Karena Raketku Patah
Karya Ahmad Zaini
Aku masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Usiaku sepuluh tahun. Di
antara teman-teman satu kelas, aku termasuk murid yang paling pendek. Aku
terkadang minder pada mereka. Di samping tubuhku yang pendek, kulitku juga yang
paling hitam jika dibanding teman-temanku. Aku sempat hilang rasa percaya
diriku. Untunglah aku punya ayah yang pandai membesarkan hatiku dan memberi
semangat kepadaku.
Ayahku seorang pegawai. Ayah bekerja lima hari dalam seminggu. Hari Sabtu
dan Minggu ayah libur. Waktu liburan itulah ayah selalu mengajakku bermain bulu
tangkis di gedung olahraga kecamatan. Di sela-sela bulu tangkis ayah selalu
memberi semangat dan membesarkan hatiku.
”Jo, semua orang punya kelebihan dan kelemahan. Namun, dua hal ini
janganlah membuat seseorang menjadi sombong dan minder,” kata ayahku.
Aku tidak mengerti dengan kata-kata ayah. Aku terdiam dan mencoba
memahaminya. Akan tatapi, selalu gagal.
”Maksud ayah?”
”Di samping kelemahan yang ada pada dirimu, kamu punya kelebihan. Nah, kamu
harus bisa memanfaatkan kelebihanmu untuk menutupi kelemahanmu,” sambung ayahku
sambil mengelap keringatku yang meleler di keningku. Aku sedikit mengerti
maksud dari ucapan ayah. Dia mencoba membangkitkan semangatku yang sering terpuruk
akibat sering diejek oleh teman-teman.
Teman-temanku sering menyebutku cebol karena tubuhku pendek. Mereka
juga sering menghinaku dengan sebutan negro karena kulitku hitam. Aku
sering meceritakan semua kejadian yang kualami itu pada ayah sambil menangis di
pangkuannya.
”Maksud ayah, aku harus memanfaatkan kelebihanku dengan belajar bulu
tangkis?” tanyaku.
”Benar sekali.”
”Mana mungkin ayah. Tubuhku kan pendek.”
”Pemain bulu tangkis tidak harus bertubuh tinggi. Banyak pemain
kelas dunia yang berpostur pendek. Yang
penting adalah penguasaan teknik bermain bulu tangkis yang benar.”
“Baiklah ayah. Ajari saya bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar,”
pintaku pada ayah dengan penuh semangat.
Setiap hari Sabtu dan Minggu atau pada sore hari sepulang ayah dari kantor,
aku selalu mengajak ayah bermain bulu tangkis. Aku meminta ayah agar
mengajariku bermain bulu tangkis dengan teknik yang benar. Ayah mengajari
bagaimana cara melakukan servis yang mematikan lawan dan cara melakukan smas.
Ayah memberiku beberapa trik penempatan bola ke daerah lawan yang tidak bisa
dijangkau oleh lawan tersebut. Ayah juga mengajariku teknik melangkahkan kaki saat
memukul atau menerima bola. Berkat keuletan dan ketekunanku berlatih bersama
ayah, aku mulai bisa menerapkan teknik seusai keinginan dari ayah.
”Saya bangga kepadamu, Jo. Kamu sudah bisa bermain dengan bagus. Postur
tubuhmu yang pendek tidak terlihat lagi
karena tertutupi smas-smasmu yang mematikan. Saya bangga padamu,” kata ayah
yang semakin membuatku percaya diri.
Saat yang kutunggu-tunggu telah datang. Di sekolahku diadakan lomba bulu
tangkis. Yang menjadi juara akan mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat
kecamatan. Juara di tingkat kecamatan akan mewakili lomba yang sama di tingkat
kabupaten dan seterusnya.
Perlombaan di mulai. Para peserta memperlihatkan kelihaiannya mengolah suttlecock
di lapangan. Para pendukung bersorak dan meneriaki mereka yang sedang berlaga.
Tiba saatnya giliranku bermain. Aku berhadapan dengan lawan yang selama ini
mengejekku.
”Hahahahaha. Si cebol main bulu tangkis,” ejek mereka.
Setelah permainan dimulai aku menerapkan teknik-teknik yang pernah
diajarkan oleh ayah. Lawanku tidak berkutik. Dia tidak bisa menerima bola-bola
sulit dariku. Perolehan angkaku melaju pesat hingga aku memenangkan
pertandingan. Teman-teman yang selalu mengejekku terdiam. Mereka tidak berani
mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Aku menjadi juara pada lomba tingkat
sekolah dan akan berlaga ditingkat kecamatan.
Di tingkat kecamatan aku juga menjadi juara. Aku menyingkirkan
lawan-lawanku yang postur tubuhnya lebih tinggi daripada aku. Aku pun menjadi
wakil kecamatan untuk berlaga di tingkat kabupaten.
Saat berlaga di tingkat kabupaten aku mendapatkan masalah. Ibuku tidak
menghendaki aku juara lagi. Ibu tidak setuju kalau aku nanti akan menjadi wakil
kabupaten untuk berlaga di tingkat
provinsi. Ibu beralasan kelebihanku
bermain bulu tangkis ini akan dapat mengganggu belajarku. Di samping itu
ibu kasihan melihatku yang selau bermandi keringat di tengah lapangan. Aku
sempat melihat ayah dan ibuku cekcok di pinggir lapangan. Mereka berdebat
tentang masa depanku di lapangan bulu tangkis.
Ayahku tetap memaksa dan menginginkan aku harus menjadi juara di tingkat
kabupaten. Ayah menghendaki aku mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Aku
menuruti semua keinginan ayah. Aku bermain dengan sungguh-sungguh dan berhasil
melibas lawan-lawanku. Akan tetapi, pada saat partai final ketika aku sudah
mengungguli perolehan angka lawan, tiba-tiba raketku patah dan mengenai kakiku.
Aku cidera serius karena gagang raketku menghantam tulang keringku hingga
bengkak. Aku pun mundur dari permainan ini dan dinyatakan kalah oleh wasit. Aku
gagal juara.
Ibu yang berada di tribun VIP langsung berlari masuk ke lapangan. Ibu
mendekapku dengan derai air mata. Ayah yang menjadi motivatorku juga iku merangkulku.
Dia pun ikut menangis.
”Kau hebat, Jo. Meskipun kau dinyatakan kalah, kau tetap yang terbaik. Aku
bangga padamu Jo. Berlaga pada partai final tingkat kabupaten, sudah cukup
bagimu untuk menutupi kekuranganmu,” kata ayah.
Suara tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru gedung olahraga. Mereka
memberikan penghormatan atas perjuanganku dalam ajang bulu tangkis ini. Aku
bangga dan tetap bertekad untuk menjadi yang terbaik pada ajang yang sama tahun
depan demi kebahagian orang-orang yang menyayangiku. (*)
*Guru SMA Raudlatul Muta’allimin Babat dan
SMA Mambaul Ulum Wanar Pucuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar