Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 22 Februari 2024

Dakwah di Suatu Senja, Radar Banyuwangi, 17 Februari 2024

 


Dakwah di Suatu Senja

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Hari menjelang maghrib. Wajah matahari tersisa separo. Dalam hitungan detik, raja siang akan benar-benar tenggelam. Udara yang semula gerah, kini agak mereda. Ditambah semilir angin senja, pergantian waktu siang ke malam ini terasa syahdu sekali.

Di beberapa tempat masih terlihat kerumunan remaja. Mereka duduk di atas jok motor masing-masing. Tak jelas apa yang mereka lakukan. Disela keseriusannya, tiba-tiba mereka tersenyum, tertawa, hingga terbahak-bahak. Adakah yang lucu? Tentu saja mereka sendiri yang tahu. Mungkinkah mereka menertawai diri sendiri karena di masa pergantian masa mereka masih berada di pinggir jalan umum.

Orang tua zaman dahulu akan mengalami kepanikan ketika maghrib anaknya belum pulang. Mereka mencari anaknya ke sana kemari. Apabila menemukan anaknya, mereka akan memaksa anaknya pulang untuk mandi, ganti pakaian, dan pergi ke masjid. Orang tua sekarang tidak lagi seperti itu. Mereka tidak peduli anaknya sudah pulang atau belum. Yang paling penting mereka sudah berpakaian rapi lalu pergi ke masjid bersama orang tua lainnya.

   Sebagai tokoh masyarakat Jazuli berhenti di tempat para remaja itu berkerumun. Kebetulan lelaki berkumis tipis ini dalam perjalanan pulang dari Surabaya. Jazuli menegur mereka agar segera membubarkan diri.

”Permisi! Kalian jam segini masih di sini. Bukankah ini waktu salat maghrib? Segeralah pulang untuk melaksanakan salat maghrib,” tegur Jazuli.

Para ABG ini bergeming. Mereka  tidak memedulikan teguran Jazuli. Anak-anak yang berjiwa labill ini masih asyik memainkan ponsel masing-masing. Alasan mereka nanggung. Jazuli terkejut mendengar alasan mereka. Ternyata pemuda-pemuda itu lebih mementingkan menuntaskan game mereka daripada melaksanakan salat maghrib.

Jazuli mengingatkan mereka lagi. Dia memberi petuah bahwa kegiatan mereka itu tidak berguna. Hanya membuang-buang waktu saja. Jazuli menyentil mereka dengan peringatan bahwa akhirat itu lebih penting daripada bermain. Salah satu dari mereka turun dari jok motor. Dia menghampiri Jazuli. Tangan kekarnya menyambar kerah baju Jazuli kemudian mengangkatnya pelan-pelan.

”Jazuli yang sok alim. Pulanglah sebelum gigimu rontok di sini,” ancam pemuda itu.

Lelaki bertubuh kurus ini langsung gemetar. Dia cepat-cepat menghindar lalu memacu motornya meninggalkan tempat itu. Pemuda-pemuda lainnya tertawa terpingkal-pingkal melihat Jazuli yang menggeber motornya meninggalkan tempat mangkal mereka.

Sesampai di rumah, Jazuli duduk sebentar. Dia minum segelas air putih. Dia menenangkan hatinya dengan karena hampir saja giginya dibuat copot oleh anak-anak itu. Jazuli menghela napas panjang. Dia tidak menyangka mendapat ancaman dari mereka. Tiga detik kemudian Jazuli beranjak dari tempat duduk, berwudlu, lalu beribadah salat maghrib di masjid.

Kira-kira apa penyebab mereka seperti itu, pikir Jazuli sembari duduk santai selepas salat maghrib. Mereka sensitif, mudah emosi. Mereka egois, tak pernah mendengar nasihat orang lain. Mereka tak merasa berdosa meninggalkan salat begitu saja. Apakah selama ini mereka tidak pernah diperintah orang tuanya melaksanakan salat? Apakah mereka di sekolah belum mendapatkan ilmu tentang salat. Mereka anak-anak usia sekolah. Sudah barang tentu mereka telah mendapatkan bimbingan tentang salat.

”Ada apa, Pak? Sejak tadi seperti ada yang kamu pikirkan,” kata istri Jazuli yang juga baru turun dari tempat salat. 

”Kita beruntung sekali, Bu karena anak-anak kita di pesantren,” ucap Jazuli.

”Memang kenapa?”

”Di empang sebelah jalan desa, aku menegur anak-anak seusia Tamam, anak kita. Mereka saya suruh pulang karena sudah saatnya waktu maghrib. Eh, mereka malawan. Aku hampir dicelakai mereka. Untung saja aku bisa kabur.”

”Tidak usah menegur anak orang lain. Biarkan saja mereka diurus orang tua masing-masing. Kita urus anak kita sendiri.”

”Tidak boleh seperti itu, Bu. Amar ma’ruf  itu dilakukan kepada siapa dan oleh siapa pun. Tidak bisa hanya mengurusi keluarga sendiri.”

”Tapi kalau mendapat ancaman seperti itu bagaimana?”

”Ya, kita harus menyadarkannya pelan-pelan dan tidak boleh putus asa.”

”Kenapa kamu lari? Hajar saja mereka hingga mau melaksanakan salat maghrib.”

”Berdakwah tidak boleh dengan kekerasan. Harus dilakukan dengan cara yang bijaksana.”

”Paham. Aku sangat paham. Tapi, kamu jangan kecewa terhadap mereka. Kamu harus berlapang dada mendapat perlakukan kasar mereka,” pungkas istri Jazuli.

”Siap. Aku tidak kecewa,” sanggup Jazuli.

Percakapan mereka selesai. Istri Jazuli balik kanan lalu berjalan menuju ruang dapur. Dia membuatkan kopi kesukaan suaminya.

Dalam temaram lampu ruang tamu, suami istri ini terlibat diskusi kecil-kecilan. Mereka ditemani secangkir kopi. Nyamuk-nyamuk mengusili mereka. Sesekali gigitannya membuyarkan kefokusan mereka.

”Orang mengajak kebaikan pasti ada tantangan. Jangankan manusia biasa. Setingkat nabi masih mendapat perlawanan dari umatnya. Yang penting manusia tetap menunaikan kewajibannya. Yakni, menyeru orang lain melakukan kebaikan,” kata Jazuli setelah menyeruput kopi panas.

”Kalau tantangan itu sampai membahayakan dirinya bagaimana? Bukankah Allah melarang hamba-Nya agar tidak terjerumus ke dalam kerusakan?” sanggah istrinya.

”Berdakwah sesuai dengan kemampuan. Bila kita sudah berusaha maksimal, kemudian mereka tetap menolak bahkan mengancam kita, cukuplah berdakwah dengan hati. Hati kita benci terhadap kemungkaran yang mereka lakukan,” jelas Jazuli.

 Istri Jazuli mulai puas. Dia bersyukur karena suaminya memahami semua permasalahan dakwah. Sejak awal istri Jazuli takut suaminya berdakwah dengan kasar kemudian keselamatannya terancam.

Malam sudah larut. Suasana di luar rumah sepi sekali. Tak terdengar suara motor melintas di jalan. Anak-anak tetangga juga telah pulas di dekap orang tua. Mata Jazuli juga tampak tidak mampu menahan kantuk. Demikian juga istrinya. Mereka pun beristirahat agar keessokan harinya dapat melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid.

Sungguh mulia orang yang masih ingat kewajiban berdakwah. Mereka tidak memikirkan diri dan keluarganya saja, tetapi juga orang lain. Betapa damai dan indahnya kehidupan ini apabila masih ada yang ikhlas berdakwah untuk menyeru kepada kebaikan. Kegaduhan dan keresahan akan hilang karena Allah menurunkan keberkahan hidup di tempat itu. Tempat yang nyaman penuh ampunan dari Allah.

Sore hari ketika Jazuli pulang kerja, dia tidak melihat kerumunan remaja yang sempat mengancam keselamatannya. Tempat itu sepi. Tidak ada satu pun pemuda yang duduk ongkang-ongkang kaki di jok motornya. Tidak terdengar tawa terbahak-bahak mereka. Tidak ada suara siulnya saat ada gadis melintas. Jazuli berhenti. Dia turun dari sepeda motor. Dia ingin memastikan anak-anak muda itu tidak di tempat tersebut. Setelah yakin bahwa mereka tidak berada di tempat mangkal ini, Jazuli melanjutkan perjalanan pulang.

Azan maghrib berkumandang dari masjid. Suara muazin merdu sekali. Jazuli dan warga lain penasaran karena selama ini belum pernah terdengar suara azan semerdu ini. Jazuli dan warga berbondong-bondong datang ke masjid guna melaksanakan salat maghrib berjamaah seperti biasanya. Subhanallah, ucap Jazuli dalam hati. Ternyata pemuda yang sempat menarik kerah baju Jazuli itu muazinnya. Di belakang pemuda itu, terlihat beberapa teman nongkrongnya duduk khusuk sambil mendengar dan menjawab azan temannya.

Hidayah Allah kapan dan kepada siapa akan diberikan, itu rahasia. Sebagai buktinya adalah para pemuda itu. Sesering apapun dakwah diberikan kepada umat, jika belum mendapat hidayah Allah, mereka tetap berada dalam kemungkaran. Apabila Allah telah menurunkan hidayah pada umat-Nya, sekali diajak atau bahkan tidak ada yang mengajaknya, mereka akan mentas dari kubang kemungkaran.

Setelah melaksanakan salat maghrib para pemuda itu menghampiri Jazuli yang saat itu sebagai imam. Mereka menjabat tangan Jazuli sambil berbisik minta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Para pemuda itu salut dan berterima kasih kepada Jazuli. Lantaran nasihat-nasihat yang disampaikan Jazuli kala itu, Allah menurunkan hidayah kepada mereka. (*)

 

Lamongan, 29 November 2023

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Negeriku dalam Cerita, Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 28 Januari 2024

 


Negeriku dalam Cerita

Karya Ahmad Zaini

 

Betapa anggun negeriku. Anugerah Tuhan tak terdustakan. Gunung-gunung duduk damai. Angin bertiup landai. Ombak bergulung di samudera luas. Langit biru membahana. Tanaman tumbuh subur dan rakyat sejahtera. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Begitu Tuhan menyindir penghuni negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Memang begitu adanya negeriku. Keelokan dan kesuburan mengundang penasaran negara-negara lain merebutnya. Cerita kakekku bangsa-bangsa Eropa dan Asia waktu itu sangat berambisi menguasai negeriku. Beberapa negara mengirimkan bala tentaranya untuk merebut dan menguasai negeri ini. Namun, penduduk pribumi kala itu tidak tinggal diam. Para leluhur berjuang mati-matian dalam mempertahankan negeri. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata. Mereka merelakan jiwa, raga, dan harta demi menjaga kedaulatan negeri.

Seorang teman dari Tunisia datang ke rumah. Namanya Ibrahim. Dia teman kuliahku di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Dulu dia berbadan tegap. Berwajah tampan dengan cambang yang berwibawa. Saat tersenyum, gigi-gignya putih berjajar rapi laksana biji mentimun. Aku sempat hampir tak bisa mengenalinya karena penampilannya sangat berbeda. Badannya kurus. Wajah agak kusam. Cambang dibiarkan memanjang dengan jenggot yang menjuntai hampir menyentuh dada. Penampilan Ibrahim kini berubah 180 derajat. Sepereti kurang terawat. Mungkin karena perang saudara beberapa bulan lalu yang telah menyebabkan dia menjadi begini.

“Rafi, izinkan aku tinggal di sini satu bulan. Aku ingin hidup damai dengan menetap di negerimu. Aku ingin mencari pekerjaan tetap, membangun rumah, lalu menetap di sini. Aku kagum dengan ceritamu semasa kita bersama-sama di Al Azhar,” kata Ibrahim menyampaikan maksud kedatangannya kepadaku.

“Silakan, Kawan! Aku tidak keberatan jika kamu mau tinggal sementara di rumahku. Namun, aku tidak menjamin apabila semua keinginanmu tercapai di negeriku ini,” aku meninmpalinya.

“Bukankah negerimu ini kaya raya. Negeri subur dengan sumber daya alam melimpah?” sambung Ibrahim.

“Betul sekali. Negeriku memang kaya sumber daya alam. Negeriku memang subur. Namun, peluang untuk bisa hidup bahagia sebagaimana keinginanmu, aku belum bisa menjamin,” jelasku.

“Aku yakin bisa. Aku akan kerja keras. Kerja apa saja yang terpenting halal,” kata Ibrahim dengan penuh keyakinan.

Aku salut dengan kegigihan Ibrahim. Tapi, aku tidak membiarkan dirinya asal kerja karena Ibrahim ini sosok yang pandai dan terampil. Aku akan mencoba menawarinya untuk bersama-sama membantuku dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang kukelola.

Sore hari aku mengajaknya melihat-lihat kondisi lembaga pendidikan yang kukelola. Sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarga besarku. Ketika ayah masih hidup, lembaga ini berkembang pesat. Tidak membutuhkan waktu lama, ayah bisa mengubah bangunan dan sistem pendidikan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Setelah ayahku meninggal karena badai Covid-19 menyerang negeri, tongkat estafet kepemimpinan lembaga diserahkan kepadaku.

“Luar biasa. Bangunan sederhana, namun  menyenangkan. Pasti muridnya banyak dan  belajar dengan nyaman di sini,” takjub Ibrahim.

Aku mengangguk pelan. Mungkin karena kondisi lembaga pendidikan saat ini tidak seluruhnya sesuai dengan ucapan Ibrahim. Makanya aku ragu untuk mengiyakan kata-kata Ibrahim. Kondisi sekarang jauh menurun dibanding saat ayah masih hidup. Orang-orang mengibaratkan lembaga pendidikanku ini kehilangan obor.

“Aku minta agar kamu bersedia membantu untuk membangkitkan dan mengembangkan lembaga ini,” pintaku padanya. Ibrahim diam. Dia tidak segera memastikan jawaban.

Aku memakluminya. Aku memberikan kesempatan pada Ibrahim untuk berpikir. Daripada aku memaksanya harus menjawab seketika lalu di kemudian hari dia berubah pikiran. Aku sendiri yang kerepotan.

“Jangan dibuat serius. Ini hanyalah tawaran saja,” kataku mencairkan suasana.

Urat-urat di wajah Ibrahim lentur kembali. Dia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia punya keyakinan bahwa aku bisa membangkitkan dan mengambangkan lembaga pendidikan ini seperti waktu dulu. Aku membalasnya dengan anggukan. Aku berharap isyarat dari Ibrahim merupakan doa buatku.

Suatu malam, Ibrahim mengajakku keluar rumah sekadar mencari camilan. Sebagai tuan rumah, aku harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Bukankah menghormati tamu itu sebagian tanda hamba beriman? Itu dulu yang pernah disampaikan oleh ustadzku saat pengajian di musalla kampung dulu.

Mobil peninggalan ayahku tapi masih sangat layak ditumpangi kukeluarkan dari garasi mobil. Ibrahim kupersilakan duduk di kabin depan sebelah kiri. Remaja Tunisia yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini kuajak berkeliling kota terlebih dahulu. Jalan raya yang tersorot lampu mobil terlihat bergelombang dan berlubang. Kondisi jalan raya seperti ini membuat perjalanan kami kurang nyaman. Mobil terasa melompat-lompat dan terkadang roda depan terperosok lubang hingga kepala Ibrahim terantuk bodi mobil.

