Dominggus,
Si Anak Perbatasan
Oleh
Ahmad Zaini*
Senja
telah menunggu perjalanan waktu. Sebentar lagi bedug maghrib akan bertalu.
Matahari merah telah benar-benar dihinggapi rasa kantuk. Ia sebentar lagi akan
pergi ke peraduan untuk beristirahat. Raja siang itu telah kelelahan karena
seharian penuh dia menyinari alam.
Angin
terasa dingin. Perlahan-lahan cahaya hari mulai remang. Aku dan Dominggus duduk
di beranda rumah sambil menanti saat berbuka puasa. Nah, ketika terdengar suara
bedug maghrib bertalu-talu, kami lantas masuk ke dalam rumah melaksanakan
berbuka puasa.
Sebutir
kurma kumakan sebagai ta’jil. Kemudian segelas teh manis kuteguk agar
rasa dahaga yang kurasa selama seharian sirna. Dominggus hanya terdiam. Ia
menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin saja apa yang kulakukan saat ini
tidak pernah ia jumpai saat ia masih tinggal bersama keluarganya di Atambua.
Seharian penuh mulai dari terbit fajar hingga matahari tenggelam, aku tidak
memakan dan meminum apa-apa. Setelah ada bedug maghrib, aku baru melaksanakan
makan dan minum. Dia belum mengerti kalau aku sedang melaksanakan puasa
Ramadhan.
“Dominggus,
silakan diminum susunya!” Aku mempersilakan Dominggus yang sejak tadi hanya
duduk memperhatikanku.
“Terima
kasih, Iwan!” sahutnya.
Dominggus
berasal dari Atambua. Ia diajak oleh ayahku ke Lamongan. Menurut cerita ayah,
Dominggus telah terpisah dengan ayahnya sejak Timor-Timur resmi lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil jajak pendapat itu telah memisahkan
dirinya dan ayahnya.
Ayah
Dominggus termasuk pejuang prokemerdekaan. Ayah Dominggus selalu berada di
baris terdepan pada setiap aksi yang menuntut agar Timor Timur merdeka menjadi
negara yang berdiri sendiri atau lepas dari NKRI. Nah, waktu itu pemerintah
pusat memberikan opsi kepada warga Timor Timur dengan mengadakan jajak
pendapat. Akhirnya, kelompok prokemerdekaanlah yang memenangkan jajak pendapat
tersebut.
Timor
Timur menjadi negara sendiri. Provinsi termuda Indonesia ini resmi menjadi
sebuah negara. Namanya negara Timor Leste. Fransiscus, ayah Dominggus,
menentukan sikap politiknya menjadi warga negara Timor Leste. Oleh karena itu, ia harus pindah ke negara
baru tersebut.
Dominggus
dan dua adiknya bersikukuh tetap tinggal di Indonesia. Ia tidak ikut dengan
jejak ayahnya yang lebih memimilih Timor Leste sebagai negaranya. Dominggus dan
dua adiknya tinggal di pengungsian bersama warga Atambua yang lain.
Selama
hampir lima tahun Dominggus bertahan di pengungsian. Kebutuhan hidupnya
bergantung dari kiriman petugas dari Dinas Sosial. Awal-awal di pengungsian,
para pengungsi mendapat pelayanan yang bagus. Akan tetapi, lama-kelamaan
fasilitas dan kiriman bahan makanan dari petugas mulai menyendat. Kadang satu
atau dua hari baru mendapat kiriman. Akhirnya, Dominggus memilih keluar dari
pengungsian untuk mencari kebutuhan hidup bersama kedua adiknya. Setiap hari
mereka mencari sisa-sisa makanan para tentara asing yang berjaga di perbatasan
antara Indonesia dengan Timor Leste. Setiap hari mereka mengais-ngais tumpukan
sampah di dekat markas pasukan penjaga perbatasan untuk mencari bahan
pengganjal perut.
Suatu
hari, dua adik Dominggus terserang sakit perut. Daniel dan Franklin terguling-guling
di emperan bekas toko sambil memegang-megang perutnya. Dominggus
berteriak-teriak minta tolong kepada warga yang melintas. Namun, mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak membawa obat yang bisa mengurangi rasa sakit
yang dialami kedua adiknya. Karena hampir dua jam tidak mendapatkan
pertolongan, kedua adik Dominggus akhirnya meninggal dunia.
Dominggus
terbebani rasa bersalah. Setiap hari ia menangis di depan kuburan adik-adiknya.
Dia menyesal karena sewaktu adiknya sakit, dia tidak segera lapor ke petugas
kesehatan di markas penjaga perbatasan. Andaikan dia melapor ke petugas,
mungkin kedua adiknya bisa diselamatkan.
Kini
kedua adiknya telah menyatu dengan tanah.
Tak ada guna ia menyesali apa yang telah terjadi. Dominggus ingin
membuka lembaran baru dengan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah
warung. Setiap hari dia mendapat makan dan minum secara gratis dari pemilik
warung.
Beberapa
tahun dia bekerja di warung. Setiap ia diberi uang oleh pemilik warung, uang
tersebut selalu disimpan. Setelah terkumpul banyak, dia ingin membuka usaha
kecil-kecilan sepeti membuat makanan ringan lalu dijajakan di markas para
penjaga perbatasan.
Dengan
bantuan pemilik warung, Dominggus membuat makanan ringan. Satu dua hari
Dominggus berjualan dengan lancar. Namun hari-hari berikutnya, usahanya
mendapatkan halangan. Anak-anak yang sebaya dengannya sering mengambil
jajanannya secara paksa. Akhirnya dia tidak bisa berjualan lagi.
Setiap
hari Dominggus menangis. Ia merindukan sosok ayahnya yang tinggal di Timor
Leste. Suatu saat ia berharap bisa bertemu dengan ayahnya dan bisa mengajaknya
kembali ke Atambua.
Pagi
dan sore para warga Timor Leste pergi dan pulang kerja. Mereka selalu berjalan
beriringan melintas di jalan dekat dengan perbatasan. Sambil duduk di sebuah
batu, Dominggus mengamati wajah para warga. Satu persatu wajah yang melintas
ditatapnya. Akan tetapi selama berbulan-bulan dia belum juga menemukan ayahnya.
Ayahku,
sang pemilik warung, merasa iba. Ia kemudian menawarkan kepada Dominggus ikut bersama
ayah tinggal di Lamongan. Tawaran itu diterima oleh Dominggus. Nah, setelah itu
ayahku mengajaknya pulang ke rumahku. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar