Pembangkang Negara
Cerpen karya Ahmad Zaini
Pantai kelapa menjadi saksi perdebatan dua pemuda. Amrizal dan Condro
berselisih paham tentang kebangsaan. Dua pemuda ini dari pagi hingga siang
belum berhenti mengadu pendapat. Suara keduanya lantang beradu dengan suara
ombak di laut pantai kelapa. Nada berbicaranya juga menggelegar dan terdengar
jelas oleh orang-orang di sekitarnya.
”Kita ini dilahirkan di Indonesia. Kita ini hidup di Indonesia. Kita bisa
makan dan minum juga dari bumi Indonesia. Mati pun kita juga dikubur di dalam
tanah Indonesia. Fatal apabila ada pemuda seperti kamu menjelek-jelekkan
Indonesia kepada orang lain. Terutama kepada teman-teman studimu di
Afganistan,” kata Amrizal dengan nada berapi-api.
Condro bergeming. Dia mendengarkan suara Amrizal dari telinga kanan
kemudian suara temannya itu keluar begitu saja dari telinga kiri. Hati Condro
sudah membatu. Tidak bisa diberi masukan tentang rasa nasionalisme. Dia selalu
menganggap nasihat atau masukan dari Amrizal atau dari teman-teman lainnya
sebagai bualan belaka. Condro tetap menganggap bahwa Indonesia sebagai tempat
lahir, hidup, dan matinya ini sebagai negara bejat. Negera yang menerapkan
kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Negara yang melahirkan
kebijakan-kebijakan tidak islami. Negara pelindung para koruptor. Negara
penjual hukum pada mereka yang berduit.
Amrizal tidak demikian. Negara kita, bangsa kita, Indonesia ini negara
adil, bijaksana, subur, dan selalu menegakkan hukum atas dasar kebenaran. Bukan
atas dasar uang. Kebijakan-kebijakan yang diundang-undangkan juga selalu
berpijak kepada rakyat kecil. Berapa juta warga Indonesia mendapatkan bantuan
cuma-cuma dari pemerintah. Berapa juta warga yang mendapatkan hak hukumnya atas
dasar keadilan dan kebenaran.
”Heh, itu pencitraan saja. semua kebijakan itu tetaplah penindasan.
Tidak ada kesejahteraan. Buktinya, banyak warga menjerit karena kenaikan harga
bahan bakar minyak,” sanggah Condro.
”Ternyata otakmu telah dicuci oleh guru-gurumu di Afganistan. Kamu telah
menerima doktrin yang salah dari mereka. Kalau semua orang Indonesia memiliki
pemikiran seperti kamu, Indonesia tidak lama lagi akan hancur. Indonesia hancur
bukan karena penjajah, melainkan karena pemuda-pemuda seperti dirimu,” timpal
Amrizal dengan kesal.
”Faktanya demikian. Kalau negara
tidak mau hancur, maka terimalah saran dan usulan dari kami.”
”Usulan dari para pemikir tukang bangkang”
”Siapa yang membangkang?” tanya Condro.
”Kamu.”
”Aku mengatakan kebenaran. Pemikiranku untuk mengembalikan Indonesia ke
jalan lurus. Jadi, apa salahnya aku mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan bangsa
ini,” kata Condro membenarkan dirin.
Sejenak perdebatan kedua pemuda ini berhenti. Gadis pelayan warung lesehan
di pantai kelapa menyuguhkan pesanan. Dua mangkok bakso dan dua gelas es degan
dihidangkan di atas gelaran tikar. Mata Condro fokus pada pelayan warung
lesehan. Dia menatap dalam wajah gadis itu. Tangannya meremas-remas pasir
sembari berfantasi gadis itu sebagai kekasihnya.
”Mata jangan melotot terus. Awas bola matamu keluar,” sindir Amrizal.
”Hehehe. Di Afganistan tidak ada wanita yang tak berhijab. Pakaian wanita
di sana menutup seluruh aurat. Tidak ada wanita yang memperlihatkan
bagian-bagian tubuh sensitif di tempat umum seperti ini.”
”Tapi kamu suka dengan gadis pelayan tadi?”
”Jelas suka,” jawab Condro singkat.
”Hm, ternyata hanya segitu idealismu. Keyakinanmu tentang keislaman
dan kesyarian yang kamu jadikan sebagai dasar saat berdebat rontok oleh rok
pendek dan kancing baju seorang gadis. Ingat, Bro! Gadis itu bukan muhrimmu.
Haram jika kamu melihatnya dengan sengaja apalagi sampai menimbulkan syahwat,”
timbal Amrizal.
”Kamu juga mengerti hukum seperti itu?”
”Jangan kira lulusan ngaji di langgar panggung Mbah Mus kalah oleh
lulusan luar negeri sepertimu,” pungkas Amrizal.
Amrizal dan Condro sangat menikmati pemandangan dan kuliner lesehan di
pantai kelapa. Amrizal bangga dan bersyukur karena telah ditakdirkan Allah
hidup di negeri subur dan makmur ini. Negeri jamrud katulistiwa yang membuat bangsa-bangsa
lain dari Eropa dan Asia tertarik. Terutama mereka yang pernah menjajah negeri
ini dari tangan penduduk pribumi.
Di Timur Tengah tidak sesubur
Indonesia. Apalagi di
Aganistan tempat belajar Condro. Jangankan menikmati bakso dan minum es degan
sambil bersantai di tepi pantai, menikmati kembang gula saja pun tidak sempat.
Rudal-rudal para militan berseliweran di atas kepala mereka. Salah perhitungan,
kepala bisa meledak karena tertimpuk rudal.
”Bersyukurlah kawan menjadi orang Indonesia,” celetuk Amrizal kepada
Condro.
”Tidak,” sahut Codro sembari menggeser mangkoknya yang sudah kosong.
Amrizal tidak habis pikir kenapa orang seperti Condro belum bisa menerima
kenyataan yang ada. Dia telah merasakan bagaimana enaknya hidup di Indonesia.
Sejak kecil Condro tahu dan merasakan bagaimana serunya bermain air di empang
selatan kampung. Dia bisa bermain layang-layang di tengah persawahan dengan tanaman
padi yang hijau. Dia juga pernah dikejar oleh seorang petani lantaran mengejar
layang-layang putus sembari tak memedulikan kakinya menerjang bulir-bulir padi
yang menguning. Dia tidak sadar bahwa segelas es degan yang baru saja
dihabiskan hingga tetes terakhir, juga dari tanaman kelapa di atas tanah
Indonesia.
”Bersyukurlah kawan atas anugerah Allah seperti ini. Janganlah
menjelek-jelekkan bangsa sendiri,” saran Amrizal.
”Aku benci Indonesia,” suara lantang Condro membuat orang-orang di sekitar
melihat ke arahnya.
”Gak bahaya, ta, kamu berteriak seperti itu?”
”Tidak. Aku tidak takut bahaya karena kebenaran. Aku benci kemungkaran. Aku
benci dosa-dosa Indonesia.”
”Permisi, Mas! Mau ambil mangkok dan gelas,” kata gadis pelayan warung
lesehan yang tidak diduga bisa menghentikan pekik Condro.
”Oh, silakan!” kata-kata condro tiba-tiba melunak sambil memainkan
lidah di kedua bibirnya.
”Woi, dosa. Semprul!” celetuk
Amrizal.
“Menikmati ciptaan Allah,” bantah Condro.
”Bukan muhrim, Bro.”
Tiba-tiba condro bangkit. Dia mengambil tas yang disandarkan di batang
pohon kelapa. Tangan kanan Condro merogoh sesuatu di dalam tas. Ternyata yang
diambil adalah rakitan bom. Kedua tangan Condro melilitkan rakitan bom di
tubuhnya. Dia lari ke tengah kerumunan pengunjung wisata. Tak lama kemudian blaarrrrr.
Tubuh Condro hancur. Puluhan orang tewas. Termasuk Amrizal dan gadis
pelayan warung lesehan tikar turut menjadi korban.
Tak berselang lama tim petugas keamanan dari polisi dan tentara datang.
Mereka bergegas menyisir dan memasang pembatas untuk memudahkan mereka dalam
mengevakuasi dan mendeteksi korban. Dari identitas pelaku, polisi menyimpulkan
bahwa Condro itu buronan mereka. Condro anggota jaringan teroris yang selama
ini mereka buru.
Polisi dibantu masyarakat sekitar mengevakuasi korban. Amrizal yang
tubuhnya tak utuh dimasukkan ke kantong janazah. Demikian juga korban meninggal
lain. Korban luka dibawa ke puskemas dan rumah sakit terdekat. Mereka juga
bergotong-royong merapikan serpihan bangunan yang porak-poranda akibat ledakan.
Aksi nekad Condro menyisakan duka. Aksi berkedok dakwah membuat orang lain
susah karena cara dakwah yang salah. Dakwah itu bukan dengan kekerasan, melainkan
dengan kedamaian dan kesejukan hati. Indonesia ini negeri yang suci. Oknum-oknum
pejabatlah yang berulah dan harus dinasihati agar bisa menata negeri dengan
pengabdian tinggi.
Area pantai kelapa di tutup sementara oleh keamanan. Lokasi wisata yang
biasanya ramai kini sunyi. Hanya air mata dan karangan bunga duka-cita
menghiasi tempat itu. (*)
Lamongan, 19 Agustus 2023
Ahmad Zaini merupakan penulis yang tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Beberapa cerpen
dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia pernah
menerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creative
Camp (GCC) tahun 2021 dan 2022 bidang Apresiasi Penulis Buku.