SURAT
DARI GAZA
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Sudah puluhan tahun
Zainab menjadi TKW di Palestina. Dia berpisah dengan suami dan kedua anaknya
ketika anak-anaknya masih sekolah di bangku SD. Berulang-ulang Zainab ingin
pulang ke negaranya, akan tetapi selalu gagal. Zainab terperangkap oleh konflik
yang berkepanjangan di negeri Yassir Arafat ini.
Menjelang puasa tahun
ini Zainab juga berencana mudik ke kampung halaman. Dia tidak mampu lagi
menahan rasa rindunya kepada keluarga yang telah ditinggalkannya sejak puluhan
tahun yang lalu. Dia ingin berlebaran dengan anggota keluarganya.
Rencana itu sudah
matang. Bahkan dia sudah diajak majikannya memesan tiket pesawat. Namun,
harapan itu sirna lagi lantaran Israil membombardir negeri tempatnya bekerja.
Sebagai pengobat
rindunya kepada keluarga, Zainab mengirim surat kepada keluarga di Indonesia.
Ini adalah satu-satunya jalan agar dia
bisa berkomunikasi dengan keluarga untuk mengungkapkan semua keluh-kesahnya di
Gaza. Zainab memanfaatkan waktu lima menit setelah terjadi ledakan roket
tentara Israil untuk memasukkan suratnya ke kotak pos yang ada di depan rumah
majikannya. Hal ini dikarenakan tentara Israil meluncurkan roket-roketnya ke
pemukiman sipil di Gaza dalam durasi lima menitan. Setelah berhasil memasukkan
suratnya ke kotak pos, dia kembali bersembunyi di bawah bunker atau ruang bawah tanah untuk menyelamatkan diri dari
serangan rudal orang-orang Yahudi itu.
Dalam surat yang
dikirimkan Zainab kepada keluarganya, dia bercerita banyak tentang rasa
kangennya kepada keluarganya serta kondisi yang dialaminya. Dia juga bercerita
tentang saat-saat menegangkan dalam
suasana perang seperti yang terjadi sekarang ini.
Sambil beruarai air
mata, Zainab menulis surat dari ruang bawah tanah. Dia teringat keluarganya,
terutama anak-anaknya. Nafasnya terasa sesak apabila dia menorehkan tinta yang
mengukir bayangan-bayangan anaknya. Zainab membayangkan lalu membandingkan
nasib kedua anaknya yang ada di kampung halaman dengan anak-anak di Gaza ini.
Anak-anak di Gaza tidak
pernah tersenyum. Mereka tidak pernah tertawa. Anak-anak di Gaza tidak pernah
bermain kejar-kejaran di tanah lapang. Mererka tidak pernah memakai seragam
lalu berangkat ke sekolah bersama-sama seperti anak-anak di Indonesia. Mereka
selalu menjerit dan larut dalam tangis ketakutan. Jiwa mereka terguncang oleh
suasana perang yang tidak bisa dibayangkan sampai kapan selesainya.
Zainab mengenang
puluhan tahun silam ketika dia belum berangkat ke Gaza sebagai tenaga kerja
wanita. Sewaktu dia masih berkumpul dengan keluarganya. Saat bulan puasa
seperti sekarang ini ketika menjelang berbuka puasa, dia dan anak-anaknya jalan-jalan
sambil menunggu maghrib tiba. Setelah terdengar beduk maghrib yang menandakan
waktu berbuka puasa, mereka berlari-larian pulang ke rumah untuk menunaikan
buka puasa bersama keluarga. Aneka hidangan yang telah disiapkan sebelumnya di
atas meja makan telah siap dinikmati bersama-sama. Kedua anaknya menikmati masa
berbuka puasa ini dengan riang gembira. Mereka makan sepiring nasi dan minum
semangkok kolak kacang hijau sesuai dengan porsi maisng-masing.
Setelah menghabiskan
menu berbuka puasa, mereka lantas melaksanakan salat maghrib berjamaah. Sang
suami menjadi imam sedangkan Zainab dan anak-anaknya menjadi makmum. Usai
menunaikan kewajiban itu, mereka lantas menggelar tikar pandan di halaman
rumahnya. Mereka duduk santai sambil menunggu waktu salat isyak dan tarawih
datang.
Suasana yang membuat
Zainab berderai air mata ketika dia mengingat waktu istirahat itu. Dia dan
suaminya duduk santai di atas tikar pandan sedangkan kedua anaknya bermain
kembang api. Kedua anaknya yang masih lugu itu berlari-larian membawa kembang
api mengelilingi dirinya yang sedang menikmati camilan dengan suaminya.
Sambil mengusap air
mata, Zainab mengabarkan kepada keluarganya bahwa suasana di kampung halaman
tidak pernah ia lihat di Jalur Gaza. Suasana sore bulan Ramadan atau bulan
puasa seperti sekarang ini anak-anak di Gaza tidak bisa berjalan-jalan dengan
orang tuanya untuk menunggu waktu berbuka puasa. Mereka lebih mementingkan
keselamatan jiwanya dan jiwa anak-anaknya dengan berlindung di ruang bawah
tanah. Setiap hari mereka hanya bisa duduk dalam ketakutan di ruang yang sempit
dan pengap. Mereka termenung dengan sinar lilin di atas meja makan yang menyediakan
menu berbuka seadanya hingga saat berbuka benar-benar tiba.
Mereka makan ala
kadarnya. Tak ada menu yang melimpah di Gaza. Tak ada camilan seperti yang ada
di kampung halaman. Tada singkong rebus. Tak ada talas. Tak ada kolak kacang
hijau. Bahkan kalau tidak ada bantuan makanan dari para relawan, mereka
terpaksa hanya berbuka dengan seteguk air. Setelah itu mereka duduk lagi dengan
penerang lilin dalam suasana yang mencekam di bawah ruang bawah tanah.
Selepas maghrib ketika
langit benar-benar kelam anak-anak tak bisa bermain kembang api atau petasan.
Mereka tidak pernah berlari-larian membawa kembang api lalu diikuti teman-teman
sebayanya di belakang mereka. Anak-anak di Gaza selepas maghrib hanya bisa
berlindung dalam dekapan orang tuanya. Mereka ketakutan saat melihat api roket
meluncur ke sana kemari mencari sasaran tembak seperti kembang api raksasa. Sesaat
kemudian terdengar dentuman bom menggema di tengah-tengah permukiman warga
sipil yang diikuti suara gemuruh gedung dan rumah-rumah yang roboh, rata dengan
tanah.
Jerit tangis anak-anak
karena ketakutan, pecah di tengah-tengah perkampungan. Tangis ratap anak-anak
karena orang tuanya meninggal dunia menyayat kalbu setiap orang yang mendengar.
Mereka mencari-cari orang tuanya yang tertimbun rertuntuhan rumah. Mereka
mengais-ngais serpihan bangunan untuk mencari orang tuanya yang tertelan
material rumahnya. Akan tetapi, tangan-tangan kecil itu tak mampu mengangkat
puing-puing bangunan rumahnya dan tidak bisa menemukan kedua orang tuanya.
Relawan datang
membantu. Mereka mengangkat puing-puing bangunan untuk mengangkat korban
ledakan bom. Satu persatu mayat berhasil diangkat. Ratusan mayat dijajar di
pinggir jalan. Ledak suara tangis bocah-bocah kecil bersahutan ketika mereka
menemukan jasad orang tuanya sudah tak bernyawa lagi. Mereka mendekap janazah
orang tuanya yang masih bersimbah darah. Mereka memegangi lalu menciumi tangan,
kaki, atau bahkan kepala orang tuanya yang sudah terpisah-pisah dengan anggota
tubuh yang lain.
“Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” gema takbir
berkumandang di tengah-tengah kerumunan warga untuk menguatkan batin dan mental
mereka, para korban kebiadaban tentara Israil.
Anak-anak di Jalur Gaza
tak memunyai rumah lagi karena hantaman roket para tentara zionis Israil.
Mereka tak memunyai tempat berteduh, tempat berlindung, tempat bercengkerama,
tempat menerima tamu saat lebaran nanti. Mereka tak memunyai apa-apa lagi
selain jiwa jihad yang akan mereka gunakan untuk mempertahankan negeri dan martabatnya
ketika mereka beranjak remaja nanti.
Sungguh peristiwa yang
mengerikan dan menyedihkan karena rasa kemanusiaan di negeri Palestina telah
diinjak-injak oleh pemerintah Israil.
***
Surat yang dikirim
Zainab dari Jalur Gaza Palestina telah sampai di kampung halaman. Amiran, suami
Zainab, mengajak anak-anaknya duduk di ruang tamu. Sofi, anak pertama Zainab,
disodori ayahnya agar membacakan surat dari Gaza tersebut. Sofi segera membuka
surat itu lalu membacanya. Mereka dengan serius mendengarkan isi surat yang
dibacakan Sofi.
Tanpa disadari mata
mereka berkaca-kaca. Mereka larut dalam penderitaan yang dialami oleh warga
Jalur Gaza Palestina terutama nasib anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Mereka
hidup tanpa orang tua. Mereka hidup tanpa rumah. Mereka hidup di pengungsian
dan menggantungkan hidupnya pada kedermawanan orang lain.
Lembaran surat yang
dipegang oleh Sofi tiba-tiba bergetar. Getaran itu semakin lama semakin dasyat
karena Sofi membacanya dengan penuh emosi. Kertas surat itu perlahan jatuh di
pangkuan Sofi. Tubuh Sofi lemas tak berdaya. Kedua tengannya lunglai di
pangkuannya. Suami dan anak-anak Zainab ini kemudian saling berangkulan dengan
berderai air mata. Mereka mengingat nasib Zainab yang sudah puluhan tahun tidak
pernah pulang kampung karena terjebak di negeri yang tak pernah berhenti dari
peperangan ini.
Dalam suasana haru ini
Amiran membisikkan pesan kepada anak-anaknya agar mereka tetap tabah, sabar
serta memohon kepada Allah agar konflik di Gaza segera berakhir dan ibunya
dapat pulang ke kampung halaman dengan selamat.(*)
Wanar, Juli 2014