Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Selasa, 10 Februari 2015

Bulan Merah Darah



Radar Bojonegoro (Jawa Pos Grup), Minggu, 14 Desember 2014

Bulan Merah Darah
Cerpen karya Ahmad Zaini

Matahari sore itu telah duduk di ujung rumpun bambu yang mengelilingi kampung. Jeritan batang bambu yang saling berhimpitan laksana rintihan biola dipanggung orchestra tentang lirik duka yang sangat dalam. Angin yang sepanjang hari bergandeng dengan panas matahari juga telah mereda. Tiupannya tidak sekencang siang yang menerbangkan sampah-sampah dan debu sepanjang jalan.
Waktu siang benar-benar telah membagi tugas dengan waktu malam. Siang sirna malam pun tiba. Malam datang tidak sendirian karena bulan dan bintang selalu setia mendampinginya. Kebetulan malam itu merupakan malam purnama. Bulan akan muncul setelah maghrib dalam bentuk yang paling sempurna. Berbentuk bulat penuh serta memancarkan cahaya putih berkilau.
Para warga khususnya anak-anak telah bersiap-siap memanfaatkan momen purnama. Sejak siang mereka telah melakukan perjanjian bersama teman-teman sepermainan untuk menikmati bulan purnama dengan permainan-permainan yang dapat menghilangkan kejenuhan sewaktu di sekolah atau kecapekan karena membantu orang tua. Demikian pula para kawula muda. Mereka tidak mau kalah dengan anak-anak. Mereka bersiap-siap menuju ke tanah lapang untuk bermain sepak bola dengan alat egrang. Para warga tidak ingin menyia-nyiakan  bulan purnama melintasi  malam begitu saja.
Saat yang mereka tunggu-tunggu sejak sore akan segera tiba. Langit di ufuk timur sudah terlihat kemerah-merahan. Ini menandakan bulan akan segera muncul dari peraduannya. Anak-anak dan kawula muda telah melakukan persiapan. Dia akan bermain dengan sepuas-puasnya sambil bermandikan cahaya bulan purnama.
Warna langit yang kemerah-merahan semakin jelas. Lalu bulan muncul dari balik awan tipis yang memayunginya. Para warga yang telah berkumpul di tanah lapang tertegun. Mereka tidak lantas bermain-main sesuai dengan rencana. Mereka merasa ada yang aneh pada bulan yang muncul malam ini. Biasanya kalau memasuki tanggal lima belas bulan purnama, bulan akan muncul dalam bentuk yang sempurna serta becahaya putih kemilau. Namun, kali ini berbeda. Bulan muncul dalam bentuk bulat telur atau oval serta cahayanya merah darah.
Melihat fenomena aneh seperti itu, anak-anak menganggap sebagai hal yang biasa. Demikian juga para kawula muda. Mereka meneruskan rencana yang telah disusun matang-matang sejak siang. Anak-anak bermain kejar-kejaran sedangkan para kawula muda memainkan atraksi yaitu bermain sepak bola dengan alat egrang. Mereka tetap bersuka cita menikmati bulan purnama yang tidak sempurna. Wajah mereka memerah. Mereka saling menertawakan sewaktu mereka melihat wajah temannya yang merah akibat cahaya purnama. Mereka saling menunjuk wajahnya yang berubah seperti monster yang sering mereka lihat di film-film.
Suasana meriah di tanah lapang yang berada di luar kampung berubah menjadi kepanikan. Orang tua mereka bermunculan dari dalam kampung sambil berteriak-teriak menyerukan agar mereka segera menghentikan permainannya lalu pulang ke rumah masing-masing.
“Ayo, bubar dan pulang ke rumah masing-masing karena akan datang malapetaka!” kata salah satu orang tua kepada anak-anak dan remaja yang sedang berada di tanah lapang.
Mereka tidak segera pulang dengan seruan itu karena belum puas melakukan permainannya. Para orang tua tidak mau kalah dengan anak-anaknya. Mereka memaksa anak-anaknya pulang dengan menyeret tangannya yang mulai licin akibat keringat yang sudah mulai bercucuran.
“Ayo, cepat pulang!” serunya.
Dengan berat hati anak-anak dan remaja mengikuti kemauan orang tua masing-masing. Mereka terpaksa menuruti kehendak orang tua mereka dengan rasa penasaran yang bersarang dalam batok kepalanya.
***
 Orang-orang kampung memercayai jika bulan berwajah merah darah maka itu sebagai pertanda akan terjadi marabahaya atau malapetaka yang akan melanda negeri. Akan terjadi pertumpahan darah atau perang saudara untuk merebutkan kekuasaan. Mereka kemudian menghubung-hubungkan pergantian kepemimpinan yang terjadi di negeri ini.
Menurut ingatan mereka, setiap pergantian kepemimpinan  di negeri ini selalu ada pertumpahan darah. Pemimpin yang telah habis masa tugasnya tidak legowo menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada pemimpin yang baru terpilih. Mereka berupaya memertahankan kekuasaannya agar bisa mencapai tujuan yang hingga kini belum tercapai. Bahkan ada yang berdalih karena dana yang mereka keluarkan sewaktu proses pemilihan sebagai pemimpin belum seimbang dengan gaji yang mereka dapatkan selama berkuasa. Hal itulah yang menyebabkan mereka tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada generasi penerusnya.
Bulan purnama beranjak semakin tinggi. Bulan merah darah menapaki tangga langit yang ikut memerah bagai tumpahan darah. Warga kampung semakin merinding. Mereka takut jika peristiwa-peristiwa masa silam akan terjadi lagi.
Kepala kampung dan para perangkatnya berkeliling kampung menyerukan agar semua warga jangan sampai ada yang keluar rumah atau bepergian ke luar kampung. Mereka mengkhawatirkan warganya akan menjadi korban dalam kerusuhan jika peristiwa pergantian kepemimpinan akan rusuh seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Seluruh warga harap masuk! Para warga dilarang bepergian ke luar kampung. Semua harap menahan diri dalam rumah!” serunya.
Usai ada larangan dari kepala kampung, kampung itu senyap. Tak ada seorang pun yang berani keluar rumah. Kampung itu bagai kampung mati karena tak ada seorang pun yang terlihat di luar rumah.
Bulan merah darah semakin menjadi-jadi. Cahaya merahnya menerobos rumah warga lewat celah atap atau dinding bambu. Cahayanya seperti darah yang diguyurkan purnama dari langit ke  bumi yang tak berdaya ini. Wajah para warga ikut memerah terkena pantulan cahaya bulan. Tanah dan seluruh isi kampung juga berwarna merah darah. Kampung itu laksana sedang dilanda banjir darah. Pertumpahan darah akibat pergantian tampuk kepemimpinan yang dikuasai amarah dan nafsu berkuasa yang semakin membuncah.
Para warga berdiam diri dalam rumah. Mereka belum ada yang berani keluar dari rumah sebelum ada instruksi dari kepala kampung. Mereka jenuh. Mereka bosan. Tangan dan kakinya terasa gatal dan kesemutan. Mereka ingin keluar rumah agar bisa menikmati malam yang dihiasi bulan yang berwarna merah darah.
Pertumpahan darah yang mereka takutkan benar-benar menjadi kenyataan. Akan tetapi, peristiwa mengerikan itu hanya terjadi di pemerintahan pusat dan tidak sampai merembet ke daerah-daerah. Bulan merah darah telah membakar emosi para penghuni gedung parlemen. Penghuni gedung parlemen saling membantai, saling menjegal demi melampiaskan kekecewaan kepada pihak yang berkuasa. Gedung parlemen membara. Gedung parlemen penuh dengan emosi, angkara murka, nafsu keserakahan. Gedung parlemen ditenggelamkan nafsu syetan yang tak terkendalikan. Gedung parlemen telah melenyapkan mata hati dan nurani kepemimpinan. Sungguh mengenaskan!
***
Cahaya merah mencengkeram gedung parlemen. Bulan merah darah telah meluapkan  kepedihan dan kekecewaan atas perilaku penghuninya yang saling menjegal di gedung tersebut. Bulan purnama menangis tiada henti menumpahkan amarah dengan air mata darah. Bulan itu kecewa karena musyawarah dan mufakat tidak lagi singgah di dalam gedung tersebut. Yang ada hanyalah ambisi pribadi dan golongan untuk menguasai negeri yang tercinta ini.
Lambat laun bulan merah darah berhenti tepat di puncak gedung parlemen. Ia mencair lalu meluluri gedung, tempat orang-orang yang berambisi pada kekuasaan. Bulan itu menyatu dengan gedung tersebut serta melebur dengan penghuninya yang selalu dikuasai nafsu serakah dan amarah. Gedung parlemen memerah karena karena cahaya bulan merah darah. (*)

Lamongan, 17-18 Oktober 2014