Negeriku dalam Cerita
Karya Ahmad Zaini
Betapa anggun negeriku. Anugerah
Tuhan tak terdustakan. Gunung-gunung duduk damai. Angin bertiup landai. Ombak
bergulung di samudera luas. Langit biru membahana. Tanaman tumbuh subur dan
rakyat sejahtera. Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Begitu Tuhan menyindir
penghuni negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Memang begitu adanya negeriku.
Keelokan dan kesuburan mengundang penasaran negara-negara lain merebutnya.
Cerita kakekku bangsa-bangsa Eropa dan Asia waktu itu sangat berambisi
menguasai negeriku. Beberapa negara mengirimkan bala tentaranya untuk merebut
dan menguasai negeri ini. Namun, penduduk pribumi kala itu tidak tinggal diam.
Para leluhur berjuang mati-matian dalam mempertahankan negeri. Mereka berjuang
dengan mengangkat senjata. Mereka merelakan jiwa, raga, dan harta demi menjaga
kedaulatan negeri.
Seorang teman dari Tunisia datang ke
rumah. Namanya Ibrahim. Dia teman kuliahku di Universitas Al Azhar Kairo Mesir.
Dulu dia berbadan tegap. Berwajah tampan dengan cambang yang berwibawa. Saat
tersenyum, gigi-gignya putih berjajar rapi laksana biji mentimun. Aku sempat
hampir tak bisa mengenalinya karena penampilannya sangat berbeda. Badannya
kurus. Wajah agak kusam. Cambang dibiarkan memanjang dengan jenggot yang
menjuntai hampir menyentuh dada. Penampilan Ibrahim kini berubah 180 derajat.
Sepereti kurang terawat. Mungkin karena perang saudara beberapa bulan lalu yang
telah menyebabkan dia menjadi begini.
“Rafi, izinkan aku tinggal di sini
satu bulan. Aku ingin hidup damai dengan menetap di negerimu. Aku ingin mencari
pekerjaan tetap, membangun rumah, lalu menetap di sini. Aku kagum dengan
ceritamu semasa kita bersama-sama di Al Azhar,” kata Ibrahim menyampaikan
maksud kedatangannya kepadaku.
“Silakan, Kawan! Aku tidak keberatan
jika kamu mau tinggal sementara di rumahku. Namun, aku tidak menjamin apabila
semua keinginanmu tercapai di negeriku ini,” aku meninmpalinya.
“Bukankah negerimu ini kaya raya.
Negeri subur dengan sumber daya alam melimpah?” sambung Ibrahim.
“Betul sekali. Negeriku memang kaya
sumber daya alam. Negeriku memang subur. Namun, peluang untuk bisa hidup
bahagia sebagaimana keinginanmu, aku belum bisa menjamin,” jelasku.
“Aku yakin bisa. Aku akan kerja keras.
Kerja apa saja yang terpenting halal,” kata Ibrahim dengan penuh keyakinan.
Aku salut dengan kegigihan Ibrahim.
Tapi, aku tidak membiarkan dirinya asal kerja karena Ibrahim ini sosok yang
pandai dan terampil. Aku akan mencoba menawarinya untuk bersama-sama membantuku
dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang kukelola.
Sore hari aku mengajaknya
melihat-lihat kondisi lembaga pendidikan yang kukelola. Sebuah lembaga
pendidikan yang didirikan oleh keluarga besarku. Ketika ayah masih hidup,
lembaga ini berkembang pesat. Tidak membutuhkan waktu lama, ayah bisa mengubah
bangunan dan sistem pendidikan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Setelah
ayahku meninggal karena badai Covid-19 menyerang negeri, tongkat estafet
kepemimpinan lembaga diserahkan kepadaku.
“Luar biasa. Bangunan sederhana,
namun menyenangkan. Pasti muridnya
banyak dan belajar dengan nyaman di
sini,” takjub Ibrahim.
Aku mengangguk pelan. Mungkin karena
kondisi lembaga pendidikan saat ini tidak seluruhnya sesuai dengan ucapan
Ibrahim. Makanya aku ragu untuk mengiyakan kata-kata Ibrahim. Kondisi sekarang
jauh menurun dibanding saat ayah masih hidup. Orang-orang mengibaratkan lembaga
pendidikanku ini kehilangan obor.
“Aku minta agar kamu bersedia
membantu untuk membangkitkan dan mengembangkan lembaga ini,” pintaku padanya.
Ibrahim diam. Dia tidak segera memastikan jawaban.
Aku memakluminya. Aku memberikan
kesempatan pada Ibrahim untuk berpikir. Daripada aku memaksanya harus menjawab
seketika lalu di kemudian hari dia berubah pikiran. Aku sendiri yang kerepotan.
“Jangan dibuat serius. Ini hanyalah
tawaran saja,” kataku mencairkan suasana.
Urat-urat di wajah Ibrahim lentur
kembali. Dia tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk pundakku. Dia punya keyakinan
bahwa aku bisa membangkitkan dan mengambangkan lembaga pendidikan ini seperti
waktu dulu. Aku membalasnya dengan anggukan. Aku berharap isyarat dari Ibrahim
merupakan doa buatku.
Suatu malam, Ibrahim mengajakku
keluar rumah sekadar mencari camilan. Sebagai tuan rumah, aku harus melayani
tamu dengan sebaik-baiknya. Bukankah menghormati tamu itu sebagian tanda hamba
beriman? Itu dulu yang pernah disampaikan oleh ustadzku saat pengajian di
musalla kampung dulu.
Mobil peninggalan ayahku tapi masih
sangat layak ditumpangi kukeluarkan dari garasi mobil. Ibrahim kupersilakan
duduk di kabin depan sebelah kiri. Remaja Tunisia yang sudah fasih berbahasa
Indonesia ini kuajak berkeliling kota terlebih dahulu. Jalan raya yang tersorot
lampu mobil terlihat bergelombang dan berlubang. Kondisi jalan raya seperti ini
membuat perjalanan kami kurang nyaman. Mobil terasa melompat-lompat dan
terkadang roda depan terperosok lubang hingga kepala Ibrahim terantuk bodi
mobil.
“Jalan seperti ini yang tidak pernah
kutemukan di negeriku. Meskipun, dari keamanan terkoyak karena perang saudara,
infrastruktur jalan sangat bagus. Tidak bergelombang dan tidak berlubang,”
sindir Ibrahim.
“Itulah sebagian keunikan di negeriku.
Walaupun beberapa proyek perbaikan jalan telah dilakukan, tapi kondisi jalan
masih sedemikian itu. Tak jarang banyak pengendara motor jatuh kemudian mati,”
kataku.
“Mati? Berapa banyak?”
“Setahun bisa puluhan bahkan sampai
ratusan jiwa melayang karena kondisi jalan.”
“Di negerimu nyawa melayang karena
jalan. Di negeriku nyawa melayang karena tembakan. Itulah dunia. Beraneka
peristiwa datang bergantian. Yang terpenting sebagai manusia kita harus
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.”
“Itu ada apa, kok, ramai
sekali?” tanya Ibrahim.
“Kurang tahu,” jawabku singkat.
Aku bertanya kepada seseorang yang
baru saja meninggalkan kerumunan. Jawabnya ada korban tawuran.
“O, korban tawuran. Tawuran itu apa?”
“Tawuran itu semacam perang
kecil-kecilan.”
“Sampai ada korban?”
“Iya.”
“Kamu pernah bercerita bahwa penduduk
negerimu itu ramah-ramah,” tanya Ibrahim mengingatkan cerita yang pernah
kusampaikan saat masih di Kairo.
Tentang pertanyaan ini aku menghela
napas Panjang. Dadaku terasa sesak dan mulutku terasa berkaret. Berat sekali
aku menjelaskannya.
Diakui atau tidak di negeriku dari
tahun ke tahun mengalami kemerosotan moral. Orang-orang menyebutnya dakadensi
moral. Banyak peristiwa kekerasan fisik dan psikis yang pelaku atau korbannya
itu para remaja. Padahal remaja itu penentu kemajuan bangsa. Di pundaknyalah
maju-mundur sebuah negeri.
“Kami para pelaku pendidikan sudah
berupaya untuk menanggulangi kemerosotan moral. Beberapa pelajaran penting
tentang moral kusisipkan dalam pembelajaran sehari-hari. Tapi lingkunganlah
yang sangat berperan. Apabila di luar sekolah lingkungan kurang baik, pendidikan
moral yang diterima di sekolah akan hilang begitu saja. Walhasil,
lahirlah generasi-generasi yang suka tawuran dan aksi kekerasan lainnya.”
Belum sebulan Ibrahim tinggal di
sini, banyak kejanggalan yang membuatnya jadi ragu berkarier di negeriku.
Guratan di keningnya mengisyaratkan dia ingin segera balik ke negerinya.
“Bagaimana, Kawan? Adakah sesuatu
yang mengganjal di pikiranmu?” tanyaku padanya.
“Iya. Aku jadi…,”
“Jadi ragu tinggal di sini?”
sergahku.
“Begitulah. Ternyata kondisi negerimu
yang seperti kauceritakan dulu itu tinggal cerita. Sering terjadi tawuran,
kondisi jalan rusak, banyak pengemis dan gelandangan. Belum lagi berita yang
kusaksikan lewat berita televisi, banyak informasi terkait kekerasan fisik dan
psikis. Juga kekerasan seksual,” kata Ibrahim terkait kondisi negeriku tidak
seperti ceritaku beberapa tahun lalu.
Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku
membiarkan Ibrahim untuk menentukan sikap setelah mengetahui kondisi nyata di
lapangan. Ternyata dia memilih mengurungkan niat tinggal di sini. Aku tidak
punya alasan mencegahnya. Aku sangat menghargai keputusannya.
Keesokan harinya, aku mengantarkan
Ibrahim ke bandara Juanda. Sepanjang perjalanan, kami saling diam. Di
kanan-kiri jalan raya yang kulintasi, banyak kesemerawutan. Banyak warga
berebut nasib dengan mengantre sembako gratis yang dibagikan oleh para penggila
jabatan untuk mendapatkan simpati warga. (*)
Lamongan, 18 Januari 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar