Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup), Minggu, 14
Desember 2014
Bulan Merah Darah
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Matahari sore itu telah
duduk di ujung rumpun bambu yang mengelilingi kampung. Jeritan batang bambu
yang saling berhimpitan laksana rintihan biola dipanggung orchestra tentang
lirik duka yang sangat dalam. Angin yang sepanjang hari bergandeng dengan panas
matahari juga telah mereda. Tiupannya tidak sekencang siang yang menerbangkan
sampah-sampah dan debu sepanjang jalan.
Waktu siang benar-benar
telah membagi tugas dengan waktu malam. Siang sirna malam pun tiba. Malam
datang tidak sendirian karena bulan dan bintang selalu setia mendampinginya.
Kebetulan malam itu merupakan malam purnama. Bulan akan muncul setelah maghrib
dalam bentuk yang paling sempurna. Berbentuk bulat penuh serta memancarkan
cahaya putih berkilau.
Para warga khususnya
anak-anak telah bersiap-siap memanfaatkan momen purnama. Sejak siang mereka
telah melakukan perjanjian bersama teman-teman sepermainan untuk menikmati
bulan purnama dengan permainan-permainan yang dapat menghilangkan kejenuhan
sewaktu di sekolah atau kecapekan karena membantu orang tua. Demikian pula para
kawula muda. Mereka tidak mau kalah dengan anak-anak. Mereka bersiap-siap
menuju ke tanah lapang untuk bermain sepak bola dengan alat egrang. Para warga tidak ingin
menyia-nyiakan bulan purnama
melintasi malam begitu saja.
Saat yang mereka
tunggu-tunggu sejak sore akan segera tiba. Langit di ufuk timur sudah terlihat
kemerah-merahan. Ini menandakan bulan akan segera muncul dari peraduannya.
Anak-anak dan kawula muda telah melakukan persiapan. Dia akan bermain dengan
sepuas-puasnya sambil bermandikan cahaya bulan purnama.
Warna langit yang
kemerah-merahan semakin jelas. Lalu bulan muncul dari balik awan tipis yang
memayunginya. Para warga yang telah berkumpul di tanah lapang tertegun. Mereka
tidak lantas bermain-main sesuai dengan rencana. Mereka merasa ada yang aneh
pada bulan yang muncul malam ini. Biasanya kalau memasuki tanggal lima belas
bulan purnama, bulan akan muncul dalam bentuk yang sempurna serta becahaya
putih kemilau. Namun, kali ini berbeda. Bulan muncul dalam bentuk bulat telur
atau oval serta cahayanya merah darah.
Melihat fenomena aneh
seperti itu, anak-anak menganggap sebagai hal yang biasa. Demikian juga para kawula
muda. Mereka meneruskan rencana yang telah disusun matang-matang sejak siang.
Anak-anak bermain kejar-kejaran sedangkan para kawula muda memainkan atraksi
yaitu bermain sepak bola dengan alat egrang.
Mereka tetap bersuka cita menikmati bulan purnama yang tidak sempurna. Wajah
mereka memerah. Mereka saling menertawakan sewaktu mereka melihat wajah
temannya yang merah akibat cahaya purnama. Mereka saling menunjuk wajahnya yang
berubah seperti monster yang sering mereka lihat di film-film.
Suasana meriah di tanah
lapang yang berada di luar kampung berubah menjadi kepanikan. Orang tua mereka bermunculan
dari dalam kampung sambil berteriak-teriak menyerukan agar mereka segera menghentikan
permainannya lalu pulang ke rumah masing-masing.
“Ayo, bubar dan pulang
ke rumah masing-masing karena akan datang malapetaka!” kata salah satu orang
tua kepada anak-anak dan remaja yang sedang berada di tanah lapang.
Mereka tidak segera
pulang dengan seruan itu karena belum puas melakukan permainannya. Para orang
tua tidak mau kalah dengan anak-anaknya. Mereka memaksa anak-anaknya pulang
dengan menyeret tangannya yang mulai licin akibat keringat yang sudah mulai
bercucuran.
“Ayo, cepat pulang!”
serunya.
Dengan berat hati
anak-anak dan remaja mengikuti kemauan orang tua masing-masing. Mereka terpaksa
menuruti kehendak orang tua mereka dengan rasa penasaran yang bersarang dalam
batok kepalanya.
***
Orang-orang kampung memercayai jika bulan
berwajah merah darah maka itu sebagai pertanda akan terjadi marabahaya atau
malapetaka yang akan melanda negeri. Akan terjadi pertumpahan darah atau perang
saudara untuk merebutkan kekuasaan. Mereka kemudian menghubung-hubungkan pergantian
kepemimpinan yang terjadi di negeri ini.
Menurut ingatan mereka,
setiap pergantian kepemimpinan di negeri
ini selalu ada pertumpahan darah. Pemimpin yang telah habis masa tugasnya tidak
legowo menyerahkan tampuk kekuasaanya
kepada pemimpin yang baru terpilih. Mereka berupaya memertahankan kekuasaannya
agar bisa mencapai tujuan yang hingga kini belum tercapai. Bahkan ada yang
berdalih karena dana yang mereka keluarkan sewaktu proses pemilihan sebagai
pemimpin belum seimbang dengan gaji yang mereka dapatkan selama berkuasa. Hal
itulah yang menyebabkan mereka tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada generasi
penerusnya.
Bulan purnama beranjak
semakin tinggi. Bulan merah darah menapaki tangga langit yang ikut memerah
bagai tumpahan darah. Warga kampung semakin merinding. Mereka takut jika
peristiwa-peristiwa masa silam akan terjadi lagi.
Kepala kampung dan para
perangkatnya berkeliling kampung menyerukan agar semua warga jangan sampai ada
yang keluar rumah atau bepergian ke luar kampung. Mereka mengkhawatirkan
warganya akan menjadi korban dalam kerusuhan jika peristiwa pergantian
kepemimpinan akan rusuh seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Seluruh warga harap
masuk! Para warga dilarang bepergian ke luar kampung. Semua harap menahan diri
dalam rumah!” serunya.
Usai ada larangan dari
kepala kampung, kampung itu senyap. Tak ada seorang pun yang berani keluar
rumah. Kampung itu bagai kampung mati karena tak ada seorang pun yang terlihat
di luar rumah.
Bulan merah darah
semakin menjadi-jadi. Cahaya merahnya menerobos rumah warga lewat celah atap
atau dinding bambu. Cahayanya seperti darah yang diguyurkan purnama dari langit
ke bumi yang tak berdaya ini. Wajah para
warga ikut memerah terkena pantulan cahaya bulan. Tanah dan seluruh isi kampung
juga berwarna merah darah. Kampung itu laksana sedang dilanda banjir darah.
Pertumpahan darah akibat pergantian tampuk kepemimpinan yang dikuasai amarah
dan nafsu berkuasa yang semakin membuncah.
Para warga berdiam diri
dalam rumah. Mereka belum ada yang berani keluar dari rumah sebelum ada
instruksi dari kepala kampung. Mereka jenuh. Mereka bosan. Tangan dan kakinya
terasa gatal dan kesemutan. Mereka ingin keluar rumah agar bisa menikmati malam
yang dihiasi bulan yang berwarna merah darah.
Pertumpahan darah yang
mereka takutkan benar-benar menjadi kenyataan. Akan tetapi, peristiwa
mengerikan itu hanya terjadi di pemerintahan pusat dan tidak sampai merembet ke
daerah-daerah. Bulan merah darah telah membakar emosi para penghuni gedung
parlemen. Penghuni gedung parlemen saling membantai, saling menjegal demi
melampiaskan kekecewaan kepada pihak yang berkuasa. Gedung parlemen membara.
Gedung parlemen penuh dengan emosi, angkara murka, nafsu keserakahan. Gedung
parlemen ditenggelamkan nafsu syetan yang tak terkendalikan. Gedung parlemen telah
melenyapkan mata hati dan nurani kepemimpinan. Sungguh mengenaskan!
***
Cahaya merah
mencengkeram gedung parlemen. Bulan merah darah telah meluapkan kepedihan dan kekecewaan atas perilaku
penghuninya yang saling menjegal di gedung tersebut. Bulan purnama menangis
tiada henti menumpahkan amarah dengan air mata darah. Bulan itu kecewa karena
musyawarah dan mufakat tidak lagi singgah di dalam gedung tersebut. Yang ada hanyalah
ambisi pribadi dan golongan untuk menguasai negeri yang tercinta ini.
Lambat laun bulan merah
darah berhenti tepat di puncak gedung parlemen. Ia mencair lalu meluluri gedung,
tempat orang-orang yang berambisi pada kekuasaan. Bulan itu menyatu dengan gedung
tersebut serta melebur dengan penghuninya yang selalu dikuasai nafsu serakah
dan amarah. Gedung parlemen memerah karena karena cahaya bulan merah darah. (*)
Lamongan, 17-18
Oktober 2014