Makelar
Proposal
Cerpen Ahmad
Zaini*
Nama
Haji Suro terkenal di seantero daerah ini. Semua orang mulai dari kalangan
supir hingga tukang semir, tukang patri hingga tukang jual roti dan juga para
petani mengetahui atau paling tidak pernah mendengar nama tersebut. Ia terkenal
sebagai sosok yang kaya raya, sosialnya tinggi karena peduli kepada orang yang
tidak mampu, serta ia mempunyai sebuah rumah mewah dan megah di kampung
halamannya.
Lelaki
bertinggi badan 165 cm dengan berat badan 100 kg atau biasa disebut dengan pendekar (pendek
dan mekar) ini tergolong orang yang sangat sukses. Setiap hari Haji Suro
terlihat sibuk dengan urusan di luar kampung. Pagi-pagi ia pergi dengan membawa
setumpuk proposal, sore-sore ia pulang dengan lenggang kangkung. Para
warga tidak tahu proposal siapa dan apa isinya serta kepada siapa proposal itu
akan ditujukan. Warga kampung tidak ambil pusing dengan memikirkan pekerjaan
Haji Suro. Mereka lebih senang memikirkan nasibnya yang sedang mengalami
guncangan ekonomi yang dasyat ini.
Dalam
kurun waktu satu hingga dua tahun ini warga yang tinggal satu kampung dengan
Haji Suro sedang dalam kesulitan. Berbagai macam usaha yang mereka lakukan
selalu gagal. Mulai dari bertani, berdagang, berkebun bahkan mereka yang suka
merantau gagal semua.
Warga
kampung yang menggarap sawah selalu gagal panen. Tanaman padi atau sejenisnya
jika musim panen tiba selalu mengeluh karena penghasilannya jauh dari harapan.
Sebidang sawah yang biasanya mendapatkan satu ton gabah, kini hanya mendapatkan
dua atau tiga kwintal gabah. Itu pun kualitas gabahnya sangat buruk. Hal itu
terjadi lantaran para petani tak mampu merawat dan memelihara tanaman mereka
dengan baik karena tak mampu membeli obat-obatan pertanian yang harganya tinggi.
Mereka tidak bisa mengusir berbagai hama penyakit padi. Karena itulah, mereka
membiarkan penyakit-penyakit itu mengurangi dan menggerogoti kualitas padinya.
Demikian
halnya dengan warga kampung yang berdagang di kampung halaman atau yang sedang
merantau juga mengalami gulung tikar. Mereka tak mampu mengembangkan usahanya
karena kekurangan modal. Usaha mereka antara hidup dan mati. Modal yang mereka
miliki tak dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya karena barang dagangan
yang selama ini menjadi andalan mereka harganya melambung tinggi akibat
kenaikan harga BBM.
Warga
mengeluh dan hampir putus asa. Mereka tidak mempunyai jalan keluar dari
kesulitan yang mereka hadapi. Mereka ibarat anak ayam yang kehilangan induknya.
Mereka tidak mempunyai tempat mengadu dan menggantungkan nasibnya yang semakin
terpuruk. Kondisi semacam ini terbaca
oleh Haji Suro. Dia mempunyai rencana jitu dengan memanfaatkan keterpurukaan
warga demi mendongkrak popularitasnya agar mendapatkan simpati dari masyarakat
atau pencitraan. Haji Suro lantas menyusun proposal permohonan modal usaha
untuk warga miskin.
***
Haji
Suro mengumpulkan warga kampung. Ia mengundang seluruh warga berkumpul di
halaman rumahnya. Para warga yang sebagian besar adalah kaum Adam ini datang dengan
semangat tinggi.
Dengan
mengenakan gamis putih berpadu dengan surban bermotif kotak-kotak yang
melingkar di lehernya, Haji Suro menyambut para warga dengan senyum khasnya. Ia
mempersilakan warga duduk di gelaran yang telah disiapkan oleh anak buah Haji
Suro.
“Pak
Haji, warga sudah kumpul semua, acara siap dimulai,” anak buah Haji Suro
melapor kepada majikannya.
“Syafii
datang?” tanya Haji Suro.
Lelaki
kepercayaan Haji Suro itu menengok ke sana kemari mencari Syafii. Ia tidak
melihat Syafii di tempat itu.
“Tidak
ada Pak Haji. Syafii tidak datang,” jawabnya dengan menunduk-nundukkan
kepalanya di hadapan Haji Suro.
Sosok
Syafii sangat ditakuti oleh Haji Suro. Dia pemuda yang sangat kritis dan
mempunyai wawasan yang sangat luas. Ia akan selalu mengkritisi perilaku yang
dinilai tidak wajar dan akan mengusut hingga tuntas. Jika ada penyelewengan
yang dilakukan seseorang maka dia tidak segan-segan mengangkat masalah tersebut
ke ranah hukum. Apalagi penyimpangan itu sangat merugikan warga kecil.
“Syukurlah
kalau dia tidak datang!” ungkapnya dalam hati.
Haji
Suro beranjak dari tempat berdirinya semula. Didampingi orang kepercayaannya,
Haji Suro menuju podium yang dibuat dari meja yang hanya dibungkus taplak meja
saja. Suara lantang Haji Suro menembus gendang telinga para warga. Haji Suro
berpidato dengan berapi-api. Ia memberikan sejuta harapan kepada para warga
yang sedang mengalami paceklik.
Dalam
pidatonya, Haji Suro menyampaikan kepada warga tentang rencananya memberikan
bantuan modal usaha kepada para warga. Rencana setiap warga akan mendapatkan
bantuan sesuai dengan tingkat kesulitan yang mereka alami. Tingkat kesulitan
yang paling tinggi akan mendapatkan bantuan tiga juta rupiah, kesulitan sedang
mendapatkan bantuan dua juta rupiah, sedangkan untuk tingkat kesulitan paling ringan
akan mendapatkan bantuan satu juta rupiah.
Para
warga yang mendengar rencana program itu terngaga keheranan. Mereka tertegun dan
menyambut dengan antusias tinggi setelah mendengar program yang akan
dilaksanakan oleh Haji Suro tanpa menanyakan dari mana dana itu didapatkan Haji
Suro. Para warga berandai-andai. Jika benar-benar terwujud program yang
disampaikan oleh Haji Suro, maka kepailitan yang mereka alami saat ini akan
segera sirna. Mereka akan hidup lebih sejahtera daripada yang mereka alami
dalam waktu dua tahun ini. Wajah para warga yang datang memenuhi halaman rumah Haji
Suro berbinar-binar. Harapan masa depan lebih cerah terbentang dalam
janji-janji program Haji Suro.
“Kapan
kita bisa menerima bantuan itu Pak Haji?” tanya warga yang mengenakan caping
kusam.
“Sabar
dulu. Kami akan melakukan pendataan. Kami belum tahu jumlah warga yang
memerlukan bantuan dan tingkat kesulitan yang warga hadapi. Jadi, dalam
minggu-minggu ini, anak buah kami akan datang ke rumah warga untuk melakukan
pendataan,” kata Haji Suro.
Lima
anak buah Haji Suro berunding di beranda rumah Haji Suro. Mereka membagi tugas
untuk mendata para warga. Para lelaki kepercayaan Haji Suro segera beraksi.
Mereka datang ke rumah warga dengan mengapit stop map. Bak gayung bersambut,
para warga sudah bersiap-siap menunggu kedatangan anak buah Haji Suro. Mereka
berdiri di depan pintu rumah masing-masing dengan menyiapkan fotokopi KTP,
fotokopi kartu keluarga dan berkas-berkas yang lain.
Ketika
warga sedang antusias mendukung program Haji Suro, tiba-tiba ada sekelompok
pemuda yang sangat menentang program tersebut. Kelompok pemuda yang dipimpin
oleh Syafii ini menyerukan kepada warga agar tidak tergiur oleh program-program
yang telah dijanjikan oleh Hajo Suro. Mereka melarang warga menyerahkan
fotokopi KTP, kartu keluarga dan tanda tangan kepada Haji Suro karena dia mempunyai
rencana yang sangat licik. Haji Suro akan memanfaatkan penderitaan yang dialami
para warga untuk kepentingan peribadinya. Berkas serta tanda tangan warga akan
digunakan oleh Haji Suro untuk mengajukan proposal bantuan yang bernilai
milyaran rupiah kepada pemerintah. Dana sebesar itu 90 persen akan dimanfaatkan
untuk kepentingan prbadinya sedangkan yang disalurkan kepada warga hanya 10
persen saja.
Mendengar
propaganda yang disampaikan oleh Syafii dan kawan-kawan, warga sempat berang
dan marah kepada mereka. Akan tetapi, setelah warga diberi pengertian serta
akibat yang bakal dihadapi jika mereka menerima sumbangan itu, para warga
memahami dan menerima seruan dari kelompok Syafii ini. Para warga akhirnya
berbalik menentang program Haji Suro dan mendukung kelompok Syafii.
Anak
buah Haji Suro segera melaporkan ulah kelompok Syafii kepada sang juragan. Haji
Suro terkejut dengan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggapnya bisa
membahayakan kredibilitas serta kariernya.
Apa
yang telah ditakutkan Haji Suro selama ini terbukti. Kelompok pemuda yang telah
memiliki catatan serta data lengkap perihal kelicikan yang dilakukannya sedang
beraksi. Mereka bakal membongkar boroknya sebagai makelar proposal atau
marsal. Menurut data mereka, Haji Suro sering mengajukan proposal fiktif kepada
pemerintah dengan memanfaatkan penderitaan orang warga untuk kepentingan pribadinya. Korbannya
sudah sangat banyak termasuk keluarga Syafii.
Para
warga yang dikomandani oleh kelompok Syafii berduyun-duyun datang ke rumah Haji
Suro. Mereka menuntut Haji Suro yang sering memanfaatkan penderitaan yang
mereka alami untuk kepentingan pribadinya selama ini. Para warga mencaci maki
Haji Suro dengan tulisan serta ucapan yang sangat menyudutkan orang yang
sebelumnya dielu-elukan ini.
“Kurang
ajar!” umpat Haji Suro dengan memegang dada sebelah kirinya.
Perlahan-lahan
tokoh berbadan pendekar ini roboh. Dia terkapar di hadapan para anak buahnya
karena serangan jantung. Para warga serta anak buah Haji Suro yang akan
menolong serentak menghentikan niatnya. Mereka semburat berlarian menjauh dari
rumah Haji Suro. Rumah megah dan mewah Haji Suro tiba-tiba bergerak kemudian
perlahan-lahan roboh hingga mengubur pemiliknya. Para warga tak bisa berbuat
apa-apa. Mereka hanya bisa mengucap subhanallah atas peristiwa di luar
nalar ini.
Kini
para warga tenang dan lega serta berterima kasih kepada kelompok Syafii yang
menyadarkan mereka dari kelicikan Haji Suro yang telah menghisap keringat dan
darah mereka. Kini lembaran dengan sejuta kisah Haji Suro serta kelicikannya
telah terkubur dalam-dalam oleh reruntuhan rumah hasil hobinya sebagai makelar
proposal. Kebesaran nama dan ketenarannya lenyap oleh ulah dan perilaku
jeleknya sendiri. Nama Haji Suro terkenang di hati warga sebagai makelar
proposal yang menghisap darah warga. (*)
Wanar,
Juni 2013