Pohon Angkara
Cerpen
karya Ahmad Zaini*
Sepanjang sore hujan turun landai. Jemarinya membelai rerumput dan pepohon
dengan lembut. Semua yang berada di wajah bumi basah. Tak ada sebidang tanah
pun yang kering. Tidak terkecuali alun-alun kota yang menjadi idola warga untuk
menghabiskan malam Minggu.
Malam minggu tahun ini terasa istimewa. Malam yang ditunggu-tunggu kawula
muda ini bertepatan dengan malam pergantian tahun baru. Semenjak sore sudah
tercium aroma pergantian tahun masehi ini. Para remaja dari segala penjuru
mulai berdatangan ke alun-alun tersebut. Walhasil,
dalam sekejap alun-alun kota yang membentang luas dipenuhi para remaja yang
akan turut serta pesta pergantian tahun baru di tempat itu.
Di sudut alun-alun terdapat pohon besar yang biasa disebut oleh warga
sekitar sebagai pohon angkara. Pohon besar yang diperkirakan berusia ratusan
tahun ini telah menjadi ikon alun-alun itu. Seakan-akan pohon angkara dan
alun-alun telah mengalami manunggaling
jiwo . Sehingga, banyak warga menyebutkan alun-alun itu dengan sebutan
alun-alun pohon angkara.
Pohon angkara yang berdiri kokoh di pojok alun-alun terkenal angker. Selain
bentuknya yang besar dan menjulang tinggi, pohon itu juga di huni oleh makhluk
halus sebangsa Genderuwo. Hantu yang serupa manusia yang tinggi besar dan
berbulu itu konon sebagai penunggu pohon tersebut. Hal ini pernah diceritakan
oleh pedagang kacang rebus yang biasa mangkal di dekat pohon angkara.
Suatu malam pedagang kacang rebus itu berjualan di bawah pohon angkara.
Tepatnya ketika ada acara nyadran
yang dilakukan oleh warga sekitar alun-alun. Setelah acara selesai warga yang
hadir dalam acara telah membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing.
Karena kelelahan, pedagang kacang rebus tertidur di bawah pohon angkara. Saat
tengah malam dia terbangun. Dia merasa ada seseorang yang
mengguncang-guncangkan tubuhnya. Membangunkan dirinya. Ia duduk. Matanya
menyapu seluruh titik yang berada di sekitarnya. Dia tidak menemukan satu orang
pun di situ. Pedagang itu berdiri ketakutan. Saat dia melipat gelaran dan akan
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri sosok tinggi besar
seperti raksasa. Sosok itu bermulut lebar dengan gigi yang menyeringai. Matanya
melotot. Tangan-tangannya yang berkuku tajam hendak menggenggam dirinya.
Pedagang itu lantas berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
”Tolong, Pak! Tolong!” pintanya pada penjual tahu campur yang hendak pulang.
”Ada apa?” tanya penjual tahu campur tersebut.
”Ada gen,gen, genderuwo!” jawabnya dengan terbata-bata.
Penjual tahu campur itu hanya tersenyum saja. Rupanya dia sudah mengerti
bahwa pohon itu tempat genderuwo.
”Kok malah tersenyum?” tanya
pedagang kacang rebus itu keheranan.
”Sejak dulu tempat itu angker. Tempat genderuwo. Makanya tak satu pun
pedagang di sini yang berani berjualan di sekitar situ. Hanya sampean yang berani di situ.”
Pedagang kacang rebus itu hanya terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala
saat diberi tahu penjual tahu campur tentang keangkeran pohon angkara.
”Sungguh saya tidak tahu Pak. Andai tahu seperti itu, saya yang tidak
mungkin berjualan di situ. Ini akibatnya,” katanya sambil menunjuk sisa air
kencing yang masih menetes di ujung celananya.
”Hahahahahaha!” tawa penjual tahu campur sembari meninggalkan tempat itu.
***
Para remaja sudah memadati alun-alun. Mereka sudah berkumpul dengan
perlengkapan pesta untuk merayakan pergantian tahun. Mereka membawa topi
kerucut dan terompet beraneka rupa serta ukuran. Di tengah alun-alun juga telah
disiapkan mercon berukuran besar. Mercon itu akan disulut saat pukul 00.00.
Jam raksasa di menara tua terus berdetak. Jarum-jarumnya menapaki angka
demi angka. Jarum itu tak pernah lelah bergerak memberi tahu warga tentang
waktu yang mereka jalani saat ini. Ketika malam semakin kelam, jarum itu hampir
saja berlabuh di angka dua belas. Semua mata menatap ke arah jam itu tanpa
berkedip. Mereka tak ingin melewatkan moment penambahan waktu, usia, dan
kesempatan hidup.
”Blummmmm!!!” suara meriam
menggema dari tengah alun-alun.
Para warga yang sebagian adalah kaum remaja berjingkrak ria. Mereka meniup
terompet yang diconcong sejak sore.
Gemuruh raungan terompet bersahutan. Suara itu membangunkan dedaunan yang
mengatup sejak memasuki sandikala. Suasana di alun-alun sangat meriah. Bulu
kuduk serasa berdiri dan merinding saat melihat kemeriahan alun-alun kota.
Kemeriahan suasana di alun-alun sebentar terusik oleh sesuatu yang ganjil.
Ada semacam kekuatan yang hendak menyerang para pengunjung pesta pergantian
tahun. Mereka saling beradu mata kemudian saling bertanya tentang keganjilan
yang mereka rasakan.
”Tidak tahu,” jawab salah satu warga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Belum sempat mereka mendapatkan jawaban dari yang lain, bumi di alun-alun
itu tiba-tiba bergerak. Seperti akan terjadi gempa bumi. Pemuda-pemudi yang
dimabuk pesta tahun baru saling berangkulan. Mereka menguatkan kuda-kuda
kakinya agar tidak tersungkur.
”Tolong! Tolong! Tolong!” teriak mereka.
Mata mereka semakin terbelalak ketika melihat pohon angkara yang berada di
sudut alun-alun terbang. Pohon itu tercerabut dari asalnya. Pohon yang terkenal
angker itu berputar-putar di angkasa. Batangnya yang besar serta daun-daunnya
yang lebat terlihat terbang ke sana kemari. Pohon angkara mengamuk dan mengusir
para warga yang berpesta pora merayakan tahun baru. Pohon raksasa yang berada
di atas itu lantas menghujam ke bumi. Para warga berlari tunggang-langgang meninggalkan
tempat pesta. Mereka berusaha menghindar dari malapetaka yang akan menimpanya. Sesampai
di tanah, pohon itu berputar-putar. Batang, dahan, dan rantingnya menyapu warga
hingga terlempar jauh ke luar alun-alun. Teriak histeris kesakitan dan
ketakutan mereka melukai malam pesta tahun baru. Pesta yang berakhir tragis
lantaran amukan pohon angkara yang angker itu.
***
Pagi hari suasana berkabung menyelimuti alun-alun kota. Tetes air mata
bercampur gerimis mengiringi pagi perdana di tahun baru ini. Para keluarga dan
handai tolan tersedu dalam tangis. Warga yang lain bahu-membahu mengevakuasi
korban. Mereka membawa korban amukan pohon angkara ke rumah sakit terdekat
untuk menjalani perawatan. Sedangkan korban yang meninggal, telah dibawa pulang
keluarganya untuk dikebumikan.
Semenjak kejadian itu, setiap malam pergantian tahun baru para warga tidak
berani mengadakan pesta pora di alun-alun. Mereka mengadakan doa bersama.
Mereka memohon kepada Tuhan agar diberi umur panjang serta keselamatan. (*)
Wanar, 31 Desember
2016
Selain
bergiat dalam kesastraan, cerpenis juga sebagai pengajar di SMA Raudlatul
Muta’allimin Babat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar