Takut
Disuntik
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Siapa yang tidak mengenal gadis yang satu ini. Mulai dari
orang-orang di kampung, tempat kerja, dan tempat berorganisasinya, semua tidak
asing dengannya. Kata orang-orang, dia itu seperti selebritis. Dikenal oleh orang
dari berbagai kalangan
Dia gadis periang. Senyum dan tawanya mengembang setiap
pagi. Dia familier dengan siapa pun. Dalam bergaul, dia tidak pernah
membeda-bedakan jabatan, kedudukan sosial, dan lain sebangainya. Dia selalu
oke. Dia sosok yang bisa mencairkan suasana beku. Setegang-tegangnya persoalan,
apabila sosok yang satu ini datang, pasti semua akan mereda.
Gadis ini bernama Putri Amelia. Namun, orang-orang tidak
ada yang memanggil namanya secara sempurna. Nama indahnya itu terabaikan. Gadis
ini lebih dikenal dengan panggilan Mpok Uti. Dia berpostur tinggi dan semampai.
Tubuhnya langsing. Rambutnya tidak ada orang yang mengetahuinya karena selalu
berjilbab. Bibirnya tak pernah sepi dari gincu. Ia memakai kaca mata berlensa
tebal. Cara berjalannya lenggak-lenggok seperti seorang model di atas catwall.
Mpok Uti terkenal sebagai gadis periang. Sudah dipastikan semua orang yang
bersamanya, pasti bahagia. Pasti tertawa. Tidak ada yang bersedih. Apalagi
menangis.
Satu kekurangan Mpok Uti adalah takut disuntik. Semenjak
kecil dia tidak pernah berhubungan dengan alat medis. Apabila dia mengalami
gangguan kesehatan, orang tuanya selalu merawatnya dengan obat-obatan alami.
Ketika menderita sakit batuk, dia diberi perasan kencur. Saat badannya panas, dia
diberi bobok dari ramuan alami. Apabalia sakit perut, orang tuanya mencarikan
daun simbukan. Tanaman liar yang menjalar ini disabukkan oleh orang tuanya di perut. Sesaat kemudian
sakit perutnya mereda dan sembuh. Jadi, dia sangat asing dengan jarum suntik
dan obat-obatan medis lainnya.
”Besok jadwal kita divaksin,” kata kepala kantornya.
Sontak semua perhatian tertuju kepada Mpok Uti. Ada yang
melihat ke arah Mpok Uti sambil tertawa terbahak-bahak bernada mengejek. Ada
yang melihat ke arah gadis periang ini sampai melompat-lompat. Bahkan, ada ibu-ibu yang tertawa sampai dia terkencing-kencing. Ibu
itu beberapa kali ke kamar mandi. Mereka membayangkan sikap Mpok Uti ketika mengikuti
vaksinasi ini.
“Wih, bakal seru! Harus ada petugas khusus untuk memegang
tangan dan kaki Mpok Uti biar tidak meronta lalu kabur,” kata Farida, teman
karib Mpok Uti.
“Memangnya sapi qurban yang harus dipegangi ramai-ramai. Biasa
aja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan,” celetuk Mpok Uti menepis
keraguan orang-orang di sekelilingnya.
Banyak temannya yang menggoda Mpok Uti. Sebagian dari
mereka ada yang menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa disuntik itu rasanya
sakit sekali. Seperti ditusuk linggis. Rasa sakitnya tidak hilang sampai
berbulan-bulan. Ada juga yang menggoda bahwa jarum suntiknya besar sekali.
Seukuran jarum suntik sapi.
”Apakah tidak kurang besar? Bukankan jarum suntik itu
seukuran jarum jahit karung,” kata Mpok Uti membalas ledekan teman-temannya.
Mpok Uti menyikapi semua itu dengan santai. Dia tidak
pernah mengekspresikan rasa takut pada teman-temannya. Dia selalu happy, santai,
dan tetap memamerkan wajah cerianya.
***
Hari pelaksaan vaksinasi covid-19 telah tiba.
Kegiatan vaksisasi massal itu dilaksanakan di alun-alun kota, tepatnya di depan
pendopo kabupaten. Dua ribu vaksin disediakan oleh panitia. Berarti sebanyak
dua ribu warga yang akan divaksin pada hari itu. Termasuk Mpok Uti.
Sejak pagi, tanda-tanda grogi terlihat pada diri Mpok
Uti. Hal itu sangat terlihat jelas dari sorot mata dan kerut keningnya. Dia
kali ini tidak bisa menyembunyikan kegalauan. Meskipun bibirnya tertawa lebar, sorot
matanya mengisyaratkan ada ketakutan dalam jiwanya.
”Biasa saja, Mpok. Tidak perlu takut,” kata Farida.
”Siapa yang takut. Saya biasa-biasa saja,” sahut Mpok
Uti.
Mpok Uti berdiri dari tempat duduk di ruang kerjanya. Dia
mengomando teman-temannya. Gadis berpostur tinggi semampai ini mengajak
teman-temannya berangkat ke alun-alun kota. Teman-temannya menurut. Farida,
Naila, Tutik, Tatik, dan teman-teman lainnya berjalan mengiringi Mpok Uti.
Mereka seperti peserta karnaval agustusan.
Dua ratus meter mereka berjalan kaki ke tempat vaksinasi.
Dalam jarak dua puluh meter, suasana spontan berubah. Mpok Uti menghentikan
jalannya.
”Berhenti, gerak!” Mpok Uti memberi aba-aba dengan
spontan kepada anggotanya.
”Kenapa berhenti, Mpok?” tanya Tatik dari baris belakang.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mpok Uti akan berpindah
posisi ke belakang.
”Stop, Mpok! Tidak boleh pindah. Mpok tetap di depan,”
cegah Farida.
”Jangan begitu. Saya kecapekan karena sejak tadi memimpin
di depan. Gantian, dong!” dalih Mpok Uti.
”Capek atau takut?” goda yang lain.
Mpok Uti terdiam. Dia tidak bisa mencari alasan yang
lain. Dia hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyam-senyum saja.
”Maju, jalan!” suara Tatik dari belakang dengan
tiba-tiba.
Konvoi pejalan kaki yang dipimpin Mpok Uti bergerak. Mereka berjalan mendekati tempat pendaftaran
dengan posisi Mpok Uti tetap berada di depan. Kedua tangan Mpok Uti sibuk
menyeka keringat yang mulai bercucuran.
”Mpok, jangan takut,” celetuk Farida.
”Biasa aja kali,” sahut Mpok Uti untuk menutupi
rasa takut yang semakin menggelora.
Panitia vaksinasi massal memberi aba-aba. Peserta
diharapkan tetap menjaga jarak. Mpok Uti dapat giliran daftar hadir lebih dulu
daripada teman-temannya. Dia membubuhkan tanda tangan di kolom yang lurus
dengan namanya, Putri Amelia. Setelah itu, Mpok Uti mendapatkan nomor urut
antrean dan dipersilakan mencari tempat duduk yang aman.
Mata Mpok Uti jelalatan. Dia melihat ke sana
kemari seperti orang bingung. Rasa takut tiba-tiba muncul setelah dia mendengar
ada jerit kesakitan dari ruang vaksin.
”Tabahkan hatimu, Mpok!” goda Naila. Kali ini dia diam
saja. Mpok Uti tidak menyahut candaan Naila. Yang ada dalam hatinya adalah
bagaimana rasanya disuntik
”Putri Amelia,” panggil petugas.
Mpok Uti tidak bisa berdiri. Bokongnya seakan menyatu
dengan kursi. Butiran keringan sebesar bijing jagung keluar dari pori-pori
tubuhnya. Baju yang dikenakan basah kuyup.
Tanpa dikomanda, Farida, Tutik, Tatik, dan Naila berdiri
dari tempat duduknya. Dia mengangkat paksa tubuh Mpok Uti agar berjalan ke arah petugas.
”Tidak. Tidak mau. Saya tidak mau disuntik,” jerit Mpok
Uti hingga membuat orang-orang di sekelilingnya terperanjat kaget.
”Sepeti anak kecil. Hahaha!” ledek peserta yang lain.
Mpok Uti meronta. Dia ingin lepas dari dekapan
teman-teman karibnya. Karena yang memeganginya itu tangannya kuat-kuat dan
berotot, Mpok Uti tidak berdaya. Dia pasrah didudukkan temannya di depan meja
petusa screening. Mpok Uti ditanya riwayat penyakit.
”Saya tidak punya riwayat penyakit apa-apa. Hanya takut
disuntik,” jawabnya sambil berteriak. Teriakannya ini lagi-lagi mengundang
gelak tawa peserta lainnya.
”Sudah, Bu. Saya boleh pulang, ya?” tanya Mpok Uti.
”Tidak boleh, Mbak. Silakan masuk ke ruang vaksin dulu,”
perintah petugas itu.
”Tidak mau. Saya tidak mau disuntik,” rengeknya sambil
meronta-ronta.
Keempat pengawalnya langsung membawa Mpok Uti masuk ke
ruang vaksin. Di dalam ruang tersebut sudah ditunggu para petugas yang
berpakaian serba putih. Mpok Uti meronta semakin keras saat melihat petugas
tersebut memegang jarum suntik.
”Tidak! Tidak! Saya tidak mau disuntik,” teriaknya.
”Tenang, Mpok! Jangan takut! Tidak sakit, kok.
Lebih sakit digigit semut,” bujuk Farida.
”Ah, masak?” sahutnya dengan candaan.
Keempat temannya menyingsingkan lengan bahu Mpok Uti.
Petugas memoncongkan jarum suntik ke arah lengan gadis periang yang kini
dilanda ketakutan.
”Tidak mau. Tidak mau,” katanya berulang-ulang.
Petugas tidak memedulikan teriakan Mpok Uti. Jarum suntik
vaksin tetap ditusukkan ke lengan wanita yang tidak bisa meronta ini.
”Sudah, Mbak!” kata petugas.
”Apa? Sudah? Kok, tidak terasa? Lagi, dong!”
guraunya.
”Kamu ini. Sudah diberi tahu tidak sakit, tidak percaya.
Itu lihat, semua orang memperhatikanmu,” gerutu Naila.
Mpok Uti membalas pandangan orang-orang yang ada di
lokasi dengan lambaian tangan dan senyuman. Dia bilang suntikan vaksin
tidak sakit. Tidak terasa sama sekali.
”Apalagi petugasnya tadi masih muda dan ganteng,”
sambungnya.
Sontak seluruh peserta vaksin tertawa. Mereka heran
melihat sikap Mpok Uti yang sejak awal sampai selesai vaksin kekanak-kanakan.
Mereka tidak habis pikir ada gadis yang tampangnya pantas sebagai pramugari,
akan tetapi takut disuntik.
Mpok Uti sudah selesai divaksin. Dia diantar
teman-temannya ke pojok alun-alun untuk menikmati soto yang disediakan oleh
panitia terlebih dahulu. Keempat teman Mpok Uti kembali ke tempat semula untuk
mendapatkan giliran menerima suntikan vaksin antivirus korona. (*)
Wanar, Juni 2021
Ahmad Zaini guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa karya sastranya pernah dimuat di berbagai
media cetak dan online. Dia telah menerbitkan beberapa buku kumpulan
cerpen dan puisi. Buku terbarunya berupa kumpulan puisi berjudul Hanya Waktu
Jelang Kematian.