Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 23 Juni 2021

Takut Disuntik, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 20 Juni 2021

 



Takut Disuntik

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Siapa yang tidak mengenal gadis yang satu ini. Mulai dari orang-orang di kampung, tempat kerja, dan tempat berorganisasinya, semua tidak asing dengannya. Kata orang-orang, dia itu seperti selebritis. Dikenal oleh orang dari berbagai kalangan

Dia gadis periang. Senyum dan tawanya mengembang setiap pagi. Dia familier dengan siapa pun. Dalam bergaul, dia tidak pernah membeda-bedakan jabatan, kedudukan sosial, dan lain sebangainya. Dia selalu oke. Dia sosok yang bisa mencairkan suasana beku. Setegang-tegangnya persoalan, apabila sosok yang satu ini datang, pasti semua akan mereda.

Gadis ini bernama Putri Amelia. Namun, orang-orang tidak ada yang memanggil namanya secara sempurna. Nama indahnya itu terabaikan. Gadis ini lebih dikenal dengan panggilan Mpok Uti. Dia berpostur tinggi dan semampai. Tubuhnya langsing. Rambutnya tidak ada orang yang mengetahuinya karena selalu berjilbab. Bibirnya tak pernah sepi dari gincu. Ia memakai kaca mata berlensa tebal. Cara berjalannya lenggak-lenggok seperti seorang model di atas catwall. Mpok Uti terkenal sebagai gadis periang. Sudah dipastikan semua orang yang bersamanya, pasti bahagia. Pasti tertawa. Tidak ada yang bersedih. Apalagi menangis.

Satu kekurangan Mpok Uti adalah takut disuntik. Semenjak kecil dia tidak pernah berhubungan dengan alat medis. Apabila dia mengalami gangguan kesehatan, orang tuanya selalu merawatnya dengan obat-obatan alami. Ketika menderita sakit batuk, dia diberi perasan kencur. Saat badannya panas, dia diberi bobok dari ramuan alami. Apabalia sakit perut, orang tuanya mencarikan daun simbukan. Tanaman liar yang menjalar ini disabukkan  oleh orang tuanya di perut. Sesaat kemudian sakit perutnya mereda dan sembuh. Jadi, dia sangat asing dengan jarum suntik dan obat-obatan medis lainnya.

”Besok jadwal kita divaksin,” kata kepala kantornya.

Sontak semua perhatian tertuju kepada Mpok Uti. Ada yang melihat ke arah Mpok Uti sambil tertawa terbahak-bahak bernada mengejek. Ada yang melihat ke arah gadis periang ini sampai melompat-lompat. Bahkan, ada ibu-ibu yang tertawa sampai dia terkencing-kencing. Ibu itu beberapa kali ke kamar mandi. Mereka membayangkan sikap Mpok Uti ketika mengikuti vaksinasi ini.

Wih, bakal seru! Harus ada petugas khusus untuk memegang tangan dan kaki Mpok Uti biar tidak meronta lalu kabur,” kata Farida, teman karib Mpok Uti.

“Memangnya sapi qurban yang harus dipegangi ramai-ramai. Biasa aja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan,” celetuk Mpok Uti menepis keraguan orang-orang di sekelilingnya.

Banyak temannya yang menggoda Mpok Uti. Sebagian dari mereka ada yang menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa disuntik itu rasanya sakit sekali. Seperti ditusuk linggis. Rasa sakitnya tidak hilang sampai berbulan-bulan. Ada juga yang menggoda bahwa jarum suntiknya besar sekali. Seukuran jarum suntik sapi.

”Apakah tidak kurang besar? Bukankan jarum suntik itu seukuran jarum jahit karung,” kata Mpok Uti membalas ledekan teman-temannya.

Mpok Uti menyikapi semua itu dengan santai. Dia tidak pernah mengekspresikan rasa takut pada teman-temannya. Dia selalu happy, santai, dan tetap memamerkan wajah cerianya.

***

Hari pelaksaan vaksinasi covid-19 telah tiba. Kegiatan vaksisasi massal itu dilaksanakan di alun-alun kota, tepatnya di depan pendopo kabupaten. Dua ribu vaksin disediakan oleh panitia. Berarti sebanyak dua ribu warga yang akan divaksin pada hari itu. Termasuk Mpok Uti.

Sejak pagi, tanda-tanda grogi terlihat pada diri Mpok Uti. Hal itu sangat terlihat jelas dari sorot mata dan kerut keningnya. Dia kali ini tidak bisa menyembunyikan kegalauan. Meskipun bibirnya tertawa lebar, sorot matanya mengisyaratkan ada ketakutan dalam jiwanya.

”Biasa saja, Mpok. Tidak perlu takut,” kata Farida.

”Siapa yang takut. Saya biasa-biasa saja,” sahut Mpok Uti.

Mpok Uti berdiri dari tempat duduk di ruang kerjanya. Dia mengomando teman-temannya. Gadis berpostur tinggi semampai ini mengajak teman-temannya berangkat ke alun-alun kota. Teman-temannya menurut. Farida, Naila, Tutik, Tatik, dan teman-teman lainnya berjalan mengiringi Mpok Uti. Mereka seperti peserta karnaval agustusan.

Dua ratus meter mereka berjalan kaki ke tempat vaksinasi. Dalam jarak dua puluh meter, suasana spontan berubah. Mpok Uti menghentikan jalannya.

”Berhenti, gerak!” Mpok Uti memberi aba-aba dengan spontan kepada anggotanya.

”Kenapa berhenti, Mpok?” tanya Tatik dari baris belakang.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mpok Uti akan berpindah posisi ke belakang.

”Stop, Mpok! Tidak boleh pindah. Mpok tetap di depan,” cegah Farida.

”Jangan begitu. Saya kecapekan karena sejak tadi memimpin di depan. Gantian, dong!” dalih Mpok Uti.

”Capek atau takut?” goda yang lain.

Mpok Uti terdiam. Dia tidak bisa mencari alasan yang lain. Dia hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyam-senyum saja.

”Maju, jalan!” suara Tatik dari belakang dengan tiba-tiba.

Konvoi pejalan kaki yang dipimpin Mpok Uti bergerak.  Mereka berjalan mendekati tempat pendaftaran dengan posisi Mpok Uti tetap berada di depan. Kedua tangan Mpok Uti sibuk menyeka keringat yang mulai bercucuran.

”Mpok, jangan takut,” celetuk Farida.

”Biasa aja kali,” sahut Mpok Uti untuk menutupi rasa takut yang semakin menggelora.

Panitia vaksinasi massal memberi aba-aba. Peserta diharapkan tetap menjaga jarak. Mpok Uti dapat giliran daftar hadir lebih dulu daripada teman-temannya. Dia membubuhkan tanda tangan di kolom yang lurus dengan namanya, Putri Amelia. Setelah itu, Mpok Uti mendapatkan nomor urut antrean dan dipersilakan mencari tempat duduk yang aman.

Mata Mpok Uti jelalatan. Dia melihat ke sana kemari seperti orang bingung. Rasa takut tiba-tiba muncul setelah dia mendengar ada jerit kesakitan dari ruang vaksin.

”Tabahkan hatimu, Mpok!” goda Naila. Kali ini dia diam saja. Mpok Uti tidak menyahut candaan Naila. Yang ada dalam hatinya adalah bagaimana rasanya disuntik

”Putri Amelia,” panggil petugas.

Mpok Uti tidak bisa berdiri. Bokongnya seakan menyatu dengan kursi. Butiran keringan sebesar bijing jagung keluar dari pori-pori tubuhnya. Baju yang dikenakan basah kuyup.

Tanpa dikomanda, Farida, Tutik, Tatik, dan Naila berdiri dari tempat duduknya. Dia mengangkat paksa tubuh  Mpok Uti agar berjalan ke arah petugas.

”Tidak. Tidak mau. Saya tidak mau disuntik,” jerit Mpok Uti hingga membuat orang-orang di sekelilingnya terperanjat kaget.

”Sepeti anak kecil. Hahaha!” ledek peserta yang lain.

Mpok Uti meronta. Dia ingin lepas dari dekapan teman-teman karibnya. Karena yang memeganginya itu tangannya kuat-kuat dan berotot, Mpok Uti tidak berdaya. Dia pasrah didudukkan temannya di depan meja petusa screening. Mpok Uti ditanya riwayat penyakit.

”Saya tidak punya riwayat penyakit apa-apa. Hanya takut disuntik,” jawabnya sambil berteriak. Teriakannya ini lagi-lagi mengundang gelak tawa peserta lainnya.

”Sudah, Bu. Saya boleh pulang, ya?” tanya Mpok Uti.

”Tidak boleh, Mbak. Silakan masuk ke ruang vaksin dulu,” perintah petugas itu.

”Tidak mau. Saya tidak mau disuntik,” rengeknya sambil meronta-ronta.

Keempat pengawalnya langsung membawa Mpok Uti masuk ke ruang vaksin. Di dalam ruang tersebut sudah ditunggu para petugas yang berpakaian serba putih. Mpok Uti meronta semakin keras saat melihat petugas tersebut memegang jarum suntik.

”Tidak! Tidak! Saya tidak mau disuntik,” teriaknya.

”Tenang, Mpok! Jangan takut! Tidak sakit, kok. Lebih sakit digigit semut,” bujuk Farida.

Ah, masak?” sahutnya dengan candaan.

Keempat temannya menyingsingkan lengan bahu Mpok Uti. Petugas memoncongkan jarum suntik ke arah lengan gadis periang yang kini dilanda ketakutan.

”Tidak mau. Tidak mau,” katanya berulang-ulang.

Petugas tidak memedulikan teriakan Mpok Uti. Jarum suntik vaksin tetap ditusukkan ke lengan wanita yang tidak bisa meronta ini.

”Sudah, Mbak!” kata petugas.

”Apa? Sudah? Kok, tidak terasa? Lagi, dong!” guraunya.

”Kamu ini. Sudah diberi tahu tidak sakit, tidak percaya. Itu lihat, semua orang memperhatikanmu,” gerutu Naila.

Mpok Uti membalas pandangan orang-orang yang ada di lokasi dengan lambaian tangan dan senyuman. Dia bilang suntikan vaksin tidak sakit. Tidak terasa sama sekali.

”Apalagi petugasnya tadi masih muda dan ganteng,” sambungnya.

Sontak seluruh peserta vaksin tertawa. Mereka heran melihat sikap Mpok Uti yang sejak awal sampai selesai vaksin kekanak-kanakan. Mereka tidak habis pikir ada gadis yang tampangnya pantas sebagai pramugari, akan tetapi takut disuntik.

Mpok Uti sudah selesai divaksin. Dia diantar teman-temannya ke pojok alun-alun untuk menikmati soto yang disediakan oleh panitia terlebih dahulu. Keempat teman Mpok Uti kembali ke tempat semula untuk mendapatkan giliran menerima suntikan vaksin antivirus korona. (*)

Wanar, Juni 2021

Ahmad Zaini guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa karya sastranya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia telah menerbitkan beberapa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku terbarunya berupa kumpulan puisi berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 11 Juni 2021

Puisi-puisiku di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 30 Mei 2021


 


Puisi-Puisi karya Ahmad Zaini

 

 

Kehilangan Jiwa

 

Tuhan,

 jiwaku hilang tanpa nama-Mu 

melayang tanpa arah

mudah terhempas angin

remuk hidupku terdampar

di hampar alam luas

 

Tuhan,

ingin aku menyematkan nama dan dzat-Mu

dalam jiwa

namun, keras hatiku menyulitkan nama dan dzat-Mu

melekat dalam jiwaku

noda dosa memisah jiwaku  dengan kemahasucian-Mu

 

Tuhan, aku hidup terpuruk

dari kesejatian hidup

aku ingin seperti dulu

 

Wanar, Mei 2021

 

Bulan Tak Sempurna

 

Bulan tak sempurna

menggantung di langit malam

terluka tanpa sinar

lenyap diterkam  alam

 

gelap tanpa penunjuk

tersesat dalam pekat

 

buta mata tak melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya

tuli telinga tak mendengar seruan suci-Nya

bulan tak sempurna  tanda kebesaran-Nya

kembalilah kepada-Nya

 

Wanar, Mei 2021

 

Lupa Bersyukur

 

anugerah atau ujian Tuhan

saat kemudahan hidup mendekat kita

 

anugerah, iya

ujian, iya

 

anugerah jika bersyukur

ujian jika berkufur

mepalateka karena takabbur

lupa bersyukur

 

Wanar, Mei 2021

 

Melukis Pagi

 

pagi membuka lembaran hidup

lukislah kenang

yang dapat tmengenangmu kelak di akhirat

 

jangan lupa  gerakkan tangan

dengan niat dan hati ikhlas

 

Wanar, Mei 2021 

 

Bertafakkur

 

Lirih aku menyapa dalam bening embun

kudekap engkau dalam senyum

lepas merayu di terang cahayamu

merangkai serpihan kerikil di latar waktu

 

desah tertahan

ketika panas menyengat

berteduh pada perdu

duduk bertafakkur pada keinginan semu

 

Wanar, Agustus 2020