Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 09 Januari 2017

Pohon Angkara (Radar Bojonegoro, Jawa Pos Grup, 1 Januari 2017)

Pohon Angkara
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Sepanjang sore hujan turun landai. Jemarinya membelai rerumput dan pepohon dengan lembut. Semua yang berada di wajah bumi basah. Tak ada sebidang tanah pun yang kering. Tidak terkecuali alun-alun kota yang menjadi idola warga untuk menghabiskan malam Minggu.
Malam minggu tahun ini terasa istimewa. Malam yang ditunggu-tunggu kawula muda ini bertepatan dengan malam pergantian tahun baru. Semenjak sore sudah tercium aroma pergantian tahun masehi ini. Para remaja dari segala penjuru mulai berdatangan ke alun-alun tersebut. Walhasil, dalam sekejap alun-alun kota yang membentang luas dipenuhi para remaja yang akan turut serta pesta pergantian tahun baru di tempat itu.
Di sudut alun-alun terdapat pohon besar yang biasa disebut oleh warga sekitar sebagai pohon angkara. Pohon besar yang diperkirakan berusia ratusan tahun ini telah menjadi ikon alun-alun itu. Seakan-akan pohon angkara dan alun-alun telah mengalami manunggaling jiwo . Sehingga, banyak warga menyebutkan alun-alun itu dengan sebutan alun-alun pohon angkara.

Pohon angkara yang berdiri kokoh di pojok alun-alun terkenal angker. Selain bentuknya yang besar dan menjulang tinggi, pohon itu juga di huni oleh makhluk halus sebangsa Genderuwo. Hantu yang serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu itu konon sebagai penunggu pohon tersebut. Hal ini pernah diceritakan oleh pedagang kacang rebus yang biasa mangkal di dekat pohon angkara.
Suatu malam pedagang kacang rebus itu berjualan di bawah pohon angkara. Tepatnya ketika ada acara nyadran yang dilakukan oleh warga sekitar alun-alun. Setelah acara selesai warga yang hadir dalam acara telah membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Karena kelelahan, pedagang kacang rebus tertidur di bawah pohon angkara. Saat tengah malam dia terbangun. Dia merasa ada seseorang yang mengguncang-guncangkan tubuhnya. Membangunkan dirinya. Ia duduk. Matanya menyapu seluruh titik yang berada di sekitarnya. Dia tidak menemukan satu orang pun di situ. Pedagang itu berdiri ketakutan. Saat dia melipat gelaran dan akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri sosok tinggi besar seperti raksasa. Sosok itu bermulut lebar dengan gigi yang menyeringai. Matanya melotot. Tangan-tangannya yang berkuku tajam hendak menggenggam dirinya. Pedagang itu lantas berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
”Tolong, Pak! Tolong!” pintanya pada penjual tahu campur yang hendak pulang.
”Ada apa?” tanya penjual tahu campur tersebut.
”Ada gen,gen, genderuwo!” jawabnya dengan terbata-bata.
Penjual tahu campur itu hanya tersenyum saja. Rupanya dia sudah mengerti bahwa pohon itu tempat genderuwo.
Kok malah tersenyum?” tanya pedagang kacang rebus itu keheranan.
”Sejak dulu tempat itu angker. Tempat genderuwo. Makanya tak satu pun pedagang di sini yang berani berjualan di sekitar situ. Hanya sampean yang berani di situ.”
Pedagang kacang rebus itu hanya terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala saat diberi tahu penjual tahu campur tentang keangkeran pohon angkara.
”Sungguh saya tidak tahu Pak. Andai tahu seperti itu, saya yang tidak mungkin berjualan di situ. Ini akibatnya,” katanya sambil menunjuk sisa air kencing yang masih menetes di ujung celananya.
”Hahahahahaha!” tawa penjual tahu campur sembari meninggalkan tempat itu.
***
Para remaja sudah memadati alun-alun. Mereka sudah berkumpul dengan perlengkapan pesta untuk merayakan pergantian tahun. Mereka membawa topi kerucut dan terompet beraneka rupa serta ukuran. Di tengah alun-alun juga telah disiapkan mercon berukuran besar. Mercon itu akan disulut saat pukul 00.00.
Jam raksasa di menara tua terus berdetak. Jarum-jarumnya menapaki angka demi angka. Jarum itu tak pernah lelah bergerak memberi tahu warga tentang waktu yang mereka jalani saat ini. Ketika malam semakin kelam, jarum itu hampir saja berlabuh di angka dua belas. Semua mata menatap ke arah jam itu tanpa berkedip. Mereka tak ingin melewatkan moment penambahan waktu, usia, dan kesempatan hidup.
Blummmmm!!!” suara meriam menggema dari tengah alun-alun.
Para warga yang sebagian adalah kaum remaja berjingkrak ria. Mereka meniup terompet yang diconcong sejak sore. Gemuruh raungan terompet bersahutan. Suara itu membangunkan dedaunan yang mengatup sejak memasuki sandikala. Suasana di alun-alun sangat meriah. Bulu kuduk serasa berdiri dan merinding saat melihat kemeriahan alun-alun kota.
Kemeriahan suasana di alun-alun sebentar terusik oleh sesuatu yang ganjil. Ada semacam kekuatan yang hendak menyerang para pengunjung pesta pergantian tahun. Mereka saling beradu mata kemudian saling bertanya tentang keganjilan yang mereka rasakan.
”Tidak tahu,” jawab salah satu warga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Belum sempat mereka mendapatkan jawaban dari yang lain, bumi di alun-alun itu tiba-tiba bergerak. Seperti akan terjadi gempa bumi. Pemuda-pemudi yang dimabuk pesta tahun baru saling berangkulan. Mereka menguatkan kuda-kuda kakinya agar tidak tersungkur.
”Tolong! Tolong! Tolong!” teriak mereka.
Mata mereka semakin terbelalak ketika melihat pohon angkara yang berada di sudut alun-alun terbang. Pohon itu tercerabut dari asalnya. Pohon yang terkenal angker itu berputar-putar di angkasa. Batangnya yang besar serta daun-daunnya yang lebat terlihat terbang ke sana kemari. Pohon angkara mengamuk dan mengusir para warga yang berpesta pora merayakan tahun baru. Pohon raksasa yang berada di atas itu lantas menghujam ke bumi. Para warga berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat pesta. Mereka berusaha menghindar dari malapetaka yang akan menimpanya. Sesampai di tanah, pohon itu berputar-putar. Batang, dahan, dan rantingnya menyapu warga hingga terlempar jauh ke luar alun-alun. Teriak histeris kesakitan dan ketakutan mereka melukai malam pesta tahun baru. Pesta yang berakhir tragis lantaran amukan pohon angkara yang angker itu.
***
Pagi hari suasana berkabung menyelimuti alun-alun kota. Tetes air mata bercampur gerimis mengiringi pagi perdana di tahun baru ini. Para keluarga dan handai tolan tersedu dalam tangis. Warga yang lain bahu-membahu mengevakuasi korban. Mereka membawa korban amukan pohon angkara ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan. Sedangkan korban yang meninggal, telah dibawa pulang keluarganya untuk dikebumikan.
Semenjak kejadian itu, setiap malam pergantian tahun baru para warga tidak berani mengadakan pesta pora di alun-alun. Mereka mengadakan doa bersama. Mereka memohon kepada Tuhan agar diberi umur panjang serta keselamatan. (*)

Wanar, 31 Desember 2016


*Cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
Selain bergiat dalam kesastraan, cerpenis juga sebagai pengajar di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat

  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar