Rumah Lebah
Karya
Ahmad Zaini
Di belakang rumah
Anggun terdapat pohon trembesi. Pohon berdaun teduh tersebut menjadi tempat
persinggahan para binatang bersayap. Aneka burung, serangga, dan lebah sangat menyukai
pohon itu sebagai tempat beristirahat baik siang maupun malam.
Pohon yang kayunya
keras itu ujung batangnya berlubang. Bagian yang lubang tersebut dimanfaatkan
lebah sebagai tempat tinggal. Setiap hari terdapat ratusan lebah bahu-membahu
membangun rumah. Lebah-lebah itu merangkai beberapa unsur bahan menjadi istana
yang megah sekali.
Ayah Anggun mengetahui
jika lebah merupakan binatang penyengat yang sangat bermanfaat. Lebah-lebah itu
akan menghasilkan madu. Madu bisa dijadikan sebagai obat berbagai macam
penyakit dan juga bisa sebagai campuran jamu penambah stamina seseorang. Oleh
karena itu, ayah Anggun membiarkan ratusan lebah itu mendiami pohon
trembesinya.
Anggun datang dari
sekolah. Gadis kecil berseragam putih merah itu menaruh sepeda lipatnya di
teras rumahnya. Ia menghampiri ayahnya yang sedang bersantai di bawah pohon
trembesi.
“Ayah, kapan kita panen
madu lagi?” tanya Anggun kepada ayahnya.
“Sebentar lagi Anggun.
Sabar dulu. Kalau sudah waktunya panen, kamu saya beritahu.”
“Terima kasih ayah.
Yang penting waktu memanen jangan sampai bersamaan dengan waktu sekolah Anggun.
Usahakan hari Minggu, Yah!”
“Baiklah. Besok kamu
saya beri tugas untuk memeras madunya ke dalam timba. Ibumu bertugas menuangkan
madu ke dalam botol kecil yang sudah saya siapkan di rumah.”
“Kemudian kita jual,
Yah. Hasilnya kita gunakan untuk membeli buku dan sepatu baru.”
“Hmmmm…! Lantas
bagaimana kalau ada orang sakit yang sangat membutuhkan madu tersebut sedangkan
orangnya tidak memunyai uang. Apakah kita tetap menyuruhnya membeli?” kata ayah
Anggun memancing putri kesayangannya itu.
“Kalau mereka tidak
memunyai uang ya kita beri saja secara cuma-cuma.”
“Anak pintar. Sekarang
silakan ganti seragam sekolahmu dulu. Setelah itu silakan makan kemudian
bermain dengan Citra dan Sulastri di
sini,” perintah ayahnya.
Anggun bergegas masuk
ke rumah. Dia mengganti baju seragamnya dengan baju bermainnya. Setelah makan,
Anggun keluar rumah. Ia memanggili teman-temannya untuk diajak bermain di bawah
pohon trembesi. Tak lama kemudian, anak-anak yang rajin itu datang. Mereka
membawa beraneka mainan ke bawah pohon trembesi yang teduh.
Baru beberapa saat
mereka bermain, mereka mendengar ada sekepal batu menghantam daun-daun trembesi
yang sangat rindang.
“Hai, siapa?” teriak
Anggun dan teman-temannya. Mereka
mencari siapa yang telah melemparkan batu ke pohon trembesi.
“Eh, ternyata kamu,
Fan!? Kenapa kau melempari pohon trembesi? Perlu kamu ketahui bahwa di lubang
pohon trembesi itu terdapat sarang lebah.” Anggun berkata kepada Fani yang
merunduk di balik semak-semak.
“Hahahahaha. Justru itu
yang kumau. Aku ingin merusak rumah lebah itu agar mereka pergi biar tidak
mengganggu kami lagi,” jawab Fani.
“Apa? Mengganggu? Saya
sejak dulu bermain di bawah pohon trembesi ini. Lebah-lebah itu tidak pernah
sekali pun mengganggu kami. Apalagi sampai menyengat kami,” bantah Anggun.
“Kawan-kawan, ke mari!”
Seru Fani.
Dari balik semak-semak
muncul Roni, Anton, dan Supri. Mereka menghampiri Fani dengan membawa ketepel
lengkap dengan pulurunya.
“Ayo, kita berondong
rumah lebah itu biar mereka tidak menyengat kita lagi,” perintah Fani.
“Jangan! Jangan kalian
rusak rumah lebah itu. Mereka tidak pernah mengganggu kalian. Lebah itu
memberikan manfaat kepada kita. Setiap hari mereka selalu mengeluarkan madu.
Madu dapat dijadikan obat bagi manusia agar tetap sehat.”
“Ah, aku tidak
menggubris omonganmu. Yang penting saat ini kami akan balas dendam kepada
lebah-lebah itu. Kami akan memusnahkan rumahnya agar lebah-lebah itu pergi dari
sini,” kata Fani dengan congkak.
“Jangan! Kami mohon
jangan kalian rusak rumah lebah itu!” rengek Anggun.
Fani dan teman-temannya
tak menghiraukan rengekan Anggun. Mereka bersikeras akan menghancurkan istana
lebah itu dengan ketepel yang telah mereka siapkan.
Fani, Anton, dan Supri merogoh
sakunya. Mereka mengambil peluru berupa butiran-butiran tanah yang sudah
mengeras. Fani sebagai anak yang keras kepala itu memberikan komando kepada
teman-temannya.
“Satu, dua, tiga!
Lepaskan pelurunya!” teriak Fani mengomando teman-temannya. Butiran-butiran
tanah itu meluncur kencang dari ketepel dan tepat mengenai sasaran. Rumah lebah
itu hancur berantakan. Rumah lebah bermadu itu tak berbentuk sehingga ratusan lebah itu kalang
kabut menyelamatkan diri.
“Hore…, hore…,
hore…!!!” Fani dan teman-temannya bergirang ria karena telah berhasil merusak
rumah lebah.
Baru beberapa saat
mereka meluapkan kegembiraannya karena telah berhasil merusak rumah lebah,
tiba-tiba ada ratusan lebah mendengung dari kejauhan. Gerombolan lebah itu
melesat cepat menyerang Fani dan kawan-kawannya. Mereka berusaha lari tunggang
langgang menyelamatkan diri.
Kecepatan lari mereka
masih kalah dengan gerakan lebah. Mereka tidak berdaya. Mereka disengat
lebah-lebah itu. Wajah, tubuh Fani dan kawan-kawan bentol-bentol bahkan ada
bagian tubuhnya yang bengkak. Mereka berteriak
meminta tolong kepada ayah Anggun.
“Tolong, Pak! Tolong…!”
terika mereka.
Ayah Anggun yang
mendengar teriakan mereka bergegas keluar rumah. Dia menolong mereka yang
mengerang-erang kesakitan akibat sengatan lebah.
“Kenap kalian?”
“Saya disengat lebah,
Pak,” jawab Fani.
“Pasti kalian telah
mengganggu mereka. Maka dari itu, jangan kalian ulangi lagi perilaku kalian.
Mereka juga makhluk Allah sama seperti kita. Lebah-lebah itu juga butuh rumah. Bahkan
mereka menghasilkan madu. Madunya bisa kita manfaatkan sebagai obat.”
Ayah Anggun mengambil
minyak tawon lalu dioleskan ke tubuh mereka yang bentol-bentol akibat sengatan
lebah.
“Terima kasih, Pak!
Kami minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kami pamit dulu!”
Fani dan kawan-kawan
meninggalkan tempat itu. Mereka pulang sambil memegangi kepala dan bagian
tubuhnya yang bentol-bentol.
Anggun dan
teman-temannya terdiam. Mereka hanya tersenyum geli melihat Fani dan
kawan-kawannya yang telah menerima ganjaran dari ulah yang mereka lakukan.
Anggun dan kawan-kawan akhirnya melanjutkan permainannya lagi. (*)