Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 22 Februari 2024

Negeriku dalam Cerita, Jawa Pos Grup Radar Bojonegoro, 28 Januari 2024

 


Negeriku dalam Cerita

Karya Ahmad Zaini

 

Betapa anggun negeriku. Anugerah Tuhan tak terdustakan. Gunung-gunung duduk damai. Angin bertiup landai. Ombak bergulung di samudera luas. Langit biru membahana. Tanaman tumbuh subur dan rakyat sejahtera. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Begitu Tuhan menyindir penghuni negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Memang begitu adanya negeriku. Keelokan dan kesuburan mengundang penasaran negara-negara lain merebutnya. Cerita kakekku bangsa-bangsa Eropa dan Asia waktu itu sangat berambisi menguasai negeriku. Beberapa negara mengirimkan bala tentaranya untuk merebut dan menguasai negeri ini. Namun, penduduk pribumi kala itu tidak tinggal diam. Para leluhur berjuang mati-matian dalam mempertahankan negeri. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata. Mereka merelakan jiwa, raga, dan harta demi menjaga kedaulatan negeri.

Seorang teman dari Tunisia datang ke rumah. Namanya Ibrahim. Dia teman kuliahku di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Dulu dia berbadan tegap. Berwajah tampan dengan cambang yang berwibawa. Saat tersenyum, gigi-gignya putih berjajar rapi laksana biji mentimun. Aku sempat hampir tak bisa mengenalinya karena penampilannya sangat berbeda. Badannya kurus. Wajah agak kusam. Cambang dibiarkan memanjang dengan jenggot yang menjuntai hampir menyentuh dada. Penampilan Ibrahim kini berubah 180 derajat. Sepereti kurang terawat. Mungkin karena perang saudara beberapa bulan lalu yang telah menyebabkan dia menjadi begini.

“Rafi, izinkan aku tinggal di sini satu bulan. Aku ingin hidup damai dengan menetap di negerimu. Aku ingin mencari pekerjaan tetap, membangun rumah, lalu menetap di sini. Aku kagum dengan ceritamu semasa kita bersama-sama di Al Azhar,” kata Ibrahim menyampaikan maksud kedatangannya kepadaku.

“Silakan, Kawan! Aku tidak keberatan jika kamu mau tinggal sementara di rumahku. Namun, aku tidak menjamin apabila semua keinginanmu tercapai di negeriku ini,” aku meninmpalinya.

“Bukankah negerimu ini kaya raya. Negeri subur dengan sumber daya alam melimpah?” sambung Ibrahim.

“Betul sekali. Negeriku memang kaya sumber daya alam. Negeriku memang subur. Namun, peluang untuk bisa hidup bahagia sebagaimana keinginanmu, aku belum bisa menjamin,” jelasku.

“Aku yakin bisa. Aku akan kerja keras. Kerja apa saja yang terpenting halal,” kata Ibrahim dengan penuh keyakinan.

Aku salut dengan kegigihan Ibrahim. Tapi, aku tidak membiarkan dirinya asal kerja karena Ibrahim ini sosok yang pandai dan terampil. Aku akan mencoba menawarinya untuk bersama-sama membantuku dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang kukelola.

Sore hari aku mengajaknya melihat-lihat kondisi lembaga pendidikan yang kukelola. Sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh keluarga besarku. Ketika ayah masih hidup, lembaga ini berkembang pesat. Tidak membutuhkan waktu lama, ayah bisa mengubah bangunan dan sistem pendidikan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Setelah ayahku meninggal karena badai Covid-19 menyerang negeri, tongkat estafet kepemimpinan lembaga diserahkan kepadaku.

“Luar biasa. Bangunan sederhana, namun  menyenangkan. Pasti muridnya banyak dan  belajar dengan nyaman di sini,” takjub Ibrahim.

Aku mengangguk pelan. Mungkin karena kondisi lembaga pendidikan saat ini tidak seluruhnya sesuai dengan ucapan Ibrahim. Makanya aku ragu untuk mengiyakan kata-kata Ibrahim. Kondisi sekarang jauh menurun dibanding saat ayah masih hidup. Orang-orang mengibaratkan lembaga pendidikanku ini kehilangan obor.

“Aku minta agar kamu bersedia membantu untuk membangkitkan dan mengembangkan lembaga ini,” pintaku padanya. Ibrahim diam. Dia tidak segera memastikan jawaban.

Aku memakluminya. Aku memberikan kesempatan pada Ibrahim untuk berpikir. Daripada aku memaksanya harus menjawab seketika lalu di kemudian hari dia berubah pikiran. Aku sendiri yang kerepotan.

“Jangan dibuat serius. Ini hanyalah tawaran saja,” kataku mencairkan suasana.

Urat-urat di wajah Ibrahim lentur kembali. Dia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia punya keyakinan bahwa aku bisa membangkitkan dan mengambangkan lembaga pendidikan ini seperti waktu dulu. Aku membalasnya dengan anggukan. Aku berharap isyarat dari Ibrahim merupakan doa buatku.

Suatu malam, Ibrahim mengajakku keluar rumah sekadar mencari camilan. Sebagai tuan rumah, aku harus melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Bukankah menghormati tamu itu sebagian tanda hamba beriman? Itu dulu yang pernah disampaikan oleh ustadzku saat pengajian di musalla kampung dulu.

Mobil peninggalan ayahku tapi masih sangat layak ditumpangi kukeluarkan dari garasi mobil. Ibrahim kupersilakan duduk di kabin depan sebelah kiri. Remaja Tunisia yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini kuajak berkeliling kota terlebih dahulu. Jalan raya yang tersorot lampu mobil terlihat bergelombang dan berlubang. Kondisi jalan raya seperti ini membuat perjalanan kami kurang nyaman. Mobil terasa melompat-lompat dan terkadang roda depan terperosok lubang hingga kepala Ibrahim terantuk bodi mobil.

“Jalan seperti ini yang tidak pernah kutemukan di negeriku. Meskipun, dari keamanan terkoyak karena perang saudara, infrastruktur jalan sangat bagus. Tidak bergelombang dan tidak berlubang,” sindir Ibrahim.

“Itulah sebagian keunikan di negeriku. Walaupun beberapa proyek perbaikan jalan telah dilakukan, tapi kondisi jalan masih sedemikian itu. Tak jarang banyak pengendara motor jatuh kemudian mati,” kataku.

“Mati? Berapa banyak?”

“Setahun bisa puluhan bahkan sampai ratusan jiwa melayang karena kondisi jalan.”

“Di negerimu nyawa melayang karena jalan. Di negeriku nyawa melayang karena tembakan. Itulah dunia. Beraneka peristiwa datang bergantian. Yang terpenting sebagai manusia kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.”

“Itu ada apa, kok, ramai sekali?” tanya Ibrahim.

“Kurang tahu,” jawabku singkat.

Aku bertanya kepada seseorang yang baru saja meninggalkan kerumunan. Jawabnya ada korban tawuran.

“O, korban tawuran. Tawuran itu apa?”

“Tawuran itu semacam perang kecil-kecilan.”

“Sampai ada korban?”

“Iya.”

“Kamu pernah bercerita bahwa penduduk negerimu itu ramah-ramah,” tanya Ibrahim mengingatkan cerita yang pernah kusampaikan saat masih di Kairo.

Tentang pertanyaan ini aku menghela napas Panjang. Dadaku terasa sesak dan mulutku terasa berkaret. Berat sekali aku menjelaskannya.

Diakui atau tidak di negeriku dari tahun ke tahun mengalami kemerosotan moral. Orang-orang menyebutnya dakadensi moral. Banyak peristiwa kekerasan fisik dan psikis yang pelaku atau korbannya itu para remaja. Padahal remaja itu penentu kemajuan bangsa. Di pundaknyalah maju-mundur sebuah negeri.

“Kami para pelaku pendidikan sudah berupaya untuk menanggulangi kemerosotan moral. Beberapa pelajaran penting tentang moral kusisipkan dalam pembelajaran sehari-hari. Tapi lingkunganlah yang sangat berperan. Apabila di luar sekolah lingkungan kurang baik, pendidikan moral yang diterima di sekolah akan hilang begitu saja. Walhasil, lahirlah generasi-generasi yang suka tawuran dan aksi kekerasan lainnya.”

Belum sebulan Ibrahim tinggal di sini, banyak kejanggalan yang membuatnya jadi ragu berkarier di negeriku. Guratan di keningnya mengisyaratkan dia ingin segera balik ke negerinya.

“Bagaimana, Kawan? Adakah sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?” tanyaku padanya.

“Iya. Aku jadi…,”

“Jadi ragu tinggal di sini?” sergahku.

“Begitulah. Ternyata kondisi negerimu yang seperti kauceritakan dulu itu tinggal cerita. Sering terjadi tawuran, kondisi jalan rusak, banyak pengemis dan gelandangan. Belum lagi berita yang kusaksikan lewat berita televisi, banyak informasi terkait kekerasan fisik dan psikis. Juga kekerasan seksual,” kata Ibrahim terkait kondisi negeriku tidak seperti ceritaku beberapa tahun lalu.

 

Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku membiarkan Ibrahim untuk menentukan sikap setelah mengetahui kondisi nyata di lapangan. Ternyata dia memilih mengurungkan niat tinggal di sini. Aku tidak punya alasan mencegahnya. Aku sangat menghargai keputusannya.

Keesokan harinya, aku mengantarkan Ibrahim ke bandara Juanda. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Di kanan-kiri jalan raya yang kulintasi, banyak kesemerawutan. Banyak warga berebut nasib dengan mengantre sembako gratis yang dibagikan oleh para penggila jabatan untuk mendapatkan simpati warga. (*)

Lamongan, 18 Januari 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar