Lelaki Penakluk Panggung
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Gema membahana
tetabuhan perkusi mengiringi sebuah pementasan. Berhiaskan kilatan lighting aneka warna menerangi pelataran
panggung yang senyap. Lampu berangsur remang. Lama kelamaan gelap. Muka
panggung kelam menyembunyikan cerita. Suara perkusi semakin mengabur.
Suaranya perlahan sepi. Sunyi sekali.
Dalam hitungan detik
para penabuh menghentakkan kedua telapak tangannya lagi di gendang perkusi yang
menanti. Suaranya mengundang hasrat penonton yang duduk berlarik-larik di depan
panggung. Suara perkusi mulai mengantar lakon pementasan teater malam ini. Ya.
Pementasan terakhir dari lelaki penakluk panggung yang tersohor di jagad
teater.
“Samiun…! Samiun…!”
suara di balik panggung memanggil tokoh Samiun.
Seruan suara di balik
panggung tak henti-henti memanggili tokoh Samiun. Namun, Samiun tidak segera
muncul. Mata para penonton mengintip tempat keluar para pemain. Akan tetapi,
tatapan mereka hampa karena tokoh Samiun tidak kunjung muncul dari balik kain
hitam yang dijadikan setting pada pertunjukan kali ini.
Penonton mulai gaduh.
Suara demi suara para penonton yang memadati gedung pertunjukan menjejali ruang
hingga telinga ini disesakkan suara-suara mereka. Para penonton gusar karena
tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera muncul.
Para penonton berdebat
hebat. Mereka memperdebatkan tokoh Samiun yang tak muncul-muncul. Ada yang
mengatakan kejadian ini adalah bagian dari skenario pementasan malam ini. Ada
juga penonton yang mengatakan ini bukan dari skenario. Ini adalah kecelakaan
pementasan yang sering dialami para pekerja teater.
“Samiun…, di mana kau?
Muncullah!” suara dibalik panggung itu berimprovisasi dengan menambah dialog yang
tidak dituntut dalam naskah dengan tujuan agar tokoh Samiun segera muncul.
Ratusan penonton
mengangkat wajahnya. Mereka berharap tokoh Samiun yang diperankan oleh akctor
kawakan ini segera muncul di panggung. Mereka kecewa kesekian kalinya lantaran
tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera menampakkan wujudnya.
Sang sutradara yang
duduk di depan panggung juga heran. Dia tak menyangka jika alur cerita yang
telah dia persiapkan menjadi kacau-balau seperti ini. Sang sutradara dengan
cekatan mengambil sikap. Dia memunculkan tokoh-tokoh lain yang tidak
direncanakan dalam pementasan ini. Ada lima tokoh yang memakai kostum lucu
bermunculan ke atas penggung. Mereka berupaya meredam kegaduhan penonton yang
tak sabar menunggu tokoh Samiun dengan pantomim. Mereka mengangkat kisah jenaka
agar penonton tertawa.
Harapan sang sutradara
sirna. Para penonton bergolak-golak. Mereka menyoraki lima tokoh pantomim di
atas panggung. Mereka tidak mau niat mereka datang ke gedung pertunjukkan ini
sia-sia. Mereka hanya ingin menyaksikan pementasan tokoh Samiun, bukan yang
lain.
Gelombang suara penonton
yang mayoritas adalah pekerja dan penggila teater ini seperti gelegar suara
halilintar. Suara itu saling bersabung di ruang pertunjukan. Suara-suara itu
saling bertabrakan hingga memercikkan bunga-bunga api di atas panggung.
Panggung yang semula diam
perlahan bergerak. Panggung itu seakan bernyawa. Gerakan panggung itu semakin
lama semakin keras. Panggung tersebut meronta bagai banteng yang tak rela
punggungnya dinaiki para matador. Punggung
panggung tersebut melonjak-lonjak. Panggung itu melempar kelima tokoh pantomim
dari atas punggungnya. ke tengah-tengah penonton.
Sang sutradara panik.
Ia mengalami kepanikan yang luar biasa. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya
dapat menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan jiwanya untuk mencari
jalan keluar dari kejadian di luar batas kewajaran ini.
“Sial, sial, sial…!”
umpat sutradara.
Sang sutradara berlari ke belakang panggung. Ia mencari
lelaki pemeran tokoh Samiun. Setiap ia bertanya kepada orang yang dijumpai, tak
satu pun dari mereka yang menjawab. Mereka diam. Mereka membisu. Ia bagai
patung yang tak bisa memberikan manfaat kepada manusia.
Panggung pertunjukan
meronta-ronta semakin liar. Semua properti yang telah disiapkan di atas panggung
terlempar dan berserak memenuhi ruang. Bahkan ada yang menghantam para penonton
hingga terluka.
Para penonton tidak mau
kalah. Mereka tak ingin ditaklukkan benda mati yang kini bertenaga seperti
banteng terluka. Para penonton berusaha mengerahkan segala kemampuannya untuk
menaklukkan panggung. Akan tetapi, usaha mereka selalu gagal karena tak mampu
menjinakkan panggung yang menggila.
“Awas…!!” teriak salah
seorang penonton saat melihat sebuah properti meluncur hampir mengenai kepala
sang sutradara.
Sang sutradara dan para
penonton berlarian menjauh dari panggung. Lalu mereka berdiskusi tentang
bagaimana cara menaklukkan panggung tersebut.
“Di mana lelaki pemeran
tokoh Samiun? Dialah orang yang mungkin bisa menaklukkan panggung. Jiwanya
telah menyatu dengan panggung. Ruhnya telah bersatu dengan panggung. Segera
cari lelaki itu,” kata seorang penonton yang juga pengagum dari lelaki maestro
teater di daerah ini.
Sang sutradara terpaku.
Dia kagum pada usulan yang disampaikan oleh salah satu penonton. Sang sutradara
menatap salah seorang penonton yang berlari sambil mengendap-endap di samping
panggung. Salah seorang penonton itu bermaksud mencari lelaki pemeran tokoh
Samiun.
“Kau lihat lelaki
pemeran tokoh Samiun?” tanya orang tersebut kepada para kru teater yang masih
ketakutan.
“Kami tidak tahu. Kami
sejak tadi juga mencarinya.”
Orang itu kembali ke
sutradara dan para penonton yang masih berkerumun di luar ruang pertunjukan. Ia
mengabarkan kalau lelaki pemeran Samiun belum berhasil iatemukan.
Sang sutradara
manggut-manggut. Ia salut pada usaha orang itu. Sang sutradara kemudian duduk
bersandar pada dinding ruang pertunjukan. Dia ingin mencari cara bagaimana agar
aktornya itu muncul lalu menaklukkan panggung yang mengamuk dan telah menelan
banyak korban.
“Para penabuh, segera
bunyikan gendang kalian!” perintah sang sutradara.
Para penabuh segera
mengambili gendang yang masih berserak di pelataran. Mereka kemudian menata
gendang lalu duduk seperti sebelum kejadian ini.
Suara gendang mengalun
pelan. Tetabuhan berirama rancak itu menyenandungkan gending yang biasa digunakan
untuk mengiringi lelaki pemeran Samiun. Mereka sangat paham pada gending yang
disukai Samiun.
Baru beberapa saat
gending itu mengalun, panggung kembali mengamuk. Namun, amukan panggung ini
tidak memengaruhi para penabuh. Mereka tetap tenang merangkai gending. Mereka
tak menghiraukan panggung yang mengancam keselamatanya.
“Samiun…! Samiun…!”
Sang sutradara memanggil tokoh Samiun.
Tiba-tiba dari balik
panggung yang berdiri tegak itu, muncullah lelaki pemeran Samiun sambil menari
mengikuti iringan gendang para penabuh. Lelaki berperawakan kerempeng itu
menggerakkan kedua tangannya dengan lemah gemulai. Dia menari sesuai hentakan
gendang yang semakin lama semakin keras.
Lelaki itu menaiki
panggung. Ia bermonolog tentang kegaduhan-kegaduhan di negeri ini. Ia
menceritakan peristiwa-peristiwa ganjil yang membingungkan rakyat. Dalam
monolognya ia juga mengajak agar kita tetap menjadi orang yang eling lan waspodo.
“Wong eling lan waspodo
bakal bejo senahoso gak kaduman opo-opo,” katanya dalam monolog.
Lelaki itu berakting
total. Aktingnya semakin menjadi-jadi. Dia telah menyatu dengan panggung dan
ruang pertunjukan. Ia sangat mamahami dan menghayati peran yang ia bawakan. Ia
mampu memeras air mata penonton dengan cerita sedih tentang negeri ini. Tentang
negeri yang tak pernah surut air mata.
Baru setengah cerita
yang dibawakan Samiun, panggung kini jinak. Panggung itu tenang tak beringas
seperti sebelumnya. Panggung tersebut telah
menyatu dengan peran yang dibawakan lelaki itu. Seorang laki-laki yang telah
menghambakan diri pada teater.
Cerita dalam skenario telah
usai. Panggung terdiam. Panggung sunyi. Suara senyap. Demikian juga para
penonton yang berada di tempat pertunjukan. Mereka terhipnotis oleh cerita
Samiun. Mereka menangis, meratap, lalu merebah tak sadarkan diri. Panggung dan
para penonton tak berdaya. Mereka hanyut dalam cerita lalu menyatu dengan jiwa lelaki
yang mementaskan lakon terakhir kalinya ini. (*)
Wanar, 27
Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar