Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 27 Agustus 2022

Jiwa Berontak Veteran Perang, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 28 Agustus 2022

 



Jiwa Berontak Veteran Perang

Cerpen Ahmad Zaini

 

Mbah Sadimen gelisah. Seperti ada masalah pelik yang bersarang di batok kepalanya. Duduk tak nyaman. Berdiri pun tak enak. Terkadang jari-jari tangannya menggaruk-garuk kepala. Desis mulutnya terdengar seperti ular berbisa. Semacam ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari tenggorokannya.

”Merdeka!” pekik Mbah Sadimen sambil berdiri tiba-tiba. Setelah itu dia duduk kembali dengan lunglai.

Apa gerangan yang membuat Mbah Sadimen seperti itu setiap menjelang peringatan hari kemerdekaan? Pertanyaan inilah yang menjadi teka-teki cucu dan para tetangga yang mengetahui kebiasaannya.

Sorot mata Mbah Sadimen menggambarkan kegelisahan, kecemasan, dan kekecewaan. Perasaan-perasaan itulah yang mengaduk-aduk jiwa Mbah Sadimen. Namun, apa yang digelisahkan, dicemaskan, dan dikecewakan? Lagi-lagi muncul teka-teki baru dari Mbah Sadimen buat orang-orang terdekatnya.

Mbah Sadimen merupakan veteran perang. Dia mantan pejuang kemerdekaan. Usianya sekarang sudah 95 tahun. Masa mudanya dia turut mengangkat senjata bergabung dengan tentara-tentara lainnya. Mereka mengusir para penjajah yang mencoba memasuki daerahnya.

Kaki kanan Mbah Sadimen ada bekas luka. Bekas luka itulah yang sering diceritakan Mbah Sadimen kepada anak dan cucu-cucunya saat ini. Sebuah peluru bundar pernah bersarang di kakinya ketika terlibat pertempuran sengit untuk mempertahankan wilayahnya. Dalam pertempuran tersebut teman-teman Mbah Sadimen banyak yang gugur. Termasuk kakaknya sendiri, Dirno. Menurut Mbah Sadimen kakaknya itu tidak sempat berlari ke perlindungan sehingga dua butir puluru bersarang di dadanya.

Mata Mbah Sadimen berkaca-kaca setiap bercerita masa peperangan kepadacucu dan tetangganya. Peperangan melawan penjajah menelan banyak korban. Korban harta benda, darah, dan nyawa. Hidup sengsara. Paceklik pangan dan sandang. Rumah jarang ditempati karena takut disergap musuh. Mbah Sadimen sering tidur di atas pepohonan, di bawah jembatan sambil berjaga-jaga bila musuh datang tiba-tiba untuk merebut wilayahnya. Sengsara sekali para pejuang saat itu.

”Mbah, tenang. Duduk yang manis, ini susunya,” kata Maryamah, sang cucu yang sekarang merawatnya.

”Tidak. Saya tidak bisa tenang,” kata Mbah Sadimen.

”Apa yang membuat Mbah tidak bisa tenang?”

”Mereka,” jawabnya singkat sambil menunjuk ke luar.

Maryamah bingung. Siapa yang dimaksud mereka sebagai biang keladi kegelisahannya. Padahal, di luar rumah tidak ada siapa-siapa. Hanya tadi ada beberapa orang yang melintasi jalan di depan rumah yang akan menuju lapangan untuk mengadakan karnaval agustusan.

”Mbah, mereka siapa?” selidik Maryamah.

”Itu tadi yang lewat di depan rumah,” sambung Mbah Sadimen menjelaskan Maryamah.

Benar sekali. Ternyata yang dimaksud Mbah Sadimen adalah orang-orang yang akan mengikuti kegiatan karnaval.

Maryamah berpikir lagi kenapa Mbah Sadimen geram setiap melihat orang-orang yang akan karnaval. Padahal, mereka itu ingin memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan. Mestinya Mbah Sadimen senang karena perjuangan para pejuang itu dikenang oleh para generasi sekarang. Perjuangan mereka tidak dilupakan oleh anak cucunya. Karnaval tersebut juga bisa menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang kita rasakan saat ini bukanlah pemberian hadiah dari penjajah. Akan tetapi kemerdekaan ini direbut dengan tenaga, pikiran, darah, dan air mata. Bahkan, dipertaruhkan dengan nyawa. Nah, dengan karnaval agustusan inilah biar generasi muda saat ini tahu jerih payang para pejuang demi mencapai kemerdekaan. Biar pemuda-pemuda saat ini tidak hidup berfoya-foya saja. Biar mereka tahu rasa berterima kasih, mengisi kemerdekaan ini dengan kegiatan-kegiatan positif demi kemajuan bangsa dan negara.

”Mestinya Sampean itu senang setiap kali ada karnaval. Bukannya malah sewot seperti ini,” celetuk Maryamah.

Heleh, cucu macam apa kamu ini,” sela Mbah Sadimen dengan menangis. Dia pun tidak mau menyeruput susu yang diminumkan oleh Maryamah.

Maryamah jadi heran. Kenapa Mbah Sadimen sangat benci dengan perayaan agustusan ini. adakah yang salah? Teka-teki ini muncul dari sikap veteran yang berusia 95 tahun ini.

”Sekarang begini saja, Mbah. Tolong katakan penyebab sikap Mbah yang tidak senang dengan perayaan memperingati hari kemerdekaan bangsa ini. Biar saya dan para tetangga ini tidak bingung dengan ulah Mbah yang aneh ini,” pinta Maryamah.

”Jauh, jauh dengan tujuan,” katanya.

Lho, ya membingungkan orang lagi. Apanya yang jauh? Saya sejak tadi kan dekat dengan Mbah,” goda Maryamah.

”Kamu itu cucu macam apa tidak tahu tujuan,” celetuk Mbah Sadimen.

Wes, nang crita biar saya dengarkan,” pungkas Maryamah.

Mbah Sadimen memperbaiki posisi duduknya. Dia menyandarkan punggung yang tinggal kulit dan tulang karena digerogoti usia. Matanya berkaca-kaca menatap ke halaman rumah. Dia sesekali berdiri sambil mengarahkan jari telunjuknya ke luar ketika ada orang yang melintas di depan rumahnya.

”Mana susunya?”

Maryamah pun cekatan. Dia meminumkan susu yang tinggal setengah gelas sambil mengamati mulut yang seakan masih membekas suara pekikan merdeka.

Setelah menghabiskan segelas susu, Mbah Sadimen menyuruh Maryamah diam untuk mendengarkan jawaban dari teka-teki sikapnya.

Mbah Sadimen menceritakan semua yang menjadi alasan kenapa dia benci dan marah ketika ada karnaval peringatan hari kemerdekaan. Dia mengemukakan beberapa alasannya. Kemerdekaan itu anugerah dari Allah, Tuhan yang Mahakuasa yang harus disyukuri. Cara mensyukurinya adalah mengisi kemerdekaan dengan hal-hal baik yang dapat  memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Termasuk juga dengan mencerdasakan kehidupan anak bangsa agar bisa mewujudkan cita-cita luhur para pejuang kermerdekaan.

”Upacara dan karnaval apa tidak cukup sebagai upaya bersyukur?” sela Maryamah.

”Jauh. Jauh sekali dari rasa bersyukur,” jawab Mbah Sadimen singkat.

Mbah Sadimen melanjutkan ucapannya. Dia mengatakan bahwa karnaval saat ini tidak ada nilai rasa syukurnya pada Allah. Hanya hura-hura dan senang-senang belaka. Hanya joget-joget, mengumbar nafsu, dan perbuatan-perbuatan fasiq lainnya. Bahkan, Mbah Sadimen bilang karnaval agurtusan ini hanyalah mengkufuri nikmat kemerdekaan.

Mosok karnaval membawa dan minum tuak. Mereka berjalan-jalan sambil mabuk-mabukan. Tak jarang mereka tawuran karena pengaruh minuman keras,” imbuhnya.

Oalah, ini to yang menyebabkan Sampean benci karnaval,” sergah Maryamah.

”Iyalah. Keringat, darah, dan air mata para pejuang diganti dengan tuak. Minuman haram yang memabukkan. Ini namanya pelecehan. Bisa menodai nilai-nilai suci kepahlawanan. Selain itu, ada joget-jogetan laki-laki dan perempuan. Roknya cingkrang. Tidak seperti itu bersyukur pada Allah,” ucap Mbah Sadimen.

”Tapi, yang baik-baik juga ada,” sanggah Maryamah.

”Yang baik-baik biarlah. Tapi, yang mabuk-mabukan dan joget-jogetan itu yang saya benci. Mencemari nilai perjuangan saja. Kasihan mereka,” katanya.

”Mereka siapa lagi, Mbah?”

”Para pejuang kemerdekaan yang sudah gugur. Bukannya didoakan malah dinodai nilai perjuanganya dengan perbuatan dosa,” pungkasnya.

Maryamah lega. Dia sudah tahu alasan kakeknya yang membenci karnaval perayaan hari kemerdekaan. Dia punya bahan yang banyak untuk bisa disampaikan kepada para tetangga yang selama ini dirundung rasa penasaran atas sikak mbahnya.

Baru saja Maryamah ke belakang membawa gelas susu Mbah Sadimen yang sudah kosong, terdengar riuh suara drumband dan aneka musik dari kejauhan. Maryamah berlari-lari kecil keluar. Dia akan  melihat kemeriahan karnaval peringatan hari kemerdekaan.

Nduk, nduk, nduk. Mau ke mana?” tanya Mbah Sadimen dengan tangan hendak menahannya.

”Lihat karnaval, Mbah. Di situ saja, ya,” jawab cucu Mbah Sadimen yang sudah beranak tiga ini.

Mbah Sadimen mengelus dada. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki berusia hampir seabad ini hanya bisa meratap dan menyesali perbuatan fasiq yang biasanya mewarnai karnaval hari ulang tahun kemerdekaan bangsa ini. Dia hanya bisa berdoa dan berharap semoga generasi saat ini sadar pada tanggung jawabnya melanjutkan cita-cita luhur para pejuang bangsa (*)

Wanar, 27 Agustus 2022

 

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpen dan puisinya bertebaran di berbagai media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lelaki yang Menikahi Bayangan Sendiri. Penulis beralamat di Wanar, Pucuk, Lamongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar