Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 01 November 2012

Lukisan Matahari


Lukisan Matahari
Cerpen: Ahmad Zaini *

Lukisan matahari yang terbit di pagi hari tergantung di dinding rumah bergerak tertiup angin di malam itu. Rona merah yang terpancar dalam lukisan menyadarkan hatiku bahwa esok telah berganti hari, juga berganti tahun. Jam dinding yang tergantung di sebelah lukisan itu masih berdetak mengikuti putaran waktu. Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 wib. Sementara suasana di luar begitu ramai oleh geberan motor dari muda-mudi yang tak ingin melewatkan malam pergantian tahun baru.
Rona merah yang memancar dari lukisan perlahan remang karena lampu yang bergantungan di atas plafon rumah kuganti dengan yang lebih kecil. Hatiku terasa deg-degan saat kakiku melangkah masuk ke dalam kamar yang telah kupersiapkan untuk malam renungan tahun baru. Ya, setiap tahun menjelang pergantian tahun baru aku selalu melakukan perenungan malam sebagai upaya untuk mengevaluasi diri selama satu tahun yang akan kutinggalkan.
Lampu yang menyala segera kumatikan. Kamar berubah menjadi gelap gulita. Bising suara motor yang berlalu-lalang di depan rumah tak terdengar sama sekali karena kamar ini kudesain kedap suara. Segala gejolak dalam batinku selama sehari kini perlahan sirna. Pikiran-pikiran yang seharian penuh dijejali oleh permasalahan pekerjaan mulai kusingkirkan. Kini hatiku benar-benar hening, sehening pertapaan para wali di dalam gua Pamijahan. Pikiran kukonsentrasikan pada semua tingkah polah yang kulakukan pada tahun yang segera kutinggalkan ini.
Dalam hatiku hanya ada satu tekad. Bahwa hari, bulan, tahun ini harus lebih baik daripada hari, bulan dan tahun sebelumnya. Aku benar-benar ingin menjadi manusia yang beruntung. Ingin menjadi manusia yang sempurna di mata masyarakat, dan sempurna di hadapan Allah. Biarkan mereka mencibirku dengan kata-kata serta komentar yang negatif. Biarkan mereka mengatakan bahwa aku  adalah pemuda yang penuh dengan dosa. Biarkan mereka mengatakan ini, itu tentang diriku. Yang terpenting dalam hati ini benar-benar tulus ingin memperbaiki sikap dan perilaku buruk yang pernah kulakukan pada tahun lalu. Saya yakin bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun atas segala dosa yang telah diperbuat oleh hambanya.
Perlahan aku duduk bersila seraya memejamkan mata kemudian mengungkap rekaman-remakan yang memenuhi memoriku. Terlintas dalam hatiku orang-orang yang pernah kukecewakan dalam hidupnya. Mulai dari para gadis yang pernah kupacari hingga kawan yang pernah kusakiti hatinya gara-gara pacarnya kurebut. Bayangan-bayangan yang jelas di mataku ternyata mampu mengalirkan air mata penuh onak dosa merembet di pipiku.
Wajah Ratna yang begitu cantik dengan polesan make up merah muda yang mendesak wajah-wajah lain dalam bayanganku. Tergambar dengan jelas wajah cantiknya berubah menjadi lembab oleh air mata. Kata rayuan yang pernah kuucapkan padanya tertancap sangat dalam di hatinya. Ia kemudian mencintai diriku sepenuh hati. Di kala cintanya sedang mekar, belum sempat harum baunya kunikmati ternyata aku sudah kepincut dengan gadis lain. Dengan kasar ia kuputus cintanya di tengah jalan. Saya masih ingat jerit tangisnya melengking di tengah taman kota. Tangis kepedihan hati laksana tersayat sembilu yang penuh dengan racun. Dia mendekapku tak rela melepas badan ini meninggalkan dirinya. Kaos yang ia kenakan masih melukis kenangan indah bersamaku namun sirna oleh guyuran air mata yang mengalir deras dari kedua matanya.
"Maafkan aku, Rat! Aku telah bersalah padamu. Aku yang memulai dan aku juga yang mengakhiri. Aku berdoa semoga kau mendapatkan yang melebihi diriku," ucapku sambil duduk bersila di tengah gelap kamar.
Wajah Ratna sirna berganti wajah manis Laila. Dia adalah gadis kampung yang baru saja pulang dari pesantren. Ia bertahun-tahun memperdalam ilmu agama di pesantren yang diasuh oleh kyai Samad yang dikenal sebagai ulama besar yang di negeri ini. Setiap kali Laila keluar rumah berkunjung ke rumah bibinya yang kebetulan tetangga saya, ia tak pernah membuka auratnya. Rambut serta kaki tak pernah terlihat olehku walau hanya sekejap. Sejak pandangan pertama aku langsung jatuh cinta kepadanya.
Nah, menghadapai gadis seperti dia saya berguru kepada teman saya, Ahmad. Dia juga pernah menetap di pesantren beberapa tahun lamanya. Ia pulang ke kampungnya gara-gara dikeluarkan dari pesantren itu. Sungguh keterlaluan dia. Masak anak kyainya dipacari. Tidak sembarangan pemuda bisa menggaet anak kyai sebagai pacarnya. Dari pengalaman Ahmad itulah saya coba untuk mengambil hati Laila. Ternyata cukup manjur juga. Sekali gerak ternyata Laila klepek-klepek jatuh cinta kepadaku. Wow, luar biasa. Orang-orang di sekelilingku heran semua. Pemuda sebejat saya mampu menggaet Laila menjadi pacarku.
"Wah, jelas pakai pelet ini. Masak Laila jatuh cinta pada si kampret seperti kamu. Dasar paly boy!" umpat temanku.
Saat kami berpacaran tiba-tiba Laila tersinggung oleh sikapku. Pada suatu hari tepatnya di rumah bibinya, jilbab yang ia kenakan kubuka dengan sengaja. Pada saat itu aku benar-benar penasaran ingin tahu rambutnya yang selalu tertutup oleh jilbabnya. Dia marah dan menangis tersedu-sedu. Saat itulah aku baru tahu bahwa Laila memang gadis yang sempurna. Rambutnya sebahu hitam laksana arang. Dipadu dengan kulitnya yang putih ia tampak begitu anggun. Namun penampilannya sangat terganggu karena ia sedang menangis tersedu-sedu menyayangkan perbuatan  yang kulakukan padanya. Ia kemudian pulang meninggalkan diriku begitu saja di balai depan rumah bibinya.
"Lho, kenapa Laila?" tanya bibinya.
"Tidak tahu, Mbak!" jawabku pura-pura tidak tahu.
Bibinya mengejarnya keluar namun Laila sudah meninggalkan halaman rumah bibinya.
Selama seminggu aku tak berani menemuinya lagi. Dia selama itu pula tak pernah lagi datang ke rumah bibinya. Hampir setiap hari selalu kutitipkan salam kepadanya jika bibinya akan ke rumahnya. Namun tidak pernah ada balasan salam darinya. Berarti ia benar-benar marah pada saya.
"Dasar, bodoh! Kenapa diriku sebodoh ini? Dia gadis yang terlalu baik untukku. Andaikan dia berhasil menjadi pendampingku mungkin aku tidak separah ini?" tangis sesalku di tengah kegelapan malam.
Aduh, begitu penat diri yang penuh dengan masalah. Persoalan datang silih berganti mendera diriku yang lemah. Aku menyadari bahwa diriku mudah terkena pengaruh keadaan. Terutama masalah wanita. Persoalan dengan Ratna kemudian berganti dengan Laila. Laila yang begitu baik kusakiti hatinya.
"Ya, Tuhan! Masih maukah Kau mengampuni dosa-dosaku?" pintaku dalam doa.
"Berilah kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri," tambahku yang kemudian bayangan-bayangan Ratna dan Laila menghilang ditelan malam.
Yang terakhir bayangan yang muncul dari batinku adalah wajah Mahmud. Dia pemuda lugu yang pernah kusakiti hatinya. Wajah Mahmud memang tak setampan wajahku. Namun pacarnya yang bernama Resti luar biasa cantiknya. Setiap hari ketika dia berjalan bersama melintas di depanku, darah saya langsung mendidih. Entah mengapa aku  sangat cemburu jika melihat mereka berjalan berduaan. Pada suatu pagi aku merencanakan niat bejat untuk membuyarkan hubungan mereka. Temanku si Toni kusuruh menyerempetnya dengan motor bututnya. Aku akan berpura-pura melindunginya. Ketika motor Toni benar-benar melaju dengan kencang mau menyerempet Resti dengan cekatan aku melindunginya. Tubuhku yang terkena motor Toni terguling-guling ke tanah. Bahuku lecet-lecet dan sedikit memar karena terbentur motor Toni. Si Resti segera menghampiriku seraya mengusap darah yang memerah di luka-luka bahuku.
"Maaf, ya, Mas aku telah mencelakakanmu! Aku yang lalai tidak melihat jika ada motor di belakangku," kata Resti lembut dengan sedikit ketakutan.
"Ah, tidak apa-apa, kok. Aku ikhlas melakukan ini," ucapku membalas ucapannya.
Tanpa disengaja mata beningnya menatap mataku. Aku pun menatap mata beningnya. Sekitar empat detik kami saling berpandangan. Tangan si Mahmud tiba-tiba meraih tangan Resti yang begitu lembut dengan kasar. Dia merasa cemburu karena ia melihat Resti begitu mesra menolongku. Resti kaget dan hampir saja ia terjatuh.
"Apa-apaan, sih, kamu! Kasar banget! Saya ini sedang menolong, Mas, ini!" katanya sambil cemberut.
"Ayo, pergi dari sini!" paksa Mahmud dengan menggelandang tangan Resti.
Mahmud memang sudah kenal lama dengan saya. Jadi wajar jika dia cemburu seperti itu. Dia hapal dengan tabiat saya. Mungkin dia juga sadar bahwa aku punya maksud yang tersembunyi..
Siang hari ketika aku berjalan melewati tempat biasa Resti dan Mahmud bertemu, aku melihat dia bertengkar.
"Dasar lelaki tidak berguna. Ada orang celaka dibiarkan saja. Saya menolong malah dicemburui. Maksud kamu apa, sih?"
"Dia itu pemuda kurang ajar. Dia itu play boy. Wajar saja kalau saya cemburu saat kamu mengusap luka di bahunya dengan tisu yang kubelikan," kata Mahmud membenarkan sikapnya.
"Hai, Mahmud! Kamu jangan seenaknya mengatakan bahwa dia itu play boy. Mungkin kamu lebih play boy daripada dia," kata Resti.
Mendengar kata-kata Resti yang pedas, telingan Mahmud semakin panas. Tangan kanannya mengepal dengan geram. Bogeman mentah sempat mendarat di pipi Resti yang halus mulus itu. Saat Mahmud akan melayangkan bogeman kedua dengan sigap aku melompat menahan bogeman yang akan mendarat di pipi Resti lagi.
"Hentikan! Beraninya hanya dengan wanita yang tidak berdaya!" teriakku melarang.
"Walah, walah, walah! Ada pahlawan kesiangan, ta?" katanya mengejekku.
Aku tak pedulikan ejekannya. Segera kuhampiri Resti yang masih tersungkur di tanah dengan meringis menahan sakit di pipinya. Setetes darah keluar dari bibirnya kemudian kuusap dengan sapu tangan.
"Tidak apa-apa kamu?" tanyaku.
"Tidak, Mas," jawabnya sambil merangkul pundakku. Tak kusadari Mahmud menerjangku dari belakang kemudian menendangku berkali-kali hingga kuterjerembab di rerumputan tempat itu.
"Mahmud, jika berani jangan main belakang, dong! Kita berkelahi secara laki-laki. Saat Mahmud akan menyeragku tiba-tiba Resti bangkit dan  berdiri di hadapanku.
"Bukk!!" suara dari perut Resti saat tendangan Mahmud mengenainya. Resti lemas kemudian bergelayut di dekapanku. Ia pingsan.
Mahmud panik saat mengetahui bahwa tendangannya mengenai perut Resti. Dia gugup kemudian melarikan diri dari tempat itu.
Segelas air kuminumkan kepada Resti. Seteguk, dua teguk air masuk ke dalam perutnya. Perlahan resti siuman dari pingsannya kemudian kubopong berteduh bawah pohon yang rindang. Perutnya kuraba dengan kain yang kubasahi air sebelumnya. Dia merintih kesakitan. Perlahan-lahan dia bangun dan meminta diriku mengantarnya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah dia kusandarkan pada sebuah kursi tua di ruang tengah. Di rumah dia hanya tinggal bersama neneknya. Dia menarik tanganku kemudian mengecup mesra keningku sebagai mengucap terima kasih karena aku telah menolongnya.
"Mas! Maukah kau sebagai pacarku?" ucapnya mesra.
"Ah, jangan. Kamu kan pacarnya Mahmud," balasku dengan berharap agar dia benar-benar memutus Mahmud dan mengalihkan cintanya kepadaku.
"Jangan sebut lagi nama itu. Itu kenangan masa lalu. Kau begitu baik mau menolongku. Sebagai ucapan terima kasih maukah kau menjadi pacarku?" desaknya.
Aku diam sebentar untuk mencari waktu yang tepat. Dia memandangku dengan penuh kemanjaan. Hatiku berdebar-debar melihatnya memandangku seperti itu.
"Ya. Aku terima tawaranmu. Aku mau menjadi pacarmu!"
Dia kemudian memelukku di tengah panas matahari siang itu.
Jalinan kasih antara diriku dengan Resti tidak berlangsung lama saat orang tuaku tidak merestui hubunganku dengannya. Ayahku pernah memergoki Resti bermesraan dengan Mahmud di alun-alun kota. Dengan dasar itulah orang tuaku tidak menghendaki hubunganku dengan Resti berlanjut. Aku menurut kata meraka. Karena hubungan tanpa restu dari orang tua akan meninggalkan penderitaan yang berkepanjangan.
Di saat Resti sedang menikmati aroma bunga cinta yang kutiupkan pada hatinya, tanpa sebab aku datang ke rumahnya. Aku tak berpikir panjang kemudian Resti kuputus siang itu juga. Mendengar kata putusku di siang itu, dia laksana disambar petir. Dia kaget dan matanya terbelalak dengan mulut yang menganga lebar tanda tak percaya. Mata indahnya lembab kemudian mengalir deras membasahi celana ketat yang dipakainya.
"Apa salahku, hingga kau memutus cintaku?" tanya Resti dengan muka merah padam menahan kecewa.
"Panjang ceritanya. Yang jelas mulai detik ini, kau dan aku tak ada hubungan apa-apa lagi. Titik!"
Wajah cantik Resti kini bermurung durja. Ia kesal dengan sikapku yang arogan memutus cintanya. Aku sebenarnya tak tega melihat dia dalam kondisi seperti itu. Namun takdir telah berkata lain. Aku harus pergi dari kehidupan Resti. Biarlah aku membujang selamanya.
"Tuhaaaan! Maukah Kau memaafkan dosaku ini...?" teriakku dari dalam kamar sambil menengadahkan tangan meminta ampunan dariNya.
Bersamaan dengan itu jam alarmku berbunyi menandakan pukul 00.00 wib. Sedetik kemudian terdengar dentuman meriam dan petasan menggema memecah keheningan malam. Pemuda-pemudi yang berkumpul semenjak tadi meniup terompetnya dengan nada yang tak terartur. Kubuka perlahan pintu kamar dan keluar melihat suasana ramai di sepanjang jalan. Arak-arakkan motor berkeliling kota meninggalkan kebisingan di sepanjang jalan yang mereka lalui. ***
Lamongan, 31 Desember 2008




Tidak ada komentar:

Posting Komentar