Kaum Pendatang
Cerpen karya Ahmad Zaini*
Kesibukan warga di daerah ini meningkat tajam. Mereka
menghias wajah daerahnya dengan berbagai umbul-umbul dan hasil kreasi lainnya.
Mulai pagi sampai menjelang senja, para warga bekerja bakti tanpa mengenal lelah.
Mereka ingin segera merampungkan semua keperluan untuk menyambut kedatangan
orang-orang modern. Orang-orang berpengalaman dari kota. Konon mereka datang ke
daerah ini untuk membantu warga dalam rangka meningkatkan hasil pertaniannya.
Sudah dua minggu para warga menyiapkan tempat tinggal
buat orang-orang yang diyakini akan membawa kemajuan daerah. Ada yang rela
membantu bahan baku rumah seperti kayu, genting, gedhek atau dinding
rumah dari anyaman bambu, serta keperluan hidup lainnya secara cuma-cuma.
Mereka sangat antusias menyambut kedatangan orang-orang milenia. Warga sangat
yakin pada kiprah kaum pendatang nanti. Orang-orang modern ini dianggap sebagai
malaikat yang bisa mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik. Seperti yang
sudah disampaikan oleh kepala daerah sebagai pihak yang mengundang mereka
datang ke sini.
Subroto sebagai kepala daerah datang untuk melakukan
sidak. Didampingi para pejabat lainnya, ia mengecek semua persiapan penyambutan
orang-orang itu mulai dari tempat sampai fasilitas-fasilitas lainnya. Kepala
daerah tidak mau kedatangan mereka nanti meninggalkan kesan yang kurang
memuaskan. Ia tidak ingin mengecewakan orang-orang itu.
”Saya sangat puas dengan persiapan penyambutan ini.
Terima kasih Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu serta Saudara sekalian yang telah
mempersiapkan semua fasilitas demi menyambut mereka nanti. Orang-orang itu
nanti pasti akan membawa perubahan demi kemajuan pertanian daerah kita nanti,”
ucap Subroto di depan para warga yang mengerubutinya.
Jarwo, pemuda yang tidak setuju pada program ini. Dia meninggalkan
kerumunan warga yang sedang dimabuk sanjungan. Jarwo tidak habis pikir kenapa
warga di daerah ini begitu yakin dan bersemangat pada rencana kedatangan
orang-orang ini. Mereka hanyalah orang-orang yang tahu teori saja. Ia khawatir
malah sebaliknya. Mereka akan menguasai warga daerah ini dan menjadikannya sebagai
pelayan mereka.
”Akan ke mana, Wo?” tanya Muis, tetangga sekaligus teman akrab
Jarwo.
”Akan pulang.”
”Pulang? Acara belum selesai, kan?”
”Ah, sudah banyak orang di sana. Aku kurang setuju
dengan rencana ini.”
”Kenapa tidak setuju? Bukankah kedatangan mereka nanti
akan membawa kemajuan daerah kita?”
”Itu hanyalah propaganda mereka untuk mengelabui warga.
Saya curiga ada maksud-maksud terselubung di balik rencana ini,” kataku yang
disambut dengan tatapan hampa oleh Muis.
”Kamu ini terlalu mengada-ada. Jangan berprasangka yang
tidak-tidak. Jelas-jelas mereka akan datang untuk membantu pertanian kita,”
sergahnya dengan perasaan yakin.
”Itu hakmu. Terserah kamu menilai program ini. Yang
penting saya tidak setuju,” kata Jarwo mengakhiri perdebatan kecil dengan Muis.
***
Para warga berjajar rapi di sepanjang jalan. Mereka berdiri
saling berhimpitan. Para warga dari berbagai usia rela berpanas-panasan untuk
menyambut kedatangan rombongan tamu agung. Mereka bernyanyi, bersorak, dan beryel-yel
untuk menunjukkan kekompakan kepada kepala daerah dan rombongan orang-orang
kota. Kepala daerah yang didampingi para pejabat lainnya tak mau ketinggalan.
Mereka berdiri di gerbang pendopo. Subroto dan para pengawal berbaur dengan
warga lainnya menyambut kehadiran orang-orang andalan program ini.
Sirine patwal yang mengawal tamu agung terdengar dari
kejauhan. Para warga berdesak-desakan. Mereka yang berdiri di lapis kedua
barisan menyelinapkan kepalanya di sela-sela himpitan orang-orang di depannya.
Mereka melihat langsung rombongan tamu agung yang sebentar lagi akan melintas
di depannya. Tak lama kemudian iring-iringan mobil semakin mendekat. Rombongan
orang-orang dalam mobil itu berhenti di depan pendopo.
Di pintu gerbang pendopo, Subroto didampingi para pejabat
daerah lainnya berdiri. Para pejabat itu memberi sambutan hangat pada
kedatangan mereka. Subroto dan para pegawainya membawa beberapa rangkaian
kalung bunga. Mereka siap mengalungkan bunga kepada para tamu.
Dari mini bus bewarna hitam, turunlah lima lelaki
berpakaian resmi. Mereka bergerak menuju pendopo. Subroto yang didampingi
wanita yang membawa baki berisi kalung bunga. Dia mengalungkan bunga satu per
satu kepada para lelaki itu sebagai ucapan selamat datang di daerahnya.
Para warga yang memadati pendopo duduk di kursi plastik.
Mereka menunggu sambutan dari para pejabatnya. Mereka ingin mengetahui dan
mengenal lebih dalam tentang program-program yang dibawa oleh kaum pendatang.
Jarwo duduk di kursi paling belakang. Ia menyimak paparan
program yang disampaikan oleh pihak pejabat dan orang-orang itu. Jarwo yakin
dalam program-programnya terselip upaya untuk menguasai kehidupan warga daerah
ini. Mereka tidak mungkin datang dan tinggal berlama-lama di daerah ini tanpa
ada tujuan tersembunyi.
Muis yang duduk di kursi terdepan menoleh ke arah Jarwo.
Dia memanggil Jarwo sambil menujuk ke kursi kosong di sebelahnya. Jarwo
menggelengkan kepala. Saat ini ia hanya berpartisipasi saja agar tidak
kelihatan ketidaksetujuannya pada program mereka.
Subroto sebagai kepala daerah memberi sambutan selamat
datang kepada kaum pendatang. Sambutannya berapi-api. Subroto yakin para kaum
pendatang akan membawa perubahan di daerahnya. Dalam sambutannya, ia membayangkan kehidupan warganya makmur,
sejahtera, dan bergaya hidup modern. Pertanian mereka akan lebih maju karena
sentuhan tangan dingin orang-orang yang didatangkannya. Para warga yang
mendengarkan pidato kepala daerah yang berapi-api ini menyambutnya dengan riuh
tepuk tangan. Para warga mengelu-elukan kaum pendatang. Mereka memberi
sanjungan yang luar biasa kepada orang-orang itu.
”Aku tidak yakin hal itu akan terwujud. Kesengsaraanlah
yang akan dirasakan oleh warga daerah ini nantinya,” gerutu Jarwo.
Para warga yang semula duduk tenang mendadak berdiri
semua. Mereka ingin melihat sosok pemimpin rombongan yang akan berpidato
setelah pemandu acara mempersilakannya.
”Hadirin diharap tenang dan duduk kembali,” pinta pemandu
acara lewat pengeras suara.
Warga pun menurut. Mereka kembali duduk dengan tenang.
Mereka diam sambil mendengarkan paparan program yang akan mereka lakukan selama
tinggal di daerah ini.
Pidato ketua kaum pendatang ini lebih bersemangat. Isinya
lebih menyentuh hati warga. Rupa-rupanya dia orator ulung yang mampu
memengaruhi dan mengusai pendengarnya. Alhhasil, setiap laki-laki
pendatang itu memberi jeda pada sambutannya, gemuruh tepuk tangan dan yel-yel ’hidup
kaum pendatang’ menggema dan memenuhi pendopo daerah ini. Para warga seperti
terhipnotis oleh isi sambutannya. Setelah memberi sambutan, mereka pun berebut
berjabatan tangan dengan sang ketua rombongan ini. Para warga yakin
program-program yang telah dipaparkan kaum pendatang akan membawa kesejahteraan
warga sehingga mereka bisa hidup lebih makmur dan lebih modern.
***
Setahun sudah program ini berjalan. Akan tetapi,
program-program ini belum memberikan dampak perubahan pada kehidupan warga
petani. Yang terjadi saat ini malah keluh-kesah dari warga yang dulu
mengelu-elukan orang-orang itu. Mereka merasa tidak bisa bebas bekerja karena
serba diatur dengan dalih teori pertanian modern. Mereka tidak bisa bertani
dengan menerapkan cara lama yang sudah mereka jalani semenjak hidup di daerah
ini. Orang-orng itu telah menggantinya dengan cara dan alat pertanian baru serta
modern. Hal inilah yang membuat warga merasa mati kutu dan tidak bisa bebas
berkreasi sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Orang-orang pintar itu mendatangkan alat pertanian
modern. Semua alat tradisional pengolahan sawah yang mereka miliki seperti
bajak, sabut atau alat memanen padi secara manual sekarang tidak
berfungsi lagi. Para warga yang berprofesi sebagai petani hanya duduk dan
melihat orang-orang itu sedang mengoperasikan alat-alat modern karena warga
tidak mampu mengoperasikannya. Mereka tinggal duduk-duduk menunggu dan
mengawasi alat-alat modern pemanen padi di pematang sawah sambil menikmati
rokok dan kopi. Mereka takjub. Mereka heran karena pekerjaan memanen padi yang
biasanya mereka lakukan membutuhkan waktu sehari atau setengah hari. Dengan
alat panen modern itu hanya dalam hitungan jam, bahkan kurang satu jam padi
mereka sudah ludes dan masuk dalam kemasan karung.
Muis, pemuda asli daerah ini, dipercaya oleh mereka untuk
mengordinir biaya operasional panen warga. Teman Jarwo itu mendata nama-nama
para pemilik sawah yang telah dipanen menggunakan jasa mereka. Para petani
dikenakan biaya panen per bidang sawahnya satu juta rupiah. Para warga
terkejut. Mereka keberatan dengan biaya segitu. Mereka menganggap ini adalah
penindasan.
”Ini terlalu mahal, Muis. Ini penindasan, pemaksaan,”
keluh salah satu petani.
”Kalau dihitung-hitung, ya, tidak mahal. Pekerjaan kalian
sudah diringankan oleh mereka. Kalian tidak perlu turun ke sawah berlepotan
lumpur. Kalian tinggal melihat dan membawa hasil panen ke rumah atau ke para
tengkulak,” kata muis menjawab keluhan para petani yang merasa dibodohi.
”Tidak. Kami sepakat tidak mau membayarnya bila tetap dengan
biaya sebesar itu. Apabila kami membayar biaya sebesar itu, kami tidak
mendapatkan untung. Bahkan, kami rugi karena biaya pengolahan dan perawatan
padi kami sudah tinggi,” protes salah satu perwakilan petani yang didukung oleh
petani lainnya.
Muis tidak berkutik. Ia tidak mampu menampung protes yang
dilakukan oleh warga. Muis pun pergi menjauh dari petani yang tetap menolak
membayar biaya panen. Dia akan melaporkan hal ini kepada pemimpinnya.
***
Orang-orang itu mendatangi para warga. Mereka masuk dari
rumah satu ke rumah lainnya untuk menagih hutang para warga yang belum mau dibayar.
”Kamu saya beri waktu dua hari lagi untuk membayar biaya
panen. Apabila sampai hari itu kamu masih tidak mau membayar, kamu akan saya
polisikan,” ancam salah satu dari mereka kepada Mukidin yang bersikukuh tidak
mau membayarnya.
”Dasar penjajah, penindas. Kalian penghisap rakyat. Dan
Kau, Muis, jangan hidup di daerah kami. Pergilah bersama mereka meninggalkan
daerah ini dan jangan kembali lagi,” sambung Mukidin.
Kehidupan rakyat semakin menderita. Mereka semakin
sengsara. Para warga tidak bisa bekerja seperti biasanya. Mereka terikat
kontrak perjanjian kerja sama dengan orang-orang yang didatangkan oleh Subroto,
kepala daerahnya. Mereka dibina, diberi penyuluhan pertanian, serta dipinjami
dana. Namun, setelah panen para warga harus membayar orang-orang itu dengan
biaya yang sangat tinggi.
Jarwo, pemuda desa yang sejak awal tidak setuju dan
mencurigai program ini, diam-diam mulai bergerak. Ia ditemani para ketua
kelompok tani mendatangi polres setempat. Mereka melaporkan ada kejanggalan dan
ketidakberesan pada program ini sambil membawa data pendukung yang lengkap
sebagai bukti.
Keesokan harinya para warga dihebohkan oleh pemberitaan
di media massa. Subroto, kepala daerah mereka, terkena operasi tangkap tangan
atau OTT KPK. Subroto ditangkap di sebuah rumah makan saat menerima uang setoran
dari para penindas rakyat itu. Penjajah kaum petani daerah ini.
Setelah para penghisap keringat warga itu ditahan KPK dan
meringkuk di tahanan, warga tenang kembali. Mereka berkerja di sawah tanpa ada
tekanan dari pihak mana pun. Mereka bebas mengolah sawah sendiri dan menikmati
hasil panen sendiri tanpa bergantung kepada kaum pendatang. (*)
Lamongan, Maret 2018
*Cerpenis tinggal di Pucuk, Lamongan, Jawa
Timur