Perempuan
di Ambang Jendela
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Perempuan
itu setiap hari duduk di dekat jendela rumah. Pagi sampai menjelang sore dia
selalu mengintip keluar rumah sambil berharap anak laki-lakinya yang merantau
di bumi Cendrawasih datang. Rasa cemas. Rasa khawatir berbaur menjadi satu
dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia merindukan anak semata wayangnya
datang dengan tubuh tegap sambil memanggul tas rangsel seperti ketika dia
berpamitan mengais rezeki di tanah Papua sebagai tukang ojek tiga tahun yang
lalu.
Angin
siang datang membelai rambut sebahu perempuan itu. Dia tiada henti memandangi
setiap pesawat yang melintas di udara. Ia membayangkan dari balik jendela
pesawat yang tidak jelas itu muncul wajah anaknya tersenyum bahagia melihat
uraian rambut ibunya di dekat jendela rumah. Perempuan bertahi lalat di pipi
kirinya itu masih duduk hingga menjelang
siang di dekat jendela. Ia lupa kalau perutnya semenjak pagi belum terisi makanan.
Rasa
perih terasa di lambungnya. Perempuan itu beringsut pindah tempat duduk yang
dijajar dekat jendela sambil memungut ubi yang direbus kemarin pagi. Ia kupas
kulitnya yang sudah berlendir. Ujung ubi setengah basi ia masukkan ke dalam
mulut. Perempuan tersebut tampak malas memakan ubi sendiri tanpa ditemani anak
semata wayangnya.
Air
mata kerinduan menetes di lekuk pipi keriputnya. Ia terisak sambil menyandarkan
dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata yang terus mengalir setiap ia mengingat anak
lelakinya. Seekor capung hinggap di kuncup bunga matahari yang sebentar akan
merekah. Capung menghisap madu bunga matahari sambil menatap perempuan itu yang
sedang bersedih merindukan anaknya. Capung bertubuh kecoklatan seakan mengajak
berbicara dengan perempuan itu. Dia sepertinya ingin menghibur perempuan janda agar
tidak menguras air matanya setiap hari. Akan tetapi, air matanya akan mengalir
sendiri jika wajah anaknya melintas di pelupuk matanya.
Tiga
tahun yang lalu anak lelakinya diajak oleh pamannya pergi ke Papua. Waktu itu
anak lelakinya baru saja menamatkan pendidikan tingkat SMA. Niat pamannya
sangat baik yaitu memberikan kesibukan dengan bekerja sebagati tukang ojek di
Papua. Di sana memang sangat mudah mengais rezeki sebagai tukang ojek. Sekali
jalan mengankut penumpang ongkosnya bisa mencapai tiga puluh ribu hingga
seratus ribu rupiah. Sehari terkadang bisa mendapatkan penghasilan sampai lima
ratus ribu.
Ayahnya
meninggal karena penyakit liver. Ia merupakan tulang punggung ekonomi
keluarganya. Sepeninggalnya beban ekonomi keluarga dibebankan kepada ibunya dengan
berjualan sayur keliling kampung. Pamannya tidak tega ibu keponakannya
atau saudara tuanya itu berjualan sayur
dengan penghasilan dua puluh lima ribu perhari. Sedangkan anaknya yang sudah remaja
menganggur tidak berpenghasilan apa-apa. Akhirnya, pamannya berusaha membujuk
keponakannya agar ikut bersamanya pergi ke tanah Papua menjadi tukang ojek.
Satu
tahun anaknya berada di Papua. Dia sudah bisa mengirimkan uang senilai lima
juta. Uang kiriman anaknya gunakan oleh perempuan itu untuk membayar hutang
pengobatan ayahnya. Dalam waktu tiga hari uang tersebut habis. Dua tahun
berikutnya, anak lelakinya mengirimkan uang dua puluh lima juta. Uang kiriman
tersebut dibagi dua. Separo untuk menutup hutangnya, yang separoh lagi
digunakan untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh. Memasuki tahun ketiga anaknya
tidak mengirimkan uang.
Perempuan
itu gelisah. Dia berusaha menghubungi anaknya melalui telepon genggamnya agar
dia segera mengirimkan uang untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, perempuan
itu bernasib malang karena beberapa kali dia gagal menghubungi anaknya. Nomor
telepon yang dia tuju tidak bisa dihubungi. Sebulan berikutnya dia mendengar
kabar dari televisi bahwa di tanah Papua kondisi keamanan sangat memprihatikan.
Ada beberapa warga sipil yang ditembak mati oleh penembak misterius.
Suatu
sore adik lelakinya datang dari perantauan. Perempuan itu sangat senang karena
dia berpikir bahwa anaknya ikut bersama adiknya. Perempuan tersebut berkata
dalam hati mungkin karena dia pulang inilah, anaknya tidak mengirimkan uang
kepadanya lagi. akan tetapi, perempuan
itu sangat terpukul kesekian kalinya karena adiknya hanya datang bersama
istri dan kedua anaknya.
Mata
perempuan tersebut berkaca-kaca. Dia bertanya tentang kabar anaknya. Adiknya
hanya menjawab singkat kalau keponakannya tidak mau diajak pulang karena sudah
enak hidup dan bekerja di sana. Dia juga bercerita kalau keponakannya sudah
mempunyai teman dan langganan ojek yang banyak di sana. Adiknya menyodorkan
uang kiriman keponakannya kepada perempuan itu. Dia menyampaikan pesan
keponakannya agar uang tersebut digunakan sebagai modal usaha atau membeli
ladang. Perempuan itu menerima uang kiriman anaknya sambil meneteskan air mata.
Dia menerima dengan perasaan haru bercampur sedih karena anaknya tidak ikut
pulang bersama dengan pamannya.
“Keadaan
keponakanmu di sana bagaimana?” tanya perempuan itu.
“Dia
baik-baik saja, Mbak Yu,” jawab adik lelakinya.
Setelah
mendengar jawaban dari adiknya, perempuan itu berpamitan pulang.
Di
rumah, perempuan yang memendam rasa rindu kepada anaknya tertunduk lesu. Dia
duduk di dekat jendela sambil membayangkan anaknya datang dari Papua. Dia
menangis sambil melihat batang pepaya menjulang di pinggir rumahnya. Dia tidak
bisa tersenyum walau tanaman pepayanya menyangga beberapa buah yang sudah tua.
Air matanya malah mengalir deras saat melihat buah pepayanya yang berwarna
merah merona. Dia ingat bahwa anak lelakinya suka sekali dengan pepaya.
Perempuan yang bertubuh kurus karena digerogoti rasa rindunya kepada anak
lelakinya tak kuasa menahan tangis. Dia pun berdiri meninggalkan kursi di dekat
jendelanya agar perasaan kangen kepada anaknya tidak semakin menjadi-jadi. Dia
berjalan gontai membelah cahaya matahari senja menuju kamar mandi.
Malam
datang. Perempuan itu merasa tubuhnya lebih segar karena usai mandi lalu
memakan ubi hasil berkebunnya untuk mengganjal perutnya. Lampu berkepasaitas 10
w yang tegantung di ruang depan remang menyala. Wajah sedih perempuan itu samar
tak terlihat. Ia berusaha bisa tabah menjalani hidup seorang diri dengan beban
rindu yang melandanya kini.
Detak
jarum jam terdengar semakin tajam. Hentakannya menyeret waktu sampai larut
malam. Rasa kantuk perempuan tersebut tergoda oleh perasaan rindu kepada anak
lelakinya. Dia tidak jadi membaringkan tubuh kurusnya di dipan kamar. Dia
keluar kamar menuju kursi di dekat jendela rumahnya.
Perempuan
yang telah menjanda selama tiga tahun itu dengan perlahan membuka kedua daun
jendela rumahnya. Dia melihat bulan purnama bersinar terang ditemani jutaan
bintang. Dia iri kepada bulan karena sang bulan bisa bergurau bersama
bintang-bintang yang mengelilinginya. Sementara dirinya setiap hari harus hidup
sendiri tidak ada yang menemani. Perempuan itu melambaikan tangan kepada bulan.
Dia mengundang bulan datang ke rumahnya bersama anak lelakinya. Dia ingin
melihat anaknya datang bersama cahaya sang dewi malam yang menembus lobang
dinding rumahnya yang terbuat dari bambu. Namun, lagi-lagi itu hanya hayalan
semu yang tak mungkin terjadi.
Malam
purnama berikutnya, perempuan itu membuka jendela rumahnya lagi. Dia berharap
sang bulan datang dengan membawa anak lelakinya. Mata perempuan itu menatap
bulan dengan kerdipan layu. Ternyata bulan itu bergantung sendirian dengan tenang di atas
langit. Dia tidak mengantarkan anak lelakinya pulang. Rasa sedih semakin
menusuk hati perempuan itu karena bulan kini malah menyelinap di balik gumpalan
awan yang datang. Cahayanya meremang semakin lama semakin meredup. Malam
akhirnya benar-benar menunjukkan jati dirinya yang hitam pekat tak ada setitik
warna putih di sekujur tubuhnya.
Perempuan
itu semakin menderita karena kerinduan kepada anak lelakinya tak mungkin
terobati. Ratap sedih kerinduannya selama ini terasa percuma saja sebab anak
lelakinya tidak akan pulang dan berkumpul lagi dengannya untuk selama-lamanya. Jadi,
kabar yang disampaikan oleh adiknya waktu itu ternyata hanya kabar bohong untuk
menghibur perempuan itu agar tidak terus-menerus menyedihkan anaknya. Anak
lelaki yang dirindukan perempuan itu sebenarnya sudah mati karena dadanya ditembus
tiga butir timah panas dari penembak misterius. Ia ditemukan warga tergeletak
bersimbah darah bersama motornya di tengah jalan kemudian dikubur di tanah
Papua sana.
Perempuan
itu menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata karena menahan
kerinduan semu kepada anak lelakinya yang telah tiada. Dia hanya berharap
kepada angin dan rembulan di waktu malam agar memberi kabar kepadanya jika anak
lelakinya akan datang. Dia akan menyiapkan ubi-ubian dari hasil berkebun di
ladang pembelian anak lelakinya. (*)
Lamongan,
Juli 2012
RIWAYAT KEPENULISAN
Karya-karya
sastranya baik berupa puisi maupun cerpen pernah dimuat di Tabloid Telunjuk,
majalah sastra Indupati (Kostela), Tabloid Ma’arif Lamongan, majalah MPA (Depag
Jatim), Radar Bojonegoro dan Kompas.com. Beberapa puisinya terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama antara
lain Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur
(DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra
Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011). Buku kumpulan
cerita pendeknya Telaga Lanang akan segera terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar