Lukisan Matahari
Cerpen:
Ahmad Zaini *
Lukisan matahari yang terbit di pagi hari
tergantung di dinding rumah bergerak tertiup angin di malam itu. Rona merah
yang terpancar dalam lukisan menyadarkan hatiku bahwa esok telah berganti hari,
juga berganti tahun. Jam dinding yang tergantung di sebelah lukisan itu masih
berdetak mengikuti putaran waktu. Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 wib.
Sementara suasana di luar begitu ramai oleh geberan motor dari muda-mudi
yang tak ingin melewatkan malam pergantian tahun baru.
Rona merah yang memancar dari lukisan perlahan
remang karena lampu yang bergantungan di atas plafon rumah kuganti dengan yang
lebih kecil. Hatiku terasa deg-degan saat kakiku melangkah masuk ke
dalam kamar yang telah kupersiapkan untuk malam renungan tahun baru. Ya, setiap
tahun menjelang pergantian tahun baru aku selalu melakukan perenungan malam
sebagai upaya untuk mengevaluasi diri selama satu tahun yang akan kutinggalkan.
Lampu yang menyala segera kumatikan. Kamar berubah
menjadi gelap gulita. Bising suara motor yang berlalu-lalang di depan rumah tak
terdengar sama sekali karena kamar ini kudesain kedap suara. Segala gejolak
dalam batinku selama sehari kini perlahan sirna. Pikiran-pikiran yang seharian
penuh dijejali oleh permasalahan pekerjaan mulai kusingkirkan. Kini hatiku
benar-benar hening, sehening pertapaan para wali di dalam gua Pamijahan.
Pikiran kukonsentrasikan pada semua tingkah polah yang kulakukan pada tahun
yang segera kutinggalkan ini.
Dalam hatiku hanya ada satu tekad. Bahwa hari,
bulan, tahun ini harus lebih baik daripada hari, bulan dan tahun sebelumnya.
Aku benar-benar ingin menjadi manusia yang beruntung. Ingin menjadi manusia
yang sempurna di mata masyarakat, dan sempurna di hadapan Allah. Biarkan mereka
mencibirku dengan kata-kata serta komentar yang negatif. Biarkan mereka
mengatakan bahwa aku adalah pemuda yang
penuh dengan dosa. Biarkan mereka mengatakan ini, itu tentang diriku. Yang
terpenting dalam hati ini benar-benar tulus ingin memperbaiki sikap dan
perilaku buruk yang pernah kulakukan pada tahun lalu. Saya yakin bahwa Allah
adalah Dzat yang Maha Pengampun atas segala dosa yang telah diperbuat oleh
hambanya.
Perlahan aku duduk bersila seraya memejamkan mata
kemudian mengungkap rekaman-remakan yang memenuhi memoriku. Terlintas dalam
hatiku orang-orang yang pernah kukecewakan dalam hidupnya. Mulai dari para
gadis yang pernah kupacari hingga kawan yang pernah kusakiti hatinya gara-gara
pacarnya kurebut. Bayangan-bayangan yang jelas di mataku ternyata mampu
mengalirkan air mata penuh onak dosa merembet di pipiku.
Wajah Ratna yang begitu cantik dengan polesan make
up merah muda yang mendesak wajah-wajah lain dalam bayanganku. Tergambar dengan
jelas wajah cantiknya berubah menjadi lembab oleh air mata. Kata rayuan yang pernah
kuucapkan padanya tertancap sangat dalam di hatinya. Ia kemudian mencintai
diriku sepenuh hati. Di kala cintanya sedang mekar, belum sempat harum baunya
kunikmati ternyata aku sudah kepincut dengan gadis lain. Dengan kasar ia
kuputus cintanya di tengah jalan. Saya masih ingat jerit tangisnya melengking
di tengah taman kota. Tangis kepedihan hati laksana tersayat sembilu yang penuh
dengan racun. Dia mendekapku tak rela melepas badan ini meninggalkan dirinya.
Kaos yang ia kenakan masih melukis kenangan indah bersamaku namun sirna oleh
guyuran air mata yang mengalir deras dari kedua matanya.
"Maafkan aku, Rat! Aku telah bersalah padamu.
Aku yang memulai dan aku juga yang mengakhiri. Aku berdoa semoga kau
mendapatkan yang melebihi diriku," ucapku sambil duduk bersila di tengah
gelap kamar.
Wajah Ratna sirna berganti wajah manis Laila. Dia
adalah gadis kampung yang baru saja pulang dari pesantren. Ia bertahun-tahun
memperdalam ilmu agama di pesantren yang diasuh oleh kyai Samad yang dikenal
sebagai ulama besar yang di negeri ini. Setiap kali Laila keluar rumah
berkunjung ke rumah bibinya yang kebetulan tetangga saya, ia tak pernah membuka
auratnya. Rambut serta kaki tak pernah terlihat olehku walau hanya sekejap.
Sejak pandangan pertama aku langsung jatuh cinta kepadanya.
Nah, menghadapai gadis seperti dia saya berguru
kepada teman saya, Ahmad. Dia juga pernah menetap di pesantren beberapa tahun
lamanya. Ia pulang ke kampungnya gara-gara dikeluarkan dari pesantren itu.
Sungguh keterlaluan dia. Masak anak kyainya dipacari. Tidak sembarangan pemuda
bisa menggaet anak kyai sebagai pacarnya. Dari pengalaman Ahmad itulah saya
coba untuk mengambil hati Laila. Ternyata cukup manjur juga. Sekali gerak
ternyata Laila klepek-klepek jatuh cinta kepadaku. Wow, luar biasa.
Orang-orang di sekelilingku heran semua. Pemuda sebejat saya mampu menggaet
Laila menjadi pacarku.
"Wah, jelas pakai pelet ini. Masak
Laila jatuh cinta pada si kampret seperti kamu. Dasar paly boy!" umpat
temanku.
Saat kami berpacaran tiba-tiba Laila tersinggung
oleh sikapku. Pada suatu hari tepatnya di rumah bibinya, jilbab yang ia kenakan
kubuka dengan sengaja. Pada saat itu aku benar-benar penasaran ingin tahu
rambutnya yang selalu tertutup oleh jilbabnya. Dia marah dan menangis
tersedu-sedu. Saat itulah aku baru tahu bahwa Laila memang gadis yang sempurna.
Rambutnya sebahu hitam laksana arang. Dipadu dengan kulitnya yang putih ia
tampak begitu anggun. Namun penampilannya sangat terganggu karena ia sedang menangis
tersedu-sedu menyayangkan perbuatan yang
kulakukan padanya. Ia kemudian pulang meninggalkan diriku begitu saja di balai
depan rumah bibinya.
"Lho, kenapa Laila?" tanya
bibinya.
"Tidak tahu, Mbak!" jawabku pura-pura
tidak tahu.
Bibinya mengejarnya keluar namun Laila sudah
meninggalkan halaman rumah bibinya.
Selama seminggu aku tak berani menemuinya lagi.
Dia selama itu pula tak pernah lagi datang ke rumah bibinya. Hampir setiap hari
selalu kutitipkan salam kepadanya jika bibinya akan ke rumahnya. Namun tidak
pernah ada balasan salam darinya. Berarti ia benar-benar marah pada saya.
"Dasar, bodoh! Kenapa diriku sebodoh ini? Dia
gadis yang terlalu baik untukku. Andaikan dia berhasil menjadi pendampingku
mungkin aku tidak separah ini?" tangis sesalku di tengah kegelapan malam.
Aduh, begitu penat diri yang penuh dengan masalah.
Persoalan datang silih berganti mendera diriku yang lemah. Aku menyadari bahwa
diriku mudah terkena pengaruh keadaan. Terutama masalah wanita. Persoalan
dengan Ratna kemudian berganti dengan Laila. Laila yang begitu baik kusakiti
hatinya.
"Ya, Tuhan! Masih maukah Kau mengampuni
dosa-dosaku?" pintaku dalam doa.
"Berilah kesempatan sekali lagi untuk
memperbaiki diri," tambahku yang kemudian bayangan-bayangan Ratna dan
Laila menghilang ditelan malam.
Yang terakhir bayangan yang muncul dari batinku
adalah wajah Mahmud. Dia pemuda lugu yang pernah kusakiti hatinya. Wajah Mahmud
memang tak setampan wajahku. Namun pacarnya yang bernama Resti luar biasa
cantiknya. Setiap hari ketika dia berjalan bersama melintas di depanku, darah
saya langsung mendidih. Entah mengapa aku sangat cemburu jika melihat mereka berjalan
berduaan. Pada suatu pagi aku merencanakan niat bejat untuk membuyarkan
hubungan mereka. Temanku si Toni kusuruh menyerempetnya dengan motor bututnya.
Aku akan berpura-pura melindunginya. Ketika motor Toni benar-benar melaju
dengan kencang mau menyerempet Resti dengan cekatan aku melindunginya. Tubuhku
yang terkena motor Toni terguling-guling ke tanah. Bahuku lecet-lecet dan
sedikit memar karena terbentur motor Toni. Si Resti segera menghampiriku seraya
mengusap darah yang memerah di luka-luka bahuku.
"Maaf, ya, Mas aku telah mencelakakanmu! Aku
yang lalai tidak melihat jika ada motor di belakangku," kata Resti lembut
dengan sedikit ketakutan.
"Ah, tidak apa-apa, kok. Aku ikhlas melakukan
ini," ucapku membalas ucapannya.
Tanpa disengaja mata beningnya menatap mataku. Aku
pun menatap mata beningnya. Sekitar empat detik kami saling berpandangan.
Tangan si Mahmud tiba-tiba meraih tangan Resti yang begitu lembut dengan kasar.
Dia merasa cemburu karena ia melihat Resti begitu mesra menolongku. Resti kaget
dan hampir saja ia terjatuh.
"Apa-apaan, sih, kamu! Kasar banget!
Saya ini sedang menolong, Mas, ini!" katanya sambil cemberut.
"Ayo, pergi dari sini!" paksa Mahmud
dengan menggelandang tangan Resti.
Mahmud memang sudah kenal lama dengan saya. Jadi
wajar jika dia cemburu seperti itu. Dia hapal dengan tabiat saya. Mungkin dia
juga sadar bahwa aku punya maksud yang tersembunyi..
Siang hari ketika aku berjalan melewati tempat
biasa Resti dan Mahmud bertemu, aku melihat dia bertengkar.
"Dasar lelaki tidak berguna. Ada orang celaka
dibiarkan saja. Saya menolong malah dicemburui. Maksud kamu apa, sih?"
"Dia itu pemuda kurang ajar. Dia itu play
boy. Wajar saja kalau saya cemburu saat kamu mengusap luka di bahunya dengan
tisu yang kubelikan," kata Mahmud membenarkan sikapnya.
"Hai, Mahmud! Kamu jangan seenaknya
mengatakan bahwa dia itu play boy. Mungkin kamu lebih play boy daripada
dia," kata Resti.
Mendengar kata-kata Resti yang pedas, telingan
Mahmud semakin panas. Tangan kanannya mengepal dengan geram. Bogeman mentah
sempat mendarat di pipi Resti yang halus mulus itu. Saat Mahmud akan
melayangkan bogeman kedua dengan sigap aku melompat menahan bogeman yang akan
mendarat di pipi Resti lagi.
"Hentikan! Beraninya hanya dengan wanita yang
tidak berdaya!" teriakku melarang.
"Walah, walah, walah! Ada pahlawan kesiangan,
ta?" katanya mengejekku.
Aku tak pedulikan ejekannya. Segera kuhampiri
Resti yang masih tersungkur di tanah dengan meringis menahan sakit di pipinya.
Setetes darah keluar dari bibirnya kemudian kuusap dengan sapu tangan.
"Tidak apa-apa kamu?" tanyaku.
"Tidak, Mas," jawabnya sambil merangkul
pundakku. Tak kusadari Mahmud menerjangku dari belakang kemudian menendangku
berkali-kali hingga kuterjerembab di rerumputan tempat itu.
"Mahmud, jika berani jangan main belakang,
dong! Kita berkelahi secara laki-laki. Saat Mahmud akan menyeragku tiba-tiba Resti
bangkit dan berdiri di hadapanku.
"Bukk!!" suara dari perut Resti saat
tendangan Mahmud mengenainya. Resti lemas kemudian bergelayut di dekapanku. Ia
pingsan.
Mahmud panik saat mengetahui bahwa tendangannya
mengenai perut Resti. Dia gugup kemudian melarikan diri dari tempat itu.
Segelas air kuminumkan kepada Resti. Seteguk, dua
teguk air masuk ke dalam perutnya. Perlahan resti siuman dari pingsannya
kemudian kubopong berteduh bawah pohon yang rindang. Perutnya kuraba dengan
kain yang kubasahi air sebelumnya. Dia merintih kesakitan. Perlahan-lahan dia
bangun dan meminta diriku mengantarnya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah dia kusandarkan pada sebuah
kursi tua di ruang tengah. Di rumah dia hanya tinggal bersama neneknya. Dia
menarik tanganku kemudian mengecup mesra keningku sebagai mengucap terima kasih
karena aku telah menolongnya.
"Mas! Maukah kau sebagai pacarku?"
ucapnya mesra.
"Ah, jangan. Kamu kan pacarnya
Mahmud," balasku dengan berharap agar dia benar-benar memutus Mahmud dan
mengalihkan cintanya kepadaku.
"Jangan sebut lagi nama itu. Itu kenangan
masa lalu. Kau begitu baik mau menolongku. Sebagai ucapan terima kasih maukah
kau menjadi pacarku?" desaknya.
Aku diam sebentar untuk mencari waktu yang tepat.
Dia memandangku dengan penuh kemanjaan. Hatiku berdebar-debar melihatnya
memandangku seperti itu.
"Ya. Aku terima tawaranmu. Aku mau menjadi
pacarmu!"
Dia kemudian memelukku di tengah panas matahari
siang itu.
Jalinan kasih antara diriku dengan Resti tidak
berlangsung lama saat orang tuaku tidak merestui hubunganku dengannya. Ayahku
pernah memergoki Resti bermesraan dengan Mahmud di alun-alun kota. Dengan dasar
itulah orang tuaku tidak menghendaki hubunganku dengan Resti berlanjut. Aku
menurut kata meraka. Karena hubungan tanpa restu dari orang tua akan
meninggalkan penderitaan yang berkepanjangan.
Di saat Resti sedang menikmati aroma bunga cinta
yang kutiupkan pada hatinya, tanpa sebab aku datang ke rumahnya. Aku tak
berpikir panjang kemudian Resti kuputus siang itu juga. Mendengar kata putusku
di siang itu, dia laksana disambar petir. Dia kaget dan matanya terbelalak
dengan mulut yang menganga lebar tanda tak percaya. Mata indahnya lembab
kemudian mengalir deras membasahi celana ketat yang dipakainya.
"Apa salahku, hingga kau memutus
cintaku?" tanya Resti dengan muka merah padam menahan kecewa.
"Panjang ceritanya. Yang jelas mulai detik
ini, kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. Titik!"
Wajah cantik Resti kini bermurung durja. Ia kesal
dengan sikapku yang arogan memutus cintanya. Aku sebenarnya tak tega melihat
dia dalam kondisi seperti itu. Namun takdir telah berkata lain. Aku harus pergi
dari kehidupan Resti. Biarlah aku membujang selamanya.
"Tuhaaaan! Maukah Kau memaafkan dosaku
ini...?" teriakku dari dalam kamar sambil menengadahkan tangan meminta
ampunan dariNya.
Bersamaan dengan itu jam alarmku berbunyi
menandakan pukul 00.00 wib. Sedetik kemudian terdengar dentuman meriam dan
petasan menggema memecah keheningan malam. Pemuda-pemudi yang berkumpul
semenjak tadi meniup terompetnya dengan nada yang tak terartur. Kubuka perlahan
pintu kamar dan keluar melihat suasana ramai di sepanjang jalan. Arak-arakkan
motor berkeliling kota meninggalkan kebisingan di sepanjang jalan yang mereka
lalui. ***
Lamongan,
31 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar