Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Jumat, 16 Desember 2011

KERETA HANTU

KERETA HANTU
Cerpen karya Ahmad Zaini*


Tetes-tetes gerimis terlihat kerap meluncur dari atap stasiun tua. Tak tiknya mengetuk hati yang gundah karena sejak lima jam kumenunggu kereta yang tak kunjung tiba. Serangga-serangga malam beterbangan mengitari lampu yang menggantung sendiri. Mereka menari-nari menghibur diriku agar bersabar menunggu hingga kereta datang membawaku pergi dari tempat kuberdiri ini.

Suasana sekeliling sepi. Tak tampak lalu lalang orang yang menjemput penumpang di stasiun ini. Terkadang hanya terdengar gesekan dedaun pohon pisang yang tumbuh di belakang bangunan stasiun dan nyanyian jangkrik di sela-sela lantai yang menganga. Kumenghela napas melepas kejenuhan yang memuncak sambil mengusap wajah dengan telapak tangan lembab oleh gerimis yang tak jua mereda.
Ketika ada bias cahaya yang tertangkap mata dari arah kereta biasa lewat, segera kuberanjak dari tempat kuberdiri menanti. Eh, benar-benar sial malamku ini karena cahaya yang kukira bias lampu kereta ternyata hanya sinar lampu seorang laki-laki pencari katak. Segera kutarik langkah kaki menuju tempat duduk di stasiun tua.
Ingatanku terseret pada berita kemarin pagi. Pada headline surat kabar pagi tertulis berita tentang aksi anarkis para supporter sepak bola. Mereka melempari rumah-rumah penduduk, masjid serta warga yang melintas di pinggir rel dari atas kereta api. Bahkan seorang warga yang kebetulan melintas di sekitar rel kereta ada yang sampai tewas karena terkena lemparan batu sebesar kepala manusia hingga kepalanya pecah.
“Wih, serem!” kataku dengan serta merta.
“Sejak pagi hingga malam ini belum ada satu pun kereta jurusan Jakarta-Surabaya yang melintas.” Kata penjaga stasiun yang muncul dari ruang jaga.
“Kenapa?” tanyaku
“PT KAI mengambil sikap tidak beroperasi dulu karena takut menjadi sasaran aksi balas dendam warga sekitar rel kereta.” Jawab penjaga stasiun menjelaskan kepadaku kemudian ia kembali masuk ke kantor stasiun.
Pintu stasiun perlahan tertutup. Sejenak lelaki penjaga stasiun lenyap ditelan pintu yang terbuat dari kayu meranti. Remang cahaya lampu penerang di kantor stasiun perlahan berubah mengiringi istirahat lelaki. Ia meredup lantas padam meninggalkan suasana gelap gulita di tengah kecemasanku menunggu kereta.
Bangku-bangku panjang tempat calon penumpang menunggu kereta tampak lengang.  Ia diam menatap aku keheranan. Senyum kerangka bangku mengernyit seakan mempersilakan diriku mendudukinya. Kaki semenjak siang menggantung terasa capek. Aku lantas duduk di bangku itu sambil menjelujurkan kedua kakiku.
“Ah.....!!” aku menguak disertai rambatan air mata dari kantuk yang tak tertahan.
Kurebahkan tubuhku yang masih dibelebat jaket kulit asli yang kubeli di Pasar Senen setahun silam. Kuistirahatkan pikiranku agar aku besok pagi dapat berpikir dengan jernih bagaimana aku bisa sampai ke stasiun Turi Surabaya.
Baru sekian menit tertidur lelap, aku tergeragap bangun. Aku mendengar deru roda-roda kereta yang menginjaki batangan besi rel memanjang. Aku bangun lalu kulihat dari arah barat tampak cahaya kereta yang semakin lama semakin dekat.
“Kok ada kereta yang lewat ya?” tanyaku dalam hati.
Masih terngiang di telinga kabar yang disampaikan oleh penjaga stasiun bahwa kereta jurusan Jakarta-Surabaya untuk sementara waktu tidak beroperasi karena takut dilempari warga sebagai aksi balas dendam atas kematian anggotanya. Mereka menduga para supporter menumpangi setiap kereta jurusan Jakarta-Surabaya yang melintas
“Aneh sekali! Kok ada kereta yang nekat lewat?”
Aku bergegas bangun lalu berdiri menunggu kereta tiba di tempat kumenunggu. Kereta itu semakin lama semakin dekat ke stasiun dan dalam hitungan detik kereta tersebut benar-benar berhenti tepat di depanku.
Aku segera naik ke kereta beserta barang bawaanku. Kumelihat para penumpang di samping kanan dan juga samping kiri diam membisu. Tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku atau sekedar mempersilakan aku duduk di sampignya. Aku pun berjalan mencari kursi kosong agar aku dapat segera beristirahat. Di dekat toilet aku melihat ada kursi kosong. Segera aku ke situ dengan sempoyongan akibat goyangan kereta yang mulai berjalan.
“Permisi, Pak!” ucapku pada penumpang di kursi sebelah.
Lelaki bertopi yang memakai sal beratribut salah satu tim sepak bola diam seperti batu. Ia tak sedikit pun bereaksi oleh kata permisiku. Aku tak ambil pusing karena sikapnya yang angkuh. Aku langsung duduk sambil memangku tas hitam yang berisi pakaian.
“Bapak dari mana?” tanyaku pada lelaki itu.
Ia tetap diam membisu tak menyahut pertanyaanku.
Kereta api yang kutumpangi tetap berjalan menembus malam yang berselimut gerimis. Ia melaju kencang tanpa ada rasa sendat-sendat rem yang menghimpit roda-roda besi. Aku tak menghiraukan lagi lelaki yang diam di sampingku. Aku membiarkannya terdiam merajut lelah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya. Atau mungkin ia trauma dengan aksi anarkis supporter sepak bola yang menewaskan seorang warga seperti yang diberitakan koran pagi tadi?
“Ah, kenapa pusing? Tidur, ah!” kataku kesal.
Kepalaku terguncang-guncang di sandaran kursi. Beberapa kali aku tersadar karena kepalaku membentur pundak lelaki di sampingku. Ia bergeming tak mereaksi benturan-benturan kepalaku. Akhirnya aku pun terbangun ketika mendengar kegaduhan penumpang dari kursi belakang.
Aku berdiri lalu melihat ke arah belakang. Ternyata mereka tidak mengalami apa-apa. Mereka diam tertidur pulas. Aku pun duduk kembali meneruskan kantuk yang terpenggal kegaduhan. Baru sejenak kupejamkan mata suara gaduh itu muncul lagi. Aku tengok ke belakang. Ternyata di kursi belakang juga tidak ada kejadian apa-apa. Mereka tetap duduk diam seperti semula.
“Mungkin  aku salah dengar saja,” kataku meyakinkan diriku sendiri.
Lalu aku kembali menyandarkan kepala di kursi sambil kumemaksa memejamkan mata. Eh, lagi-lagi suara gaduh itu muncul lagi. Namun, kali ini disertai suara histeris menyayat hati. Aku lantas berdiri lalu menengok ke belakang. Betapa terkejutnya diriku ternyata para penumpang yang tadi tertidur pulas kini berdiri lalu tangan-tanganya serempak mencabuti kaca-kaca yang menancap di wajahnya. Aku terhenyak kaget bercampur rasa takut yang luar biasa. Aku pun bermaksud membangun lelaki yang tadi membisu di kursi sampingku. Saat kutoleh ternyata dia pun merintih kesakitan karena ada sebongkah batu sekepalan tangan orang dewasa bersarang dibatok kepalanya.
“Hah!” ucapku kaget sambil melompat menghindarinya.
“Huuuh…, huhhhh….., huhhh!” suara rintih mereka serempak bertarung dengan suara roda kereta.
Aku memberanikan diri untuk mendekat dan memegang salah satu dari mereka. Kucoba melepas secuil kaca yang menancap di matanya. Betapa kegetnya diriku saat aku mencabut serpihan kaca, bola matanya ikut terlepas. Tapi anehnya dia diam saja tidak merasa kesakitan.
Sal sebagai identitas dari tim kebanggaannya yang melingkar di lehernya lepas dan jatuh di bawah kursi. Ia lantas mengambil lalu mengalungkannya lagi ke leher yang penuh dengan darah. Ketika aku melihat bercak-bercak darah yang tercecer di sepanjang gerbong, mataku kemudian berkunang-kunang. Kedua tanganku meraba-raba mencari pegangan untuk menyangga tubuhku agar tidak ambruk menimpa para penumpang yang wajahnya dipenuhi serpihan-serpihan kaca. Tanpa sengaja tangan kananku memegang tangan salah satu penumpang di sampigku. Aku merasakan tangan itu dingin seperti batang pohon pisang.
Aku seakan tak percaya pada semua yang kualami ini. Semua seperti dalam mimpi. Aku melihat para penumpang seperti orang mati. Tapi mereka masih bisa merintih dan mencabuti serpihan kaca jendela kereta api dari wajahnya. Anehnya lagi mereka, para penumpang mengalami hal yang sama.
“Atau mungkin mereka ini sudah mati? Ah, tidak!”
Aku merunduk di bawah kursi saat batu-batu bertebaran menerpa tubuh, kepala para penumpang. Bebatuan dengan berbagai ukuran bertubi-tubi mengenai para penumpang. Akan tetapi anehnya mereka tidak berusaha menghindari batu-batu itu.
“Hemmm!”
Tubuhku terasa lemas tak kuasa memikirkan semua peristiwa yang kuhadapi. Perutku pun terasa mual ketika wajahku terkena percikan darah para penumpang kereta yang terhantam bebatuan. Perlahan pandanganku mulai kabur lantas tubuhku terkulai di bawah kursi kereta api.
Ketika aku terbangun matahari sudah menyambut di puncak atap stasiun turi. Aku kaget saat diriku terbaring  di ruang perawatan.
“Di mana aku ini?” tanyaku pada petugas  yang merawatku.
“Saudara berada di balai kesehatan stasiun turi. Tadi pagi ada orang yang menemukan saudara pingsan di tengah rel kereta api,” jelasnya kepadaku.
“Lalu para penumpang kereta yang mukanya penuh dengan serpihan kaca kereta di rawat di mana?” tanyaku pada petugas tadi.
“Penumpang kereta yang mana? Sejak aksi kebrutalan para supporter sepak bola yang menewaskan warga kemudian muncul aksi balas dendam para warga dengan melempari kereta yang lewat, PT KAI tidak mengoperasikan kereta lagi sampai suasana kembali mereda,” ungkapnya.
Aku semakin bingung dengan yang aku alami. Terus semalam yang kutumpangi itu kereta apa? Ternyata aku baru sadar bahwa semalam aku menumpang kereta Hantu hingga bisa sampai distasiun ini. (*)

Cerpenis alumni teater Roda Unisda lamongan
Kini menjadi pembina di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Beralamat di Wanar Pucuk Lamongan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar