Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 23 Juni 2013

Makelar Proposal

Makelar Proposal
Cerpen Ahmad Zaini*

Nama Haji Suro terkenal di seantero daerah ini. Semua orang mulai dari kalangan supir hingga tukang semir, tukang patri hingga tukang jual roti dan juga para petani mengetahui atau paling tidak pernah mendengar nama tersebut. Ia terkenal sebagai sosok yang kaya raya, sosialnya tinggi karena peduli kepada orang yang tidak mampu, serta ia mempunyai sebuah rumah mewah dan megah di kampung halamannya.
Lelaki bertinggi badan 165 cm dengan berat badan 100 kg  atau biasa disebut dengan pendekar (pendek dan mekar) ini tergolong orang yang sangat sukses. Setiap hari Haji Suro terlihat sibuk dengan urusan di luar kampung. Pagi-pagi ia pergi dengan membawa setumpuk proposal, sore-sore ia pulang dengan lenggang kangkung. Para warga tidak tahu proposal siapa dan apa isinya serta kepada siapa proposal itu akan ditujukan. Warga kampung tidak ambil pusing dengan memikirkan pekerjaan Haji Suro. Mereka lebih senang memikirkan nasibnya yang sedang mengalami guncangan ekonomi yang dasyat ini.
Dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ini warga yang tinggal satu kampung dengan Haji Suro sedang dalam kesulitan. Berbagai macam usaha yang mereka lakukan selalu gagal. Mulai dari bertani, berdagang, berkebun bahkan mereka yang suka merantau gagal semua.
Warga kampung yang menggarap sawah selalu gagal panen. Tanaman padi atau sejenisnya jika musim panen tiba selalu mengeluh karena penghasilannya jauh dari harapan. Sebidang sawah yang biasanya mendapatkan satu ton gabah, kini hanya mendapatkan dua atau tiga kwintal gabah. Itu pun kualitas gabahnya sangat buruk. Hal itu terjadi lantaran para petani tak mampu merawat dan memelihara tanaman mereka dengan baik karena tak mampu membeli obat-obatan pertanian yang harganya tinggi. Mereka tidak bisa mengusir berbagai hama penyakit padi. Karena itulah, mereka membiarkan penyakit-penyakit itu mengurangi dan menggerogoti kualitas padinya.
Demikian halnya dengan warga kampung yang berdagang di kampung halaman atau yang sedang merantau juga mengalami gulung tikar. Mereka tak mampu mengembangkan usahanya karena kekurangan modal. Usaha mereka antara hidup dan mati. Modal yang mereka miliki tak dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya karena barang dagangan yang selama ini menjadi andalan mereka harganya melambung tinggi akibat kenaikan harga BBM.
Warga mengeluh dan hampir putus asa. Mereka tidak mempunyai jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi. Mereka ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Mereka tidak mempunyai tempat mengadu dan menggantungkan nasibnya yang semakin terpuruk.  Kondisi semacam ini terbaca oleh Haji Suro. Dia mempunyai rencana jitu dengan memanfaatkan keterpurukaan warga demi mendongkrak popularitasnya agar mendapatkan simpati dari masyarakat atau pencitraan. Haji Suro lantas menyusun proposal permohonan modal usaha untuk warga miskin.
***
Haji Suro mengumpulkan warga kampung. Ia mengundang seluruh warga berkumpul di halaman rumahnya. Para warga yang sebagian besar adalah kaum Adam ini datang dengan semangat tinggi.
Dengan mengenakan gamis putih berpadu dengan surban bermotif kotak-kotak yang melingkar di lehernya, Haji Suro menyambut para warga dengan senyum khasnya. Ia mempersilakan warga duduk di gelaran yang telah disiapkan oleh anak buah Haji Suro.
“Pak Haji, warga sudah kumpul semua, acara siap dimulai,” anak buah Haji Suro melapor kepada majikannya.
“Syafii datang?” tanya Haji Suro.
Lelaki kepercayaan Haji Suro itu menengok ke sana kemari mencari Syafii. Ia tidak melihat Syafii di tempat itu.
“Tidak ada Pak Haji. Syafii tidak datang,” jawabnya dengan menunduk-nundukkan kepalanya di hadapan Haji Suro.
Sosok Syafii sangat ditakuti oleh Haji Suro. Dia pemuda yang sangat kritis dan mempunyai wawasan yang sangat luas. Ia akan selalu mengkritisi perilaku yang dinilai tidak wajar dan akan mengusut hingga tuntas. Jika ada penyelewengan yang dilakukan seseorang maka dia tidak segan-segan mengangkat masalah tersebut ke ranah hukum. Apalagi penyimpangan itu sangat merugikan warga kecil.
“Syukurlah kalau dia tidak datang!” ungkapnya dalam hati.
Haji Suro beranjak dari tempat berdirinya semula. Didampingi orang kepercayaannya, Haji Suro menuju podium yang dibuat dari meja yang hanya dibungkus taplak meja saja. Suara lantang Haji Suro menembus gendang telinga para warga. Haji Suro berpidato dengan berapi-api. Ia memberikan sejuta harapan kepada para warga yang sedang mengalami paceklik.
Dalam pidatonya, Haji Suro menyampaikan kepada warga tentang rencananya memberikan bantuan modal usaha kepada para warga. Rencana setiap warga akan mendapatkan bantuan sesuai dengan tingkat kesulitan yang mereka alami. Tingkat kesulitan yang paling tinggi akan mendapatkan bantuan tiga juta rupiah, kesulitan sedang mendapatkan bantuan dua juta rupiah, sedangkan untuk tingkat kesulitan paling ringan akan mendapatkan bantuan satu juta rupiah.
Para warga yang mendengar rencana program itu terngaga keheranan. Mereka tertegun dan menyambut dengan antusias tinggi setelah mendengar program yang akan dilaksanakan oleh Haji Suro tanpa menanyakan dari mana dana itu didapatkan Haji Suro. Para warga berandai-andai. Jika benar-benar terwujud program yang disampaikan oleh Haji Suro, maka kepailitan yang mereka alami saat ini akan segera sirna. Mereka akan hidup lebih sejahtera daripada yang mereka alami dalam waktu dua tahun ini. Wajah para warga yang datang memenuhi halaman rumah Haji Suro berbinar-binar. Harapan masa depan lebih cerah terbentang dalam janji-janji program Haji Suro.
“Kapan kita bisa menerima bantuan itu Pak Haji?” tanya warga yang mengenakan caping kusam.
“Sabar dulu. Kami akan melakukan pendataan. Kami belum tahu jumlah warga yang memerlukan bantuan dan tingkat kesulitan yang warga hadapi. Jadi, dalam minggu-minggu ini, anak buah kami akan datang ke rumah warga untuk melakukan pendataan,” kata Haji Suro.
Lima anak buah Haji Suro berunding di beranda rumah Haji Suro. Mereka membagi tugas untuk mendata para warga. Para lelaki kepercayaan Haji Suro segera beraksi. Mereka datang ke rumah warga dengan mengapit stop map. Bak gayung bersambut, para warga sudah bersiap-siap menunggu kedatangan anak buah Haji Suro. Mereka berdiri di depan pintu rumah masing-masing dengan menyiapkan fotokopi KTP, fotokopi kartu keluarga dan berkas-berkas yang lain.
Ketika warga sedang antusias mendukung program Haji Suro, tiba-tiba ada sekelompok pemuda yang sangat menentang program tersebut. Kelompok pemuda yang dipimpin oleh Syafii ini menyerukan kepada warga agar tidak tergiur oleh program-program yang telah dijanjikan oleh Hajo Suro. Mereka melarang warga menyerahkan fotokopi KTP, kartu keluarga dan tanda tangan kepada Haji Suro karena dia mempunyai rencana yang sangat licik. Haji Suro akan memanfaatkan penderitaan yang dialami para warga untuk kepentingan peribadinya. Berkas serta tanda tangan warga akan digunakan oleh Haji Suro untuk mengajukan proposal bantuan yang bernilai milyaran rupiah kepada pemerintah. Dana sebesar itu 90 persen akan dimanfaatkan untuk kepentingan prbadinya sedangkan yang disalurkan kepada warga hanya 10 persen saja.
Mendengar propaganda yang disampaikan oleh Syafii dan kawan-kawan, warga sempat berang dan marah kepada mereka. Akan tetapi, setelah warga diberi pengertian serta akibat yang bakal dihadapi jika mereka menerima sumbangan itu, para warga memahami dan menerima seruan dari kelompok Syafii ini. Para warga akhirnya berbalik menentang program Haji Suro dan mendukung kelompok Syafii.
Anak buah Haji Suro segera melaporkan ulah kelompok Syafii kepada sang juragan. Haji Suro terkejut dengan aksi yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggapnya bisa membahayakan kredibilitas serta kariernya.
Apa yang telah ditakutkan Haji Suro selama ini terbukti. Kelompok pemuda yang telah memiliki catatan serta data lengkap perihal kelicikan yang dilakukannya sedang beraksi. Mereka bakal membongkar boroknya sebagai makelar proposal atau marsal. Menurut data mereka, Haji Suro sering mengajukan proposal fiktif kepada pemerintah dengan memanfaatkan penderitaan orang  warga untuk kepentingan pribadinya. Korbannya sudah sangat banyak termasuk keluarga Syafii.
Para warga yang dikomandani oleh kelompok Syafii berduyun-duyun datang ke rumah Haji Suro. Mereka menuntut Haji Suro yang sering memanfaatkan penderitaan yang mereka alami untuk kepentingan pribadinya selama ini. Para warga mencaci maki Haji Suro dengan tulisan serta ucapan yang sangat menyudutkan orang yang sebelumnya dielu-elukan ini.
“Kurang ajar!” umpat Haji Suro dengan memegang dada sebelah kirinya.
Perlahan-lahan tokoh berbadan pendekar ini roboh. Dia terkapar di hadapan para anak buahnya karena serangan jantung. Para warga serta anak buah Haji Suro yang akan menolong serentak menghentikan niatnya. Mereka semburat berlarian menjauh dari rumah Haji Suro. Rumah megah dan mewah Haji Suro tiba-tiba bergerak kemudian perlahan-lahan roboh hingga mengubur pemiliknya. Para warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengucap subhanallah atas peristiwa di luar nalar ini.
Kini para warga tenang dan lega serta berterima kasih kepada kelompok Syafii yang menyadarkan mereka dari kelicikan Haji Suro yang telah menghisap keringat dan darah mereka. Kini lembaran dengan sejuta kisah Haji Suro serta kelicikannya telah terkubur dalam-dalam oleh reruntuhan rumah hasil hobinya sebagai makelar proposal. Kebesaran nama dan ketenarannya lenyap oleh ulah dan perilaku jeleknya sendiri. Nama Haji Suro terkenang di hati warga sebagai makelar proposal yang menghisap darah warga.  (*)
Wanar, Juni 2013







Selasa, 11 Juni 2013

Ahli Ibadah Penghuni Neraka

Ahli Ibadah Penghuni Neraka
Cerpen karya Ahmad Zaini

Kala itu hari menjelang sore. Di kamar sederhana berdinding papan berukuran 2 x 3 meter persegi Tarmizi duduk di dipan yang terbuat dari bambu. Ia terdiam merenungkan sesuatu yang hingga kini belum ada satu orang pun yang mengetahuinya. Tarmizi seperti terbebani masalah yang amat berat. Dia terkadang diam mematung di dipan tersebut hingga sejam atau dua jam. Ia tidak mempedulikan kondisi fisiknya yang tak karu-karuan. Rambut hitam lurus yang biasanya tersisir rapi dibiarkan seperti benang kusut. Wajah yang sebenarnya besinar dibiarkan redup. Gigi berseri laksana biji ketimun dibiarkan kering hingga menguning. Baju rapi dibiarkan kumal. Sarung biasanya kencang dibiarkan kedodoran. Tarmizi benar-benar seperti lupa jati dirinya.
Maryamah, istri Tarmizi bingung dengan sikap suaminya seperti orang lupa. Ia tak tahu bagaimana cara mengorek keterangan darinya. Sikapnya yang sukar ditebak dan terkadang menyalak jika mendengar pertanyaan tentang masalah yang dihadapinya. Ia hanya bisa membuka pintu berselimut kelambu yang menutupi ruang kamarnya dari luar hanya untuk sekadar menyuguhkan secangkir kopi atau sepiring ubi.
Hampir lima tahun berjalan, Tarmizi melakukan tirakat. Tirakat merupakan upaya manusia untuk hidup sederhana jauh dari kemewahan dunia dengan tujuan menyucikan diri. Ia ingin hidupnya jauh dari kemayaan dunia yang serba penuh tipu daya. Dia hanya ingin memfokuskan kehidupannya untuk kepentingan akhirat. Setiap hari ia hanya memakan ubi dengan minum secangkir kopi buatan sendiri. Ia juga menjaga jarak dengan kehidupan manusia lain agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang tergolong perbuatan fasad atau yang bisa merusak niatnya.
Dari ritual yang ia jalani beberapa tahun, tubuh dempalnya kini menjadi kurus. Matanya cekung, kulitnya kusut. Kumis dan cambangnya juga tak terurus. Panjang menjuntai hingga menutupi mulut serta bibirnya yang tebal.
“Pak, apa yang kau lamunkan?” tanya Maryamah.
“Tidak ada apa-apa. Aku tidak melamunkan sesuatu,” jawabnya ringan.
“Tapi sikapmu tidak seperti biasanya. Setiap hari kulihat bibirmu berzikir menyebut kebesaran dan kesucian Allah. Setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu kau duduk bersila mengagungkan dzat-Nya. Setelah itu kau selalu membaca Alquran dengan suara merdu. Akan tetapi, akhir-akhir ini kau hanya diam menundukkan kepala seperti itu. Apa yang menyebabkan kau seperti itu?”
“Tidak perlu kau tahu, Maryamah. Ini urusanku sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau jangan egois seperti itu. Urusan rumah tangga selama ini sudah menjadi tanggung jawabku. Urusan nafkah dan urusan anak-anak sudah kuurusi sejak kau mengatakan kepadaku ingin uzlah atau menyepi sendiri di kamar mendekatkan diri kepada Allah. Saat kau menghadapi masalah seperti ini, kau dengan enteng menjawab pertanyaanku dengan jawaban ini urusan sebagai kepala rumah tangga. Heh, kamu ini aneh!” ucap Maryamah sambil meninggalkan kamar tempat suaminya menyendiri.
Suasana rumah sebentar hening. Angin siang berhembus pelan membelai dedaunan pohon serta tanaman ubi-ubian yang tumbuh di sekitar rumah Tarmizi. Tiba-tiba dari ruang depan terdengar suara orang mengerang kemudian menabrak pintu rumah.
Brakkk!” terdengar suara keras benda yang menabrak pintu.
“Bu, suara apa itu? Coba lihat!” perintah Tarmizi dari dalam kamar.
Maryamah dengan tergopoh-gopoh lari dari ruang dapur melihat apa yang terjadi di ruang depan.
“Ya, Allah Husen, anakku! Tak bosan-bosannya setiap hari kau mabuk seperti ini. Kapan kamu sadar, Nak?”
“Haaah...! Sana menjauh dariku! Jangan kau sentuh kulit anakmu yang najis ini! Sana ke kamar menyepi, menyendiri dengan bapak! Jangan urusi anakmu,” kata Husen meronta sambil mendorong tubuhnya ibunya dengan mata menyala merah seperti serigala yang akan menerkam mangsanya. Maryamah terpental hingga terduduk di kursi panjang di ruang tamu.
“Husen! Apa yang kau lalukan?” Tarmizi keluar dan menanyai Husen.
“Hahahahahaha! Uweek! Orang suci keluar dari kamar! Jangan mendekat, Pak! Anakmu ini najis. Menyingkirlah!” teriak Husen sembari mengehempaskan tubuh ayahnya yang ringkih.
Tubuh Husen terhuyung-huyung karena pengaruh minuman keras. Ia setiap hari bermabuk-mabukan dengan menenggak arak yang disediakan oleh teman-temannya. Setiap bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, Husen selalu pergi meninggalkan rumah. Ketika sore menjelang senja, ia baru datang dalam kondisi mabuk seperti itu. Pemandangan yang sagat miris dari anak seorang ahli ibadah.
“Pak, apa yang harus kita lakukan?” tanya Maryamah kepada suaminya dengan derai air mata.
“Kita berdoa saja semoga Allah membuka pintu hati anak kita,” jawab Tarmizi.
“Sikap dan perilaku anak-anak kita yang brutal dan jauh dari norma agama ini tampak sejak kau memutuskan menyendiri hidup di kamar. Semenjak itu, anak-anak kita tak pernah mendapat perhatian dan nasihat dari kita. Terutama dari kamu sebagai seorang ayah.”
“Jadi, kau menyalahkan aku?” kata Tarmizi dengan suara lantang kepada Maryamah.
“Pelan-pelan! Jangan keras-keras, Pak! Nanti Husen mendengar,” pinta Maryamah.
“Biarkan dia mendengar agar dia sadar!”
“Itu bukan cara menyelesaikan masalah, Pak! Nanti yang ada malah menambah masalah,” sanggah Maryamah.
Kata-kata Maryamah yang menyudutkan Tarmizi menambah beban yang selama ini sudah membelenggu Tarmizi. Dua bulan yang lalu dia sudah terbebani oleh nasihat Kiai Zen, teman Tarmizi ketika mencari ilmu di pesantren Sarang. Ulama karismatik dari Pasuruan ini pernah datang kepadanya lalu menyampaikan beberapa pesan.
Ketika itu Kiai Zen datang ke rumah Tarmizi. Dia jauh-jauh datang dari Pasuruan karena mendengar kabar bahwa Tarmizi telah melakukan uzlah atau menyepi. Tarmizi telah meninggalkan keduaniawian termasuk meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Dia tidak pernah lagi bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Setiap hari dia mengurung diri di kamar untuk melakukan dzikir, beribadah kepada Allah. Kiai Zen berkeyakinan bahwa apa yang telah dilakukan Tarmizi itu sesat. Tarmizi ingin menyucikan diri mendekatkan diri kepada Allah, namun di sisi yang lain dia telah menelantarkan istri dan anak-anaknya karena tidak pernah mencarikan nafkah dan membimbing mereka.
Karena sikap Tarmizi yang salah itulah, sampai-sampai anak pertamanya, Maimun, tewas dengan mengenaskan. Dia overdosis karena menenggak minuman oplosan. Dia ditemukan warga dalam kondisi mati di pinggir jalan.
“Ketahuilah, Kang bahwa yang kamu lakukan ini keliru. Allah memerintah kita agar kita mencari kebahagiaan akhirat, tetapi kita jangan melupakan kewajiban-kewajiban kita di dunia. Kewjiban kita apa? Karena kita mempunyai keluarga maka kewajiban kita adalah menafkahi dan membimbing mereka. Jika kewajiban kepada keluargamu itu kau abaikan, Ibadah yang kau lakukan selama bertahun-tahun ini akan sia-sia kelak di akhirat,” kata Kiai Zen saat menasihati Tarmizi.
“Kok, bisa? Saya setiap hari sudah beribadah. Mulai pagi hingga pagi lagi saya melulu beribadah kepadanya. Maka Allah dengan sifat Rahman RahimNya akan memasukkan saya ke surga,” bantah Tarmizi.
“Salah. Kau tidak akan bisa masuk surga. Anak-anakmu yang tidak karuan-karuan perilakunya itu akan menuntutmu. Mereka tidak akan rela masuk neraka sendiri tanpa bapaknya.”
“Mereka yang bermabuk-mabukan dengan menenggak minuman keras, dosanya tentu mereka sendiri yang menanggung. Kenapa saya dilibatkan?” sangkal Tarmizi.
“Sempit sekali pikiranmu. Dia berbuat fasiq atau berbuat dosa seperti itu karena kau tidak pernah memberi bimbingan atau pendidikan kepada mereka. Mereka kau biarkan terjerumus dalam kerusakan sedangkan kau sendiri malah dengan sikap egomu terus beribadah sendirian kepada Allah. Sia-sia, Kang, ibadahmu karena mereka akan menuntutmu masuk neraka. Dia akan menolak masuk neraka karena kesalahannya suka bermabuk-mabukan akibat sikap ego orang tua yang tidak pernah mendidiknya. Kau dan anak-anakmu yang menjadi bahan bakar api neraka.”
“Sudah-sudah, jangan  kau teruskan! Sampaikan saja keperluanmu jauh-jauh datang ke sini!”
“Keperluanku datang ke sini hanya menyadarkan saudaraku, Tarmizi. Kasihan istri dan anak-anakmu. Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Kok, tergesa-gesa? Ini ubi dan kopinya dinikmati dulu!”
“Tidak usah. Aku terburu-buru karena santriku sudah menunggu di pesantrenku. Assalamualaikum!”
“Waalaikum salam!” jawab Tarmizi.
Setelah Kiai Zen berpamitan pulang, Tarmizi lantas mengemasi secangkir kopi dan sepiring ubi.
“Lho, Pak! Tadi ada tamu?” tanya Maryamah yang baru saja datang dari berkebun.
“Tidak ada.”
“Saya kira ada tamu tadi. Kok tumben sampean makan ubi dan minum kopi di ruang tamu.”
“Ingin mencari angin saja,” jawab Tarmizi membohongi istrinya.
Semenjak kunjungan Kiai Zen itulah, Tarmizi diliputi kebimbangan yang luar biasa. Ia sering melamun duduk sendiri. Dia merasa apa yang disampaikan temannya di pondok itu ada benarnya. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Anak pertamanya telah mati karena overdosis minuman keras. Anak keduanya, Husen, perilakunya sudah seperti binatang. Dia suka main wanita, mencuri, minum minuman keras dan lain-lain.
Gerah udara di kamar menambah sumpek pikiran Tarmizi. Dia semakin bimbang dalam menentukan pilihan hidupnya. Dia takut menghadapi siksa neraka akibat keteledorannya mengurusi dan membimbing anak-anaknya. Dia memutuskan ingin mengakhiri penderitaan batin yang selama ini membelenggunya. Dengan sebilah pisau dia mengiris urat nadi di tangan kirinya. Darah segar memuncrat hingga memerciki mukanya, sajadahnya, sarungnya, serta baju kokonya. Tubuh ringkih itu roboh tak bernyawa di kamar uzlahnya. (*)


Wanar, 10 Mei 2013