Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 06 Maret 2015

Rumah Lebah



Rumah Lebah
Karya Ahmad Zaini


Di belakang rumah Anggun terdapat pohon trembesi. Pohon berdaun teduh tersebut menjadi tempat persinggahan para binatang bersayap. Aneka burung, serangga, dan lebah sangat menyukai pohon itu sebagai tempat beristirahat baik siang maupun malam.
Pohon yang kayunya keras itu ujung batangnya berlubang. Bagian yang lubang tersebut dimanfaatkan lebah sebagai tempat tinggal. Setiap hari terdapat ratusan lebah bahu-membahu membangun rumah. Lebah-lebah itu merangkai beberapa unsur bahan menjadi istana yang megah sekali.
Ayah Anggun mengetahui jika lebah merupakan binatang penyengat yang sangat bermanfaat. Lebah-lebah itu akan menghasilkan madu. Madu bisa dijadikan sebagai obat berbagai macam penyakit dan juga bisa sebagai campuran jamu penambah stamina seseorang. Oleh karena itu, ayah Anggun membiarkan ratusan lebah itu mendiami pohon trembesinya.
Anggun datang dari sekolah. Gadis kecil berseragam putih merah itu menaruh sepeda lipatnya di teras rumahnya. Ia menghampiri ayahnya yang sedang bersantai di bawah pohon trembesi.
“Ayah, kapan kita panen madu lagi?” tanya Anggun kepada ayahnya.
“Sebentar lagi Anggun. Sabar dulu. Kalau sudah waktunya panen, kamu saya beritahu.”
“Terima kasih ayah. Yang penting waktu memanen jangan sampai bersamaan dengan waktu sekolah Anggun. Usahakan hari Minggu, Yah!”
“Baiklah. Besok kamu saya beri tugas untuk memeras madunya ke dalam timba. Ibumu bertugas menuangkan madu ke dalam botol kecil yang sudah saya siapkan di rumah.”
“Kemudian kita jual, Yah. Hasilnya kita gunakan untuk membeli buku dan sepatu baru.”
“Hmmmm…! Lantas bagaimana kalau ada orang sakit yang sangat membutuhkan madu tersebut sedangkan orangnya tidak memunyai uang. Apakah kita tetap menyuruhnya membeli?” kata ayah Anggun memancing putri kesayangannya itu.
“Kalau mereka tidak memunyai uang ya kita beri saja secara cuma-cuma.”
“Anak pintar. Sekarang silakan ganti seragam sekolahmu dulu. Setelah itu silakan makan kemudian bermain dengan Citra dan Sulastri  di sini,” perintah ayahnya.
Anggun bergegas masuk ke rumah. Dia mengganti baju seragamnya dengan baju bermainnya. Setelah makan, Anggun keluar rumah. Ia memanggili teman-temannya untuk diajak bermain di bawah pohon trembesi. Tak lama kemudian, anak-anak yang rajin itu datang. Mereka membawa beraneka mainan ke bawah pohon trembesi yang teduh.
Baru beberapa saat mereka bermain, mereka mendengar ada sekepal batu menghantam daun-daun trembesi yang sangat rindang.
“Hai, siapa?” teriak Anggun dan teman-temannya.  Mereka mencari siapa yang telah melemparkan batu ke pohon trembesi.
“Eh, ternyata kamu, Fan!? Kenapa kau melempari pohon trembesi? Perlu kamu ketahui bahwa di lubang pohon trembesi itu terdapat sarang lebah.” Anggun berkata kepada Fani yang merunduk di balik semak-semak.
“Hahahahaha. Justru itu yang kumau. Aku ingin merusak rumah lebah itu agar mereka pergi biar tidak mengganggu kami lagi,” jawab Fani.
“Apa? Mengganggu? Saya sejak dulu bermain di bawah pohon trembesi ini. Lebah-lebah itu tidak pernah sekali pun mengganggu kami. Apalagi sampai menyengat kami,” bantah Anggun.
“Kawan-kawan, ke mari!” Seru Fani.
Dari balik semak-semak muncul Roni, Anton, dan Supri. Mereka menghampiri Fani dengan membawa ketepel lengkap dengan pulurunya.
“Ayo, kita berondong rumah lebah itu biar mereka tidak menyengat kita lagi,” perintah Fani.
“Jangan! Jangan kalian rusak rumah lebah itu. Mereka tidak pernah mengganggu kalian. Lebah itu memberikan manfaat kepada kita. Setiap hari mereka selalu mengeluarkan madu. Madu dapat dijadikan obat bagi manusia agar tetap sehat.”
“Ah, aku tidak menggubris omonganmu. Yang penting saat ini kami akan balas dendam kepada lebah-lebah itu. Kami akan memusnahkan rumahnya agar lebah-lebah itu pergi dari sini,” kata Fani dengan congkak.
“Jangan! Kami mohon jangan kalian rusak rumah lebah itu!” rengek Anggun.
Fani dan teman-temannya tak menghiraukan rengekan Anggun. Mereka bersikeras akan menghancurkan istana lebah itu dengan ketepel yang telah mereka siapkan.
Fani, Anton, dan Supri merogoh sakunya. Mereka mengambil peluru berupa butiran-butiran tanah yang sudah mengeras. Fani sebagai anak yang keras kepala itu memberikan komando kepada teman-temannya.
“Satu, dua, tiga! Lepaskan pelurunya!” teriak Fani mengomando teman-temannya. Butiran-butiran tanah itu meluncur kencang dari ketepel dan tepat mengenai sasaran. Rumah lebah itu hancur berantakan. Rumah lebah bermadu itu tak  berbentuk sehingga ratusan lebah itu kalang kabut menyelamatkan diri.
“Hore…, hore…, hore…!!!” Fani dan teman-temannya bergirang ria karena telah berhasil merusak rumah lebah.
Baru beberapa saat mereka meluapkan kegembiraannya karena telah berhasil merusak rumah lebah, tiba-tiba ada ratusan lebah mendengung dari kejauhan. Gerombolan lebah itu melesat cepat menyerang Fani dan kawan-kawannya. Mereka berusaha lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Kecepatan lari mereka masih kalah dengan gerakan lebah. Mereka tidak berdaya. Mereka disengat lebah-lebah itu. Wajah, tubuh Fani dan kawan-kawan bentol-bentol bahkan ada bagian tubuhnya yang bengkak. Mereka berteriak  meminta tolong kepada ayah Anggun.
“Tolong, Pak! Tolong…!” terika mereka.
Ayah Anggun yang mendengar teriakan mereka bergegas keluar rumah. Dia menolong mereka yang mengerang-erang kesakitan akibat sengatan lebah.
“Kenap kalian?”
“Saya disengat lebah, Pak,” jawab Fani.
“Pasti kalian telah mengganggu mereka. Maka dari itu, jangan kalian ulangi lagi perilaku kalian. Mereka juga makhluk Allah sama seperti kita. Lebah-lebah itu juga butuh rumah. Bahkan mereka menghasilkan madu. Madunya bisa kita manfaatkan sebagai obat.”
Ayah Anggun mengambil minyak tawon lalu dioleskan ke tubuh mereka yang bentol-bentol akibat sengatan lebah.
“Terima kasih, Pak! Kami minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Kami pamit dulu!”
Fani dan kawan-kawan meninggalkan tempat itu. Mereka pulang sambil memegangi kepala dan bagian tubuhnya yang bentol-bentol.
Anggun dan teman-temannya terdiam. Mereka hanya tersenyum geli melihat Fani dan kawan-kawannya yang telah menerima ganjaran dari ulah yang mereka lakukan. Anggun dan kawan-kawan akhirnya melanjutkan permainannya lagi. (*)

Lelaki Penakluk Panggung



Lelaki Penakluk Panggung
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Gema membahana tetabuhan perkusi mengiringi sebuah pementasan. Berhiaskan kilatan lighting aneka warna menerangi pelataran panggung yang senyap. Lampu berangsur remang. Lama kelamaan gelap. Muka panggung kelam menyembunyikan cerita. Suara perkusi semakin mengabur. Suaranya  perlahan sepi. Sunyi sekali.
Dalam hitungan detik para penabuh menghentakkan kedua telapak tangannya lagi di gendang perkusi yang menanti. Suaranya mengundang hasrat penonton yang duduk berlarik-larik di depan panggung. Suara perkusi mulai mengantar lakon pementasan teater malam ini. Ya. Pementasan terakhir dari lelaki penakluk panggung yang tersohor di jagad teater.
“Samiun…! Samiun…!” suara di balik panggung memanggil tokoh Samiun.
Seruan suara di balik panggung tak henti-henti memanggili tokoh Samiun. Namun, Samiun tidak segera muncul. Mata para penonton mengintip tempat keluar para pemain. Akan tetapi, tatapan mereka hampa karena tokoh Samiun tidak kunjung muncul dari balik kain hitam yang dijadikan setting pada pertunjukan kali ini.
Penonton mulai gaduh. Suara demi suara para penonton yang memadati gedung pertunjukan menjejali ruang hingga telinga ini disesakkan suara-suara mereka. Para penonton gusar karena tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera muncul.
Para penonton berdebat hebat. Mereka memperdebatkan tokoh Samiun yang tak muncul-muncul. Ada yang mengatakan kejadian ini adalah bagian dari skenario pementasan malam ini. Ada juga penonton yang mengatakan ini bukan dari skenario. Ini adalah kecelakaan pementasan yang sering dialami para pekerja teater.
“Samiun…, di mana kau? Muncullah!” suara dibalik panggung itu berimprovisasi dengan menambah dialog yang tidak dituntut dalam naskah dengan tujuan agar tokoh Samiun segera muncul.
Ratusan penonton mengangkat wajahnya. Mereka berharap tokoh Samiun yang diperankan oleh akctor kawakan ini segera muncul di panggung. Mereka kecewa kesekian kalinya lantaran tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera menampakkan wujudnya.
Sang sutradara yang duduk di depan panggung juga heran. Dia tak menyangka jika alur cerita yang telah dia persiapkan menjadi kacau-balau seperti ini. Sang sutradara dengan cekatan mengambil sikap. Dia memunculkan tokoh-tokoh lain yang tidak direncanakan dalam pementasan ini. Ada lima tokoh yang memakai kostum lucu bermunculan ke atas penggung. Mereka berupaya meredam kegaduhan penonton yang tak sabar menunggu tokoh Samiun dengan pantomim. Mereka mengangkat kisah jenaka agar penonton tertawa.
Harapan sang sutradara sirna. Para penonton bergolak-golak. Mereka menyoraki lima tokoh pantomim di atas panggung. Mereka tidak mau niat mereka datang ke gedung pertunjukkan ini sia-sia. Mereka hanya ingin menyaksikan pementasan tokoh Samiun, bukan yang lain.
Gelombang suara penonton yang mayoritas adalah pekerja dan penggila teater ini seperti gelegar suara halilintar. Suara itu saling bersabung di ruang pertunjukan. Suara-suara itu saling bertabrakan hingga memercikkan bunga-bunga api di atas panggung.
Panggung yang semula diam perlahan bergerak. Panggung itu seakan bernyawa. Gerakan panggung itu semakin lama semakin keras. Panggung tersebut meronta bagai banteng yang tak rela punggungnya dinaiki para matador. Punggung panggung tersebut melonjak-lonjak. Panggung itu melempar kelima tokoh pantomim dari atas punggungnya. ke tengah-tengah penonton.
Sang sutradara panik. Ia mengalami kepanikan yang luar biasa. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan jiwanya untuk mencari jalan keluar dari kejadian di luar batas kewajaran ini.
“Sial, sial, sial…!” umpat sutradara.
Sang sutradara  berlari ke belakang panggung. Ia mencari lelaki pemeran tokoh Samiun. Setiap ia bertanya kepada orang yang dijumpai, tak satu pun dari mereka yang menjawab. Mereka diam. Mereka membisu. Ia bagai patung yang tak bisa memberikan manfaat kepada manusia.
Panggung pertunjukan meronta-ronta semakin liar. Semua properti yang telah disiapkan di atas panggung terlempar dan berserak memenuhi ruang. Bahkan ada yang menghantam para penonton hingga terluka.
Para penonton tidak mau kalah. Mereka tak ingin ditaklukkan benda mati yang kini bertenaga seperti banteng terluka. Para penonton berusaha mengerahkan segala kemampuannya untuk menaklukkan panggung. Akan tetapi, usaha mereka selalu gagal karena tak mampu menjinakkan panggung yang menggila.
“Awas…!!” teriak salah seorang penonton saat melihat sebuah properti meluncur hampir mengenai kepala sang sutradara.
Sang sutradara dan para penonton berlarian menjauh dari panggung. Lalu mereka berdiskusi tentang bagaimana cara menaklukkan panggung tersebut.
“Di mana lelaki pemeran tokoh Samiun? Dialah orang yang mungkin bisa menaklukkan panggung. Jiwanya telah menyatu dengan panggung. Ruhnya telah bersatu dengan panggung. Segera cari lelaki itu,” kata seorang penonton yang juga pengagum dari lelaki maestro teater di daerah ini.
Sang sutradara terpaku. Dia kagum pada usulan yang disampaikan oleh salah satu penonton. Sang sutradara menatap salah seorang penonton yang berlari sambil mengendap-endap di samping panggung. Salah seorang penonton itu bermaksud mencari lelaki pemeran tokoh Samiun.
“Kau lihat lelaki pemeran tokoh Samiun?” tanya orang tersebut kepada para kru teater yang masih ketakutan.
“Kami tidak tahu. Kami sejak tadi juga mencarinya.”
Orang itu kembali ke sutradara dan para penonton yang masih berkerumun di luar ruang pertunjukan. Ia mengabarkan kalau lelaki pemeran Samiun belum berhasil iatemukan.
Sang sutradara manggut-manggut. Ia salut pada usaha orang itu. Sang sutradara kemudian duduk bersandar pada dinding ruang pertunjukan. Dia ingin mencari cara bagaimana agar aktornya itu muncul lalu menaklukkan panggung yang mengamuk dan telah menelan banyak korban.
“Para penabuh, segera bunyikan gendang kalian!” perintah sang sutradara.
Para penabuh segera mengambili gendang yang masih berserak di pelataran. Mereka kemudian menata gendang lalu duduk seperti sebelum kejadian ini.
Suara gendang mengalun pelan. Tetabuhan berirama rancak itu menyenandungkan gending yang biasa digunakan untuk mengiringi lelaki pemeran Samiun. Mereka sangat paham pada gending yang disukai Samiun.
Baru beberapa saat gending itu mengalun, panggung kembali mengamuk. Namun, amukan panggung ini tidak memengaruhi para penabuh. Mereka tetap tenang merangkai gending. Mereka tak menghiraukan panggung yang mengancam keselamatanya.
“Samiun…! Samiun…!” Sang sutradara memanggil tokoh Samiun.
Tiba-tiba dari balik panggung yang berdiri tegak itu, muncullah lelaki pemeran Samiun sambil menari mengikuti iringan gendang para penabuh. Lelaki berperawakan kerempeng itu menggerakkan kedua tangannya dengan lemah gemulai. Dia menari sesuai hentakan gendang yang semakin lama semakin keras.
Lelaki itu menaiki panggung. Ia bermonolog tentang kegaduhan-kegaduhan di negeri ini. Ia menceritakan peristiwa-peristiwa ganjil yang membingungkan rakyat. Dalam monolognya ia juga mengajak agar kita tetap menjadi orang yang eling lan waspodo.
“Wong eling lan waspodo bakal bejo senahoso gak kaduman opo-opo,” katanya dalam monolog.
Lelaki itu berakting total. Aktingnya semakin menjadi-jadi. Dia telah menyatu dengan panggung dan ruang pertunjukan. Ia sangat mamahami dan menghayati peran yang ia bawakan. Ia mampu memeras air mata penonton dengan cerita sedih tentang negeri ini. Tentang negeri yang tak pernah surut air mata.
Baru setengah cerita yang dibawakan Samiun, panggung kini jinak. Panggung itu tenang tak beringas seperti sebelumnya. Panggung tersebut telah  menyatu dengan peran yang dibawakan lelaki itu. Seorang laki-laki yang telah menghambakan diri pada teater.
Cerita dalam skenario telah usai. Panggung terdiam. Panggung sunyi. Suara senyap. Demikian juga para penonton yang berada di tempat pertunjukan. Mereka terhipnotis oleh cerita Samiun. Mereka menangis, meratap, lalu merebah tak sadarkan diri. Panggung dan para penonton tak berdaya. Mereka hanyut dalam cerita lalu menyatu dengan jiwa lelaki yang mementaskan lakon terakhir kalinya ini. (*)

Wanar, 27 Januari 2015