Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 10 Oktober 2012

Perempuan di Ambang Jendela


Perempuan di Ambang Jendela
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Perempuan itu setiap hari duduk di dekat jendela rumah. Pagi sampai menjelang sore dia selalu mengintip keluar rumah sambil berharap anak laki-lakinya yang merantau di bumi Cendrawasih datang. Rasa cemas. Rasa khawatir berbaur menjadi satu dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia merindukan anak semata wayangnya datang dengan tubuh tegap sambil memanggul tas rangsel seperti ketika dia berpamitan mengais rezeki di tanah Papua sebagai tukang ojek tiga tahun yang lalu.
Angin siang datang membelai rambut sebahu perempuan itu. Dia tiada henti memandangi setiap pesawat yang melintas di udara. Ia membayangkan dari balik jendela pesawat yang tidak jelas itu muncul wajah anaknya tersenyum bahagia melihat uraian rambut ibunya di dekat jendela rumah. Perempuan bertahi lalat di pipi kirinya itu masih duduk hingga  menjelang siang di dekat jendela. Ia lupa kalau perutnya semenjak pagi belum terisi makanan.
Rasa perih terasa di lambungnya. Perempuan itu beringsut pindah tempat duduk yang dijajar dekat jendela sambil memungut ubi yang direbus kemarin pagi. Ia kupas kulitnya yang sudah berlendir. Ujung ubi setengah basi ia masukkan ke dalam mulut. Perempuan tersebut tampak malas memakan ubi sendiri tanpa ditemani anak semata wayangnya.
Air mata kerinduan menetes di lekuk pipi keriputnya. Ia terisak sambil menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata  yang terus mengalir setiap ia mengingat anak lelakinya. Seekor capung hinggap di kuncup bunga matahari yang sebentar akan merekah. Capung menghisap madu bunga matahari sambil menatap perempuan itu yang sedang bersedih merindukan anaknya. Capung bertubuh kecoklatan seakan mengajak berbicara dengan perempuan itu. Dia sepertinya ingin menghibur perempuan janda agar tidak menguras air matanya setiap hari. Akan tetapi, air matanya akan mengalir sendiri jika wajah anaknya melintas di pelupuk matanya.
Tiga tahun yang lalu anak lelakinya diajak oleh pamannya pergi ke Papua. Waktu itu anak lelakinya baru saja menamatkan pendidikan tingkat SMA. Niat pamannya sangat baik yaitu memberikan kesibukan dengan bekerja sebagati tukang ojek di Papua. Di sana memang sangat mudah mengais rezeki sebagai tukang ojek. Sekali jalan mengankut penumpang ongkosnya bisa mencapai tiga puluh ribu hingga seratus ribu rupiah. Sehari terkadang bisa mendapatkan penghasilan sampai lima ratus ribu.
Ayahnya meninggal karena penyakit liver. Ia merupakan tulang punggung ekonomi keluarganya. Sepeninggalnya beban ekonomi keluarga dibebankan kepada ibunya dengan berjualan sayur keliling kampung. Pamannya tidak tega ibu keponakannya atau  saudara tuanya itu berjualan sayur dengan penghasilan dua puluh lima  ribu  perhari. Sedangkan anaknya yang sudah remaja menganggur tidak berpenghasilan apa-apa. Akhirnya, pamannya berusaha membujuk keponakannya agar ikut bersamanya pergi ke tanah Papua menjadi tukang ojek.
Satu tahun anaknya berada di Papua. Dia sudah bisa mengirimkan uang senilai lima juta. Uang kiriman anaknya gunakan oleh perempuan itu untuk membayar hutang pengobatan ayahnya. Dalam waktu tiga hari uang tersebut habis. Dua tahun berikutnya, anak lelakinya mengirimkan uang dua puluh lima juta. Uang kiriman tersebut dibagi dua. Separo untuk menutup hutangnya, yang separoh lagi digunakan untuk memperbaiki rumahnya yang hampir roboh. Memasuki tahun ketiga anaknya tidak mengirimkan uang.
Perempuan itu gelisah. Dia berusaha menghubungi anaknya melalui telepon genggamnya agar dia segera mengirimkan uang untuk keperluan hidupnya. Akan tetapi, perempuan itu bernasib malang karena beberapa kali dia gagal menghubungi anaknya. Nomor telepon yang dia tuju tidak bisa dihubungi. Sebulan berikutnya dia mendengar kabar dari televisi bahwa di tanah Papua kondisi keamanan sangat memprihatikan. Ada beberapa warga sipil yang ditembak mati oleh penembak misterius.
Suatu sore adik lelakinya datang dari perantauan. Perempuan itu sangat senang karena dia berpikir bahwa anaknya ikut bersama adiknya. Perempuan tersebut berkata dalam hati mungkin karena dia pulang inilah, anaknya tidak mengirimkan uang kepadanya lagi.  akan tetapi, perempuan itu sangat terpukul kesekian kalinya karena adiknya hanya datang bersama istri  dan kedua anaknya.
Mata perempuan tersebut berkaca-kaca. Dia bertanya tentang kabar anaknya. Adiknya hanya menjawab singkat kalau keponakannya tidak mau diajak pulang karena sudah enak hidup dan bekerja di sana. Dia juga bercerita kalau keponakannya sudah mempunyai teman dan langganan ojek yang banyak di sana. Adiknya menyodorkan uang kiriman keponakannya kepada perempuan itu. Dia menyampaikan pesan keponakannya agar uang tersebut digunakan sebagai modal usaha atau membeli ladang. Perempuan itu menerima uang kiriman anaknya sambil meneteskan air mata. Dia menerima dengan perasaan haru bercampur sedih karena anaknya tidak ikut pulang bersama dengan pamannya.
“Keadaan keponakanmu di sana bagaimana?” tanya perempuan itu.
“Dia baik-baik saja, Mbak Yu,” jawab adik lelakinya.
Setelah mendengar jawaban dari adiknya, perempuan itu berpamitan pulang.
Di rumah, perempuan yang memendam rasa rindu kepada anaknya tertunduk lesu. Dia duduk di dekat jendela sambil membayangkan anaknya datang dari Papua. Dia menangis sambil melihat batang pepaya menjulang di pinggir rumahnya. Dia tidak bisa tersenyum walau tanaman pepayanya menyangga beberapa buah yang sudah tua. Air matanya malah mengalir deras saat melihat buah pepayanya yang berwarna merah merona. Dia ingat bahwa anak lelakinya suka sekali dengan pepaya. Perempuan yang bertubuh kurus karena digerogoti rasa rindunya kepada anak lelakinya tak kuasa menahan tangis. Dia pun berdiri meninggalkan kursi di dekat jendelanya agar perasaan kangen kepada anaknya tidak semakin menjadi-jadi. Dia berjalan gontai membelah cahaya matahari senja menuju kamar mandi.
Malam datang. Perempuan itu merasa tubuhnya lebih segar karena usai mandi lalu memakan ubi hasil berkebunnya untuk mengganjal perutnya. Lampu berkepasaitas 10 w yang tegantung di ruang depan remang menyala. Wajah sedih perempuan itu samar tak terlihat. Ia berusaha bisa tabah menjalani hidup seorang diri dengan beban rindu yang melandanya kini.
Detak jarum jam terdengar semakin tajam. Hentakannya menyeret waktu sampai larut malam. Rasa kantuk perempuan tersebut tergoda oleh perasaan rindu kepada anak lelakinya. Dia tidak jadi membaringkan tubuh kurusnya di dipan kamar. Dia keluar kamar menuju kursi di dekat jendela rumahnya.
Perempuan yang telah menjanda selama tiga tahun itu dengan perlahan membuka kedua daun jendela rumahnya. Dia melihat bulan purnama bersinar terang ditemani jutaan bintang. Dia iri kepada bulan karena sang bulan bisa bergurau bersama bintang-bintang yang mengelilinginya. Sementara dirinya setiap hari harus hidup sendiri tidak ada yang menemani. Perempuan itu melambaikan tangan kepada bulan. Dia mengundang bulan datang ke rumahnya bersama anak lelakinya. Dia ingin melihat anaknya datang bersama cahaya sang dewi malam yang menembus lobang dinding rumahnya yang terbuat dari bambu. Namun, lagi-lagi itu hanya hayalan semu yang tak mungkin terjadi.
Malam purnama berikutnya, perempuan itu membuka jendela rumahnya lagi. Dia berharap sang bulan datang dengan membawa anak lelakinya. Mata perempuan itu menatap bulan dengan kerdipan layu. Ternyata bulan itu  bergantung sendirian dengan tenang di atas langit. Dia tidak mengantarkan anak lelakinya pulang. Rasa sedih semakin menusuk hati perempuan itu karena bulan kini malah menyelinap di balik gumpalan awan yang datang. Cahayanya meremang semakin lama semakin meredup. Malam akhirnya benar-benar menunjukkan jati dirinya yang hitam pekat tak ada setitik warna putih di sekujur tubuhnya.
Perempuan itu semakin menderita karena kerinduan kepada anak lelakinya tak mungkin terobati. Ratap sedih kerinduannya  selama ini terasa percuma saja sebab anak lelakinya tidak akan pulang dan berkumpul lagi dengannya untuk selama-lamanya. Jadi, kabar yang disampaikan oleh adiknya waktu itu ternyata hanya kabar bohong untuk menghibur perempuan itu agar tidak terus-menerus menyedihkan anaknya. Anak lelaki yang dirindukan perempuan itu sebenarnya sudah mati karena dadanya ditembus tiga butir timah panas dari penembak misterius. Ia ditemukan warga tergeletak bersimbah darah bersama motornya di tengah jalan kemudian dikubur di tanah Papua sana.
Perempuan itu menyandarkan dagunya di kusen jendela. Matanya lembab air mata karena menahan kerinduan semu kepada anak lelakinya yang telah tiada. Dia hanya berharap kepada angin dan rembulan di waktu malam agar memberi kabar kepadanya jika anak lelakinya akan datang. Dia akan menyiapkan ubi-ubian dari hasil berkebun di ladang pembelian anak lelakinya. (*)
Lamongan, Juli 2012






RIWAYAT KEPENULISAN
Karya-karya sastranya baik berupa puisi maupun cerpen pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), Tabloid Ma’arif Lamongan, majalah MPA (Depag Jatim), Radar Bojonegoro dan Kompas.com. Beberapa puisinya  terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama antara lain Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011). Buku kumpulan cerita pendeknya Telaga Lanang akan segera terbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar