Asrama
Pesantren Tua
Cerpen karya
Ahmad Zaini
Setiap aku melintasi jalan itu, kemudian menoleh ke samping kiri ribuan
kenangan bermunculan. Bangunan tua itu kini di kanan-kirinya ditumbuhi bangunan-bangunan
baru. Namun, bangunan tua masih mempertahankan keasliannya. Para pengelola
sengaja membiarkannya agar alumnus yang berkunjung ke bangunan itu dapat
bernostalgia.
Bangunan ini dianggap sebagai cagar budaya di pesantren ini. Santri dari
generasi ke generasi berikutnya bertanggung jawab menjaga dan melestarikannya.
Jangan sampai ada pihak luar memberi iming-iming material lalu memugar dan
merenovasinya menjadi bangunan modern.
Asrama Al firdausi namanya. Bangunan yang berbahan kayu jati ini menjadi
cikal bakal lahirnya pesantren. Meski terkesan kuno, bangunan yang dibuat oleh
kiai Firdaus ini memiliki nilai sejarah. Di atas pintu utama terdapat prasasti
berisi ukuran kayu yang bertuliskan tanggal dan tahun pendiriannya. Angka 1920
menjadi angka yang menunjukkan bahwa pesantren ini tergolong pesantren tua.
Banyak melahirkan ulama dan tokoh karismatik di daerah ini.
Tahun 1989 aku menjadi santri baru di pesantren ini. Para pengurus
pesantren kala itu menempatkanku di asrama Al firdausi. Bangunan serupa langgar
panggung berdinding dan berlantai papan dari kayu jati kusinggahi. Pengurus
pesantren yang bernama Muslihin ditugaskan
oleh kiai menjadi pembimbingku. Dialah yang menyiapkan kotak atau almari kecil
untuk pakaian dan buku.
Setiap hari Kang Mus-panggilan akrab Muslihin-mengawasi dan membimbingku.
Dia juga yang mengenalkanku tentang adat kebiasaan di pesantren ini.
"Setiap bertemu kiai harus memberi hormat," pesan Kang Mus
kepadaku.
Hormat yang kuketahui selama ini merupakan bagian dari sikap dalam upacara.
Saat kiai lewat, dengan spontan aku langsung berdiri tegak dengan mengangkat
bahu lalu lalu meletakkan ujung jari di alis kananku.
Kang Mus diam sambil melirikku. Dia tidak berani bergerak atau berpindah
tempat. Dia juga tidak berani berteriak menegurku lantaran kiai masih berada di
situ. Namun, dari ekspresi wajahnya dia ingin berteriak untuk menegurku. Dalam
hati Kang Mus mungkin berkata, setelah kiai masuk ndalem-sebutan rumah
kiai-dia akan menakzir atau menghukumku. Ternyata benar juga dugaanku. Tak
berselang lama, Kang Mus memanggilku.
"Kamu tahu kesalahanmu?" tanya Kang Mus.
"Tidak tahu, Kang. Aku sudah melaksanakan perintah Kang Mus untuk
memberi hormat kepada kiai. Apakah ada yang salah?"
"Justru hormatmu itu yang menjadi kesalahanmu." jelas Kang Mus
yang juga menjadi rais pesantren.
"Kok, salah?" tanyaku penuh penasaran.
"Jangan samakan hormat kepada kiai dengan hormatmu saat upacara,
" tegur Kang Mus, "cukup berdiri, menundukkan kepala, kedua telapak
tangan disatukan di bagian depan bawah
perut," sambungnya sambil memberi contoh hormat yang benar kepada kiai.
”Oalah, begitu.” Aku mengangguk-angguk sambil meminta maaf. Aku
memang benar-benar tidak tahu dan tidak paham dengan tradisi hormat seperti itu.
Aku tak akan mengulang kesalahan hormat untuk berikutnya. Setiap kali
melihat atau bertemu kiai, aku selalu memberi hormat sebagaimana diajarkan oleh Kang Mus seperti santri-santri
lainnya.
Di asrama tua ini aku diajari membaca kitab kuning oleh kiai, yaitu kitab Fathul
Qorib. Kitab ini biasa disebut Taqrib oleh teman-teman. Kiai
mengajar membaca kitab ini setiap selesai salat subuh. Semula aku kesulitan
membacanya karena kitab tersebut tanpa harakat atau gundul. Beberapa
teman pun demikian. Aku diajari kiai tentang huruf, lafaz, dan kalimat. Namun, kami tidak bisa membacanya
karena tidak ada harakat. Jadi, lafaz dan kalimat yang kami hadapi itu bisu
semua alias tidak bisa berbunyi. Aku kesulitan dan hampir putus asa
lantaran baru kali ini aku mengenal kitab berbahasa Arab serta tanpa harakat.
Untung ada Kang Mus. Dia santri senior di pesantren ini. Menurut ceritanya,
Kang Mus sudah belajar di sini sepuluh tahun yang lalu.
”Mus, beberapa santri baru ini setiap hari sebelum zuhur, kamu ajari
membaca kitab gundul,” perintah kiai setelah mengetahui aku dan
teman-teman belum bisa membaca sepatah kata pun tulisan dalam kitab.
Kang Mus sosok yang bersemangat tinggi dan bertanggung jawab dalam
melaksanakan perintah kiai. Dia memiliki sifat tawadlu dan sendiko
dawuh pada kiai. Setiap hari kami diajari ilmu nahwu seperti Jurmiyah dan Imrithi. Ilmu tersebut
sebagai ilmu alat untuk membongkar rahasia membaca kitab gundul. Tidak sampai setengah tahun, aku dan
teman-teman santri baru perlahan bisa membaca kitab tanpa harakat. Alhamdulillah,
setiap pagi ketika kiai menyuruhku membaca kitab Taqrib, kami bisa
melaksanakannya meskipun belum sempurna. Masih tersendat-sendat seperti mobil
yang akan mogok.
Di asrama Al firdausi aku juga diajari tirakat. Kata kiai tirakat itu usaha
untuk tidak menuruti semua keinginan nafsu. Aku diajari menahan nafsu makan.
Dalam sehari-sehari biasanya aku makan tiga kali bahkan bisa lebih. Menurut
orang tuaku, aku memang anak yang kuwadukan atau sering makan nasi dengan
porsi melebihi ukuran umumnya. Makanya badanku paling gendut di antara
saudara-saudara kandungku lainnya.
Menurut kiai, orang yang perutnya selalu kenyang akan keluar sifat malas.
Pembawaannya hanya ingin tidur saja. Diajak mengaji baru sepuluh atau lima
belas menit, sudah mengantuk. Kiai
menyampaikan semua yang ada di dunia ini ada penyakitnya. Ilmu juga
punya penyakit. Penyakitnya adalah malas. Oleh karena itu, santri baru di
pesantren ini harus diajari tirakat.
Siang itu perutku keroncongan. Sejak pagi belum kemasukan nasi sama sekali.
Setiap hari aku hanya dijatah singkong rebus tiga iris sebagai pengganti nasi.
Energiku berkurang. Badan terasa lemas. Kepala mulai pusing. Mata
berkunag-kunang. Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Perut kuganjal
dengan pakaian kotor yang kubuntal dengan sarung. Kubungkukkan punggung sambil
meletakkan kepala di buntalan sarung yang kugunakan sebagai bantal. Sejenak aku
terbawa ke alam mimpi.
”Ayo, bangun! Waktu salat asar berjamaah,” Kang Mus tiba-tiba
membangunkanku.
Aku bangun lalu turun dari asrama panggung untuk persiapan jamaah asar. Lapar
benar-benar terasa. Punggungku seperti manyatu dengan perut. Namun, aku
berusaha menahannya sampai Kang Mus mempersilakan aku makan jatah singkong
rebus. Begitulah kenanganku bersama Kang Mus yang melatihku tirakat tidak makan
nasi selama lima belas hari.
***
Dua puluh delapan tahun yang lalu, aku boyong dari pesantren itu. Setelah menikah
sampai mempunyai tiga anak, aku belum sekalipun menginjakkan kaki di pesantren
ini lagi. Saat melintas di jalan raya depan pesantren, aku hanya bercerita
kepada istri dan anak-anak bahwa aku pernah ngiler di situ. Aku pernah
digembleng secara fisik dan mental serta dibekali ilmu agar aku benar-benar
siap ketika terjun di tengah masyarakat.
Memang gemblengan fisik dan mental yang dipandu oleh Kang Mus serta
ilmu-ilmu agama yang disampaikan kiai kala itu benar-benar bermanfaat. Ketika berada
di tengah masyarakat dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda,
aku bisa menyesuaikan diri dengan baik. Masyarakat juga percaya pada
nasihat-nasihat yang kusampaikan saat ceramah di masjid atau di rumah warga
yang punya hajatan.
”Kenapa tidak pernah berkunjung ke pesantren itu?” tanya istriku.
”Kiaiku sudah tidak di situ. Kang Mus juga sudah keluar dari pesantren. Teman-temanku
yang mondok seangkatan juga tidak ada satu pun di situ. Jadi, malas sekali
berkunjung ke pesantren. Aku akan seperti orang asing karena mereka yang
tinggal disitu saat ini orang-orang baru semua,” kataku menjelaskan istri saat
dia meminta agar aku bersilaturrahmi ke pesantren.
”Paling tidak biar anak-anak kita ada yang melanjutkan jejak ayahnya
belajar di situ,” sambung istri.
Aku berpikir tujuh kali memondokkan anak di situ. Aku lebih senang memilih
pesantren lain yang lebih bagus dan kualitas. Menurut informasi dari
teman-teman, pesantren ini telah kehilangan ruh kepesantrenannya. Pesantren ini
lebih condong ke bisnis daripada ke pembinaan keagamaan. Para pembesar
pesantren sering keluar untuk menjalin dan memperbanyak rekan bisnis, sedangkan
pengajian dipandu oleh santri-santri senior saja. Sampai-sampai ada teman
sesama alumnus yang nyelethuk begini, dulu pesantren ini sering dukunjungi
ulama dan tokoh-tokoh nasional, tapi sekarang lebih sering dikunjungi para
sales untuk menawarkan produk dagangan baru. Itulah sebabnya aku malas dan enggan berkunjung ke pesantren
tersebut. Lebih-lebih sekarang ini. Setiap ada acara besar, para alumnus juga tidak
pernah diundang.
Benar atau salah atas kondisi
seperti itu Allah Yang Maha Mengetahuinya. Namun, faktanya pesantren ini
kunilai ruh kepesantrenannya banyak berkurang. Lebih didominasi oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi serta penguatan jiwa kewirausahaan.
Sungguh disayangkan bila pesantren yang usianya lebih dari satu abad ini
benar-benar kehilangan ruh. Tirakat siang malam para pendiri pesanten akan
sia-sia lantaran pengajian kitab kuning sekarang diganti kitab terjamah.
Sumber-sumber kajiannya juga banyak mengadopsi dari internet yang secara sanad
sangat diragukan.
Aku melanjutkan perjalanan. Kenangan saat belajar ilmu dan tirakat di
pesantren kutinggalkan di pinggir jalan raya tempatku berhenti. Harapanku
semoga pesantren yang pernah memiliki ribuan santri tetap berokah dan
bermanfaat buat umat. Aku ingin di pesantren ini sosok seperti kiai dan Kang
Mus muncul kembali sehingga ruh pesantrennya hidup kembali. (*)
Lamongan, 18 Desember 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar