Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Minggu, 08 Juni 2025

Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat, cerpen di Jawa Pos grup Radar Bojonegoro, Sabtu, 7 Juni 2025

 

Sajadah Ibu Dibawa Terbang Malaikat

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kata ibu saat mengandungku, dia bermimpi sajadahnya dibawa terbang malaikat. Anehnya, ibu diam tidak meminta tolong siapa pun. Ibu ikhlas dan merasa bahagia kehilangan sajadah kesukaannya. Ibu bertafakkur. Beliau mengingat kata-kata kakek yang mengatakan suatu saat anak-anaknya ada yang berangkat haji. Benarkah janin yang kukandung ini akan berangkat haji kelak dewasa nanti, pikir ibu. Sajadah yang dibawa terbang malaikat dalam mimpi itu menjadi isyarat janin yang dikandungnya akan berangkat haji.

Janin lahir pada ngat legi atau Ahad legi tepatnya di sepertiga malam. Saat orang-orang qiyamullail. Waktu mustajabah buat bermunajat kepada Allah. Tepatnya, ketika ayah sedang melaksanakan salat hajat. Ibu merasakan janin akan lahir. Ibu memanggil ayah untuk menyampaikan tanda-tanda kelahiran. Ayah segera turun dari dipan, tempatnya salat. Ayah lantas ke rumah dukun bayi yang tak jauh dari tempat tinggal untuk meminta bantuan persalinan ibu.

Mak Sikar, si dukun bayi bergegas ke rumah. Dia menangani persalinan ibu. Tak berselang lama, bayi laki-laki lahir di sepertiga malam dengan aura wajah yang putih bersih.

”Anakmu laki-laki. Wajahnya seperti Kaji,” kata Mak Sikar kepada ibu. Kaji yang dimakud adalah saudara kakek yang semasa hidupnya berangkat haji puluhan kali.

Ayah dan ibu tersenyum atas kelahiraku. Beliau berdua bersyukur karena aku dilahirkan dengan selamat. Ibu berharap wajah serupa Kaji yang disampaikan Mak Sikar benar-benar menitis kepadaku. Bayi yang kelak dapat meniru saudara kakek yang bisa berangkat haji berkali-kali. Begitu kisah ibu yang disampaikan kepadaku.

***

Kini aku tumbuh dewasa. Aku menjadi laki-laki bertubuh tinggi besar dan tampan. Aku juga telah menikah dan dikaruniai tiga anak. Impian sang ibu mulai mendekati kenyataan. Aku yang dimimpikan sebagai sajadah yang dibawa terbang malaikat menjadi orang kaya. Hartaku berlebih-lebih. Menurut Islam, orang sepertiku telah memenuhi syarat berangkat haji. Aku mampu dalam perjalanan karena situasi aman dan fisikku kuat. Istriku juga demikian. Sehat jasmani dan rohani. Hartaku juga cukup untuk menghidupi ketiga anak yang akan kutinggal di rumah.

Ibu menyarankan kepadaku agar segera mendaftar haji. Namun, aku tidak segera menindaklanjuti. Ada keraguan yang tiba-tiba datang menggangu keyakinanku.

”Jangan turuti keraguanmu. Itu syetan yang menggoda agar kamu tidak berangkat haji,” kata ibu.

Aku sempat bingung karena ada lagi yang menyebabkan ketidaktegasanku. Ketiga anakku nanti di rumah dengan siapa.

”Jangan khawatir, aku siap menjaganya,” sanggup ibu.

”Lantas siapa yang menjalankan usaha toko di pasar, Bu?”

”Ayahmu siap menjaga tokomu selama kamu di tanah suci,” pungkas ibu.

Keraguan pelan-pelan terkikis. Aku mulai bangkit. Aku ingat pesan kiai bahwa selama berhaji, harta dan anak-anak yang ditinggal di rumah akan dijaga oleh Allah. Hartanya tidak akan habis atau hilang. Hartanya akan bertambah banyak dan barokah.

”Kalau begitu, besok pagi aku dan istri akan mendaftar haji,” kataku yang disambut anggukan serta senyum ibu.

Tiada kebahagiaan seorang ibu kecuali memunyai anak yang patuh kepadanya. Dia bangga karena aku menuruti saran dan nasihatnya. Meskipun beliau sendiri belum sempat berangkat haji, ibu tetap bangga dan bersyukur karena anaknya bisa berangkat haji.

”Mohon doa dan restu ibu,” pintaku pada wanita penyimpan surgaku.

”Ibu merestui dan mendoakan kelancaran niat sucimu, Nak,” jawabnya lirih dengan penuh haru.

***

Penantian panjang setelah mendaftar haji telah tiba. Tiga belas tahun bukanlah waktu pendek. Sewaktu dapat kepastian estimasi pemberangkatan selama itu, rasanya mustahil. Aku bersandar pada takdir Allah. Aku memasrahkan semua pada ketentuan Allah. Jika menurut Allah berangkat haji bagiku adalah yang terbaik, maka Allah akan memudahkan segalanya. Jika tidak, cukup dengan mendaftar saja insyaallah niatku berhaji telah dicatat Allah telah melaksanakan haji.

Siang hari seusai salat Jumat aku dan istri melakukan ritual pemberangkatan haji. Sanak kerabat dan para tetangga berkumpul di rumah. Mula-mula ayah-ibu kandung dan mertua duduk di sebelah kanan serta kiri pintu rumah. Kami bergantian sungkem kepada kedua sosok yang paling berarti dalam hidup ini. Kami berlutut di hadapan keduanya, mencium kedua telapak kakinya serta memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Kedua orang tua memberi doa restu keberangkatan, kesehatan, keselamatan, kekhusukan ibadah, serta kelancaran perjalanan pergi-pulang hingga dapat berkumpul dengan keluarga lagi di tanah air. Yang paling dasyat adalah doa ibu agar hajiku mabrur.

Kami berdiri lalu bergeser ke pintu. Kami menulis ayat Alquran di pintu. Ayat tersebut sebagai ikhtiar doa agar senantiasa diberi keselamatan dalam perjalanan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Iringan salawat dan talbiyah menggema dari masyarakat yang hadir. Ditambah lagi alunan merdu azan menyentuh hati. Tiba-tiba air mata kami mengalir deras dan menetes di setiap langkah menuju mobil. Di setiap tetesnya, ada kilau bayangan membuka mata hatiku. Aku merasa sebagai manusia biasa, lemah dan tak berdaya-upaya. Yang menggerakkan hidup dan Yang menentukan takdir bisa berangkat haji adalah Allah.

”Kami memenuhi panggilan-Mu, ya, Allah,” ucap kami ketika mobil membawaku ke asrama haji bersamaan dengan lambai tangan perpisahan dan doa dari orang-orang yang hadir.

Wajah mereka yang hadir di rumah terbawa dalam genang air mataku. Wajah ceria dan harap keselamatan pada kami terukir jelas. Kelopak mata mereka berkilau laksana kaca. Mereka terharu saat aku dan istri benar-benar berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Kami berjanji akan mengingat wajah mereka yang hadir saat di padang Arafah. Akan kami mohonkan kepada Allah agar yang hadir ini kelak dapat bertamu ke baitullah untuk melaksanakan ibadah haji.

Doa restu tergurat melalui pancaran wajah ayah dan ibu. Ridlonya kepadaku telah mendatangkan ridlo Allah kepadaku. Selama perjalanan hidup, aku selalu bernaung kepada keduanya. Tanpa restu ayah-ibu, aku tak akan bisa hidup seperti ini. Sampai-sampai ibu mengikhlaskan sajadah kesayangannya dibawa terbang malaikat meskipun dalam mimpi.

***

Aku tak akan melupakan ta’bir mimpi ibu sewaktu mengandungku. Mimpi itu ternyata menjadi firasat baik sebagaimana yang disampaikan oleh buyut Kaji. Sajadah kesayangan yang setiap hari menjadi alas sujud ibu telah membawaku terbang ke tanah suci. Ketaatan ayah-ibu menjalankan agama menjadi sebab sajadah sebagai tempat penyerahan hamba pada Tuhan mempunyai kekuatan. Sajadah sederhana bermotif ka’bah melahirkan aura suci yang terbawa mimpi hingga kau berangkat haji.

”Ibu, sajadah ini akan kusimpan sebagai prasasti,” kataku menjelang keberangkatan ke tanah suci.

”Jangan, Nak. Biarlah sajadah ini tergelar di tempatnya. Sajadah itu menjadi pasebanan ibu menghadap Gusti Allah,” tolak ibu.

”Nanti akan kuganti dengan yang baru. Ibu akan saya belikan sajadah yang lebih bagus dari Makkah,” desakku.

”Tidak, Nak. Sajadah ini sangat bernilai meskipun sudah pudar di bagian permukaannya.”

Sebegitunya ibu menilai sajadah ini. Aku memaklumi pendirian ibu yang bersikukuh memertahankan sajadahnya. Sajadah yang dimimpikannya dibawa terbang oleh malaikat. Mimpi yang menjadi firasat turunnya takdir Allah aku bisa berangkat haji.

”Baiklah, Bu,” ucapku ikhlas pada sikap ibu.

Sajadah bermotifkan ka’bah tergelar di pesalatan ibu. Sajadah yang menjadi alas penyerahan jiwa raga ibu pada Allah. Tempatnya bersujud mengagungkan sifat-sifat-Nya. Tempat menyebut dan mengingat-Nya dengan asmaul Husna.

Malam semakin larut. Mata ibuku sayu dan terlihat redup. Beberapa kali ibu menguak. Rasa kantuk tak kuasa iatahan. Pada akhirnya, ibu masuk kamar. Beliau ingin beristirahat dengan pulas. Aku ingin melihat senyum ibu jelang keberangkatanku ke tanah suci. Aku berdoa kepada Allah agar ridlo dan kasih saya kedua orang tua menaungi kami selama melaksanakan ibadah haji. (*)

Lamongan, 1 Juni 2025

Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpennya telah diterbitkan di beberapa media cetak dan online. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Bingkai Jendela Tanpa Kaca (2024).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar