Ibuku Perkasa
Cerpen karya Ahmad Zaini*
Di bilik rumah sebelah kanan, terdengar suara suamiku
mengerang-erang kesakitan. Riuh rendah suaranya terbawa oleh hembusan udara
yang memenuhi ruang depan. Rintihan-rintihan
itu seakan seperti sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Rasa sakit yang
berkepanjangan belum juga sampai ke muara kesembuhan. Pedih rasanya mendengar
erangan suami yang menahan rasa sakit di luar kemampuannya. Suara itu semakin
lama semakin keras hingga aku harus berdiri dan beranjak menghampiri suamiku
yang masih tergolek di ranjang kamar.Sarung yang membungkus kepalanya perlahan
kusingkap, lantas kuusap keringat yang mengucur deras di keningnya. Terasa di
telapak tanganku suhu badan suamiku sangat panas. Lalu aku bergegas mencarikan
kain kemudian kucelupkan di sebuah ember yang berisi air di samping suamiku.
Kening yang mulai berkerut kukompres dengan kain yang sudah kubasahi air.
Dengan rasa kasih sayang kuusap perlahan lelehan air mata yang mengalir dari
matanya yang agak memerah karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
Rasa iba pada suamiku
menggelayut dalam pikiranku. Setiap aku bekerja di pasar berjualan kue basah
selalu teringat penderitaan yang ia alami sejak penyakitnya kambuh. Sejak ia
dipositifkan terkena liver, hampir setiap hari ia berbaring di ranjang.
Badannya yang dulu tegap dan gagah mulai ringkih digerogoti penyakit yang
tergolong ganas. Dan akhir-akhir ini perutnya semakin membesar. Jangankan untuk
berjalan, bangun untuk duduk atau merebahkan tubuhnya kembali harus dibantu.
Kondisi suamiku yang dibekap
penyakit seperti itu membangkitkan semangatku bekerja mencari nafkah. Setiap hari aku harus bangun tengah malam untuk membuat kue basah. Saat
orang-orang sedang terpulas dalam dengkur, aku sudah bangun melembutkan beras yang
kurendam sejak siang hari. Suara antan
bertalu-talu menggilas butiran-butiran beras menjadi tepung dalam lesung. Tanganku
yang dulu lembut karena tidak pernah bekerja berat kini tampak kekar seperti
kaum pria. Antan setiap tengah malam kuangkat lalu kutumbukkan entah berapa
ratus kali hingga beras-beras itu menjadi tepung.
Rasa kantuk tak kuhiraukan. Peluh dingin mengguyur
tubuhku yang terbalut kebaya warna kusam kuusir dengan sekedar membuka kancing
kebaya bagian atas. Sedikit terasa hembusan angin tengah malam mengusir resa
gerah. Kemudian tungku yang menyala merah dengan jilatan-jilatan api membakar
panci, kudiamkan saja hingga masakanku benar-benar matang. Satu persatu kue
basah yang baru kuangkat dari panci kutiriskan di tampah agar cepat dingin. Hingga
pada akhirnya aku sampai pada pagi yang menjanjikan.
“Pak, aku pamit dulu!” Suamiku tergeragap di tempat duduknya. Lantas ia
memberikan isyarat izin kepadaku untuk pergi berjualan kue basah di pasar.
Anak-anakku sudah mulai
terbiasa kutinggalkan dalam keadaan tidur. Jika mereka bangun, mereka sudah
tidak merengek-rengek memanggilku. Mereka akan pergi ke kamar mandi tanpa harus
disuruh atau dibentak-bentak seperti anak-anak pada umumnya. Setelah mandi
mereka akan memakai seragam sekolah yang sudah kutaruh di dekat tempat
belajarnya lalu sarapan pagi. Dua anak yang masih membutuhkan perhatian orang
tua terpaksa harus belajar mandiri karena kesibukanku mencarikan nafkah buat
mereka.
***
”Kue, kueeee....! kue,
kueee.....!” suaraku beradu dengan suara pedagang-pedang
lain yang menawarkan barang dagangan. Di tengah keramian pasar aku relas
berdesak-desakkan sambil membawa tampah yang sarat dengan kue basah daganganku.
Tangan kekarku selalu mendesak, mendorong orang-orang yang menghimpitku agar
daganganku selamat. Sedangkan kedua kakiku selalu berderap seperti kaki-kaki
kuda menerjang segala rintangan yang menghadang. Tanah berlumpur di tengah
pasar kuterjang walau lumpur-lumpur itu membalut kaki hingga akan mencapai
lutut.
Di tempat yang agak kering aku duduk lalu menjajar kue
daganganku di tepi jalan yang selalu dilewati orang. Sambil duduk beralas daun
jati yang kutaruh dalam keranjangku, aku sedikit bias bersitirahat melemaskan
otot-otot kakiku yang kaku. Kulihat lalu-lalang pedagang dan pengunjung pasar
tradisoanal saling berhimpitan. Ia beradu otot untuk saling menyingkirkan agar mereka bisa berjalan ke
tujuan. Satu dua orang datang menghampiriku menanyakan harga daganganku. Dengan
senang hati mereka kulayani.
”Ini, Bu jajannya,” kataku
sambil menyodorkan bungkusan tas kresek berisi jajan kepada seorang ibu yang
menggendong anaknya di punggung.
Saat matahari sudah nangkring di langit yang cerah, aku
bergegas mengemasi barang daganganku yang tersisa. Sambil berjalan pulang, aku
menawarkan daganganku pada orang-orang kampung. Dan syukur Alhamdulillah, saat
sampai di rumah daganganku habis.
”Lho, kalian kok sudah
pulang?” tanyaku pada anak-anakku.
”Ya, Bu. Aku dan adik disuruh
minta uang oleh pak guru katanya kami belum membayar iuran sekolah,” kata anak
pertamaku dengan lugas.
”Kok, masih membayar sekolah to? Kalian itu sudah dibayari pemerintah. Jadi
sekolahnya gratis,” jelasku pada mereka.
”Ini buktinya!” jawab anak
pertamaku sambil menyodorkan surat dari sekolah.
”Oooo, biaya Infaq to...!
Kalau begitu, ayo, masuk rumah dulu!” ajakku pada mereka.
Jari-jemariku membuka kepingan
uang yang kuletakkan di balik daun pisang yang mengalasi tampah. Kuhitung
kepingan-kepingan itu lalu kuberikan pada anak-anakku.
”Terima kasih, Mak!” kata
mereka sambil berlari kegirangan kembali ke sekolahnya.
”Buuuuu! Kemari, Buuu!” suara
suamiku dari dalam kamar.
Aku melihat suamiku semakin
melemah. Ia sepertinya tak kuasa menahan rasa sakit dari perutnya yang
bertambah besar. Sebagai seorang istri yang lemah aku hanya dapat menatap
penderitaan suamiku yang mengenaskan. Perutnya yang semakin membesar dan mengeras
selalu ia pegang sambil merintih kesakitan.
”Ambilkan air, Buuu! Panasss!”
keluhnya.
”Sabar, Pak, kuambilkan!”
Saat kukembali dari
mengambilkan air, tiba-tiba suamiku tergolek lemas. Tangannya yang memegang
perutnya kuraih dengan perlahan. Ia tak bereaksi. Waktu
kuusap perutnya yang membesar dengan air, juga tak bereaksi. Aku jadi panik.
Aku bingung menghadapi kondisi suamiku yang tak berdaya. Saat kutepuk-tepuk pundaknya ia juga diam tak
merasakan tepukan tangan kekarku. Aku lantas memanggil Pak Kuslan, tetanggaku.
Ia segera datang tergopoh-gopoh untuk memeriksa suamiku.
”Suamimu sudah tiada, Tin!”
”Masya Allah, Bapak........!”
teriakku keras hingga para tetangga yang lain datang ke rumahku.
Sesak dadaku karena larut
dalam tangis kehilangan suami yang telah sakit hampir enam bulan kutahan. Air mataku yang sempat membanjiri
pipiku segera kuusap dengan gendong yang baru saja kuletakkan di ranjang kamar.
Aku berusaha tabah menghadapi cobaan yang selama ini membebani hidupku. Aku
harus bisa menerima apa yang telah ditentukan oleh Allah dengan mengambil
suamiku yang sangat kucinta. Aku tak mau saat anak-anakku pulang sekolah
melihat diriku masih berlinangan air mata. Aku tak ingin mereka bersedih dan
meratapi kepergian bapaknya yang mengasihi mereka. Aku harus bisa menjadi ibu
yang mengasihi dan melindungi mereka. Aku akan membesarkan mereka hingga
mencapai apa yang dicita-citakan. Aku akan berusaha mencarikan jalan kehidupan yang
terbaik bagi mereka.
”Ibu....Bapak kenapa?” Aku
kaget oleh kedatangan anak-anakku. Aku tergagap menjawab pertanyaan anak
sulungku. Aku hanya mampu merangkul keduanya sambil membisikkan kata-kata
kematian yang bisa diterima oleh mereka. Kepeluk dan kubelai rambut yang
beraroma orang aring.
”Ikhlaskan kepergian ayah
kalian, biar nanti bisa tenang di sisiNya!” bisikku pada anak-anakku.
Menjelang pemakaman kedua
anakku diberi kesempatan oleh Pak Modin untuk melihat jasad ayahnya yang
terbungkus kain kafan. Mereka lantas berdoa dan memberikan ucapan selamat jalan
pada ayahanda tercinta.
Seminggu kemudian, suasana
duka dalam keluargaku perlahan mencair oleh kesibukanku sebagai ibu rumah
tangga. Aku harus kembali berdagang ke pasar demi masa depan anak-anakku yang
masih mentah. Mereka membutuhkan bekal yang banyak untuk mengarungi kehidupan
yang semakin ganas. Mereka harus bisa bersekolah walau dengan biaya pas-pasan
hasil dari kerjaku berjualan kue basah.
Pada pagi hari saat aku
berangkat ke pasar dengan membawa tampah penuh dengan kue basah, ada seseorang
yang menghentikan perjalananku. Aku pun berhenti. Eh, ternyata kepala sekolah
anak-anakku. Dia memberi kabar kepadaku bahwa anak-anakku mendapatkan beasiswa
dari sekolah. Aku menyambut kabar tersebut dengan bersyukur
kepada Allah. Aku mengucapkan
rasa terima kasih kepada kepala sekolah. Hingga pada akhirnya matahari sudah
tak sabar lagi memberikan penerangan bagi jalanku untuk mendidik anak-anakku
yang masih belia. (*)
Wanar, 20 April 2010
* Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Berdomisili diWanar Pucuk Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar