Kampung yang Terkubur
Cerpen karya Ahmad Zaini
Cahaya rembulan sempat memancari bumi. Namun, tak lama
cahayanya telah terbungkus mendung lagi. Angin malam semakin kencang. Udara
terasa tambah dingin. Sedangkan, tumpukan kertas tugas kuliahku masih menumpuk
di meja belajar. Aku menguak karena kantuk telah datang mengganggu tugasku.
Kutinggalkan sejenak pekerjaanku menuju dapur. Sebungkus kopi kuseduh dengan
air panas. Aromanya menyengat hingga menusuk ubun-ubun. Rasa kantuk yang sempat
menindih diriku parlahan sirna oleh aromanya. Dengan beralas lepek aku membawa
secangkir kopi. Kemudian, aku duduk di belakang meja belajar. Sesruput kopi
telah membuka mataku. Bersamaan dengan kusandarkan punggungku, turunlah hujan
lebat disertai petir.
Sudah seminggu ini hujan selalu menyambangi bumi. Terkadang
pagi, siang, sore, atau malam hari. Hujan datang tak peduli waktu lagi.
Berbagai aktivitas manusia terganggu oleh datangnya hujan yang tidak menentu
ini. Banyak di antara mereka harus membatalkan jadwal kegiatan.
Aku mengintip hujan dari celah jendela ruang belajarku.
Ternyata lebat sekali. Sinar lampu yang tergantung di pinggir jalan itu hampir
tak tampak. Cahayanya tak mampu menembus derasnya hujan yang seperti
ditumpahkan begitu saja dari langit.
Tugas kuliah yang sempat kutunda kukerjakan lagi.
Tumpukan data yang harus kuanalisis perlahan-lahan kumulai lagi.
”Jlegar!!!” bunyi petir meluluhlantakkan
konsentrasiku. Listrik padam seketika. Suasana ruang belajar gelap pekat.
Aku terperangkap sendiri di ruang belajarku yang kini
gelap gulita. Tak terlihat sedikit pun benda-benda yang berada di sekelilingku.
Lampu otomatis yang menyatu dengan lampu penerang kamarku juga tak berfungsi.
Lampu tersebut tida dapat menyimpan energi listrik lagi.
Kedua orang tuaku terbangun. Mereka memanggiliku. Mereka
hendak menyuruhku menyulut lilin yang berada di laci almari di ruang tengah.
Aku berjalan dengan hati-hati sekali. Kedua tanganku merayapi dinding kamarku agar
menuntunku sampai ke pintu kamar.
Sesampai di ruang tengah aku hampir saja terpelanting.
Ada genangan air hujan di lantai karena atap rumahku sedikit bocor. Rupanya
ayahku lupa mengundang tukang langganannya untuk memperbaikinya.
Sebatang lilin kunyalakan dengan pemantik api yang berada
di sebelahnya. Remang bayang diriku yang duduk dekat lilin membetuk slide
di dinding ruang tengah. Bayanganku duduk tertunduk resah pada hujan yang tak
pernah lelah.
Gelegar halilintar berdentuman bagai meriam. Kilat
bersabung di angkasa laksana terjadi adu kesaktian para pendekar sakti
mandraguna. Harapanku untuk melanjutkan pengerjaan tugas kuliah pupus sudah
lantaran kantuk tak dapat kuhadang. Kurebahkan tubuhku di ranjang kamar
tidurku.
Anganku mulai berselancar ke luar rumah. Berbagai
peristiwa bergantian muncul dalam ingatanku. Tentang banjir yang melanda ibu
kota dan berbagai daerah di negeri ini. Tentang tanah longsor dan tanah pecah. Tentang
tanah bergerak dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut berjejal datang
sehingga aku semakin sulit memejamkan mata.
Aku prihatin sekali dengan sikap manusia saat ini. Ketika
bencana datang mendera, manusia tidak mau instropeksi. Mereka tidak mau
mengevaluasi diri. Mereka lupa bahwa bencana alam melanda bumi ini bukan tanpa
sebab. Hanya manusia sendiri yang tidak mengetahui dan tidak menyadari
sebab-sebabnya itu. Yang paling aneh adalah saat bencana alam menimpa suatu
daerah, para penduduk malah datang beramai-ramai menuntut pejabat
pemerintahannya yang dianggap tidak becus mengatasi bencana.
”Pejabat punya kuasa apa atas bencana ini? Mereka itu
hanya mampu menyusun strategi dan administrasi pemerintahannya. Mereka hanya
bisa berusaha menanggulanginya. Tuhanlah yang berkuasa atas bencana-bencana
alam yang mendera bumi kita,” ujar salah seorang yang alim untuk mengingatkan warga yang terus-menerus
menyalahkan pejabat.
”Tidak bisa. Selain harus menolak bencana, pejabat juga
harus bertanggung jawab atas kerusakan rumah kami akibat banjir,” teriak salah
satu dari warga.
”Barang apa yang rusak? Berapa nilainya,” tanya si alim itu
dengan tenang.
”Rumah dan barang-barang daganganku.”
”Rumah atau warung?”
”Warung.”
”Pantas.”
”Apa maksudmu?”
”Tuhan menurunkan bencana kepada kita ini salah satunya
karena rumahmu yang kau jadikan warung. Berapa wanita yang mangkal di rumahmu
melayani para lelaki hidung belang dalam setiap malamnya? Berapa botol minuman
keras yang laku di warungmu dalam semalam? Perbuatan manusia seperti inilah
yang menyebabkan Tuhan menegur kita. Kita telah jauh meninggalkan garis
kehidupan yang ditentukan Tuhan. Kita telah terbuai dengan harta benda serta
kesenangan dunia sehingga melupakan Tuhan,” sambung orang alim itu.
Saat pemilik warung remang-remang itu bersuara lantang,
hujan badai datang. Bumi bergetar diiringi gelegar halilintar. Tanah retak
semakin lama semakin menganga. Dalam sekejap tanah itu menelan seluruh warung
remang dan penghuninya.
Aku merinding pada kejadian itu. Manusia tetap dengan
congkak mengabaikan teguran Tuhan. Hati mereka tak pernah luluh meskipun
bencana demi bencana datang mendera bumi ini. Mereka malah berkelahi,
sikut-menyikut, menyingkirkan satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Mereka
tak pernah menyadari bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah
tangan mereka sendiri. Maka tidak pantas apabila bencana yang terjadi ini malah
membuat mereka saling memusuhi dan menyalahkan. Jika itu terjadi maka Tuhan
akan menurunkan bencana yang lebih dasyat lagi.
”Bangun, bangun, bangun. Tanah longsor, tanah longsor!”
suara bersahut-sahutan dari luar rumah diiringi dengan suara gemuruh dari
tebing gunung. Aku bergegas membangunkan kedua orang tuaku. Dengan tanpa
basa-basi mereka kuseret dan kuajak berlari sekuat-kuatnya menjauh dari kampung
ini menuju ke tempat yang lebih aman. Peluh
bercampur air hujan membasahi tubuhku dan kedua orang tuaku. Nafas kami masih terengah-engah. Mulut kami
tak bisa mengeluh atau mengaduh. Kami hanya bisa saling menatap dan menangisi
peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa kami. Peristiwa yang telah mengubur
rumah dan harta benda kami. Buku-buku kuliah serta laporan hasil penellitian
yang belum selesai kukerjakan juga telah lenyap.
Dari tempat yang aman di sebuah dataran tinggi, kami
melihat dengan samar longsoran tanah dari tebing gunung itu. Tanah itu telah
menutup kehidupan kampung kami. Kehidupan seluruh penduduk kampung ini.
Kampungku telah rata dengan tanah. Kampungku lenyap tertimbun tanah longsor
yang meluncur dari tebing gunung. (*)
Wanar, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar