Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 23 Januari 2025

Asrama Pesantren Tua, cerpen Jawa Pos guru Radar Bojonegoro, Sabtu, 21 Desember 2024

 



Asrama Pesantren Tua

Cerpen karya Ahmad Zaini

 

Setiap aku melintasi jalan itu, kemudian menoleh ke samping kiri ribuan kenangan bermunculan. Bangunan tua itu kini  di kanan-kirinya ditumbuhi bangunan-bangunan baru. Namun, bangunan tua masih mempertahankan keasliannya. Para pengelola sengaja membiarkannya agar alumnus yang berkunjung ke bangunan itu dapat bernostalgia.

Bangunan ini dianggap sebagai cagar budaya di pesantren ini. Santri dari generasi ke generasi berikutnya bertanggung jawab menjaga dan melestarikannya. Jangan sampai ada pihak luar memberi iming-iming material lalu memugar dan merenovasinya menjadi bangunan modern.

Asrama Al firdausi namanya. Bangunan yang berbahan kayu jati ini menjadi cikal bakal lahirnya pesantren. Meski terkesan kuno, bangunan yang dibuat oleh kiai Firdaus ini memiliki nilai sejarah. Di atas pintu utama terdapat prasasti berisi ukuran kayu yang bertuliskan tanggal dan tahun pendiriannya. Angka 1920 menjadi angka yang menunjukkan bahwa pesantren ini tergolong pesantren tua. Banyak melahirkan ulama dan tokoh karismatik di daerah ini.

Tahun 1989 aku menjadi santri baru di pesantren ini. Para pengurus pesantren kala itu menempatkanku di asrama Al firdausi. Bangunan serupa langgar panggung berdinding dan berlantai papan dari kayu jati kusinggahi. Pengurus pesantren yang  bernama Muslihin ditugaskan oleh kiai menjadi pembimbingku. Dialah yang menyiapkan kotak atau almari kecil untuk pakaian dan buku.

Setiap hari Kang Mus-panggilan akrab Muslihin-mengawasi dan membimbingku. Dia juga yang mengenalkanku tentang adat kebiasaan di pesantren ini.

"Setiap bertemu kiai harus memberi hormat," pesan Kang Mus kepadaku.

Hormat yang kuketahui selama ini merupakan bagian dari sikap dalam upacara. Saat kiai lewat, dengan spontan aku langsung berdiri tegak dengan mengangkat bahu lalu lalu meletakkan ujung jari di alis kananku.

Kang Mus diam sambil melirikku. Dia tidak berani bergerak atau berpindah tempat. Dia juga tidak berani berteriak menegurku lantaran kiai masih berada di situ. Namun, dari ekspresi wajahnya dia ingin berteriak untuk menegurku. Dalam hati Kang Mus mungkin berkata, setelah kiai masuk ndalem-sebutan rumah kiai-dia akan menakzir atau menghukumku. Ternyata benar juga dugaanku. Tak berselang lama, Kang Mus memanggilku.

"Kamu tahu kesalahanmu?" tanya Kang Mus.

"Tidak tahu, Kang. Aku sudah melaksanakan perintah Kang Mus untuk memberi hormat kepada kiai. Apakah ada yang salah?"

"Justru hormatmu itu yang menjadi kesalahanmu." jelas Kang Mus yang juga menjadi rais pesantren.

"Kok, salah?" tanyaku penuh penasaran.

"Jangan samakan hormat kepada kiai dengan hormatmu saat upacara, " tegur Kang Mus, "cukup berdiri, menundukkan kepala, kedua telapak tangan disatukan di bagian depan  bawah perut," sambungnya sambil memberi contoh hormat yang benar kepada kiai.

Oalah, begitu.” Aku mengangguk-angguk sambil meminta maaf. Aku memang benar-benar tidak tahu dan tidak paham dengan tradisi hormat seperti itu.

Aku tak akan mengulang kesalahan hormat untuk berikutnya. Setiap kali melihat atau bertemu kiai, aku selalu memberi hormat sebagaimana  diajarkan oleh Kang Mus seperti santri-santri lainnya.

Di asrama tua ini aku diajari membaca kitab kuning oleh kiai, yaitu kitab Fathul Qorib. Kitab ini biasa disebut Taqrib oleh teman-teman. Kiai mengajar membaca kitab ini setiap selesai salat subuh. Semula aku kesulitan membacanya karena kitab tersebut tanpa harakat atau gundul. Beberapa teman pun demikian. Aku diajari kiai tentang huruf, lafaz, dan  kalimat. Namun, kami tidak bisa membacanya karena tidak ada harakat. Jadi, lafaz dan kalimat yang kami hadapi itu bisu semua alias tidak bisa berbunyi. Aku kesulitan dan hampir putus asa lantaran baru kali ini aku mengenal kitab berbahasa Arab serta tanpa harakat.

Untung ada Kang Mus. Dia santri senior di pesantren ini. Menurut ceritanya, Kang Mus sudah belajar di sini sepuluh tahun yang lalu.

”Mus, beberapa santri baru ini setiap hari sebelum zuhur, kamu ajari membaca kitab gundul,” perintah kiai setelah mengetahui aku dan teman-teman belum bisa membaca sepatah kata pun tulisan dalam kitab.

Kang Mus sosok yang bersemangat tinggi dan bertanggung jawab dalam melaksanakan perintah kiai. Dia memiliki sifat tawadlu dan sendiko dawuh pada kiai. Setiap hari kami diajari ilmu nahwu seperti  Jurmiyah dan Imrithi.  Ilmu tersebut sebagai ilmu alat untuk membongkar rahasia membaca kitab gundul. Tidak sampai setengah tahun, aku dan teman-teman santri baru perlahan bisa membaca kitab tanpa harakat. Alhamdulillah, setiap pagi ketika kiai menyuruhku membaca kitab Taqrib, kami bisa melaksanakannya meskipun belum sempurna. Masih tersendat-sendat seperti mobil yang akan mogok.

Di asrama Al firdausi aku juga diajari tirakat. Kata kiai tirakat itu usaha untuk tidak menuruti semua keinginan nafsu. Aku diajari menahan nafsu makan. Dalam sehari-sehari biasanya aku makan tiga kali bahkan bisa lebih. Menurut orang tuaku, aku memang anak yang kuwadukan atau sering makan nasi dengan porsi melebihi ukuran umumnya. Makanya badanku paling gendut di antara saudara-saudara kandungku lainnya.

Menurut kiai, orang yang perutnya selalu kenyang akan keluar sifat malas. Pembawaannya hanya ingin tidur saja. Diajak mengaji baru sepuluh atau lima belas menit, sudah mengantuk. Kiai  menyampaikan semua yang ada di dunia ini ada penyakitnya. Ilmu juga punya penyakit. Penyakitnya adalah malas. Oleh karena itu, santri baru di pesantren ini harus diajari tirakat.

Siang itu perutku keroncongan. Sejak pagi belum kemasukan nasi sama sekali. Setiap hari aku hanya dijatah singkong rebus tiga iris sebagai pengganti nasi. Energiku berkurang. Badan terasa lemas. Kepala mulai pusing. Mata berkunag-kunang. Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Perut kuganjal dengan pakaian kotor yang kubuntal dengan sarung. Kubungkukkan punggung sambil meletakkan kepala di buntalan sarung yang kugunakan sebagai bantal. Sejenak aku terbawa ke alam mimpi.

”Ayo, bangun! Waktu salat asar berjamaah,” Kang Mus tiba-tiba membangunkanku.

Aku bangun lalu turun dari asrama panggung untuk persiapan jamaah asar. Lapar benar-benar terasa. Punggungku seperti manyatu dengan perut. Namun, aku berusaha menahannya sampai Kang Mus mempersilakan aku makan jatah singkong rebus. Begitulah kenanganku bersama Kang Mus yang melatihku tirakat tidak makan nasi selama lima belas hari.

***

Dua puluh delapan tahun yang lalu,  aku boyong dari pesantren itu. Setelah menikah sampai mempunyai tiga anak, aku belum sekalipun menginjakkan kaki di pesantren ini lagi. Saat melintas di jalan raya depan pesantren, aku hanya bercerita kepada istri dan anak-anak bahwa aku pernah ngiler di situ. Aku pernah digembleng secara fisik dan mental serta dibekali ilmu agar aku benar-benar siap ketika terjun di tengah masyarakat.

Memang gemblengan fisik dan mental yang dipandu oleh Kang Mus serta ilmu-ilmu agama yang disampaikan kiai kala itu benar-benar bermanfaat. Ketika berada di tengah masyarakat dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda, aku bisa menyesuaikan diri dengan baik. Masyarakat juga percaya pada nasihat-nasihat yang kusampaikan saat ceramah di masjid atau di rumah warga yang punya hajatan.

”Kenapa tidak pernah berkunjung ke pesantren itu?” tanya istriku.

”Kiaiku sudah tidak di situ. Kang Mus juga sudah keluar dari pesantren. Teman-temanku yang mondok seangkatan juga tidak ada satu pun di situ. Jadi, malas sekali berkunjung ke pesantren. Aku akan seperti orang asing karena mereka yang tinggal disitu saat ini orang-orang baru semua,” kataku menjelaskan istri saat dia meminta agar aku bersilaturrahmi ke pesantren.

”Paling tidak biar anak-anak kita ada yang melanjutkan jejak ayahnya belajar di situ,” sambung istri.

Aku berpikir tujuh kali memondokkan anak di situ. Aku lebih senang memilih pesantren lain yang lebih bagus dan kualitas. Menurut informasi dari teman-teman, pesantren ini telah kehilangan ruh kepesantrenannya. Pesantren ini lebih condong ke bisnis daripada ke pembinaan keagamaan. Para pembesar pesantren sering keluar untuk menjalin dan memperbanyak rekan bisnis, sedangkan pengajian dipandu oleh santri-santri senior saja. Sampai-sampai ada teman sesama alumnus yang nyelethuk begini, dulu pesantren ini sering dukunjungi ulama dan tokoh-tokoh nasional, tapi sekarang lebih sering dikunjungi para sales untuk menawarkan produk dagangan baru. Itulah sebabnya aku  malas dan enggan berkunjung ke pesantren tersebut. Lebih-lebih sekarang ini. Setiap ada acara besar, para alumnus juga tidak pernah diundang.

 Benar atau salah atas kondisi seperti itu Allah Yang Maha Mengetahuinya. Namun, faktanya pesantren ini kunilai ruh kepesantrenannya banyak berkurang. Lebih didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan jiwa kewirausahaan.

Sungguh disayangkan bila pesantren yang usianya lebih dari satu abad ini benar-benar kehilangan ruh. Tirakat siang malam para pendiri pesanten akan sia-sia lantaran pengajian kitab kuning sekarang diganti kitab terjamah. Sumber-sumber kajiannya juga banyak mengadopsi dari internet yang secara sanad sangat diragukan.

Aku melanjutkan perjalanan. Kenangan saat belajar ilmu dan tirakat di pesantren kutinggalkan di pinggir jalan raya tempatku berhenti. Harapanku semoga pesantren yang pernah memiliki ribuan santri tetap berokah dan bermanfaat buat umat. Aku ingin di pesantren ini sosok seperti kiai dan Kang Mus muncul kembali sehingga ruh pesantrennya hidup kembali.  (*)

Lamongan, 18 Desember 2024