Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 08 Juni 2025

Sopir Angkot, Cerpen Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Minggu, 5 Juli 2020

Sopir Angkot
Cerpen karya Ahmad Zaini

“Menjangan, Menjangan, Menjangan!” seru Katam mencari penumpang ke arah Karangmenjangan. Namun, sampai jarum arlojinya hampir menyentuh angka sepuluh, baru ada satu penumpang yang tertambat dalam armada angkutan kotanya.
”Bagaimana, Cak? Jadi berangkat nggak?” tanya satu-satunya penumpang yang sudah hampir setengah jam duduk di bangku belakang.
”Sabar, Bu! Ini masih saya carikan penumpang lain.”
”Tapi, jam sebelas saya harus sudah sampai di tempat kos anakku.”
”Sebentar, Bu. Jika sudah ada dua penumpang lagi, kita berangkat.”
”Lalu sampai kapan kamu dapat dua penumpang itu?” desak perempuan yang memangku koper berisi barang yang akan dikirimkan ke anaknya.
Katam terdiam. Dia tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan terakhir ini. Katam hanya bisa menelan kelu lantaran beberapa hari ini selama pandemi korona penumpang sangat sepi. Dalam sehari terkadang Katam hanya membawa dua atau tiga penumpang dari terminal Joyoboyo ke Karangmenjangan. Tapi apa boleh buat. Daripada berdiam diri di rumah dan tak mendapatkan penghasilan apa-apa, lebih baik tetap mengangkut penumpang meskipun tidak seimbang dengan pendapatan.
Hampir sepuluh tahun Katam menjadi sopir angkutan kota. Dia sudah merasakan pahit getirnya kehidupan di embongan. Pasang surut penghasilan merupakan hal yang biasa. Akan tetapi kali ini, dia benar-benar merasakan keterpurukan yang tidak pernah terbesit dalam batok kepalanya.
Sebelum diberlakukan PSBB di Surabaya karena pandemi korona, dalam sehari dia bisa mendapatkan penghasilan dua ratus sampai tiga ratus ribu. Apalagi saat menjelang lebaran. Dia bisa mendapatkan keuntungan dari sisa setoran ke juragan 500 ribu dalam sehari.
Dari penghasilan itu, Katam bisa memenuhi semua kebutuhan pokok rumah tangganya. Bahkan, dia bisa membeli barang-barang berharga lainnya seperti gelang dan anting-anting istrinya. Dia juga bisa mengajak anak dan istrinya rekreasi ke objek wisata terkenal di Malang. Selain itu, dia pernah mencicipi hobi shooping di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Penghasilan Katam sekarang jauh menurun. Bisa dikatakan terjun bebas. Sehari dapat lima puluh ribu saja sudah untung-untungan. Terkadang buat setoran saja masih kurang. Lebih ironisnya lagi dia beberapa kali dia tidak bisa memberi uang belanja kepada istrinya dari hasil sopir angkot. Dia terpaksa menjual hape andorid yang pernah dia bangga-banggakan dulu demi memenuhi kebutuhan belanja keluarga.
”Maaf, Dik! Saya terpaksa menjual hape untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujarnya pada sang istri.
”Kok, dijual? Lalu dengan apa kamu melayani carteran jika ada yang membutuhkan jasamu?”
”Tidak ada carteran. Semua tempat wisata ditutup. Langganan carteranku tidak ada yang membuat kegiatan di objek wisata seperti tahun-tahun sebelumnya. Dapat dipastikan tahun ini tidak ada carteran,” pungkas Katam supaya istrinya tidak terlalu berharap pada langganan carterannya. Istri katam terdiam. Dia tidak bisa menghindari nasib yang dialaminya sekarang ini.
***
”Menjangan, Menjangan, Menjangan!” teriak Katam mencari dua penumpang tambahan agar bisa segera berangkat ke Karangmenjangan.
”Cak, sudah jam setengah sebelas. Bagaimana ini?” tuntut penumpangnya yang sejak tadi sudah menunggu dalam mobil angkutan kotanya.
”Iya, Bu. Sabar! Sebentar lagi kita berangkat.”
”Sejak tadi selalu menjawab sebentar lagi, sebentar lagi! Ini anak saya sudah menunggu,” sergah ibu penumpangnya.
”Lima menit lagi, Bu,” tegas Katam. Dia berani memastikan lima menit lagi karena biasanya dua karyawan di toko kawasan Joyoboyo itu waktunya pulang. Mereka merupakan langganan Katam.
”Oke. Lima menit lagi. Kalau sampai lebih dari  lima menit, saya akan menggunakan jasa angkutan lainnya,” ancamnya.
Katam menggaruk-garuk rambut yang tertutup topi. Dia merasa gelisah dengan kondisi penumpang yang sangat sepi gegara pandemi korona. Dia tidak menyangka sama sekali bila dampak korona sangat berpengaruh pada usahanya.
Di belakang armada angkutan kota Katam, terlihat beberapa armada lain yang mengantre. Mereka menunggu giliran menaikkan penumpang. Selama armada angkutan kota di depannya belum penuh, mereka tidak boleh merebut penumpang yang menjadi jatah angkot di depannya itu. Apabila ada yang melakukan itu, maka sopir tersebut harus bersiap-siap menerima sanksi dari organisasi  atau paguyuban sopir angkot.
”Cak, sudah lima menit,” teriak penumpang yang sejak tadi sudah bersabar menunggu angkot diberangkatkan.
”Iya, Bu. Saya jemput penumpang dulu di toko sebelah,” sahut Katam.
Katam berlari-lari kecil. Dia berjalan gesit menerobos celah angkot yang berjajar rapi di semua sisi angkotnya untuk menjemput penumpang langganannya.
”Mas, di mana Mbak Laila dan Mbak Nuraini penumpang langgananku? Biasanya jam segini dia waktunya pulang.”
”Mulai hari ini mereka tidak kerja, Cak. Juragan terpaksa memberhentikannya karena konsumen di toko ini sangat sepi,” jawab lelaki pelayan toko.
”O, gitu. Terima kasih, Mas!” sambungnya.
Katam kembali ke angkot dengan lesu. Satu-satunya harapan untuk mendapatkan dua penumpang telah lenyap. Dia pasrah pada nasib karena hari ini tidak bisa membawa penumpang ke Karangmenjangan sesuai harapannya.
”Maaf, Bu! Kedua penumpang langganan saya telah dipecat dari pekerjaannya. Jadi, mereka tidak bekerja lagi di toko itu.”
”Oalah, andai sejak tadi saya tahu begini, lebih baik saya naik angkutan lainnya. Lantas sekarang bagaimana?”
”Sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai sopir angkutan kota, ibu tetap saya antarkan ke tempat tujuan meskipun hanya sendirian,” jawab Katam dengan tegas.
Katam berangkat menuju Karangmenjangan. Dia hanya membawa seorang penumpang melintas di jalanan kota Surabaya yang sangat lengang. Maklumlah di kota pahlawan saat ini masih diberlakukan PSBB jilid ketiga sehingga suasana di jalan raya seperti jalanan mati. Di trotoar yang biasanya ramai pejalan kaki, saat ini hanya terlihat halte-halte bus yang tak berpenghuni.  Halaman gedung-gedung pencakar langit yang biasanya dipenuhi mobil-mobil mewah para karyawannya, saat ini juga tampak seperti tanah lapang. Semuanya pegawainya bekerja dari rumah.
”Depan, Cak!” kata penumpangnya.
”Iya, Bu,” jawab Katam singkat.
Katam menurunkan penumpang di depan gang yang akan membawanya ke rumah kos anaknya. Dia menerima ongkos dari perempuan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat mangkal terakhirnya di kawasan Karangmenjangan.
Di tempat mangkalnya, Katam melihat beberapa armada angkotan kota yang mengular. Mereka masih mengantre mendapatkan giliran mengangkut penumpang. Itu pun apabila ada calon penumpang yang diangkut. Jika tidak ada penumpang, mereka terpaksa harus berlama-lama di tempat itu untuk menunggu penumpang.
Katam mendapat nomor antrean paling belakang. Di depannya masih ada puluhan armada yang berderet menunggu giliran berangkat untuk mengangkut penumpang. Karena masih lama menunggu antrean, Katam menyempatkan makan di warung langganan.
”Makan, Mbok. Pakai menu biasanya,” pesan katam pada pemilik warung.
”Iya. Tumben baru datang?” tanya pelayan warung.
”Nunggu penumpang, Mbok. Sepi sekali sehingga baru sampai di sini,” jawab Katam.
”Situasi seperti ini semua usaha mengalami penurunan. Termasuk warungku. Malah hutang para sopir angkot di sini semakin menumpuk saja,” timpal Mbok Ijah, pemilik sekaligus pelayan warung.
”Aku masih punya hutang berapa, Mbok?” Katam berbasa-basi.
”Kalau ditambah makan hari ini, hutangmu seratus ribu rupiah,” jawabnya.
”Dicatat dulu, Mbok. Besok kalau situasi pekerjaan sudah normal, pasti kubayar.”
”Iya, iya!” sahut perempuan itu sambil menyodorkan nasi dengan sayur ikan lodeh dicampur ikan pe kepada Katam.
Katam makan dengan lahap. Sejenak dia melupakan kesumpekan hati gara-gara pekerjaannya yang sepi demi menikmati menu kesukaannya. Dalam hatinya berkata bahwa kesehatan adalah segala-galanya. Penghasilan dapat dicari di hari-hari berikutnya.
Raja siang di ufuk barat sudah memerah. Sebentar lagi planet penerang bumi ini akan bersembunyi demi menenangkan diri. Sepanjang siang matahari hanya melihat dan mendengara keluh kesah penghuni bumi karena usahanya surut. Katam segera meninggalkan pangkalan Karangmenjangan. Dia menjejak pedal gasnya agar segera sampai rumahnya di kawaswan Wonokromo.
Sesampai di rumah, Katam disambut istrinya dengan senyum. Katam menyerahkan kunci mobil kepada istrinya. Wanita yang dinikahinya sejak lima belas tahun lalu itu  meletakkan kunci tersebut di pucuk paku yang tertancap di belakang pintu kamar. Katam menghempaskan tubuhnya di atas shofa kumal ruang tamunya. Dia mendesah lantaran tidak membawa hasil kerja hari ini. Istrinya berusaha menghibur agar suaminya tidak larut dalam ketidakmujuran pekerjaan hari ini. Besok, lusa, tulat, tubin, atau kapan saja pasti ada rezeki yang menghampirinya. Yang penting tetap bekerja. (*)

Wanar, Juli 2020

Ahmad Zaini merupakan guru di SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen, puisi dan esainya pernah di muat di surat kabar. Dia juga telah menerbitkan beberpa buku kumpulan cerpen dan puisi. Buku kumpulan puisi terbarunya berjudul Hanya Waktu Jelang Kematian (Maret, 2020). Saat ini dia tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan.






























Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat, cerpen di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 7 Juni 2025

 

Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kata ibu saat mengandungku, dia bermimpi sajadahnya dibawa terbang malaikat. Anehnya, ibu diam tidak meminta tolong siapa pun. Ibu ikhlas dan merasa bahagia kehilangan sajadah kesukaannya. Ibu bertafakkur. Beliau mengingat kata-kata kakek yang mengatakan suatu saat anak-anaknya ada yang berangkat haji. Benarkah janin yang kukandung ini akan berangkat haji kelak dewasa nanti, pikir ibu. Sajadah yang dibawa terbang malaikat dalam mimpi itu menjadi isyarat janin yang dikandungnya akan berangkat haji.

Janin lahir pada ngat legi atau Ahad legi tepatnya di sepertiga malam. Saat orang-orang qiyamullail. Waktu mustajabah buat bermunajat kepada Allah. Tepatnya, ketika ayah sedang melaksanakan salat hajat. Ibu merasakan janin akan lahir. Ibu memanggil ayah untuk menyampaikan tanda-tanda kelahiran. Ayah segera turun dari dipan, tempatnya salat. Ayah lantas ke rumah dukun bayi yang tak jauh dari tempat tinggal untuk meminta bantuan persalinan ibu.

Mak Sikar, si dukun bayi bergegas ke rumah. Dia menangani persalinan ibu. Tak berselang lama, bayi laki-laki lahir di sepertiga malam dengan aura wajah yang putih bersih.

”Anakmu laki-laki. Wajahnya seperti Kaji,” kata Mak Sikar kepada ibu. Kaji yang dimakud adalah saudara kakek yang semasa hidupnya berangkat haji puluhan kali.

Ayah dan ibu tersenyum atas kelahiraku. Beliau berdua bersyukur karena aku dilahirkan dengan selamat. Ibu berharap wajah serupa Kaji yang disampaikan Mak Sikar benar-benar menitis kepadaku. Bayi yang kelak dapat meniru saudara kakek yang bisa berangkat haji berkali-kali. Begitu kisah ibu yang disampaikan kepadaku.

***

Kini aku tumbuh dewasa. Aku menjadi laki-laki bertubuh tinggi besar dan tampan. Aku juga telah menikah dan dikaruniai tiga anak. Impian sang ibu mulai mendekati kenyataan. Aku yang dimimpikan sebagai sajadah yang dibawa terbang malaikat menjadi orang kaya. Hartaku berlebih-lebih. Menurut Islam, orang sepertiku telah memenuhi syarat berangkat haji. Aku mampu dalam perjalanan karena situasi aman dan fisikku kuat. Istriku juga demikian. Sehat jasmani dan rohani. Hartaku juga cukup untuk menghidupi ketiga anak yang akan kutinggal di rumah.

Ibu menyarankan kepadaku agar segera mendaftar haji. Namun, aku tidak segera menindaklanjuti. Ada keraguan yang tiba-tiba datang menggangu keyakinanku.

”Jangan turuti keraguanmu. Itu syetan yang menggoda agar kamu tidak berangkat haji,” kata ibu.

Aku sempat bingung karena ada lagi yang menyebabkan ketidaktegasanku. Ketiga anakku nanti di rumah dengan siapa.

”Jangan khawatir, aku siap menjaganya,” sanggup ibu.

”Lantas siapa yang menjalankan usaha toko di pasar, Bu?”

”Ayahmu siap menjaga tokomu selama kamu di tanah suci,” pungkas ibu.

Keraguan pelan-pelan terkikis. Aku mulai bangkit. Aku ingat pesan kiai bahwa selama berhaji, harta dan anak-anak yang ditinggal di rumah akan dijaga oleh Allah. Hartanya tidak akan habis atau hilang. Hartanya akan bertambah banyak dan barokah.

”Kalau begitu, besok pagi aku dan istri akan mendaftar haji,” kataku yang disambut anggukan serta senyum ibu.

Tiada kebahagiaan seorang ibu kecuali memunyai anak yang patuh kepadanya. Dia bangga karena aku menuruti saran dan nasihatnya. Meskipun beliau sendiri belum sempat berangkat haji, ibu tetap bangga dan bersyukur karena anaknya bisa berangkat haji.

”Mohon doa dan restu ibu,” pintaku pada wanita penyimpan surgaku.

”Ibu merestui dan mendoakan kelancaran niat sucimu, Nak,” jawabnya lirih dengan penuh haru.

***

Penantian panjang setelah mendaftar haji telah tiba. Tiga belas tahun bukanlah waktu pendek. Sewaktu dapat kepastian estimasi pemberangkatan selama itu, rasanya mustahil. Aku bersandar pada takdir Allah. Aku memasrahkan semua pada ketentuan Allah. Jika menurut Allah berangkat haji bagiku adalah yang terbaik, maka Allah akan memudahkan segalanya. Jika tidak, cukup dengan mendaftar saja insyaallah niatku berhaji telah dicatat Allah telah melaksanakan haji.

Siang hari seusai salat Jumat aku dan istri melakukan ritual pemberangkatan haji. Sanak kerabat dan para tetangga berkumpul di rumah. Mula-mula ayah-ibu kandung dan mertua duduk di sebelah kanan serta kiri pintu rumah. Kami bergantian sungkem kepada kedua sosok yang paling berarti dalam hidup ini. Kami berlutut di hadapan keduanya, mencium kedua telapak kakinya serta memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Kedua orang tua memberi doa restu keberangkatan, kesehatan, keselamatan, kekhusukan ibadah, serta kelancaran perjalanan pergi-pulang hingga dapat berkumpul dengan keluarga lagi di tanah air. Yang paling dasyat adalah doa ibu agar hajiku mabrur.

Kami berdiri lalu bergeser ke pintu. Kami menulis ayat Alquran di pintu. Ayat tersebut sebagai ikhtiar doa agar senantiasa diberi keselamatan dalam perjalanan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Iringan salawat dan talbiyah menggema dari masyarakat yang hadir. Ditambah lagi alunan merdu azan menyentuh hati. Tiba-tiba air mata kami mengalir deras dan menetes di setiap langkah menuju mobil. Di setiap tetesnya, ada kilau bayangan membuka mata hatiku. Aku merasa sebagai manusia biasa, lemah dan tak berdaya-upaya. Yang menggerakkan hidup dan Yang menentukan takdir bisa berangkat haji adalah Allah.

”Kami memenuhi panggilan-Mu, ya, Allah,” ucap kami ketika mobil membawaku ke asrama haji bersamaan dengan lambai tangan perpisahan dan doa dari orang-orang yang hadir.

Wajah mereka yang hadir di rumah terbawa dalam genang air mataku. Wajah ceria dan harap keselamatan pada kami terukir jelas. Kelopak mata mereka berkilau laksana kaca. Mereka terharu saat aku dan istri benar-benar berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Kami berjanji akan mengingat wajah mereka yang hadir saat di padang Arafah. Akan kami mohonkan kepada Allah agar yang hadir ini kelak dapat bertamu ke baitullah untuk melaksanakan ibadah haji.

Doa restu tergurat melalui pancaran wajah ayah dan ibu. Ridlonya kepadaku telah mendatangkan ridlo Allah kepadaku. Selama perjalanan hidup, aku selalu bernaung kepada keduanya. Tanpa restu ayah-ibu, aku tak akan bisa hidup seperti ini. Sampai-sampai ibu mengikhlaskan sajadah kesayangannya dibawa terbang malaikat meskipun dalam mimpi.

***

Aku tak akan melupakan ta’bir mimpi ibu sewaktu mengandungku. Mimpi itu ternyata menjadi firasat baik sebagaimana yang disampaikan oleh buyut Kaji. Sajadah kesayangan yang setiap hari menjadi alas sujud ibu telah membawaku terbang ke tanah suci. Ketaatan ayah-ibu menjalankan agama menjadi sebab sajadah sebagai tempat penyerahan hamba pada Tuhan mempunyai kekuatan. Sajadah sederhana bermotif ka’bah melahirkan aura suci yang terbawa mimpi hingga kau berangkat haji.

”Ibu, sajadah ini akan kusimpan sebagai prasasti,” kataku menjelang keberangkatan ke tanah suci.

”Jangan, Nak. Biarlah sajadah ini tergelar di tempatnya. Sajadah itu menjadi pasebanan ibu menghadap Gusti Allah,” tolak ibu.

”Nanti akan kuganti dengan yang baru. Ibu akan saya belikan sajadah yang lebih bagus dari Makkah,” desakku.

”Tidak, Nak. Sajadah ini sangat bernilai meskipun sudah pudar di bagian permukaannya.”

Sebegitunya ibu menilai sajadah ini. Aku memaklumi pendirian ibu yang bersikukuh memertahankan sajadahnya. Sajadah yang dimimpikannya dibawa terbang oleh malaikat. Mimpi yang menjadi firasat turunnya takdir Allah aku bisa berangkat haji.

”Baiklah, Bu,” ucapku ikhlas pada sikap ibu.

Sajadah bermotifkan ka’bah tergelar di pesalatan ibu. Sajadah yang menjadi alas penyerahan jiwa raga ibu pada Allah. Tempatnya bersujud mengagungkan sifat-sifat-Nya. Tempat menyebut dan mengingat-Nya dengan asmaul Husna.

Malam semakin larut. Mata ibuku sayu dan terlihat redup. Beberapa kali ibu menguak. Rasa kantuk tak kuasa iatahan. Pada akhirnya, ibu masuk kamar. Beliau ingin beristirahat dengan pulas. Aku ingin melihat senyum ibu jelang keberangkatanku ke tanah suci. Aku berdoa kepada Allah agar ridlo dan kasih saya kedua orang tua menaungi kami selama melaksanakan ibadah haji. (*)

Lamongan, 1 Juni 2025

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpennya telah diterbitkan di beberapa media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca (2024).