Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 01 Agustus 2013

Dominggus, Si Anak Perbatasan

Dominggus, Si Anak Perbatasan
Oleh Ahmad Zaini*

Senja telah menunggu perjalanan waktu. Sebentar lagi bedug maghrib akan bertalu. Matahari merah telah benar-benar dihinggapi rasa kantuk. Ia sebentar lagi akan pergi ke peraduan untuk beristirahat. Raja siang itu telah kelelahan karena seharian penuh dia menyinari alam.
Angin terasa dingin. Perlahan-lahan cahaya hari mulai remang. Aku dan Dominggus duduk di beranda rumah sambil menanti saat berbuka puasa. Nah, ketika terdengar suara bedug maghrib bertalu-talu, kami lantas masuk ke dalam rumah melaksanakan berbuka puasa.
Sebutir kurma kumakan sebagai ta’jil. Kemudian segelas teh manis kuteguk agar rasa dahaga yang kurasa selama seharian sirna. Dominggus hanya terdiam. Ia menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin saja apa yang kulakukan saat ini tidak pernah ia jumpai saat ia masih tinggal bersama keluarganya di Atambua. Seharian penuh mulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam, aku tidak memakan dan meminum apa-apa. Setelah ada bedug maghrib, aku baru melaksanakan makan dan minum. Dia belum mengerti kalau aku sedang melaksanakan puasa Ramadhan.
“Dominggus, silakan diminum susunya!” Aku mempersilakan Dominggus yang sejak tadi hanya duduk memperhatikanku.
“Terima kasih, Iwan!” sahutnya.
Dominggus berasal dari Atambua. Ia diajak oleh ayahku ke Lamongan. Menurut cerita ayah, Dominggus telah terpisah dengan ayahnya sejak Timor-Timur resmi lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil jajak pendapat itu telah memisahkan dirinya dan ayahnya.
Ayah Dominggus termasuk pejuang prokemerdekaan. Ayah Dominggus selalu berada di baris terdepan pada setiap aksi yang menuntut agar Timor Timur merdeka menjadi negara yang berdiri sendiri atau lepas dari NKRI. Nah, waktu itu pemerintah pusat memberikan opsi kepada warga Timor Timur dengan mengadakan jajak pendapat. Akhirnya, kelompok prokemerdekaanlah yang memenangkan jajak pendapat tersebut.
Timor Timur menjadi negara sendiri. Provinsi termuda Indonesia ini resmi menjadi sebuah negara. Namanya negara Timor Leste. Fransiscus, ayah Dominggus, menentukan sikap politiknya menjadi warga negara Timor Leste.  Oleh karena itu, ia harus pindah ke negara baru tersebut.
Dominggus dan dua adiknya bersikukuh tetap tinggal di Indonesia. Ia tidak ikut dengan jejak ayahnya yang lebih memimilih Timor Leste sebagai negaranya. Dominggus dan dua adiknya tinggal di pengungsian bersama warga Atambua yang lain.
Selama hampir lima tahun Dominggus bertahan di pengungsian. Kebutuhan hidupnya bergantung dari kiriman petugas dari Dinas Sosial. Awal-awal di pengungsian, para pengungsi mendapat pelayanan yang bagus. Akan tetapi, lama-kelamaan fasilitas dan kiriman bahan makanan dari petugas mulai menyendat. Kadang satu atau dua hari baru mendapat kiriman. Akhirnya, Dominggus memilih keluar dari pengungsian untuk mencari kebutuhan hidup bersama kedua adiknya. Setiap hari mereka mencari sisa-sisa makanan para tentara asing yang berjaga di perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Setiap hari mereka mengais-ngais tumpukan sampah di dekat markas pasukan penjaga perbatasan untuk mencari bahan pengganjal perut.
Suatu hari, dua adik Dominggus terserang sakit perut. Daniel dan Franklin terguling-guling di emperan bekas toko sambil memegang-megang perutnya. Dominggus berteriak-teriak minta tolong kepada warga yang melintas. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak membawa obat yang bisa mengurangi rasa sakit yang dialami kedua adiknya. Karena hampir dua jam tidak mendapatkan pertolongan, kedua adik Dominggus akhirnya meninggal dunia.
Dominggus terbebani rasa bersalah. Setiap hari ia menangis di depan kuburan adik-adiknya. Dia menyesal karena sewaktu adiknya sakit, dia tidak segera lapor ke petugas kesehatan di markas penjaga perbatasan. Andaikan dia melapor ke petugas, mungkin kedua adiknya bisa diselamatkan.
Kini kedua adiknya telah menyatu dengan tanah.  Tak ada guna ia menyesali apa yang telah terjadi. Dominggus ingin membuka lembaran baru dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah warung. Setiap hari dia mendapat makan dan minum secara gratis dari pemilik warung.
Beberapa tahun dia bekerja di warung. Setiap ia diberi uang oleh pemilik warung, uang tersebut selalu disimpan. Setelah terkumpul banyak, dia ingin membuka usaha kecil-kecilan sepeti membuat makanan ringan lalu dijajakan di markas para penjaga perbatasan.
Dengan bantuan pemilik warung, Dominggus membuat makanan ringan. Satu dua hari Dominggus berjualan dengan lancar. Namun hari-hari berikutnya, usahanya mendapatkan halangan. Anak-anak yang sebaya dengannya sering mengambil jajanannya secara paksa. Akhirnya dia tidak bisa berjualan lagi.
Setiap hari Dominggus menangis. Ia merindukan sosok ayahnya yang tinggal di Timor Leste. Suatu saat ia berharap bisa bertemu dengan ayahnya dan bisa mengajaknya kembali ke Atambua.
Pagi dan sore para warga Timor Leste pergi dan pulang kerja. Mereka selalu berjalan beriringan melintas di jalan dekat dengan perbatasan. Sambil duduk di sebuah batu, Dominggus mengamati wajah para warga. Satu persatu wajah yang melintas ditatapnya. Akan tetapi selama berbulan-bulan dia belum juga menemukan ayahnya.
Ayahku, sang pemilik warung, merasa iba. Ia kemudian menawarkan kepada Dominggus ikut bersama ayah tinggal di Lamongan. Tawaran itu diterima oleh Dominggus. Nah, setelah itu ayahku mengajaknya pulang ke rumahku. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar