Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Rabu, 07 Desember 2011

KOTA PARA PENZINA

Cerpen Ahmad Zaini*
     
Dingin terasa menusuk kulit. Jarum-jarumnya menembus pori-pori kulitku.yang keriput layu. Gigil tubuhku menahan hembusan angin malam yang menambah parah dingin malam itu.  Sementara itu kakiku tak mau berhenti menyusuri gang-gang kecil di kotaku yang telah lama kutinggal merantau. Kota sebagi sasak jerami, tempat darah nifas ibuku tertumpah mengiringi kelahiran janinku. Aku benar-benar ingin menghabiskan malamku dengan berkeliling menyusuri gang-gang kotaku. Gang yang penuh dengan kenangan masa kecil. Aku ingat betul ketika bermain petak umpet, bermain kejar-kejaran bersama teman kecilku.
Tiada rasa capek telapak kaki menggilas beton di sepanjang gang. Telapak kakiku seakan mengganas ingin melumat habis seluruh pemandangan yang selama ini mengganjal benakku.
Ya. pemandangan yang sangat berbeda dengan ketika aku masih tinggal di gang kecil ini beberapa tahun yang lalu.
Terdapat beberapa keganjilan di kotaku ini. Kota yang dulu kental dengan suasana religi kini berubah menjadi kota yang seperti tidak mengenal Tuhan. Suasana setiap hari saat memasuki waktu salat, terdengar suara kakekku selalu mengumandangkan azan dan puji-pujian kini berganti dengan musik-musik keras. Kenanganku dengan teman-teman sebaya ketika berbondong-bondong sambil membawa kitab suci ke surau kakekku juga sirna oleh gerombolan remaja yang nongkrong di perempatan jalan sambil bermain perempuan dan minum-minuman keras. Aku tak kuasa melihat semuanya sehingga  mataku menitikkan air mata keprihatinan.
Hatiku resah dan sedih melihat perubahan-perubahan wajah kotaku yang jauh dari Tuhan. Aku takut kotaku akan diamblaskan Tuhan seperti di kota perantauanku yang kini menjadi lautan. Seluruh penghuni kota tersebut habis tinggal aku sendiri yang selamat dari amblasnya kota itu.
Mataku menyapu kanan kiri gang. Tatapan pedih di sepanjang jalan. Tak sengaja aku melihat dua sejoli yang memadu kasih di gang. Mereka berciuman, berpelukan, bermesra-mesraan bak singa kelaparan menyantap mangsa. Padahal aku melintasi tempat mereka bercumbu. Mereka tak menghiraukan bahwa aksinya terlihat oleh  warga.
“Duh, Gusti!!!”
Budaya lokal yang mengedepankan susila telah tergerus oleh badai yang gencar menerjang mereka. Budaya baru yang mengaburkan batas susila dan asusila telah mengobrak-abrik mental mereka. Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan  sudah dianggap sebagai hal biasa. Mereka tak lagi menghiraukan aturan nikah. Mereka berganti-ganti pasangan. Mereka bak binatang yang bebas mencari pasangan. Dari pergaulan bebas dan perzianahan mereka melahirkan anak-anak yang tidak mempunyai status yang jelas. Anak-anak yang tidak diketahui siapa sebenarnya bapak kandungnya.
”Rimba!”
Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kotaku yang tak lagi mempunyai pranata sosial yang jelas.
”Mas.......!” teriak anak kecil bertelanjang dada sambil mendekatiku.
Tanpa kata-kata jari telunjuknya mengarah pada ibunya yang menangis sesenggukan di depan rumahnya.
Si kecil menuntunku ke arah ibunya yang masih belia. Memar kulihat di pipi kanannya. Sesaat aku sampai di depan rumah, kuterkejut saat mataku liar memandang seorang laki-laki yang sedang mabuk asmara dalam pelukan gadis belia yang lain. Rupa-rupanya lelaki perempuan muda ini telah membawa perempuan lain di ruang tamu.
Belum sempat kutegur dia, ia lebih dahulu menghunus pedang mengusir diriku dari depan rumah itu. Aku pun beranjak dari tempat itu karena tak kuasa mencegah kemungkaran yang merajalela seperti yang barus saja kulihat.
”Jangan pergi, Mas! Tolong aku” cegah perempuan itu sambil mendekap anaknya yang berlinang air mata.
Tanganku tak kuasa menolong dia. Tanganku tak sekekar otot-otot kemungkaran yang mencengkeram kotaku. Tanganku lunglai bagai lilin yang meleleh tak mampu menahan panas api. Aku seperti hidup di alam mimpi. Beberapa peristiwa asusila telah memuakkan hatiku muncul seperti jamur di awal musim penghujan
Malam itu benar-benar malam  nereka bagi kehidupan manusia. Tak ada lagi kenikmatan surga yang dapat kurasakan. Semua yang kulihat adalah sebuah hasil dari propaganda yang tak mempertimbangkan batas susila. Aku ingin mengubahnya dengan semangat dakwah yang sedikit banyak kumiliki dari guruku beberapa tahun silam.
”Tapi mampukah?” tanya hati kecilku.
Berdakwah harus dibekali dengan kesabaran alias tahan banting dari godaan. Terkadang banyak juru dakwah yang setiap hari berceramah bahwa kita harus menjauhi kemungkaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya mereka sendiri yang terjerumus dalam kemungkaran itu.
”Jika kita melihat kemungkaran, maka kita wajib mengubah dengan tangan. Jika tampu mengubahnya dengan tangan, maka ubahlah dengan lisan. Jika masih belum mampu, maka ubahlah dengan hati.” petuha guruku ketika aku masih mengaji padanya.
”Mungkin hanya dengan inilah aku mampu mengekarkan otot-otot kebajikan untuk mengusir kemungkaran yang merajalela di kotaku.” sumbarku.
Perjalananku belum apa-apa. Aku tak boleh menyombongkan diri dengan keadaan yang ada. Nafsu syetan yang melanda kotaku sekarang ini, harus dengan halus disingkirkan. Aku ingin kotaku menjadi kota yang diberkati malaikat. Kota yang selalu mendapat perlindungan dari Tuhan.
”Tolong.............!” teriak dari sebuah rumah di sudut gang.
Kuberlari mendekati rumah itu. Lagi-lagi telah terjadi peristiwa di luar batas kewajaran. Sang penguasa membopong dan membawa lari gadis belia dari rumah tersebut.
“Ealah.......! Ternyata yang gila perempuan tidak hanya warganya saja!” ungkap kecewaku.
Aku lelah dengan pemandangan-pemandangan seperti itu. Di dinding pos keamanan aku duduk beristirahat. Kucium aroma sperma yang tercecer di sepanjang tempat duduk ini. Celana dalam yang telah ditinggal pergi pemiliknya menumpuk tak karuan di sudut bangunan kecil di perempatan jalan ini. Aku menatap kemerlip bintang yang tak lagi indah. Cahanya telah memudar karena tak mampu menampung api kemungkaran dari kotaku ini. Bahkan nyamuk-nyamuk nakal pun tak mau lagi menghisap darah kotor yang mengalirkan kehidupan dalam tubuh warga kota.
Tak terasa aku tertidur di pos keamanan. Lelah telah menguasai seluruh organ tubuhku hingga pikiranku. Dengung nyamuk berputar di telingaku. Ia tak tega membiarkan diriku sendiri di telan gelap malam. Nyanyian kodok tak berhenti dari sungai yang mengalirkan kotoran-kotoran penzina, menghibur duka lara yang kurasakan kini. Dalam keadaan setengah sadar terasa ada yang aneh dalam tidurku. Aku seperti bermimpi didatangi bidadari yang turun dari mega yang berwarna jingga. Ia datang sembari mengulurkan selendangnya kepadaku. Aku pun menerima selendang itu sambil memegang tangannya yang halus bak sutera. Lalu ia seperti membawa diriku terbang ke kahyangan kemudian menelentangkan tubuhku di sebuah ranjang berhias intan permata. Setelah itu aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Hingga pada saatnya aku terjaga saat mendengar rintih birahi dari samping tampat kutertidur. Dengusannya bak sapi jantan yang melihat sapi betina berjalan di depannya. Mataku terbelalak dengan murka yang luar biasa ketika di sampingku terlihat dua sejoli yang sedang bersetubuh.
“Kurang ajar!!!!!” teriakku.
Kutendang dia hingga bergelimpangan di pinggir jalan. Mereka kugelindingkan menjauh dari tempat itu.
”Hai, siapa kau?” tanya lelaki yang dengan terpaksa menghentikan persetubuhannya.
”Aku penjaga kota ini. Aku tak ingin kota kelahiranku dipenuhi penzina-penzina seperti kau!”
”Ha, ha, ha! Sok suci! Kau sendiri penzina! Ha, ha, ha!”
Aku tak mengerti dengan jawaban lelaki itu.
”Apa maksudmu mengatakan diriku seperti itu?” tanyaku padanya.
”Sebelum aku menyetubuhi wanita ini, kau telah bersetubuh dengan terlebih dahulu! Ha, ha, ha!”
Aku semakin heran dengan perkataannya. Dia mengatakan diriku sebagai penzina.
”Jangan bengong, tolol! Lihatlah dirimu yang masih telanjang bulat seperti itu!” ungkapnya.
Dengan serta merta aku meraba tubuhku yang ternyata bertelanjang bulat. Aku tak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi? Atau memang kejadian itu adalah kenyataan bukan mimpi atau halusinasi. Dan apakah bidadari yang mengajakku terbang lalu membawaku ke ranjang yang berhias intan permata adalah wanita itu.
”Ha, ha, ha! Hai, penjaga kota! Masihkah kau berani mengatakan bahwa dirimu orang suci yang menjaga kota ini?”
Aku diam tak mampu berucap apa-apa. Aku masih kebingungan mencari alasan mengapa hal ini bisa terjadi pada diriku?
”Aku bukan penzina. Aku orang bersih yang tahu norma.”
”Lalu yang baru saja kamu lakukan itu bukan berzina? Tolol kamu. Kau telah bersetubuh dengan wanita ini!” ucapnya sambil menunjuk ke arah wanita tersebut.
“Ya, Tuhan!”  
“Ha?? Tuhan?? Jangan kau sebut nama Tuhan lagi. Kau itu orang kotor yang tak pantas menyebutnya!”  katanya.
Lolongan anjing dari gang kota telah merontokkan hatiku yang telah ternoda. Senyap malam belum mampu memberikan jawaban dari peristiwa di luar kemampuan akal sehatku. Aku benar-benar tidak tahu kalau tubuhku tak terlindungi sehelai kain pun.
”Hai, kau! Apa yang telah kau lakukan padaku?” tanyaku pada wanita.
Wanita itu diam. Ia tak segera memberikan jawaban dari pertanyaanku. Ia seperti seonggok daging yang akan dicincang sebagai santapan anjing peliharaan.
”Kenapa kau diam??” tanyaku lagi.
Ia masih diam seperti tak ada rasa bersalah. Dengan perlahan-lahan wanita itu mengangkat wajahnya. Ia menatap syahdu merayu. Aku jadi gemetar menatap pandangannya.
”Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Tatapannya semakin menantang hingga pada akhirnya ia mendekap lalu mencumbu diriku.
”Ha, ha, ha, ha! Lelaki penzina!” umpat lelaki itu.
Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Tubuhku lemas dan terkulai di tengah jalan kota.
Serangga malam mendengung seperti melantunkan obituari tentang kematian norma. Serangga-serangga malam seperti menangis melihat kondisi kotaku yang seperti rimba. Perzinahan dianggap sebagai hal biasa sehingga lahir ribuan manusia penzina. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Tak ada yang membantu diriku menemukan jawaban dari ratusan pertanyaan perihal kejadian ini.
Hangat sinar mentari menyapa tubuhku yang terkulai di tengah jalan. Gigil tubuhku telah sirna terusir hangat selimut tebal berwarna kuning keemasan. Selimut itu datang dari surga untuk melindungi diriku dari kemungkaran. Perlahan-lahan tubuhku terasa ringan lalu terbang ke angkasa diiringi taburan jutaan bunga aneka warna. Diriku yang lemah tak mampu mengubah kedhaliman di bumi tercinta, telah mendapatkan berkah atas kebencianku pada kemungkaran. Aku kalah oleh kemungkaran namun dalam hatiku membenci kemungkaran yang merajalela. Dari situlah Tuhan memberikan rahmatNya kepadaku dengan melindungi diriku dari keangkaramurkaan di kotaku ini. Di kota para penzina.
Dari atas langit aku melihat gulungan air bah menyapu perkotaan. Gulungan ombaknya membabi buta menghantam seluruh isi kota. Mereka para warga kota penzina hiruk pikuk mencari keselamatan dari banjir yang melanda. Mereka amblas tergerus oleh kemungkaran yang mereka lakukan. (*)

Lamongan, Oktober 2010

*Cerpenis tinggal di Wanar Pucuk Lamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar