Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 25 Mei 2018

Cerpen Kaum Pendatang


Kaum Pendatang
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Kesibukan warga di daerah ini meningkat tajam. Mereka menghias wajah daerahnya dengan berbagai umbul-umbul dan hasil kreasi lainnya. Mulai pagi sampai menjelang senja, para warga bekerja bakti tanpa mengenal lelah. Mereka ingin segera merampungkan semua keperluan untuk menyambut kedatangan orang-orang modern. Orang-orang berpengalaman dari kota. Konon mereka datang ke daerah ini untuk membantu warga dalam rangka meningkatkan hasil pertaniannya.
Sudah dua minggu para warga menyiapkan tempat tinggal buat orang-orang yang diyakini akan membawa kemajuan daerah. Ada yang rela membantu bahan baku rumah seperti kayu, genting, gedhek atau dinding rumah dari anyaman bambu, serta keperluan hidup lainnya secara cuma-cuma. Mereka sangat antusias menyambut kedatangan orang-orang milenia. Warga sangat yakin pada kiprah kaum pendatang nanti. Orang-orang modern ini dianggap sebagai malaikat yang bisa mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik. Seperti yang sudah disampaikan oleh kepala daerah sebagai pihak yang mengundang mereka datang ke sini.
Subroto sebagai kepala daerah datang untuk melakukan sidak. Didampingi para pejabat lainnya, ia mengecek semua persiapan penyambutan orang-orang itu mulai dari tempat sampai fasilitas-fasilitas lainnya. Kepala daerah tidak mau kedatangan mereka nanti meninggalkan kesan yang kurang memuaskan. Ia tidak ingin mengecewakan orang-orang itu.
”Saya sangat puas dengan persiapan penyambutan ini. Terima kasih Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu serta Saudara sekalian yang telah mempersiapkan semua fasilitas demi menyambut mereka nanti. Orang-orang itu nanti pasti akan membawa perubahan demi kemajuan pertanian daerah kita nanti,” ucap Subroto di depan para warga yang mengerubutinya.
Jarwo, pemuda yang tidak setuju pada program ini. Dia meninggalkan kerumunan warga yang sedang dimabuk sanjungan. Jarwo tidak habis pikir kenapa warga di daerah ini begitu yakin dan bersemangat pada rencana kedatangan orang-orang ini. Mereka hanyalah orang-orang yang tahu teori saja. Ia khawatir malah sebaliknya. Mereka akan menguasai warga daerah ini dan menjadikannya sebagai pelayan mereka.
”Akan ke mana, Wo?” tanya Muis, tetangga sekaligus teman akrab Jarwo.
”Akan pulang.”
”Pulang? Acara belum selesai, kan?”
Ah, sudah banyak orang di sana. Aku kurang setuju dengan rencana ini.”
”Kenapa tidak setuju? Bukankah kedatangan mereka nanti akan membawa kemajuan daerah kita?”
”Itu hanyalah propaganda mereka untuk mengelabui warga. Saya curiga ada maksud-maksud terselubung di balik rencana ini,” kataku yang disambut dengan tatapan hampa oleh Muis.
”Kamu ini terlalu mengada-ada. Jangan berprasangka yang tidak-tidak. Jelas-jelas mereka akan datang untuk membantu pertanian kita,” sergahnya dengan perasaan yakin.
”Itu hakmu. Terserah kamu menilai program ini. Yang penting saya tidak setuju,” kata Jarwo mengakhiri perdebatan kecil dengan Muis.
***
Para warga berjajar rapi di sepanjang jalan. Mereka berdiri saling berhimpitan. Para warga dari berbagai usia rela berpanas-panasan untuk menyambut kedatangan rombongan tamu agung. Mereka bernyanyi, bersorak, dan beryel-yel untuk menunjukkan kekompakan kepada kepala daerah dan rombongan orang-orang kota. Kepala daerah yang didampingi para pejabat lainnya tak mau ketinggalan. Mereka berdiri di gerbang pendopo. Subroto dan para pengawal berbaur dengan warga lainnya menyambut kehadiran orang-orang andalan program ini.
Sirine patwal yang mengawal tamu agung terdengar dari kejauhan. Para warga berdesak-desakan. Mereka yang berdiri di lapis kedua barisan menyelinapkan kepalanya di sela-sela himpitan orang-orang di depannya. Mereka melihat langsung rombongan tamu agung yang sebentar lagi akan melintas di depannya. Tak lama kemudian iring-iringan mobil semakin mendekat. Rombongan orang-orang dalam mobil itu berhenti di depan pendopo.
Di pintu gerbang pendopo, Subroto didampingi para pejabat daerah lainnya berdiri. Para pejabat itu memberi sambutan hangat pada kedatangan mereka. Subroto dan para pegawainya membawa beberapa rangkaian kalung bunga. Mereka siap mengalungkan bunga kepada para tamu.
Dari mini bus bewarna hitam, turunlah lima lelaki berpakaian resmi. Mereka bergerak menuju pendopo. Subroto yang didampingi wanita yang membawa baki berisi kalung bunga. Dia mengalungkan bunga satu per satu kepada para lelaki itu sebagai ucapan selamat datang di daerahnya.
Para warga yang memadati pendopo duduk di kursi plastik. Mereka menunggu sambutan dari para pejabatnya. Mereka ingin mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang program-program yang dibawa oleh kaum pendatang.
Jarwo duduk di kursi paling belakang. Ia menyimak paparan program yang disampaikan oleh pihak pejabat dan orang-orang itu. Jarwo yakin dalam program-programnya terselip upaya untuk menguasai kehidupan warga daerah ini. Mereka tidak mungkin datang dan tinggal berlama-lama di daerah ini tanpa ada tujuan tersembunyi.
Muis yang duduk di kursi terdepan menoleh ke arah Jarwo. Dia memanggil Jarwo sambil menujuk ke kursi kosong di sebelahnya. Jarwo menggelengkan kepala. Saat ini ia hanya berpartisipasi saja agar tidak kelihatan ketidaksetujuannya pada program mereka.
Subroto sebagai kepala daerah memberi sambutan selamat datang kepada kaum pendatang. Sambutannya berapi-api. Subroto yakin para kaum pendatang akan membawa perubahan di daerahnya. Dalam sambutannya,  ia membayangkan kehidupan warganya makmur, sejahtera, dan bergaya hidup modern. Pertanian mereka akan lebih maju karena sentuhan tangan dingin orang-orang yang didatangkannya. Para warga yang mendengarkan pidato kepala daerah yang berapi-api ini menyambutnya dengan riuh tepuk tangan. Para warga mengelu-elukan kaum pendatang. Mereka memberi sanjungan yang luar biasa kepada orang-orang itu.
”Aku tidak yakin hal itu akan terwujud. Kesengsaraanlah yang akan dirasakan oleh warga daerah ini nantinya,” gerutu Jarwo.
Para warga yang semula duduk tenang mendadak berdiri semua. Mereka ingin melihat sosok pemimpin rombongan yang akan berpidato setelah pemandu acara mempersilakannya.
”Hadirin diharap tenang dan duduk kembali,” pinta pemandu acara lewat pengeras suara.
Warga pun menurut. Mereka kembali duduk dengan tenang. Mereka diam sambil mendengarkan paparan program yang akan mereka lakukan selama tinggal di daerah ini.
Pidato ketua kaum pendatang ini lebih bersemangat. Isinya lebih menyentuh hati warga. Rupa-rupanya dia orator ulung yang mampu memengaruhi dan mengusai pendengarnya. Alhhasil, setiap laki-laki pendatang itu memberi jeda pada sambutannya, gemuruh tepuk tangan dan yel-yel ’hidup kaum pendatang’ menggema dan memenuhi pendopo daerah ini. Para warga seperti terhipnotis oleh isi sambutannya. Setelah memberi sambutan, mereka pun berebut berjabatan tangan dengan sang ketua rombongan ini. Para warga yakin program-program yang telah dipaparkan kaum pendatang akan membawa kesejahteraan warga sehingga mereka bisa hidup lebih makmur dan lebih modern.
***
Setahun sudah program ini berjalan. Akan tetapi, program-program ini belum memberikan dampak perubahan pada kehidupan warga petani. Yang terjadi saat ini malah keluh-kesah dari warga yang dulu mengelu-elukan orang-orang itu. Mereka merasa tidak bisa bebas bekerja karena serba diatur dengan dalih teori pertanian modern. Mereka tidak bisa bertani dengan menerapkan cara lama yang sudah mereka jalani semenjak hidup di daerah ini. Orang-orng itu telah menggantinya dengan cara dan alat pertanian baru serta modern. Hal inilah yang membuat warga merasa mati kutu dan tidak bisa bebas berkreasi sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Orang-orang pintar itu mendatangkan alat pertanian modern. Semua alat tradisional pengolahan sawah yang mereka miliki seperti bajak, sabut atau alat memanen padi secara manual sekarang tidak berfungsi lagi. Para warga yang berprofesi sebagai petani hanya duduk dan melihat orang-orang itu sedang mengoperasikan alat-alat modern karena warga tidak mampu mengoperasikannya. Mereka tinggal duduk-duduk menunggu dan mengawasi alat-alat modern pemanen padi di pematang sawah sambil menikmati rokok dan kopi. Mereka takjub. Mereka heran karena pekerjaan memanen padi yang biasanya mereka lakukan membutuhkan waktu sehari atau setengah hari. Dengan alat panen modern itu hanya dalam hitungan jam, bahkan kurang satu jam padi mereka sudah ludes dan masuk dalam kemasan karung.
Muis, pemuda asli daerah ini, dipercaya oleh mereka untuk mengordinir biaya operasional panen warga. Teman Jarwo itu mendata nama-nama para pemilik sawah yang telah dipanen menggunakan jasa mereka. Para petani dikenakan biaya panen per bidang sawahnya satu juta rupiah. Para warga terkejut. Mereka keberatan dengan biaya segitu. Mereka menganggap ini adalah penindasan.  
”Ini terlalu mahal, Muis. Ini penindasan, pemaksaan,” keluh salah satu petani.
”Kalau dihitung-hitung, ya, tidak mahal. Pekerjaan kalian sudah diringankan oleh mereka. Kalian tidak perlu turun ke sawah berlepotan lumpur. Kalian tinggal melihat dan membawa hasil panen ke rumah atau ke para tengkulak,” kata muis menjawab keluhan para petani yang merasa dibodohi.
”Tidak. Kami sepakat tidak mau membayarnya bila tetap dengan biaya sebesar itu. Apabila kami membayar biaya sebesar itu, kami tidak mendapatkan untung. Bahkan, kami rugi karena biaya pengolahan dan perawatan padi kami sudah tinggi,” protes salah satu perwakilan petani yang didukung oleh petani lainnya.
Muis tidak berkutik. Ia tidak mampu menampung protes yang dilakukan oleh warga. Muis pun pergi menjauh dari petani yang tetap menolak membayar biaya panen. Dia akan melaporkan hal ini kepada pemimpinnya.
***
Orang-orang itu mendatangi para warga. Mereka masuk dari rumah satu ke rumah lainnya untuk menagih hutang para warga yang belum mau dibayar.
”Kamu saya beri waktu dua hari lagi untuk membayar biaya panen. Apabila sampai hari itu kamu masih tidak mau membayar, kamu akan saya polisikan,” ancam salah satu dari mereka kepada Mukidin yang bersikukuh tidak mau membayarnya.
”Dasar penjajah, penindas. Kalian penghisap rakyat. Dan Kau, Muis, jangan hidup di daerah kami. Pergilah bersama mereka meninggalkan daerah ini dan jangan kembali lagi,” sambung Mukidin.
Kehidupan rakyat semakin menderita. Mereka semakin sengsara. Para warga tidak bisa bekerja seperti biasanya. Mereka terikat kontrak perjanjian kerja sama dengan orang-orang yang didatangkan oleh Subroto, kepala daerahnya. Mereka dibina, diberi penyuluhan pertanian, serta dipinjami dana. Namun, setelah panen para warga harus membayar orang-orang itu dengan biaya yang sangat tinggi.
Jarwo, pemuda desa yang sejak awal tidak setuju dan mencurigai program ini, diam-diam mulai bergerak. Ia ditemani para ketua kelompok tani mendatangi polres setempat. Mereka melaporkan ada kejanggalan dan ketidakberesan pada program ini sambil membawa data pendukung yang lengkap sebagai bukti.
Keesokan harinya para warga dihebohkan oleh pemberitaan di media massa. Subroto, kepala daerah mereka, terkena operasi tangkap tangan atau OTT KPK. Subroto ditangkap di sebuah rumah makan saat menerima uang setoran dari para penindas rakyat itu. Penjajah kaum petani daerah ini.
Setelah para penghisap keringat warga itu ditahan KPK dan meringkuk di tahanan, warga tenang kembali. Mereka berkerja di sawah tanpa ada tekanan dari pihak mana pun. Mereka bebas mengolah sawah sendiri dan menikmati hasil panen sendiri tanpa bergantung kepada kaum pendatang. (*)
Lamongan, Maret 2018

*Cerpenis tinggal di Pucuk, Lamongan, Jawa Timur