Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 02 Juni 2017

Kampung yang Terkubur

Kampung yang Terkubur
Cerpen karya Ahmad Zaini


Cahaya rembulan sempat memancari bumi. Namun, tak lama cahayanya telah terbungkus mendung lagi. Angin malam semakin kencang. Udara terasa tambah dingin. Sedangkan, tumpukan kertas tugas kuliahku masih menumpuk di meja belajar. Aku menguak karena kantuk telah datang mengganggu tugasku. Kutinggalkan sejenak pekerjaanku menuju dapur. Sebungkus kopi kuseduh dengan air panas. Aromanya menyengat hingga menusuk ubun-ubun. Rasa kantuk yang sempat menindih diriku parlahan sirna oleh aromanya. Dengan beralas lepek aku membawa secangkir kopi. Kemudian, aku duduk di belakang meja belajar. Sesruput kopi telah membuka mataku. Bersamaan dengan kusandarkan punggungku, turunlah hujan lebat disertai petir.
Sudah seminggu ini hujan selalu menyambangi bumi. Terkadang pagi, siang, sore, atau malam hari. Hujan datang tak peduli waktu lagi. Berbagai aktivitas manusia terganggu oleh datangnya hujan yang tidak menentu ini. Banyak di antara mereka harus membatalkan jadwal kegiatan.
Aku mengintip hujan dari celah jendela ruang belajarku. Ternyata lebat sekali. Sinar lampu yang tergantung di pinggir jalan itu hampir tak tampak. Cahayanya tak mampu menembus derasnya hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari langit.
Tugas kuliah yang sempat kutunda kukerjakan lagi. Tumpukan data yang harus kuanalisis perlahan-lahan kumulai lagi.
Jlegar!!!” bunyi petir meluluhlantakkan konsentrasiku. Listrik padam seketika. Suasana ruang belajar gelap pekat.
Aku terperangkap sendiri di ruang belajarku yang kini gelap gulita. Tak terlihat sedikit pun benda-benda yang berada di sekelilingku. Lampu otomatis yang menyatu dengan lampu penerang kamarku juga tak berfungsi. Lampu tersebut tida dapat menyimpan energi listrik lagi.
Kedua orang tuaku terbangun. Mereka memanggiliku. Mereka hendak menyuruhku menyulut lilin yang berada di laci almari di ruang tengah. Aku berjalan dengan hati-hati sekali. Kedua tanganku merayapi dinding kamarku agar menuntunku sampai ke pintu kamar.
Sesampai di ruang tengah aku hampir saja terpelanting. Ada genangan air hujan di lantai karena atap rumahku sedikit bocor. Rupanya ayahku lupa mengundang tukang langganannya untuk memperbaikinya.
Sebatang lilin kunyalakan dengan pemantik api yang berada di sebelahnya. Remang bayang diriku yang duduk dekat lilin membetuk slide di dinding ruang tengah. Bayanganku duduk tertunduk resah pada hujan yang tak pernah lelah.
Gelegar halilintar berdentuman bagai meriam. Kilat bersabung di angkasa laksana terjadi adu kesaktian para pendekar sakti mandraguna. Harapanku untuk melanjutkan pengerjaan tugas kuliah pupus sudah lantaran kantuk tak dapat kuhadang. Kurebahkan tubuhku di ranjang kamar tidurku.
Anganku mulai berselancar ke luar rumah. Berbagai peristiwa bergantian muncul dalam ingatanku. Tentang banjir yang melanda ibu kota dan berbagai daerah di negeri ini. Tentang tanah longsor dan tanah pecah. Tentang tanah bergerak dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut berjejal datang sehingga aku semakin sulit memejamkan mata.
Aku prihatin sekali dengan sikap manusia saat ini. Ketika bencana datang mendera, manusia tidak mau instropeksi. Mereka tidak mau mengevaluasi diri. Mereka lupa bahwa bencana alam melanda bumi ini bukan tanpa sebab. Hanya manusia sendiri yang tidak mengetahui dan tidak menyadari sebab-sebabnya itu. Yang paling aneh adalah saat bencana alam menimpa suatu daerah, para penduduk malah datang beramai-ramai menuntut pejabat pemerintahannya yang dianggap tidak becus mengatasi bencana.
”Pejabat punya kuasa apa atas bencana ini? Mereka itu hanya mampu menyusun strategi dan administrasi pemerintahannya. Mereka hanya bisa berusaha menanggulanginya. Tuhanlah yang berkuasa atas bencana-bencana alam yang mendera bumi kita,” ujar salah seorang yang alim untuk  mengingatkan warga yang terus-menerus menyalahkan pejabat.
”Tidak bisa. Selain harus menolak bencana, pejabat juga harus bertanggung jawab atas kerusakan rumah kami akibat banjir,” teriak salah satu dari warga.
”Barang apa yang rusak? Berapa nilainya,” tanya si alim itu dengan tenang.
”Rumah dan barang-barang daganganku.”
”Rumah atau warung?”
”Warung.”
”Pantas.”
”Apa maksudmu?”
”Tuhan menurunkan bencana kepada kita ini salah satunya karena rumahmu yang kau jadikan warung. Berapa wanita yang mangkal di rumahmu melayani para lelaki hidung belang dalam setiap malamnya? Berapa botol minuman keras yang laku di warungmu dalam semalam? Perbuatan manusia seperti inilah yang menyebabkan Tuhan menegur kita. Kita telah jauh meninggalkan garis kehidupan yang ditentukan Tuhan. Kita telah terbuai dengan harta benda serta kesenangan dunia sehingga melupakan Tuhan,” sambung orang alim itu.
Saat pemilik warung remang-remang itu bersuara lantang, hujan badai datang. Bumi bergetar diiringi gelegar halilintar. Tanah retak semakin lama semakin menganga. Dalam sekejap tanah itu menelan seluruh warung remang dan penghuninya.
Aku merinding pada kejadian itu. Manusia tetap dengan congkak mengabaikan teguran Tuhan. Hati mereka tak pernah luluh meskipun bencana demi bencana datang mendera bumi ini. Mereka malah berkelahi, sikut-menyikut, menyingkirkan satu sama lain untuk berebut kekuasaan. Mereka tak pernah menyadari bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan mereka sendiri. Maka tidak pantas apabila bencana yang terjadi ini malah membuat mereka saling memusuhi dan menyalahkan. Jika itu terjadi maka Tuhan akan menurunkan bencana yang lebih dasyat lagi.
”Bangun, bangun, bangun. Tanah longsor, tanah longsor!” suara bersahut-sahutan dari luar rumah diiringi dengan suara gemuruh dari tebing gunung. Aku bergegas membangunkan kedua orang tuaku. Dengan tanpa basa-basi mereka kuseret dan kuajak berlari sekuat-kuatnya menjauh dari kampung ini menuju ke tempat yang lebih aman. Peluh bercampur air hujan membasahi tubuhku dan kedua orang tuaku. Nafas kami masih terengah-engah. Mulut kami tak bisa mengeluh atau mengaduh. Kami hanya bisa saling menatap dan menangisi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa kami. Peristiwa yang telah mengubur rumah dan harta benda kami. Buku-buku kuliah serta laporan hasil penellitian yang belum selesai kukerjakan juga telah lenyap.
Dari tempat yang aman di sebuah dataran tinggi, kami melihat dengan samar longsoran tanah dari tebing gunung itu. Tanah itu telah menutup kehidupan kampung kami. Kehidupan seluruh penduduk kampung ini. Kampungku telah rata dengan tanah. Kampungku lenyap tertimbun tanah longsor yang meluncur dari tebing gunung. (*)
Wanar, April 2017









Tidak ada komentar:

Posting Komentar