Ahli
Ibadah Penghuni Neraka
Cerpen
karya Ahmad Zaini
Kala
itu hari menjelang sore. Di kamar sederhana berdinding papan berukuran 2 x 3
meter persegi Tarmizi duduk di dipan yang terbuat dari bambu. Ia terdiam
merenungkan sesuatu yang hingga kini belum ada satu orang pun yang
mengetahuinya. Tarmizi seperti terbebani masalah yang amat berat. Dia terkadang
diam mematung di dipan tersebut hingga sejam atau dua jam. Ia tidak
mempedulikan kondisi fisiknya yang tak karu-karuan. Rambut hitam lurus yang
biasanya tersisir rapi dibiarkan seperti benang kusut. Wajah yang sebenarnya
besinar dibiarkan redup. Gigi berseri laksana biji ketimun dibiarkan kering
hingga menguning. Baju rapi dibiarkan kumal. Sarung biasanya kencang dibiarkan
kedodoran. Tarmizi benar-benar seperti lupa jati dirinya.
Maryamah,
istri Tarmizi bingung dengan sikap suaminya seperti orang lupa. Ia tak tahu
bagaimana cara mengorek keterangan darinya. Sikapnya yang sukar ditebak dan
terkadang menyalak jika mendengar pertanyaan tentang masalah yang dihadapinya.
Ia hanya bisa membuka pintu berselimut kelambu yang menutupi ruang kamarnya
dari luar hanya untuk sekadar menyuguhkan secangkir kopi atau sepiring ubi.
Hampir
lima tahun berjalan, Tarmizi melakukan tirakat. Tirakat merupakan upaya
manusia untuk hidup sederhana jauh dari kemewahan dunia dengan tujuan
menyucikan diri. Ia ingin hidupnya jauh dari kemayaan dunia yang serba penuh
tipu daya. Dia hanya ingin memfokuskan kehidupannya untuk kepentingan akhirat.
Setiap hari ia hanya memakan ubi dengan minum secangkir kopi buatan sendiri. Ia
juga menjaga jarak dengan kehidupan manusia lain agar tidak terpengaruh dengan
hal-hal yang tergolong perbuatan fasad atau yang bisa merusak niatnya.
Dari
ritual yang ia jalani beberapa tahun, tubuh dempalnya kini menjadi kurus.
Matanya cekung, kulitnya kusut. Kumis dan cambangnya juga tak terurus. Panjang
menjuntai hingga menutupi mulut serta bibirnya yang tebal.
“Pak,
apa yang kau lamunkan?” tanya Maryamah.
“Tidak
ada apa-apa. Aku tidak melamunkan sesuatu,” jawabnya ringan.
“Tapi
sikapmu tidak seperti biasanya. Setiap hari kulihat bibirmu berzikir menyebut
kebesaran dan kesucian Allah. Setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu kau
duduk bersila mengagungkan dzat-Nya. Setelah itu kau selalu membaca Alquran
dengan suara merdu. Akan tetapi, akhir-akhir ini kau hanya diam menundukkan
kepala seperti itu. Apa yang menyebabkan kau seperti itu?”
“Tidak
perlu kau tahu, Maryamah. Ini urusanku sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau
jangan egois seperti itu. Urusan rumah tangga selama ini sudah menjadi tanggung
jawabku. Urusan nafkah dan urusan anak-anak sudah kuurusi sejak kau mengatakan
kepadaku ingin uzlah atau menyepi sendiri di kamar mendekatkan diri
kepada Allah. Saat kau menghadapi masalah seperti ini, kau dengan enteng
menjawab pertanyaanku dengan jawaban ini urusan sebagai kepala rumah tangga.
Heh, kamu ini aneh!” ucap Maryamah sambil meninggalkan kamar tempat suaminya
menyendiri.
Suasana
rumah sebentar hening. Angin siang berhembus pelan membelai dedaunan pohon
serta tanaman ubi-ubian yang tumbuh di sekitar rumah Tarmizi. Tiba-tiba dari
ruang depan terdengar suara orang mengerang kemudian menabrak pintu rumah.
“Brakkk!”
terdengar suara keras benda yang menabrak pintu.
“Bu,
suara apa itu? Coba lihat!” perintah Tarmizi dari dalam kamar.
Maryamah
dengan tergopoh-gopoh lari dari ruang dapur melihat apa yang terjadi di ruang
depan.
“Ya,
Allah Husen, anakku! Tak bosan-bosannya setiap hari kau mabuk seperti ini.
Kapan kamu sadar, Nak?”
“Haaah...!
Sana menjauh dariku! Jangan kau sentuh kulit anakmu yang najis ini! Sana ke
kamar menyepi, menyendiri dengan bapak! Jangan urusi anakmu,” kata Husen
meronta sambil mendorong tubuhnya ibunya dengan mata menyala merah seperti
serigala yang akan menerkam mangsanya. Maryamah terpental hingga terduduk di
kursi panjang di ruang tamu.
“Husen!
Apa yang kau lalukan?” Tarmizi keluar dan menanyai Husen.
“Hahahahahaha!
Uweek! Orang suci keluar dari kamar! Jangan mendekat, Pak! Anakmu ini
najis. Menyingkirlah!” teriak Husen sembari mengehempaskan tubuh ayahnya yang
ringkih.
Tubuh
Husen terhuyung-huyung karena pengaruh minuman keras. Ia setiap hari
bermabuk-mabukan dengan menenggak arak yang disediakan oleh teman-temannya. Setiap
bangun tidur sekitar pukul sembilan pagi, Husen selalu pergi meninggalkan
rumah. Ketika sore menjelang senja, ia baru datang dalam kondisi mabuk seperti
itu. Pemandangan yang sagat miris dari anak seorang ahli ibadah.
“Pak,
apa yang harus kita lakukan?” tanya Maryamah kepada suaminya dengan derai air
mata.
“Kita
berdoa saja semoga Allah membuka pintu hati anak kita,” jawab Tarmizi.
“Sikap
dan perilaku anak-anak kita yang brutal dan jauh dari norma agama ini tampak sejak
kau memutuskan menyendiri hidup di kamar. Semenjak itu, anak-anak kita tak
pernah mendapat perhatian dan nasihat dari kita. Terutama dari kamu sebagai
seorang ayah.”
“Jadi,
kau menyalahkan aku?” kata Tarmizi dengan suara lantang kepada Maryamah.
“Pelan-pelan!
Jangan keras-keras, Pak! Nanti Husen mendengar,” pinta Maryamah.
“Biarkan
dia mendengar agar dia sadar!”
“Itu
bukan cara menyelesaikan masalah, Pak! Nanti yang ada malah menambah masalah,”
sanggah Maryamah.
Kata-kata
Maryamah yang menyudutkan Tarmizi menambah beban yang selama ini sudah membelenggu
Tarmizi. Dua bulan yang lalu dia sudah terbebani oleh nasihat Kiai Zen, teman
Tarmizi ketika mencari ilmu di pesantren Sarang. Ulama karismatik dari Pasuruan
ini pernah datang kepadanya lalu menyampaikan beberapa pesan.
Ketika
itu Kiai Zen datang ke rumah Tarmizi. Dia jauh-jauh datang dari Pasuruan karena
mendengar kabar bahwa Tarmizi telah melakukan uzlah atau menyepi.
Tarmizi telah meninggalkan keduaniawian termasuk meninggalkan tanggung jawabnya
sebagai kepala rumah tangga. Dia tidak pernah lagi bekerja untuk menafkahi istri
dan anak-anaknya. Setiap hari dia mengurung diri di kamar untuk melakukan
dzikir, beribadah kepada Allah. Kiai Zen berkeyakinan bahwa apa yang telah
dilakukan Tarmizi itu sesat. Tarmizi ingin menyucikan diri mendekatkan diri
kepada Allah, namun di sisi yang lain dia telah menelantarkan istri dan
anak-anaknya karena tidak pernah mencarikan nafkah dan membimbing mereka.
Karena
sikap Tarmizi yang salah itulah, sampai-sampai anak pertamanya, Maimun, tewas
dengan mengenaskan. Dia overdosis karena menenggak minuman oplosan. Dia
ditemukan warga dalam kondisi mati di pinggir jalan.
“Ketahuilah,
Kang bahwa yang kamu lakukan ini keliru. Allah memerintah kita agar kita
mencari kebahagiaan akhirat, tetapi kita jangan melupakan kewajiban-kewajiban
kita di dunia. Kewjiban kita apa? Karena kita mempunyai keluarga maka kewajiban
kita adalah menafkahi dan membimbing mereka. Jika kewajiban kepada keluargamu
itu kau abaikan, Ibadah yang kau lakukan selama bertahun-tahun ini akan sia-sia
kelak di akhirat,” kata Kiai Zen saat menasihati Tarmizi.
“Kok,
bisa? Saya setiap hari sudah beribadah. Mulai pagi hingga pagi lagi saya melulu
beribadah kepadanya. Maka Allah dengan sifat Rahman RahimNya akan memasukkan
saya ke surga,” bantah Tarmizi.
“Salah.
Kau tidak akan bisa masuk surga. Anak-anakmu yang tidak karuan-karuan
perilakunya itu akan menuntutmu. Mereka tidak akan rela masuk neraka sendiri
tanpa bapaknya.”
“Mereka
yang bermabuk-mabukan dengan menenggak minuman keras, dosanya tentu mereka sendiri
yang menanggung. Kenapa saya dilibatkan?” sangkal Tarmizi.
“Sempit
sekali pikiranmu. Dia berbuat fasiq atau berbuat dosa seperti itu karena
kau tidak pernah memberi bimbingan atau pendidikan kepada mereka. Mereka kau
biarkan terjerumus dalam kerusakan sedangkan kau sendiri malah dengan sikap
egomu terus beribadah sendirian kepada Allah. Sia-sia, Kang, ibadahmu karena
mereka akan menuntutmu masuk neraka. Dia akan menolak masuk neraka karena
kesalahannya suka bermabuk-mabukan akibat sikap ego orang tua yang tidak pernah
mendidiknya. Kau dan anak-anakmu yang menjadi bahan bakar api neraka.”
“Sudah-sudah,
jangan kau teruskan! Sampaikan saja
keperluanmu jauh-jauh datang ke sini!”
“Keperluanku
datang ke sini hanya menyadarkan saudaraku, Tarmizi. Kasihan istri dan
anak-anakmu. Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Kok,
tergesa-gesa? Ini ubi dan kopinya dinikmati dulu!”
“Tidak
usah. Aku terburu-buru karena santriku sudah menunggu di pesantrenku.
Assalamualaikum!”
“Waalaikum
salam!” jawab Tarmizi.
Setelah
Kiai Zen berpamitan pulang, Tarmizi lantas mengemasi secangkir kopi dan
sepiring ubi.
“Lho,
Pak! Tadi ada tamu?” tanya Maryamah yang baru saja datang dari berkebun.
“Tidak
ada.”
“Saya
kira ada tamu tadi. Kok tumben sampean makan ubi dan minum kopi di ruang
tamu.”
“Ingin
mencari angin saja,” jawab Tarmizi membohongi istrinya.
Semenjak
kunjungan Kiai Zen itulah, Tarmizi diliputi kebimbangan yang luar biasa. Ia
sering melamun duduk sendiri. Dia merasa apa yang disampaikan temannya di
pondok itu ada benarnya. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Anak pertamanya
telah mati karena overdosis minuman keras. Anak keduanya, Husen,
perilakunya sudah seperti binatang. Dia suka main wanita, mencuri, minum
minuman keras dan lain-lain.
Gerah
udara di kamar menambah sumpek pikiran Tarmizi. Dia semakin bimbang dalam
menentukan pilihan hidupnya. Dia takut menghadapi siksa neraka akibat
keteledorannya mengurusi dan membimbing anak-anaknya. Dia memutuskan ingin
mengakhiri penderitaan batin yang selama ini membelenggunya. Dengan sebilah
pisau dia mengiris urat nadi di tangan kirinya. Darah segar memuncrat hingga
memerciki mukanya, sajadahnya, sarungnya, serta baju kokonya. Tubuh ringkih itu
roboh tak bernyawa di kamar uzlahnya. (*)
Wanar,
10 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar