Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 28 Agustus 2023

Pembangkang Negara (Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 27 Agustus 2023)

 


 

Pembangkang Negara

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Pantai kelapa menjadi saksi perdebatan dua pemuda. Amrizal dan Condro berselisih paham tentang kebangsaan. Dua pemuda ini dari pagi hingga siang belum berhenti mengadu pendapat. Suara keduanya lantang beradu dengan suara ombak di laut pantai kelapa. Nada berbicaranya juga menggelegar dan terdengar jelas oleh orang-orang di sekitarnya.

”Kita ini dilahirkan di Indonesia. Kita ini hidup di Indonesia. Kita bisa makan dan minum juga dari bumi Indonesia. Mati pun kita juga dikubur di dalam tanah Indonesia. Fatal apabila ada pemuda seperti kamu menjelek-jelekkan Indonesia kepada orang lain. Terutama kepada teman-teman studimu di Afganistan,” kata Amrizal dengan nada berapi-api.

Condro bergeming. Dia mendengarkan suara Amrizal dari telinga kanan kemudian suara temannya itu keluar begitu saja dari telinga kiri. Hati Condro sudah membatu. Tidak bisa diberi masukan tentang rasa nasionalisme. Dia selalu menganggap nasihat atau masukan dari Amrizal atau dari teman-teman lainnya sebagai bualan belaka. Condro tetap menganggap bahwa Indonesia sebagai tempat lahir, hidup, dan matinya ini sebagai negara bejat. Negera yang menerapkan kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Negara yang melahirkan kebijakan-kebijakan tidak islami. Negara pelindung para koruptor. Negara penjual hukum pada mereka yang berduit.

Amrizal tidak demikian. Negara kita, bangsa kita, Indonesia ini negara adil, bijaksana, subur, dan selalu menegakkan hukum atas dasar kebenaran. Bukan atas dasar uang. Kebijakan-kebijakan yang diundang-undangkan juga selalu berpijak kepada rakyat kecil. Berapa juta warga Indonesia mendapatkan bantuan cuma-cuma dari pemerintah. Berapa juta warga yang mendapatkan hak hukumnya atas dasar keadilan dan kebenaran.

Heh, itu pencitraan saja. semua kebijakan itu tetaplah penindasan. Tidak ada kesejahteraan. Buktinya, banyak warga menjerit karena kenaikan harga bahan bakar minyak,” sanggah Condro.

”Ternyata otakmu telah dicuci oleh guru-gurumu di Afganistan. Kamu telah menerima doktrin yang salah dari mereka. Kalau semua orang Indonesia memiliki pemikiran seperti kamu, Indonesia tidak lama lagi akan hancur. Indonesia hancur bukan karena penjajah, melainkan karena pemuda-pemuda seperti dirimu,” timpal Amrizal dengan kesal.

 ”Faktanya demikian. Kalau negara tidak mau hancur, maka terimalah saran dan usulan dari kami.”

”Usulan dari para pemikir tukang bangkang”

”Siapa yang membangkang?” tanya Condro.

”Kamu.”

”Aku mengatakan kebenaran. Pemikiranku untuk mengembalikan Indonesia ke jalan lurus. Jadi, apa salahnya aku mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan bangsa ini,” kata Condro membenarkan dirin.

Sejenak perdebatan kedua pemuda ini berhenti. Gadis pelayan warung lesehan di pantai kelapa menyuguhkan pesanan. Dua mangkok bakso dan dua gelas es degan dihidangkan di atas gelaran tikar. Mata Condro fokus pada pelayan warung lesehan. Dia menatap dalam wajah gadis itu. Tangannya meremas-remas pasir sembari berfantasi gadis itu sebagai kekasihnya.

”Mata jangan melotot terus. Awas bola matamu keluar,” sindir Amrizal.

”Hehehe. Di Afganistan tidak ada wanita yang tak berhijab. Pakaian wanita di sana menutup seluruh aurat. Tidak ada wanita yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitif di tempat umum seperti ini.”

”Tapi kamu suka dengan gadis pelayan tadi?”

”Jelas suka,” jawab Condro singkat.

Hm, ternyata hanya segitu idealismu. Keyakinanmu tentang keislaman dan kesyarian yang kamu jadikan sebagai dasar saat berdebat rontok oleh rok pendek dan kancing baju seorang gadis. Ingat, Bro! Gadis itu bukan muhrimmu. Haram jika kamu melihatnya dengan sengaja apalagi sampai menimbulkan syahwat,” timbal Amrizal.

”Kamu juga mengerti hukum seperti itu?”

”Jangan kira lulusan ngaji di langgar panggung Mbah Mus kalah oleh lulusan luar negeri sepertimu,” pungkas Amrizal.

Amrizal dan Condro sangat menikmati pemandangan dan kuliner lesehan di pantai kelapa. Amrizal bangga dan bersyukur karena telah ditakdirkan Allah hidup di negeri subur dan makmur ini. Negeri jamrud katulistiwa yang membuat bangsa-bangsa lain dari Eropa dan Asia tertarik. Terutama mereka yang pernah menjajah negeri ini dari tangan penduduk pribumi.

Di Timur Tengah tidak sesubur Indonesia. Apalagi di Aganistan tempat belajar Condro. Jangankan menikmati bakso dan minum es degan sambil bersantai di tepi pantai, menikmati kembang gula saja pun tidak sempat. Rudal-rudal para militan berseliweran di atas kepala mereka. Salah perhitungan, kepala bisa meledak karena tertimpuk rudal.

”Bersyukurlah kawan menjadi orang Indonesia,” celetuk Amrizal kepada Condro.

”Tidak,” sahut Codro sembari menggeser mangkoknya yang sudah kosong.

Amrizal tidak habis pikir kenapa orang seperti Condro belum bisa menerima kenyataan yang ada. Dia telah merasakan bagaimana enaknya hidup di Indonesia. Sejak kecil Condro tahu dan merasakan bagaimana serunya bermain air di empang selatan kampung. Dia bisa bermain layang-layang di tengah persawahan dengan tanaman padi yang hijau. Dia juga pernah dikejar oleh seorang petani lantaran mengejar layang-layang putus sembari tak memedulikan kakinya menerjang bulir-bulir padi yang menguning. Dia tidak sadar bahwa segelas es degan yang baru saja dihabiskan hingga tetes terakhir, juga dari tanaman kelapa di atas tanah Indonesia.

”Bersyukurlah kawan atas anugerah Allah seperti ini. Janganlah menjelek-jelekkan bangsa sendiri,” saran Amrizal.

”Aku benci Indonesia,” suara lantang Condro membuat orang-orang di sekitar melihat ke arahnya.

Gak bahaya, ta, kamu berteriak seperti itu?”

”Tidak. Aku tidak takut bahaya karena kebenaran. Aku benci kemungkaran. Aku benci dosa-dosa Indonesia.”

”Permisi, Mas! Mau ambil mangkok dan gelas,” kata gadis pelayan warung lesehan yang tidak diduga bisa menghentikan pekik Condro.

Oh, silakan!” kata-kata condro tiba-tiba melunak sambil memainkan lidah di kedua bibirnya.

Woi, dosa. Semprul!” celetuk Amrizal.

“Menikmati ciptaan Allah,” bantah Condro.

”Bukan muhrim, Bro.”

Tiba-tiba condro bangkit. Dia mengambil tas yang disandarkan di batang pohon kelapa. Tangan kanan Condro merogoh sesuatu di dalam tas. Ternyata yang diambil adalah rakitan bom. Kedua tangan Condro melilitkan rakitan bom di tubuhnya. Dia lari ke tengah kerumunan pengunjung wisata. Tak lama kemudian blaarrrrr. Tubuh Condro hancur. Puluhan orang tewas. Termasuk Amrizal dan gadis pelayan warung lesehan tikar turut menjadi korban.

Tak berselang lama tim petugas keamanan dari polisi dan tentara datang. Mereka bergegas menyisir dan memasang pembatas untuk memudahkan mereka dalam mengevakuasi dan mendeteksi korban. Dari identitas pelaku, polisi menyimpulkan bahwa Condro itu buronan mereka. Condro anggota jaringan teroris yang selama ini mereka buru.

Polisi dibantu masyarakat sekitar mengevakuasi korban. Amrizal yang tubuhnya tak utuh dimasukkan ke kantong janazah. Demikian juga korban meninggal lain. Korban luka dibawa ke puskemas dan rumah sakit terdekat. Mereka juga bergotong-royong merapikan serpihan bangunan yang porak-poranda akibat ledakan.

Aksi nekad Condro menyisakan duka. Aksi berkedok dakwah membuat orang lain susah karena cara dakwah yang salah. Dakwah itu bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kedamaian dan kesejukan hati. Indonesia ini negeri yang suci. Oknum-oknum pejabatlah yang berulah dan harus dinasihati agar bisa menata negeri dengan pengabdian tinggi.

Area pantai kelapa di tutup sementara oleh keamanan. Lokasi wisata yang biasanya ramai kini sunyi. Hanya air mata dan karangan bunga duka-cita menghiasi tempat itu. (*)

 

Lamongan, 19 Agustus 2023

 

Ahmad Zaini merupakan penulis yang tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia pernah menerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creative Camp (GCC) tahun 2021 dan 2022 bidang Apresiasi Penulis Buku.

 

 

 

 

Kamis, 17 Agustus 2023

Domba-Domba Surga, Radar Bjn, 9 Juli 2023

 


Domba-Domba Surga

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Jelang senja iring-iringan domba dituntun pemiliknya ke halaman masjid. Sinar matahari sore menerpa bulu-bulu domba hingga menjadi seperti kilauan emas. Domba-domba itu diikat pada patok. Domba yang telah dihias dengan selembar kain di punggung dan untaian bunga kenanga terlihat pasrah. Domba-domba surga dibariskan rapi dan diberi tanda nama pengurbannya.

Anak-anak berkerumun mendekati domba-domba. Mereka antusias melihat hewan kurban yang akan dipotong atau disembelih besok pagi setelas salat Iduladha. Anak-anak penasaran pada rupa domba pengganti Ismail dalam kisah yang sering disampaikan oleh para gurunya. Mereka ingin tahu jelas bentuk domba surga.

Rasa penasaran anak-anak memang beralasan. Perasaan mereka selalu hanyut dalam kisah perjuangan Ibrahim alaihi salam. Mereka menangis haru bercampur takut ketika gurunya di madrasah menceritakan ujian kesabaran yang ditimpakan Allah kepada kholilullah Ibrahim.

”Andai Allah tidak menggantinya dengan domba dari surga, maka Ismail akan disembelih oleh Ibrahim, ayah sendiri,” kata Ustadz Azwar di depan anak-anak dalam pembelajaran di madrasah.

Mereka diam dan menahan napas. Anak-anak membayangkan andai Ismail jadi disembelih ayahnya, tentu setiap Iduladha mereka yang akan dikurbankan orang tuanya. Betapa sedihnya anak-anak bila mengetahui waktu kematiannya karena dijadikan kurban orang tuanya.

Alhadulillah Allah menggantinya dengan domba sehingga Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim  selamat dan lulus dari ujian kesabaran,” sambung ustadz idola anak-anak ini.

Alhamdulillah, kita selamat! Kita tidak tidak dijadikan kurban orang tua kita,ucap mereka dengan senyum mengembang.

Anak-anak mengamati domba-domba dengan teliti. Mereka memegang bulu, kuku, dan tanduknya. Kain putih dan untaian bunga di punggung tidak lepas dari pengamatannya. Salah satu dari mereka terkejut karena mengenal domba yang dipegangnya.

Lho, ini dombaku. Kenapa di sini? Katanya ini domba-domba dari surga?” kata Dendy kaget.

”Benar sekali. Ini domba kurban ayahmu. Kamu keberatan domba kesayanganmu dikurbankan oleh ayahmu? Kalau tidak boleh, berarti kamu penggantinya,” goda salah seorang panitia kurban kepada anak tersebut.

”Tidak, tidak. Aku ikhlas dombaku dikurbankan ayah,” sahut Dendy dengan cekatan.

Anak-anak lainnya menertawakan Dendy. Mereka merasa geli dan lucu melihat ekspresi temannya yang ketakutan saat digoda salah seorang panitia.

Magrib telah tiba. Azan berkumandang dari corong masjid. Anak-anak berlarian pulang untuk mandi dan ganti pakaian. Sesampai di rumah mereka dimarahi orang tuanya karena sejak sore capek mencari-cari mereka.

”Dari mana saja maghrib baru pulang?” tanya ayah Dendy dengan kesal

”Melihat domba kurban di masjid,” jawab Dendy.

”Cepat mandi kemudian kembali ke masjid untuk salat maghrib kemudian takbiran,” seru ayahnya.

Dendy langsung menuruti perintah ayahnya dengan segera. Dia tidak berani menunda-nunda perintah ayahnya. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan syukur karena tidak jadi dijadikan kurban orang tuanya. Cukup domba kesayangannya yang dikurbankan oleh sang ayah.

Tak sampai lima menit Dendy mandi lalu memakai baju, sarung, dan kopyah. Dia berlari ke masjid mumpung Mbah Salim belum iqomah. Dia berkumpul dengan teman-temannya lagi melihat-lihat domba yang berbaris rapi dan pasrah diikat pada tiang atau patok.

”Kasihan, ya,  domba-domba itu,” kata Dendy pada teman-temannya.

”Kalau kamu kasihan, ganti kamu saja yang dikurbankan,” tiba-tiba suara ayah Dendy muncul dari belakang anak-anak. Dia membubarkan mereka dari kerumunan agar segera masuk dan salat jamaah maghrib dalam masjid.

”Kabur...,” katanya serentak sambil berlari menuju masjid bergabung orang tua mereka melaksanakan salat maghrib berjamaah.

Setelah melaksanakan salat maghrib anak-anak tidak langsung buyar seperti biasanya. Mereka tetap duduk meskipun sambil bergurau bersama teman-temannya. Anak-anak mengumandangkan takbir mengikuti lantunan merdu orang-orang dewasa yang duduk bersila di dekat mihrab masjid. Mereka saling bersahutan dengan suara lantang agar suaranya sampai di corong masjid. Anak-anak ingin orang tuanya bangga mendengar suara takbiran mereka di masjid.

Suasana malam di kampung sangat istimewa. Berbeda dengan malam-malam biasanya. Malam ini lantunan takbir terdengar di setiap sudut kampung. Dari surau-surau tiap lingkungan, masjid, dan warga yang takbir keliling, mereka memuji dan mengagung-agungkan asma Allah. Mereka secara bergantian melantukan takbir dengan khusuk hingga tak terasa fajar telah tiba.

Dendy dan teman-teman tidak mau ketinggalan. Bocil-bocil ini betah begadang semalam suntuk bersama orang-orang dewasa bertakbiran. Mereka tidak mau melepas malam istimewa ini begitu saja. Mereka ingin menjadi bagian dari cerita Mbah Modin saat hendak memimpin salat Iduladha. Biasanya sebelum salat, Mbah Modin berdiri di depan jamaah memberi nasihat dan mengingatkan tata cara salat Id. Mbah Modin dalam sambutannya selalu memuji mereka yang  bertakbiran semalam suntuk. Nah, Dendy dan kawan-kawan ingin menjadi bagian yang dipuji Mbah Modin.

Mbah Modin selesai memimpin salat Iduladha. Beliau menghimbau kepada para jamaah agar pulang berganti pakaian dan segera kembali ke masjid dengan membawa senjata tajam: kapak, golok, pisau dan sejenisnya. Mereka diimbau membantu panitia dalam pemotongan hewan kurban di halaman masjid. Semakin banyak yang membantu semakin cepat membagikan kepada warga yang membutuhkan daging kurban.

Anak-anak berkerumun. Mereka menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Satu per satu domba surga dituntun oleh panitia lalu diarahkan dan dirobohkan ke lubang penyembelihan. Anak-anak diam. Mereka menutup mulut rapat-rapat agar giginya tidak terlihat. Padahal, Mbah Modin setiap kali akan memotong domba selalu membaca takbir dan harus ditirukan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.

”Anak-anak, kenapa kalian diam? Ayo, ikut takbiran,” ajak Ustadz Azwar.

Anak-anak bergeming. Mereka menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tetap menutup mulut rapat-rapat sambil memelototi kilauan pedang Mbah Modin yang menempel di leher domba.  Anak-anak takut kelihatan giginya. Pedang tajam Mbah Modin ditekan dan digerak-gerakkan di leher domba. Darah segar muncrat dari urat lehernya yang putus lalu mengalir ke lubang lewat ujung pedang Mbah Modin.

Setelah Mbah Modin benar-benar selesai memotong domba, anak-anak mulai lega. Dia membuka mulutnya sambil melepas napas yang sempat terhambat. Anak-anak bergumul dengan kesan masing-masing saat mata pedang Mbah Modin memenggal leher domba. Ada yang takut, kaget, dan haru. Adapula yang sampai menangis seperti yang dialami Dendy.  Dia membayangkan andai Nabi Ismail jadi disembelih ayahnya, pasti saat ini dia di posisi domba itu.

”Anak-anak, kenapa kalian tadi menutup mulut semua?” tanya Ustadz Azwar kepada anak-anak.

”Takut gigi kami terlihat. Kata orang-orang kalau gigi terlihat saat penyembelihan kurban, apabila tanggal, maka gigi tidak bisa tumbuh lagi,” kata Dendy menjelaskan kepada ustadznya dengan polos.

”Hahaha. Tidak apa-apa. Nanti diganti gigi domba. Semua itu hanyalah mitos belaka. Sekarang kita takbiran bersama mengikuti Mbah Modin,” pinta Ustadz Azwar.

”Baik, Ustadz!” jawab mereka serempak.

Satu demi satu domba dipotong oleh Mbak Modin dengan iringan takbir. Setelah menyembelih kurban, mereka menguliti, memotong-motong tulang, dan mengiris-iris daging menjadi beberapa bagian. Beberapa petugas pendistribusian daging siap menunggu perintah. Petugas-petugas ini akan membagikan daging kurban kapada yang berhak menerimanya terutama fakir miskin.

”Ustadz, domba-domba ini apakah pada hari kiamat bisa hidup lagi?” tanya Dendy kepada Ustadz Azwar.

”Bisa. Domba-domba ini akan hidup dan menjadi tunggangan para pengurbannya masuk ke surga.”

”Jadi, dombanya juga masuk surga?”

”Benar. Dombanya akan masuk surga bersama pengurbannya.”

Wah, enak, ya, jadi domba kurban. Bisa masuk surga.”

”Dendy, kamu mau jadi domba?” goda Ustadz Azwar.

”Tidak, tidak. Saya tidak mau jadi domba.”

”Jadi manusia juga bisa masuk surga. Syaratnya harus mau berkorban dengan ikhlas dalam beribadah dan menegakkan ajaran Allah,” pungkas ustadz bercambang ini.

 Matahari hampir mencapai tengah langit. Sengatannya juga sudah terasa. Para panitia kurban membersihkan kotoran dan sisa-sisa perabot kurban lainnya. Para lelaki berotot kekar juga telah merampungkan tugas mendistribusikan daging kurban kepada yang berhak menerimanya.

Dendy dan teman-teman membubarkan diri. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan membawa bungkusan kalak yang diberi oleh panitia. Mereka mendapat hikmah dan pelajaran sangat banyak dari pelaksanakan kurban Iduladha. Anak-anak bercita-cita saat dewasa nanti akan berkurban sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tuanya. (*)

 

Wanar, 1 Juli 2023

Penulis merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Dia aktif sebagai anggota Komunistas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) serta Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Beberapa karyanya beredar di berbagai media cetak dan online.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Pesan Selembar Daun




Pesan Selembar Daun

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Di ruang kerja berfasilitas lengkap Jarwito duduk berwibawa. Dia menyusun agenda kerja di jurnal harian. Jarwito orang yang disiplin. Dia tidak pernah menganggur. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia pada saat jam-jam kerja. Selalu ada yang dikerjakan Jarwito. Jangankan bermain game online, memegang gawai saja tidak pernah. Kecuali apabila ada panggilan kedinasan. Dia menjadi anutan para bawahan. Terutama kedisiplinan. Kedisplinannyalah yang telah mendudukkan Jarwito di zona nyaman sebuah jabatan. Yakni, sebagai kepala bagian.

Hampir sepuluh tahun Jarwito duduk di kursi nyaman. Setiap pagi dia memberikan instruksi pekerjaan kepada bawahannya. Dia membagi tugas kepada mereka yang setiap hari membantu menyelesaikan pekerjaan sebagaimana tertulis di jurnal harian.

”Hari ini kamu selesaikan laporan kegiatan bantuan sosial. Nanti ada supervisi dari atasan,” perintah Jarwito ke stafnya.

”Baik, Bapak. Hari ini akan saya selesaikan,” kata sanggup bawahannya.

”Saya tunggu pukul sepuluh,” sambung Jarwito dibalas anggukan oleh stafnya tersebut.

Jarwito menghampiri staf-staf lain untuk memberi tugas hari itu. Para staf Jarwito dengan cekatan dan ikhlas menerima tugas-tugas. Mereka mengerjakannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh pemimpinnya. Setelah selesai melaksanakan tugas, mereka menyodorkan hasil pekerjaannya kepada Jarwito guna dikoreksi dan ditandatangani.

Begitulah aktivitas Jarwito sehari-hari. Datang ke kantor, menyusun jurnal harian, membagi tugas kepada bawahan, mengoreksi, lalu menandatanganinya. Dia berada di posisi nyaman dalam jabatan.

Beberapa hari ini Jarwito murung. Dia bekerja tidak secemerlang hari-hari sebelumnya. Dahinya berkerut. Wajahnya selalu ditekuk. Tangannya tidak seterampil kemarin saat menyusun jurnal kemudian membagi tugas kepada bawahan. Ada semacam penurunan kinerja. Hal seperti itu terbaca oleh atasannya. Jarwito dipanggil dan dimintai keterangan terkait beberapa pekerjaan Jarwito yang melebihi batas waktu atau deadline.

”Banyak perubahan terjadi dalam kinerjamu. Beberapa tugas terlambat kamu sodorkan padaku. Bahkan, ada beberapa tugas yang terbengkalai menumpuk di meja kerjamu. Kenapa?” tanya atasan Jarwito.

”Saya mengakui ada penurunan kinerja diri saya. Namun, hanya sebagaian kecil. Banyak tugas lain yang mampu saya kerjakan dengan baik.”

”Kerja itu harus sampai tuntas. Bagian-bagian kecil jika dibiarkan akan menjadikan beban kerja kamu semakin berat. Apabila setiap hari ada tugas yang tidak terselesaikan, maka besoknya tugas kamu akan semakin menumpuk.”

”Baik, Pak. Saya akan berusaha meningkatkan kinerja saya lagi,” janji Jarwito.

Jarwito mendengar kabar bahwa bulan depan ada mutasi jabatan. Salah satu posisi yang akan dimutasi adalah posisi Jarwito saat ini. Pemimpin Jarwito beralasan ada mutasi baru dari luar yang lebih berpengalaman dan beretos kerja lebih baik daripada Jarwito. Slentingan kabar tersebut terdengar oleh Jarwito. Tidak heran bila Jarwito beberapa hari terakhir ini selalu murung. Dia takut posisinya benar-benar digantikan oleh orang baru itu.

”Jarwito, Jarwito. Kamu ini seperti anak kecil. Mutasi jabatan itu hal biasa di instansi. Penempatan posisi pegawai itu hak pemimpin. Sebagai bawahan, ya, harus legowo bila atasan berkehendak seperti itu,” kata Sentanu, rekannya yang pernah mengalami hal serupa.

”Tapi, selama ini saya...”

”Kamu tinggal instruksi bawahanmu untuk mengerjakan tugasmu kemudian pascamutasi kamu dikembalikan di posisi bawahan lalu diperintah oleh atasan barumu?” potong Sentanu.

Jarwito diam. Sentanu seperti mengetahui gejolak dalam hatinnya. Sentanu bisa menebak masalah yang membuatnya jadi termenung akhir-akhir ini. Jarwito tidak berani menjawab pertanyaan menohok Sentanu. Akan dijawab ya, dia takut dikatakan gila jabatan. Akan dijawab tidak, dia takut membohongi isi hatinya.

Lelaki yang menjabat kebagai kepala bagian ini gelisah. Dia berdiri lalu duduk lagi di belakang meja kerjanya. Terkadang dia mondar-mandir di ruang kerjanya seperti orang kebingungan. Tumpukan tugas di meja dipandang, diambil, lalu diletakkan lagi. Dia duduk, mendesah, lalu menghela napas panjang.

”Permisi, Pak. Ini laporannya sudah selesai.” seorang bawahannya tiba-tiba masuk ruang kerja sambil menyodorkan laporan untuk ditandatanganinya.

”Letakkan situ,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan kertas lain di atas mejanya.

”Baik, Pak,” simpulnya.

Jiwa Jarwito semakin berontak. Dia mengkhawatirkan posisinya benar-benar dimutasi menjadi bawahan lagi. Pastinya dia akan diperintah atasan dan hanya bisa berkata baik pak, permisi pak untuk menghargai posisi atasannya. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan posisi Jarwito saat ini.

Di bawah beringin besar di belakang kantor Jarwito duduk. Dia membawa segelas kopi dan sebungkus rokok lalu diletakkan di kursi santai di bawah beringin. Dia menyandarkan punggung sembari menyuruput kopi pahit disela-selai dengan mengisap rokok. Kepul asap disemburkan dari mulutnya. Asap itu terbang tinggi lalu berpendar ke beberapa arah mata angin. Wajah Jarwito mendongak. Dia menatap daun-daun menempel di dahan beringin. Daun-daun itu bergoyang lemah gemulai seiring hembusan angin siang. Angan-angannya terbang melayang ke angkasa. Jarwito berandai-andai apabila benar-benar posisinya kembali menjadi bawahan. Dia tidak membayangkan dirinya yang semula hanya memerintah kemudian menjadi diperintah.

Lamunan Jarwito ambyar ketika tiba-tiba ada daun luruh mengecup wajahnya. Dia bangkit lalu mengibaskan tangan kanannya mengusir daun yang menempel di wajahnya. Jarwito takut jika yang baru saja menempel di wajahnya itu ulat gatal atau serangga. Eh, ternyata hanya daun, katanya dalam hati.

Selembar daun luruh itu dipungut. Dia memegangnya dengan tangan kanan. Daun tersebut diangkat lalu didekatkan wajahnya. Tiba-tiba dia mendengar bisikan hati tentang daun itu.

Daun luruh itu menggugah kesadaran Jarwito. Ternyata selembar daun yang menempel di dahan dan ranting pohon tak selamanya akan segar bertengger di posisinya. Daun itu akan mengalami perubahan wujud dari semula tunas, menjadi daun muda, daun tua, layu, kemudian rontok. Setelah itu, akan tumbuh tunas baru mengisi pori dahan kosong kemudian menjadi daun segar dan lebat tempat orang-orang berteduh di bawahnya.

Jarwito berbipikir bahwa jabatan juga akan demikian. Tidak selamanya pegawai itu berada di zona nyaman alias menjadi pemimpin atau kepala bagian. Seiring perjalanan waktu suatu saat juga akan pindah posisi. Bisa menjadi bawahan atau bahkan bisa menjadi orang sipil lagi.

Hati keras Jarwito atas kekhawatiran direposisi oleh atasan luluh seketika. Hanya melalui pesan selembar daun, Jarwito sadar bahwa jabatan bukanlah sesuatu yang abadi. Jabatan akan berubah sesuai dengan masanya. Tidak perlu jabatan dipertahankan mati-matian. Setinggi-tingginya daun apabila musim rontok, jatuhnya juga akan ke tanah. Senyaman-nyamannya jabatan pasti akan berakhir jua. Bersiap-siap menjadi orang biasa. Orang jelata lagi.

”Pak Jarwito, dipanggil kepala,” kata seorang stafnya.

”Baik. Saya ke sana,” sahutnya.

Hati Jarwito berdebar-debar, tapi tidak sedasyat sebelumnya. Debarannya landai seperti sebelum muncul wacana mutasi jabatan. Puntung rokok di buang. Cangkir kopi kosong dibawa masuk ruang kerja. Jarwito merapikan rambut dan pakaian sebelum menemui kepala kantornya.

  Jarwito berjalan menuju ruang kepala kantor dengan pasrah. Dia siap menerima apa pun keputusan kepala kantor. Dia siap diposisikan di mana saja oleh kepala. Dia juga sudah siap lahir batin jika benar-benar diposisikan sebagai bawahan.  Jarwito akan mengikuti kebijakan kepala kantor sebagaimana air mengalir.

”Tahu maksud pemanggilan saya ini,” tanya kepala kantor.

Jarwito membenamkan wajahnya. Kekhawatiran itu muncul lagi setelah mendengar pertanyaan kepala kantor. Bayang-bayang menjadi bawahan yang disuruh atasan berkecamuk lagi dalam dirinya.

”Tidak tahu, Pak,” jawab Jarwito dengan suara berat.

”Pak Jarwito, kenapa wajahmu pucat pasi. Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Pak.”

”Tapi, wajah dan sorot matamu seperti menyembunyikan sesuatu.”

”Sungguh, Pak. Tidak ada yang saya sembunyikan.”

”Syukurlah kalau begitu.”

Hati Jarwito lega karena bisa mengelak dari terkaan kepala kantor. Namun, di dadanya masih ada sesuatu yang membebani. Sesuatu yang akan disampaikan oleh kepala kantor kepada dirinya.

Kepala kantor memulai pembicaraan terkait pemanggilan Jarwito. Dengan bahasa halus dan bernada datar serta raut wajah berwibawa, dia menyampaikan rencana mutasi jabatan. Jarwito mendengarkan dengan saksama. Dia menunggu kepala kantor menyebut namanya. Dia mengingat pesan selembar daun jatuh mengecup wajahnya. Dia menunggu keputusan kepala kantor dengan pasrah.

”Pak Jarwito sosok senior dan berintegritas tinggi dalam menjalankan tugas. Sosok anutan para bawahan. Dengan pertimbangan ini, saya tetapkan Pak Jarwito di posisi saat ini sebagai kepala bagian.”

”Tarima kasih atas kepecayaan Bapak,” ucap Jarwito.

Rasa penasaran Jarwito terjawab. Mutasi jabatan yang dilakukan kepala kantor hanya berlaku di tingkat bawahan. Dia masih dipercaya pemimpin di posisi yang sudah dipegang cukup lama. Padahal, semenjak peristiwa daun jatuh itu dia siap diposisikan di mana pun. Dia siap mengabdi untuk negeri sebagai apa pun.

Jabatan itu amanah Tuhan. Amanah harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Jarwito memegang prinsip bahwa apa pun yang diamanahkan Tuhan kepada manusia, kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Jarwito berjanji dalam hati akan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya agar kelak dapat mempertanggungjawabannya kepada Tuhan. (*)

Lamongan, 5 Mei 2023

 

Ahmad Zaini, cerpenis juga sebagai guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa karyanya beredar di berbagai media cetak dan online serta telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.