“Jalan seperti ini yang tidak pernah kutemukan di negeriku. Meskipun, dari keamanan terkoyak karena perang saudara, infrastruktur jalan sangat bagus. Tidak bergelombang dan tidak berlubang,” sindir Ibrahim.

“Itulah sebagian keunikan di negeriku. Walaupun beberapa proyek perbaikan jalan telah dilakukan, tapi kondisi jalan masih sedemikian itu. Tak jarang banyak pengendara motor jatuh kemudian mati,” kataku.

“Mati? Berapa banyak?”

“Setahun bisa puluhan bahkan sampai ratusan jiwa melayang karena kondisi jalan.”

“Di negerimu nyawa melayang karena jalan. Di negeriku nyawa melayang karena tembakan. Itulah dunia. Beraneka peristiwa datang bergantian. Yang terpenting sebagai manusia kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.”

“Itu ada apa, kok, ramai sekali?” tanya Ibrahim.

“Kurang tahu,” jawabku singkat.

Aku bertanya kepada seseorang yang baru saja meninggalkan kerumunan. Jawabnya ada korban tawuran.

“O, korban tawuran. Tawuran itu apa?”

“Tawuran itu semacam perang kecil-kecilan.”

“Sampai ada korban?”

“Iya.”

“Kamu pernah bercerita bahwa penduduk negerimu itu ramah-ramah,” tanya Ibrahim mengingatkan cerita yang pernah kusampaikan saat masih di Kairo.

Tentang pertanyaan ini aku menghela napas Panjang. Dadaku terasa sesak dan mulutku terasa berkaret. Berat sekali aku menjelaskannya.

Diakui atau tidak di negeriku dari tahun ke tahun mengalami kemerosotan moral. Orang-orang menyebutnya dakadensi moral. Banyak peristiwa kekerasan fisik dan psikis yang pelaku atau korbannya itu para remaja. Padahal remaja itu penentu kemajuan bangsa. Di pundaknyalah maju-mundur sebuah negeri.

“Kami para pelaku pendidikan sudah berupaya untuk menanggulangi kemerosotan moral. Beberapa pelajaran penting tentang moral kusisipkan dalam pembelajaran sehari-hari. Tapi lingkunganlah yang sangat berperan. Apabila di luar sekolah lingkungan kurang baik, pendidikan moral yang diterima di sekolah akan hilang begitu saja. Walhasil, lahirlah generasi-generasi yang suka tawuran dan aksi kekerasan lainnya.”

Belum sebulan Ibrahim tinggal di sini, banyak kejanggalan yang membuatnya jadi ragu berkarier di negeriku. Guratan di keningnya mengisyaratkan dia ingin segera balik ke negerinya.

“Bagaimana, Kawan? Adakah sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?” tanyaku padanya.

“Iya. Aku jadi…,”

“Jadi ragu tinggal di sini?” sergahku.

“Begitulah. Ternyata kondisi negerimu yang seperti kauceritakan dulu itu tinggal cerita. Sering terjadi tawuran, kondisi jalan rusak, banyak pengemis dan gelandangan. Belum lagi berita yang kusaksikan lewat berita televisi, banyak informasi terkait kekerasan fisik dan psikis. Juga kekerasan seksual,” kata Ibrahim terkait kondisi negeriku tidak seperti ceritaku beberapa tahun lalu.

 

Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku membiarkan Ibrahim untuk menentukan sikap setelah mengetahui kondisi nyata di lapangan. Ternyata dia memilih mengurungkan niat tinggal di sini. Aku tidak punya alasan mencegahnya. Aku sangat menghargai keputusannya.

Keesokan harinya, aku mengantarkan Ibrahim ke bandara Juanda. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Di kanan-kiri jalan raya yang kulintasi, banyak kesemerawutan. Banyak warga berebut nasib dengan mengantre sembako gratis yang dibagikan oleh para penggila jabatan untuk mendapatkan simpati warga. (*)

Lamongan, 18 Januari 2024