Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 06 Maret 2015

Lelaki Penakluk Panggung



Lelaki Penakluk Panggung
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Gema membahana tetabuhan perkusi mengiringi sebuah pementasan. Berhiaskan kilatan lighting aneka warna menerangi pelataran panggung yang senyap. Lampu berangsur remang. Lama kelamaan gelap. Muka panggung kelam menyembunyikan cerita. Suara perkusi semakin mengabur. Suaranya  perlahan sepi. Sunyi sekali.
Dalam hitungan detik para penabuh menghentakkan kedua telapak tangannya lagi di gendang perkusi yang menanti. Suaranya mengundang hasrat penonton yang duduk berlarik-larik di depan panggung. Suara perkusi mulai mengantar lakon pementasan teater malam ini. Ya. Pementasan terakhir dari lelaki penakluk panggung yang tersohor di jagad teater.
“Samiun…! Samiun…!” suara di balik panggung memanggil tokoh Samiun.
Seruan suara di balik panggung tak henti-henti memanggili tokoh Samiun. Namun, Samiun tidak segera muncul. Mata para penonton mengintip tempat keluar para pemain. Akan tetapi, tatapan mereka hampa karena tokoh Samiun tidak kunjung muncul dari balik kain hitam yang dijadikan setting pada pertunjukan kali ini.
Penonton mulai gaduh. Suara demi suara para penonton yang memadati gedung pertunjukan menjejali ruang hingga telinga ini disesakkan suara-suara mereka. Para penonton gusar karena tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera muncul.
Para penonton berdebat hebat. Mereka memperdebatkan tokoh Samiun yang tak muncul-muncul. Ada yang mengatakan kejadian ini adalah bagian dari skenario pementasan malam ini. Ada juga penonton yang mengatakan ini bukan dari skenario. Ini adalah kecelakaan pementasan yang sering dialami para pekerja teater.
“Samiun…, di mana kau? Muncullah!” suara dibalik panggung itu berimprovisasi dengan menambah dialog yang tidak dituntut dalam naskah dengan tujuan agar tokoh Samiun segera muncul.
Ratusan penonton mengangkat wajahnya. Mereka berharap tokoh Samiun yang diperankan oleh akctor kawakan ini segera muncul di panggung. Mereka kecewa kesekian kalinya lantaran tokoh yang ditunggu-tunggu tidak segera menampakkan wujudnya.
Sang sutradara yang duduk di depan panggung juga heran. Dia tak menyangka jika alur cerita yang telah dia persiapkan menjadi kacau-balau seperti ini. Sang sutradara dengan cekatan mengambil sikap. Dia memunculkan tokoh-tokoh lain yang tidak direncanakan dalam pementasan ini. Ada lima tokoh yang memakai kostum lucu bermunculan ke atas penggung. Mereka berupaya meredam kegaduhan penonton yang tak sabar menunggu tokoh Samiun dengan pantomim. Mereka mengangkat kisah jenaka agar penonton tertawa.
Harapan sang sutradara sirna. Para penonton bergolak-golak. Mereka menyoraki lima tokoh pantomim di atas panggung. Mereka tidak mau niat mereka datang ke gedung pertunjukkan ini sia-sia. Mereka hanya ingin menyaksikan pementasan tokoh Samiun, bukan yang lain.
Gelombang suara penonton yang mayoritas adalah pekerja dan penggila teater ini seperti gelegar suara halilintar. Suara itu saling bersabung di ruang pertunjukan. Suara-suara itu saling bertabrakan hingga memercikkan bunga-bunga api di atas panggung.
Panggung yang semula diam perlahan bergerak. Panggung itu seakan bernyawa. Gerakan panggung itu semakin lama semakin keras. Panggung tersebut meronta bagai banteng yang tak rela punggungnya dinaiki para matador. Punggung panggung tersebut melonjak-lonjak. Panggung itu melempar kelima tokoh pantomim dari atas punggungnya. ke tengah-tengah penonton.
Sang sutradara panik. Ia mengalami kepanikan yang luar biasa. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan jiwanya untuk mencari jalan keluar dari kejadian di luar batas kewajaran ini.
“Sial, sial, sial…!” umpat sutradara.
Sang sutradara  berlari ke belakang panggung. Ia mencari lelaki pemeran tokoh Samiun. Setiap ia bertanya kepada orang yang dijumpai, tak satu pun dari mereka yang menjawab. Mereka diam. Mereka membisu. Ia bagai patung yang tak bisa memberikan manfaat kepada manusia.
Panggung pertunjukan meronta-ronta semakin liar. Semua properti yang telah disiapkan di atas panggung terlempar dan berserak memenuhi ruang. Bahkan ada yang menghantam para penonton hingga terluka.
Para penonton tidak mau kalah. Mereka tak ingin ditaklukkan benda mati yang kini bertenaga seperti banteng terluka. Para penonton berusaha mengerahkan segala kemampuannya untuk menaklukkan panggung. Akan tetapi, usaha mereka selalu gagal karena tak mampu menjinakkan panggung yang menggila.
“Awas…!!” teriak salah seorang penonton saat melihat sebuah properti meluncur hampir mengenai kepala sang sutradara.
Sang sutradara dan para penonton berlarian menjauh dari panggung. Lalu mereka berdiskusi tentang bagaimana cara menaklukkan panggung tersebut.
“Di mana lelaki pemeran tokoh Samiun? Dialah orang yang mungkin bisa menaklukkan panggung. Jiwanya telah menyatu dengan panggung. Ruhnya telah bersatu dengan panggung. Segera cari lelaki itu,” kata seorang penonton yang juga pengagum dari lelaki maestro teater di daerah ini.
Sang sutradara terpaku. Dia kagum pada usulan yang disampaikan oleh salah satu penonton. Sang sutradara menatap salah seorang penonton yang berlari sambil mengendap-endap di samping panggung. Salah seorang penonton itu bermaksud mencari lelaki pemeran tokoh Samiun.
“Kau lihat lelaki pemeran tokoh Samiun?” tanya orang tersebut kepada para kru teater yang masih ketakutan.
“Kami tidak tahu. Kami sejak tadi juga mencarinya.”
Orang itu kembali ke sutradara dan para penonton yang masih berkerumun di luar ruang pertunjukan. Ia mengabarkan kalau lelaki pemeran Samiun belum berhasil iatemukan.
Sang sutradara manggut-manggut. Ia salut pada usaha orang itu. Sang sutradara kemudian duduk bersandar pada dinding ruang pertunjukan. Dia ingin mencari cara bagaimana agar aktornya itu muncul lalu menaklukkan panggung yang mengamuk dan telah menelan banyak korban.
“Para penabuh, segera bunyikan gendang kalian!” perintah sang sutradara.
Para penabuh segera mengambili gendang yang masih berserak di pelataran. Mereka kemudian menata gendang lalu duduk seperti sebelum kejadian ini.
Suara gendang mengalun pelan. Tetabuhan berirama rancak itu menyenandungkan gending yang biasa digunakan untuk mengiringi lelaki pemeran Samiun. Mereka sangat paham pada gending yang disukai Samiun.
Baru beberapa saat gending itu mengalun, panggung kembali mengamuk. Namun, amukan panggung ini tidak memengaruhi para penabuh. Mereka tetap tenang merangkai gending. Mereka tak menghiraukan panggung yang mengancam keselamatanya.
“Samiun…! Samiun…!” Sang sutradara memanggil tokoh Samiun.
Tiba-tiba dari balik panggung yang berdiri tegak itu, muncullah lelaki pemeran Samiun sambil menari mengikuti iringan gendang para penabuh. Lelaki berperawakan kerempeng itu menggerakkan kedua tangannya dengan lemah gemulai. Dia menari sesuai hentakan gendang yang semakin lama semakin keras.
Lelaki itu menaiki panggung. Ia bermonolog tentang kegaduhan-kegaduhan di negeri ini. Ia menceritakan peristiwa-peristiwa ganjil yang membingungkan rakyat. Dalam monolognya ia juga mengajak agar kita tetap menjadi orang yang eling lan waspodo.
“Wong eling lan waspodo bakal bejo senahoso gak kaduman opo-opo,” katanya dalam monolog.
Lelaki itu berakting total. Aktingnya semakin menjadi-jadi. Dia telah menyatu dengan panggung dan ruang pertunjukan. Ia sangat mamahami dan menghayati peran yang ia bawakan. Ia mampu memeras air mata penonton dengan cerita sedih tentang negeri ini. Tentang negeri yang tak pernah surut air mata.
Baru setengah cerita yang dibawakan Samiun, panggung kini jinak. Panggung itu tenang tak beringas seperti sebelumnya. Panggung tersebut telah  menyatu dengan peran yang dibawakan lelaki itu. Seorang laki-laki yang telah menghambakan diri pada teater.
Cerita dalam skenario telah usai. Panggung terdiam. Panggung sunyi. Suara senyap. Demikian juga para penonton yang berada di tempat pertunjukan. Mereka terhipnotis oleh cerita Samiun. Mereka menangis, meratap, lalu merebah tak sadarkan diri. Panggung dan para penonton tak berdaya. Mereka hanyut dalam cerita lalu menyatu dengan jiwa lelaki yang mementaskan lakon terakhir kalinya ini. (*)

Wanar, 27 Januari 2015






Tidak ada komentar:

Posting Komentar