannya memesan tiket pesawat. Namun, harapan itu sirna lagi lantaran Israil membombardir negeri tempatnya bekerja.
Sebagai pengobat rindunya kepada keluarga, Zainab mengirim surat kepada keluarga di Indonesia. Ini adalah satu-satunya jalan  agar dia bisa berkomunikasi dengan keluarga untuk mengungkapkan semua keluh-kesahnya di Gaza. Zainab memanfaatkan waktu lima menit setelah terjadi ledakan roket tentara Israil untuk memasukkan suratnya ke kotak pos yang ada di depan rumah majikannya. Hal ini dikarenakan tentara Israil meluncurkan roket-roketnya ke pemukiman sipil di Gaza dalam durasi lima menitan. Setelah berhasil memasukkan suratnya ke kotak pos, dia kembali bersembunyi di bawah bunker atau ruang bawah tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan rudal orang-orang Yahudi itu.
Dalam surat yang dikirimkan Zainab kepada keluarganya, dia bercerita banyak tentang rasa kangennya kepada keluarganya serta kondisi yang dialaminya. Dia juga bercerita tentang saat-saat  menegangkan dalam suasana perang seperti yang terjadi sekarang ini.
Sambil beruarai air mata, Zainab menulis surat dari ruang bawah tanah. Dia teringat keluarganya, terutama anak-anaknya. Nafasnya terasa sesak apabila dia menorehkan tinta yang mengukir bayangan-bayangan anaknya. Zainab membayangkan lalu membandingkan nasib kedua anaknya yang ada di kampung halaman dengan anak-anak di Gaza ini.
Anak-anak di Gaza tidak pernah tersenyum. Mereka tidak pernah tertawa. Anak-anak di Gaza tidak pernah bermain kejar-kejaran di tanah lapang. Mererka tidak pernah memakai seragam lalu berangkat ke sekolah bersama-sama seperti anak-anak di Indonesia. Mereka selalu menjerit dan larut dalam tangis ketakutan. Jiwa mereka terguncang oleh suasana perang yang tidak bisa dibayangkan sampai kapan selesainya.
Zainab mengenang puluhan tahun silam ketika dia belum berangkat ke Gaza sebagai tenaga kerja wanita. Sewaktu dia masih berkumpul dengan keluarganya. Saat bulan puasa seperti sekarang ini ketika menjelang berbuka puasa, dia dan anak-anaknya jalan-jalan sambil menunggu maghrib tiba. Setelah terdengar beduk maghrib yang menandakan waktu berbuka puasa, mereka berlari-larian pulang ke rumah untuk menunaikan buka puasa bersama keluarga. Aneka hidangan yang telah disiapkan sebelumnya di atas meja makan telah siap dinikmati bersama-sama. Kedua anaknya menikmati masa berbuka puasa ini dengan riang gembira. Mereka makan sepiring nasi dan minum semangkok kolak kacang hijau sesuai dengan porsi maisng-masing.
Setelah menghabiskan menu berbuka puasa, mereka lantas melaksanakan salat maghrib berjamaah. Sang suami menjadi imam sedangkan Zainab dan anak-anaknya menjadi makmum. Usai menunaikan kewajiban itu, mereka lantas menggelar tikar pandan di halaman rumahnya. Mereka duduk santai sambil menunggu waktu salat isyak dan tarawih datang.
Suasana yang membuat Zainab berderai air mata ketika dia mengingat waktu istirahat itu. Dia dan suaminya duduk santai di atas tikar pandan sedangkan kedua anaknya bermain kembang api. Kedua anaknya yang masih lugu itu berlari-larian membawa kembang api mengelilingi dirinya yang sedang menikmati camilan dengan suaminya.
Sambil mengusap air mata, Zainab mengabarkan kepada keluarganya bahwa suasana di kampung halaman tidak pernah ia lihat di Jalur Gaza. Suasana sore bulan Ramadan atau bulan puasa seperti sekarang ini anak-anak di Gaza tidak bisa berjalan-jalan dengan orang tuanya untuk menunggu waktu berbuka puasa. Mereka lebih mementingkan keselamatan jiwanya dan jiwa anak-anaknya dengan berlindung di ruang bawah tanah. Setiap hari mereka hanya bisa duduk dalam ketakutan di ruang yang sempit dan pengap. Mereka termenung dengan sinar lilin di atas meja makan yang menyediakan menu berbuka seadanya hingga saat berbuka benar-benar tiba.
Mereka makan ala kadarnya. Tak ada menu yang melimpah di Gaza. Tak ada camilan seperti yang ada di kampung halaman. Tada singkong rebus. Tak ada talas. Tak ada kolak kacang hijau. Bahkan kalau tidak ada bantuan makanan dari para relawan, mereka terpaksa hanya berbuka dengan seteguk air. Setelah itu mereka duduk lagi dengan penerang lilin dalam suasana yang mencekam di bawah ruang bawah tanah.
Selepas maghrib ketika langit benar-benar kelam anak-anak tak bisa bermain kembang api atau petasan. Mereka tidak pernah berlari-larian membawa kembang api lalu diikuti teman-teman sebayanya di belakang mereka. Anak-anak di Gaza selepas maghrib hanya bisa berlindung dalam dekapan orang tuanya. Mereka ketakutan saat melihat api roket meluncur ke sana kemari mencari sasaran tembak seperti kembang api raksasa. Sesaat kemudian terdengar dentuman bom menggema di tengah-tengah permukiman warga sipil yang diikuti suara gemuruh gedung dan rumah-rumah yang roboh, rata dengan tanah.
Jerit tangis anak-anak karena ketakutan, pecah di tengah-tengah perkampungan. Tangis ratap anak-anak karena orang tuanya meninggal dunia menyayat kalbu setiap orang yang mendengar. Mereka mencari-cari orang tuanya yang tertimbun rertuntuhan rumah. Mereka mengais-ngais serpihan bangunan untuk mencari orang tuanya yang tertelan material rumahnya. Akan tetapi, tangan-tangan kecil itu tak mampu mengangkat puing-puing bangunan rumahnya dan tidak bisa menemukan kedua orang tuanya.
Relawan datang membantu. Mereka mengangkat puing-puing bangunan untuk mengangkat korban ledakan bom. Satu persatu mayat berhasil diangkat. Ratusan mayat dijajar di pinggir jalan. Ledak suara tangis bocah-bocah kecil bersahutan ketika mereka menemukan jasad orang tuanya sudah tak bernyawa lagi. Mereka mendekap janazah orang tuanya yang masih bersimbah darah. Mereka memegangi lalu menciumi tangan, kaki, atau bahkan kepala orang tuanya yang sudah terpisah-pisah dengan anggota tubuh yang lain.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” gema takbir berkumandang di tengah-tengah kerumunan warga untuk menguatkan batin dan mental mereka, para korban kebiadaban tentara Israil.
Anak-anak di Jalur Gaza tak memunyai rumah lagi karena hantaman roket para tentara zionis Israil. Mereka tak memunyai tempat berteduh, tempat berlindung, tempat bercengkerama, tempat menerima tamu saat lebaran nanti. Mereka tak memunyai apa-apa lagi selain jiwa jihad yang akan mereka gunakan untuk mempertahankan negeri dan martabatnya ketika mereka beranjak remaja nanti.
Sungguh peristiwa yang mengerikan dan menyedihkan karena rasa kemanusiaan di negeri Palestina telah diinjak-injak oleh pemerintah Israil.
***
Surat yang dikirim Zainab dari Jalur Gaza Palestina telah sampai di kampung halaman. Amiran, suami Zainab, mengajak anak-anaknya duduk di ruang tamu. Sofi, anak pertama Zainab, disodori ayahnya agar membacakan surat dari Gaza tersebut. Sofi segera membuka surat itu lalu membacanya. Mereka dengan serius mendengarkan isi surat yang dibacakan Sofi.
Tanpa disadari mata mereka berkaca-kaca. Mereka larut dalam penderitaan yang dialami oleh warga Jalur Gaza Palestina terutama nasib anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Mereka hidup tanpa orang tua. Mereka hidup tanpa rumah. Mereka hidup di pengungsian dan menggantungkan hidupnya pada kedermawanan orang lain.
Lembaran surat yang dipegang oleh Sofi tiba-tiba bergetar. Getaran itu semakin lama semakin dasyat karena Sofi membacanya dengan penuh emosi. Kertas surat itu perlahan jatuh di pangkuan Sofi. Tubuh Sofi lemas tak berdaya. Kedua tengannya lunglai di pangkuannya. Suami dan anak-anak Zainab ini kemudian saling berangkulan dengan berderai air mata. Mereka mengingat nasib Zainab yang sudah puluhan tahun tidak pernah pulang kampung karena terjebak di negeri yang tak pernah berhenti dari peperangan ini.
Dalam suasana haru ini Amiran membisikkan pesan kepada anak-anaknya agar mereka tetap tabah, sabar serta memohon kepada Allah agar konflik di Gaza segera berakhir dan ibunya dapat pulang ke kampung halaman dengan selamat.(*)
Wanar, Juli 2014