Veteran Perang
Cerpen karya Ahmad Zaini
Mbah Karpen berbaring di atas dipan dari bahan bambu. Ia
kembali menyelimuti tubuh rentanya dengan sarung kusam usai menjalankan salat
subuh. Dua bantal digunakan menyangga kepalanya agar mudah bangun jika hendak
memerlukan sesuatu. Mata sayu karena dia terjaga sejak pukul dua, menatap kerangka
atas rumahnya. Sinar matahari yang kian terang menerobos celah genting
memaksanya bangkit dari pembaringan. Mbah Karpen melihat secangkir kopi di atas
meja. Rupanya Sulasiyem, anaknya, yang telah menyediakannya sebelum berangkat
ke sawah.
Tangan renta berkulit keriput agak gemetar meraih
secangkir kopi. Mbah Karpen bersusah payah untuk sekadar mendekatkan bibir
cangkir ke bibirnya yang menghitam dan kering. Keinginan kuatnya mendaratkan
kopi di mulutnya akhirnya berhasil. Ia menyeruput kopi pahit buatan anaknya.
”Kamdulillah!” ucap syukur terdengar tak sempurna
sembari tangan kirinya mengusap sisa kopi yang melekat di bibir.
Mbah Karpen meletakkan secangkir kopi di atas meja. Lelaki
renta veteran ini menyisakannya untuk diminum pada siangnya. Dia tidak ingin
merepotkan anaknya yang telah menjanda sejak puluhan tahun silam.
”Blummm!” gelegar suara terdengar dari luar rumahnya.
Mbah Karpen menahan gerakan tubuhnya yang hendak
direbahkan di pembaringan. Sisa-sisa gerak saat masih aktif menjadi pejuang masih
kental. Dia berdiri tegap meski sudah tak segagah dulu. Bebet sarung dikencangkan.
Ia berjalan tertatih ke arah pintu depan. Sesampai di pintu, Mbah Karpen
melihat bendera merah putih yang baru dua jam dipasang Sulasiyem.
Tubuh renta Mbah Karpen yang semula di sandarkan padan kusen
pintu seketika berdiri pada posisi siap. Tangan kanan keriputnya diangkat
perlahan lalu melakukan sikap hormat pada sang saka merah putih.
”Hormat, gerak!” katanya lirih.
”Blummm!” suara itu lagi dari kejauhan.
Mbah Karpen kaget. Ia bergegas mendekat ke almari di
samping pembaringannya. Kedua tangannya memilah-milah tumpukan lipatan baju dengan
gemetar. Dia mencari pakaian perang yang
pernah dikenakan sewaktu pertempuran merebut kemerdekaan.
Mbah Karpen ke ruang belakang. Dia melihat sebatang bambu
penahan pintu dapur rumahnya. Dia mengambilnya sebagai senjata perang meski
meski bambu tersebut digunakan anaknya sebagai penahan pintu bambu rumahnya.
Mbah Karpen berjalan keluar dengan pakaian dan peralatan
perang. Tangan kanannya mengepal ke udara sambil memekikkan kata ’merdeka’.
Kedua kaki yang sudah tak tegak berjalan menyusuri jalan kampung yang berdebu.
Ia mencari suara yang mirip dentuman meriam penjajah kala perang merebut
kemerdekaan.
Matahari telah merangkak tinggi. Debu di tengah jalan
diterpa angin siang hingga terbang ke sana kemari. Mbah Karpen tetap berjalan
menembus hempasan angin bercampur debu itu. Dia tidak memedulikan butiran debu
menampar wajah keriputnya. Veteran perang yang sudah berusia lanjut ini
berjalan mengendap-endap. Matanya manatap teliti menyapu semua yang terhampar
di depannya. Ia tidak melihat satu orang pun di depannya. Jalan itu sepi.
Maklumlah, siang itu sebagian besar warga masih bekerja di sawah. Mereka belum
ada yang pulang.
”Blummm!” dentuman suara yang mirip meriam itu
terdengar lagi.
Mbah Karpen sembunyi di balik pagar hidup rumah Kastawi.
Dia tiarap sambil memoncongkan bambunya ke arah suara. Ia siaga dan siap
menancapkan bambu runcingnya ke musuh bila sewaktu-waktu mereka muncul dari
arah depannya.
Tubuh renta Mbah Karpen bergerak pelan. Ia merayap di
tanah. Dia mengintai musuh yang hingga kini belum muncul. Peci yang hampir
jatuh dikenakan lagi. Kacu leher merah putih diikatkan kencang. Ia bergerak
seperti buaya di atas rerumput kering di balik pagar tanaman beluntas. Sebotol
air yang terselip di pinggangnya dibuka. Ia meneguk air putih yang diisi dari
gentong menjelang keberangkatannya ‘berperang’. Setelah dirasa aman dan tak ada
musuh, Mbah Karpen muncul dari pagar rumah Kastawi.
Mbah Karpen melanjutkan perjalanan. Dia mengelilingi
jalan kampung untuk mencari musuh. Ketika melintas di atas jembatan, Mbah
Karpen dikejutkan suara dentuman itu lagi. Dia lantas terjun ke kali yang
berlumpur dan berair tipis .
Separuh tubuh renta Mbah Karpen dibenamkan di dalam
lumpur berair tipis di bawah jembatan. Dia menelungkup sambil mengangkat kepala
agar matanya bisa melihat musuh yang sewaktu-waktu datang.
Dari kejauhan dia mendengar deru suara mobil. Mbah Karpen
yakin bahwa itu adalah suara truk yang mengangkut tentara musuh. Suara truk itu
semakin lama semakin dekat. Sebentar lagi truk itu akan melintas di jembatan
kayu persembunyian Mbah Karpen.
Truk itu berhenti sebelum melintasi jembatan. Mesinnya
masih mengeluarkan bunyi bising memekakkan telinga. Dua orang turun dari truk
untuk mengecek kondisi jembatan kayu. Setelah
itu, kedua orang tersebut naik ke truk lagi.
Truk bergerak pelan. Pengangkut drum kosong minyak tanah
dari toko Pak Munjali ini melintas jembatan dengan hati-hati. Saat posisi truk tepat
di atas jembatan, rodanya melindas batu sebesar kepalaan tangan orang dewasa.
Batu itu jatuh lewat celah jembatan kayu lalu mengenai punggung Mbah Karpen yang masih bertiarap
di bawah jembatan.
”Aduh, punggungku tertembak musuh,” ucap Mbah
Karpen sambil menyengir kesakitan.
Lelaki tua dan sudah pikun ini mengangkat tubuhnya yang
terbenaman di dalam lumpur berair tipis di bawah jembatan. Dia bergeser
mendekat ke tiang penyangga jembatan. Dia menyandarkan tubuhnya pada kayu
penyangga itu sambil menunggu bantuan relawan medis peperangan.
***
Sulasiyem datang dari sawah. Dia menyangkutkan caping
lebar di tiang emper rumahnya. Sulasiyem masuk rumah lewat pintu belakang.
Tangannya merogoh penahan pintu dari celah gedek atau dinding bambu.
Tangannya tidak menyentuh benda yang dimaksud. Pintu yang biasanya ditahan
dengan sebatang bambu itu dapat dibuka dengan mudah.
”Pak, Pak!” Sulasiyem memanggil-manggil bapaknya.
Rumah sepi. Tak ada sahutan jawaban Mbah Karpen seperti
biasanya. Sulasiyem lantas menuju ke dipan bambu, pembaringan bapaknya. Dipan
kosong. Mbah Karpen tidak ada di situ. Sulasiyem lantas keluar rumah dengan
panik. Dia menjinjing jariknya sambil memanggil-manggil bapaknya. Hingga
matahari lingsir ke barat, veteran perang yang telah pikun ini belum juga
ditemukan.
Sulasiyem tidak berputus asa. Dia tetap mencari bapaknya
di seantero kampung. Sulasiyem menanyakan keberadaan bapaknya pada semua orang
yang dijumpai. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan
bapaknya.
Setelah sampai sore gagal menemukan bapaknya, Sulasiyem
melapor kepada kepala dusun.
”Pak Kasun, bapakku hilang,” lapornya kepada kepala
dusun.
”Hilang ke mana?”
”Tidak tahu. Saya sudah mencarinya, namun belum menemukannya.
Tolong, Pak Kasun! Bantu saya mencari bapak,” pinta Sulasiyem.
”Baiklah, mari kita cari bersama-sama!” sanggup kepala
dusun.
Sulasiyem, kepala dusun, dan dibantu oleh beberapa warga
kampung bergerak bersama-sama mencari Mbah Karpen. Mereka menyusuri gang-gang
kampung agar bisa menemukan Mbah Karpen. Akan tetapi, sampai matahari
menjingga, Mbah Karpen belum juga ditemukan.
Ketika serombongan warga pencari Mbah Karpen melintas di
atas jembatan kayu, mereka berhenti. Salah satu dari mereka ada yang mendengar
suara orang yang meminta tolong dengan samar. Setelah diperhatikan dengan
saksama ternyata benar. Dari bawah jembatan mereka mendengar suara orang tua
yang merintih kesakitan sambil meminta pertolongan. Mereka berhamburan menuruni
jalan kampung itu menuju ke bawah jembatan.
”Bapak!” teriak histeris Sulasiyem saat melihat lelaki
tua yang menyandarkan tubuhnya pada tiang kayu penyangga jembatan.
”Yem, aku tertembak musuh. Lihatlah punggungku!” kata
Mbah Karpen dengan suara serak kepada anaknya.
Sulasiyem, Pak Kasun, dan para warga lantas mengangkat
tubuh renta Mbah Karpen dari bawah jembatan. Mereka membawa lelaki tua ini ke
rumahnya. Bibir Mbah Karpen gemetar dengan tubuh menggigil kedinginan karena terlalu
lama berendam dalam lumpur berair tipis di bawah jembatan.
Setelah memandikan dan merapikan pakaian bapaknya,
Sulasiyem menyuapkan sepiring nasi pada veteran perang ini. Mbah Karpen melahap
nasi berlauk tahu tempe ini dengan cepat. Mbah Karpen mengakhiri makan sorenya dengan
menyeruput secangkir kopi hangat. Sesaat kemudian, tubuh renta yang mulai
menghangat itu dibaringkan di dipan bambu dengan diselimuti sarung kusam oleh
anaknya. (*)
Wanar,
Agustus 2018
*Ahmad Zaini merupakan pemenang Sayembara
Penulisan Prosa Fiksi Jawa Timur dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018.
Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar