Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Senin, 28 Agustus 2023

Pembangkang Negara (Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 27 Agustus 2023)

 


 

Pembangkang Negara

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Pantai kelapa menjadi saksi perdebatan dua pemuda. Amrizal dan Condro berselisih paham tentang kebangsaan. Dua pemuda ini dari pagi hingga siang belum berhenti mengadu pendapat. Suara keduanya lantang beradu dengan suara ombak di laut pantai kelapa. Nada berbicaranya juga menggelegar dan terdengar jelas oleh orang-orang di sekitarnya.

”Kita ini dilahirkan di Indonesia. Kita ini hidup di Indonesia. Kita bisa makan dan minum juga dari bumi Indonesia. Mati pun kita juga dikubur di dalam tanah Indonesia. Fatal apabila ada pemuda seperti kamu menjelek-jelekkan Indonesia kepada orang lain. Terutama kepada teman-teman studimu di Afganistan,” kata Amrizal dengan nada berapi-api.

Condro bergeming. Dia mendengarkan suara Amrizal dari telinga kanan kemudian suara temannya itu keluar begitu saja dari telinga kiri. Hati Condro sudah membatu. Tidak bisa diberi masukan tentang rasa nasionalisme. Dia selalu menganggap nasihat atau masukan dari Amrizal atau dari teman-teman lainnya sebagai bualan belaka. Condro tetap menganggap bahwa Indonesia sebagai tempat lahir, hidup, dan matinya ini sebagai negara bejat. Negera yang menerapkan kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Negara yang melahirkan kebijakan-kebijakan tidak islami. Negara pelindung para koruptor. Negara penjual hukum pada mereka yang berduit.

Amrizal tidak demikian. Negara kita, bangsa kita, Indonesia ini negara adil, bijaksana, subur, dan selalu menegakkan hukum atas dasar kebenaran. Bukan atas dasar uang. Kebijakan-kebijakan yang diundang-undangkan juga selalu berpijak kepada rakyat kecil. Berapa juta warga Indonesia mendapatkan bantuan cuma-cuma dari pemerintah. Berapa juta warga yang mendapatkan hak hukumnya atas dasar keadilan dan kebenaran.

Heh, itu pencitraan saja. semua kebijakan itu tetaplah penindasan. Tidak ada kesejahteraan. Buktinya, banyak warga menjerit karena kenaikan harga bahan bakar minyak,” sanggah Condro.

”Ternyata otakmu telah dicuci oleh guru-gurumu di Afganistan. Kamu telah menerima doktrin yang salah dari mereka. Kalau semua orang Indonesia memiliki pemikiran seperti kamu, Indonesia tidak lama lagi akan hancur. Indonesia hancur bukan karena penjajah, melainkan karena pemuda-pemuda seperti dirimu,” timpal Amrizal dengan kesal.

 ”Faktanya demikian. Kalau negara tidak mau hancur, maka terimalah saran dan usulan dari kami.”

”Usulan dari para pemikir tukang bangkang”

”Siapa yang membangkang?” tanya Condro.

”Kamu.”

”Aku mengatakan kebenaran. Pemikiranku untuk mengembalikan Indonesia ke jalan lurus. Jadi, apa salahnya aku mengungkapkan kebobrokan-kebobrokan bangsa ini,” kata Condro membenarkan dirin.

Sejenak perdebatan kedua pemuda ini berhenti. Gadis pelayan warung lesehan di pantai kelapa menyuguhkan pesanan. Dua mangkok bakso dan dua gelas es degan dihidangkan di atas gelaran tikar. Mata Condro fokus pada pelayan warung lesehan. Dia menatap dalam wajah gadis itu. Tangannya meremas-remas pasir sembari berfantasi gadis itu sebagai kekasihnya.

”Mata jangan melotot terus. Awas bola matamu keluar,” sindir Amrizal.

”Hehehe. Di Afganistan tidak ada wanita yang tak berhijab. Pakaian wanita di sana menutup seluruh aurat. Tidak ada wanita yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitif di tempat umum seperti ini.”

”Tapi kamu suka dengan gadis pelayan tadi?”

”Jelas suka,” jawab Condro singkat.

Hm, ternyata hanya segitu idealismu. Keyakinanmu tentang keislaman dan kesyarian yang kamu jadikan sebagai dasar saat berdebat rontok oleh rok pendek dan kancing baju seorang gadis. Ingat, Bro! Gadis itu bukan muhrimmu. Haram jika kamu melihatnya dengan sengaja apalagi sampai menimbulkan syahwat,” timbal Amrizal.

”Kamu juga mengerti hukum seperti itu?”

”Jangan kira lulusan ngaji di langgar panggung Mbah Mus kalah oleh lulusan luar negeri sepertimu,” pungkas Amrizal.

Amrizal dan Condro sangat menikmati pemandangan dan kuliner lesehan di pantai kelapa. Amrizal bangga dan bersyukur karena telah ditakdirkan Allah hidup di negeri subur dan makmur ini. Negeri jamrud katulistiwa yang membuat bangsa-bangsa lain dari Eropa dan Asia tertarik. Terutama mereka yang pernah menjajah negeri ini dari tangan penduduk pribumi.

Di Timur Tengah tidak sesubur Indonesia. Apalagi di Aganistan tempat belajar Condro. Jangankan menikmati bakso dan minum es degan sambil bersantai di tepi pantai, menikmati kembang gula saja pun tidak sempat. Rudal-rudal para militan berseliweran di atas kepala mereka. Salah perhitungan, kepala bisa meledak karena tertimpuk rudal.

”Bersyukurlah kawan menjadi orang Indonesia,” celetuk Amrizal kepada Condro.

”Tidak,” sahut Codro sembari menggeser mangkoknya yang sudah kosong.

Amrizal tidak habis pikir kenapa orang seperti Condro belum bisa menerima kenyataan yang ada. Dia telah merasakan bagaimana enaknya hidup di Indonesia. Sejak kecil Condro tahu dan merasakan bagaimana serunya bermain air di empang selatan kampung. Dia bisa bermain layang-layang di tengah persawahan dengan tanaman padi yang hijau. Dia juga pernah dikejar oleh seorang petani lantaran mengejar layang-layang putus sembari tak memedulikan kakinya menerjang bulir-bulir padi yang menguning. Dia tidak sadar bahwa segelas es degan yang baru saja dihabiskan hingga tetes terakhir, juga dari tanaman kelapa di atas tanah Indonesia.

”Bersyukurlah kawan atas anugerah Allah seperti ini. Janganlah menjelek-jelekkan bangsa sendiri,” saran Amrizal.

”Aku benci Indonesia,” suara lantang Condro membuat orang-orang di sekitar melihat ke arahnya.

Gak bahaya, ta, kamu berteriak seperti itu?”

”Tidak. Aku tidak takut bahaya karena kebenaran. Aku benci kemungkaran. Aku benci dosa-dosa Indonesia.”

”Permisi, Mas! Mau ambil mangkok dan gelas,” kata gadis pelayan warung lesehan yang tidak diduga bisa menghentikan pekik Condro.

Oh, silakan!” kata-kata condro tiba-tiba melunak sambil memainkan lidah di kedua bibirnya.

Woi, dosa. Semprul!” celetuk Amrizal.

“Menikmati ciptaan Allah,” bantah Condro.

”Bukan muhrim, Bro.”

Tiba-tiba condro bangkit. Dia mengambil tas yang disandarkan di batang pohon kelapa. Tangan kanan Condro merogoh sesuatu di dalam tas. Ternyata yang diambil adalah rakitan bom. Kedua tangan Condro melilitkan rakitan bom di tubuhnya. Dia lari ke tengah kerumunan pengunjung wisata. Tak lama kemudian blaarrrrr. Tubuh Condro hancur. Puluhan orang tewas. Termasuk Amrizal dan gadis pelayan warung lesehan tikar turut menjadi korban.

Tak berselang lama tim petugas keamanan dari polisi dan tentara datang. Mereka bergegas menyisir dan memasang pembatas untuk memudahkan mereka dalam mengevakuasi dan mendeteksi korban. Dari identitas pelaku, polisi menyimpulkan bahwa Condro itu buronan mereka. Condro anggota jaringan teroris yang selama ini mereka buru.

Polisi dibantu masyarakat sekitar mengevakuasi korban. Amrizal yang tubuhnya tak utuh dimasukkan ke kantong janazah. Demikian juga korban meninggal lain. Korban luka dibawa ke puskemas dan rumah sakit terdekat. Mereka juga bergotong-royong merapikan serpihan bangunan yang porak-poranda akibat ledakan.

Aksi nekad Condro menyisakan duka. Aksi berkedok dakwah membuat orang lain susah karena cara dakwah yang salah. Dakwah itu bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kedamaian dan kesejukan hati. Indonesia ini negeri yang suci. Oknum-oknum pejabatlah yang berulah dan harus dinasihati agar bisa menata negeri dengan pengabdian tinggi.

Area pantai kelapa di tutup sementara oleh keamanan. Lokasi wisata yang biasanya ramai kini sunyi. Hanya air mata dan karangan bunga duka-cita menghiasi tempat itu. (*)

 

Lamongan, 19 Agustus 2023

 

Ahmad Zaini merupakan penulis yang tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Dia pernah menerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creative Camp (GCC) tahun 2021 dan 2022 bidang Apresiasi Penulis Buku.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar