Rumah Joglo Sadewa
Cerpen karya Ahmad Zaini
Bangunan rumah joglo milik peninggalan orang tua Sadewa sepi. Dinding di
setiap sisi tampak kusam. Lantai berbahan papan kayu jati berdebu. Terlihat di
beberapa bagian lantai juga terdapat kotoran ayam. Di bagian genting, beberapa
lembar daun mahoni menutupinya. Tidak ada orang yang menyapu untuk membersihkan
kotoran atau sampah di bangunan ini.
Sadewa sebagai generasi terakhir keluarga ini tidak bisa berbuat banyak.
Dia tidak mampu lagi mengelola rumah
joglo peninggalan orang tuanya seperti dahulu. Sadewa merasa bersalah dan
berdosa pada orang tuanya karena tidak mampu meneruskan fungsi rumah joglo
seperti yang diamanatkan orang tuanya waktu itu.
Sebelum orang tua Sadewa meninggal dunia, dia berwasiat kepadanya. Rumah
joglo yang besar dan megah ini agar dimanfaatkan sebagai tempat belajar warga.
Kala itu tingkat pengetahuan warga di kampung yang jauh dari keramaian ini
memang memprihatinkan. Mereka tidak ada yang sekolah atau kuliah, kecuali
Sadewa. Mereka menjadi masyarakat tertinggal dan terbelakang. Mereka kalah jauh
apabila dibandingkan warga kampung lain yang dekat dengan perkotaan. Kondisi
warga yang seperti itulah membuat orang tua Sadewa hendak mewakafkan rumah
joglonya sebagai tempat belajar warga kampung.
Sebagai anak tunggal, Sadewa berkewajiban menjalankan amanat kedua orang
tuanya yang telah tiada. Dengan berbekal ilmu yang didapat saat belajar di
perguruan tinggi, dia ingin menjadikan rumah joglo tersebut sebagai pusat belajar
di kampungnya. Sadewa sempat kebingungan mengelola rumah joglo sebagai tempat belajar.
Dia belum mempunyai teman berdiskusi dan mengabdikan diri sebagai guru. Dia
hanya berdua bersama istrinya yang kebetulan juga sealmamater saat kuliah.
Sadewa mengajak istri mengelola rumah joglo. Istri Sadewa bersedia. Tiap
hari mereka berdua membenahi dan memperbaiki rumah joglo agar layak digunakan
sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman. Sadewa sadar diri bahwa mengelola
rumah joglo menjadi tempat belajar tidak bisa dijalankan hanya bersama istrinya.
Dia berencana merekrut beberapa orang
terpelajar dari kampung lain untuk diajak membantu mengelola dan mengajar di
rumah joglo. Dia menghubungi beberapa teman kuliahnya yang sudah menjadi guru
di tempat lain. Teman-teman Sadewa bersedia membantunya.
Sarana dan prasarana telah memadai. Beberapa syarat administrasi juga
terpenuhi. Rumah joglo peninggalan orang tua Sadewa telah diresmikan oleh
pejabat berwenang menjadi lembaga belajar. Lembaga ini diberi nama Birrul
Walidain yang berarti berbakti kepada kedua orang tua.
Semula lembaga ini menerima murid dari berbagai umur. Mulai tingkat
anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Mereka ditampung semua di lembaga ini.
Mereka belajar dalam satu ruang dengan sangat antusias. Mereka diajari oleh
guru dengan materi dari dasar atau nol. Mereka diperkenalkan huruf dan angka
sebagai bekal belajar membaca dan berhitung.
Seiring perjalanan waktu, lembaga belajar Birrul Walidain yang dikelola
Sadewa dan istri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kini murid-muridnya banyak
sekali. Para orang tua dari kampung ini juga sudah menyadari pentingnya belajar
buat anak-anaknya. Para orang tua tidak ingin nasib anaknya seperti yang mereka
rasakan sekarang. Para orang tua bercita-cita masa depan anaknya lebih cerah daripada
dirinya dan menjadi orang-orang terpelajar. Mereka ngin anak-anaknya hidup bahagia
dan sejahtera.
Sadewa sekarang tidak sendirian. Dia didukung warga sekampung untuk
memajukan lembaga. Sumbangan dana pun mengalir dari warga. Terutama dari
orang-orang yang mampu secara ekonomi. Semua kebutuhan lembaga terpenuhi.
Sadewa yang dibantu istri dan teman-temannya mulai berani membuat program
unggulan. Program yang tidak dimiliki oleh lembaga belajar di kampung lain. Hal
ini dilakukan Sadewa agar semakin banyak peminat dari luar kampung untuk
menimba ilmu di sini.
Lembaga belajar yang dipimpin Sadewa berkembang sangat pesat. Saat ini
muridnya bukan hanya dari dalam kampung sendiri, melainkan juga dari luar
kampung. Prestasi demi prestasi berhasil ditorehkan oleh para murid. Birrul Walidain menjadi lembaga belajar
ternama dan dikenal oleh masyarakat luas sebagai gudang murid berprestasi. Kini
lembaga belajar Sadewa berada di puncang kejayaannya.
***
Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin menerpa. Lembaga belajar
Birrul Walidain mulai diterpa isu miring. Banyak pihak yang mulai mengusik
keberadaan lembaga ini. Termasuk di antaranya adalah dari pihak wali murid
sendiri.
“Bapak-bapak jangan mudah percaya pada informasi yang tidak jelas. Harus
berhati-hati,” kata Sadewa saat menemui para perwakilan wali murid yang
dikomandani oleh Gunadi di rumahnya.
”Kurang jelas apanya? Informasi ini berasal dari sumber yang terpercaya.
Dia orang penting di daerah ini,” sahut Gunadi.
”Apa yang disampaikan?” kejar Sadewa.
”Lembaga ini telah disumbang oleh para donatur. Semua anggaran kebutuhan
dicukupi oleh donatur tersebut. Kenapa para warga terutama wali murid masih
dimintai sumbangan?” tambah Gunadi dengan nada berapi-api.
”Betul sekali. Ada donatur atau sumbangan dari teman-teman dan alumni yang
sukses. Mereka setiap bulan mengirim dana untuk menggaji para guru di sini.
Jadi, donatur tersebut hanya digunakan untuk bisyaroh atau gaji guru
yang jumlahnya lima belas orang.
”Kenapa masih meminta sumbangan wali murid? Untuk memperkaya diri, ya?”
”Astaghfirullahal adzim! Saya tidak seperti yang Pak Gunadi sangkakan.
Saya bisa makan dan minum itu dari hasil ladang peninggalan orang tua yang sementara
ini digarap warga. Sepeser pun saya tidak pernah makan dari donatur dan uang
sumbangan wali murid,” kata Sadewa menjelaskan Gunadi dan komplotannya.
”Saya dan teman-teman tetap tidak percaya. Yang penting mulai bulan depan,
para murid dibebaskan dari uang sumbangan,” bantah Gunadi.
”Sumbangan wali murid sangat dibutuhkan. Sumbangan tersebut untuk kebutuhan
murid. Mereka sering mengikuti beberapa kegiatan dan perlombaan di berbagai
tingkatan. Sumbangan wali murid setiap bulan tersebut kami gunakan untuk itu,” tambah
istri Sadewa.
”Tetap tidak percaya. Dana dari donatur sudah bisa untuk mencukupi semua.
Jadi, mulai bulan depan, bebaskan kami dari uang sumbangan itu. Titik, ”
pungkas Gunadi sambil berdiri kemudian mengajak teman-temannya meninggalkan
rumah Sadewa.
Sadewa dan istri hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka heran pada sikap
Gunadi, anak dari Pak Salam yang dulu turut membesarkan lembaga ini.
Gunadi dan teman-teman mulai beraksi. Mereka menghasut para wali murid
lainnya. Mereka berbagi tugas sesuai
wilayah. Mereka menyebar informasi yang dibuat-buat sendiri untuk disampaikan
ke para wali murid lembaga tersebut di wilayah masing-masing. Mereka
menyampaikan bahwa mulai bulan depan, anak-anak mereka digratiskan semua.
Informasi ini disambut gegap gempita oleh para wali murid. Mereka sangat senang
karena tidak dibebani sumbangan yang setiap bulan dibayarkan ke lembaga Pak
Sadewa.
Para pengelola lembaga belajar ini kebingungan. Mereka tidak menerima
sumbangan dari wali murid. Sadewa dan istri sebagai pemimpin lembaga memanggili
para bendahara, guru, dan penanggung jawab kegiatan. Mereka diajak membahas
keberlangsungan kegiatan di lembaga ini.
”Pak Sukri, apakah dalam bulan ini dan beberapa bulan ke depan masih ada
kegiatan keluar yang diikuti oleh murid?” tanya Sadewa.
”Banyak, Bapak. Kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan anggaran besar.”
jawab Sukri.
”Apakah masih ada anggaran untuk keperluan kegiatan tersebut?” tanya Sadewa
kepada bendahara.
”Anggaran tinggal cukup untuk menggaji para guru,” jawab si bendahara
dengan singkat.
”Karena anggaran tidak mencukupi, saya mohon agar kegiatan-kegiatan murid tersebut
dibatalkan,” tegas Sadewa.
”Baik, Bapak,” sanggup Sukri dengan nada pasrah.
Penyaluran minat dan bakat murid tersendat. Potensi yang mereka miliki
terkesan sia-sia lantaran pendanaan disumbat Gunadi dan kawan-kawannya.
Beberapa kegiatan yang semestinya sebagai ajang prestasi dan tropi kejuaraan
tidak bisa diikuti oleh murid. Para murid hanya mendapat pelayanan minimal
berupa kegiatan belajar-mengajar di internal lembaga tanpa pernah mengikuti
kegiatan perlombaan di luar.
Lembaga belajar Birrul Walidain yang dikelola Sadewa lambat laun meredup. Para
murid tidak pernah mengikuti kegiatan dan lomba lantaran tidak ada dana.
Akhirnya, lembaga ini benar-benar minim prestasi. Nama besar lembaga belajar Birrul
Walidain dan muridnya tidak pernah menggema lagi saat pengumuman pemenang dalam
setiap kejuaraan. Ucapan selamat atas prestasi lembaga juga sepi.
Kebesaran nama lembaga yang dipimpin
Sadewa lenyap seperti ditelan bumi.
Para guru mulai terusik. Mereka sering menjadi sasaran ketidakpuasan
pemimpinnya. Sadewa mencurigai guru tidak serius membimbing murid. Guru pun
mulai berani mencurigai Sadewa. Mereka menuduhnya sebagai pihak yang menghabiskan
keuangan lembaga untuk kepentingan pribadi sehingga jatah dana untuk kegiatan
murid habis. Saling curiga antarpemimpin, guru, wali murid, dan murid menjadi
sumber penyakit atas keterpurukan belajar di lembaga ini.
Satu persatu guru pamit karena merasa tidak cocok lagi dengan kepemimpinan di
lembaga ini. Para wali murid juga demikian. Mereka mencabut kepesertaan anaknya
sebagai murid karena tidak ada prestasi
lagi. Yang lebih parah lagi ketika lembaga belajar Sadewa dinyatakan pailit
sehingga izin operasional dicabut oleh yang berwenang. Akhirnya, rumah joglo
dan bangunan megah lainnya yang pernah di puncak kejayaan sekarang kembali
menjadi bangunan yang kusam dan sepi.
Sadewa dan istri tetap memilih untuk bertahan tinggal di area rumah joglo.
Mereka kembali beraktivitas di ladang peninggalan orang tuanya. Mereka menanam
palawija sebagai ikhiyar penyambung hidup. Mereka sesekali beristirahat di
rumah joglo. Terkadang Sadewa dan istri ditemani para warga yang pulang dari
ladang. Mereka berteduh di rumah joglo untuk sekadar melepas lelah sembari
menikmati hembusan angin siang. Riuh rendah tawa mereka diselingi memori
kejayaan lembaga Sadewa yang kini tinggal cerita. (*)
Lamongan, 2 Oktober 2024
Ahmad Zaini merupakan guru dan sastrawan yang tinggal di
Wanar, Pucuk, Lamongan.