Nasib Si Buyung
Cerpen Ahmad Zaini*
Pancaran matahari menerangi halaman rumah yang ditumbuhi
pepohonan dengan daun rindang. Sinar cerahnya memantul saat menerpa daun yang
digoyang angin lewat. Hembusan udaranya menerbangkan debu lembut kemudian
berlabuh di wajah anak yang sedang bermain riang. Si kecil kemudian berlari
sambil mengucek-ucek matanya yang kemasukan sebutir debu. Ia memanggil-manggil
nama ibunda yang sedang menjahit pakaian sang bapak karena sobek pada lengan
kanannya.
Si ibu dengan penuh rasa kasih sayang segera menghampiri
anaknya yang tersedu di depannya. Tangan halusnya kemudian membuka kelopak
mata. Sekali tiup debu yang mulai mencair bersama air mata kemudian meloncat
keluar. Si kecil segera
berlari meninggalkan sang bunda. Ia bermain lagi di bawah rindang pohon di
halaman rumahnya.
Menjelang sore, gumpalan awan
bergerak menutup pancaran matahari. Remang cahanya membias di atap rumah. Gumpulan awan semakin menebal disusul
rintik hujan pelan mengetuk atap rumahnya.
“Buyung…….., masuklah ke
rumah! Hujan segera datang,” seru sang bunda. Tumpukan debu yang diaduk dengan
air lalu dibentuk menyerupai bangunan rumah, ia tinggalkan begitu saja. Si kecil segera berlari menuju beranda
rumah tempat sang bunda memanggilnya.
Titik demi titik hujan menginjak bumi. Tak lama kemudian
hujan benar-benar mengguyur pelataran rumah. Si kecil melihat mainan bangunan
rumahnya digerus oleh air hujan. Segumpal demi segumpal bangunan rumah yang ia dirikan sepanjang
siang ambruk. Kemudian roboh hanyut bersama aliran air yang masuk ke selokan.
“Tak usah kau sedihkan, Buyung! Esok masih ada waktu
untuk membangun rumah-rumahanmu yang ambruk,” kata sang bunda.
Hujan semakin lebat. Deru
suaranya mengalahkan rintih kesedihan sang anak. Ia meratapi rumah yang
sesungguhnya yang kini ia tempati. Tetesan-tetesan air hujan menerobos celah
atap yang mulai rapuh. Mata yang seharian berbinar karena senang dapat
membangun rumah-rumahan, kini layu menatap kondisi rumahnya. Ia kemudian
merapat ke dekapan sang bunda dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ibu, kapan kita punya rumah
bagus?” Tanya si anak kepada
ibunda. Bibir sang bunda gemetar tak mampu menahan
gejolak yang dirasakan anaknya.
“Sabar, Buyung!” jawabnya.
“Kalau rumah kita hanyut bagaimana?”
“Kita berdoa saja
mudah-mudahan tak terjadi apa-apa!”
Sang bunda bangkit sambil
menggendong si kecil ke dalam rumah. Ia kemudian melepas baju anaknya yang
seharian dipakai bermain di halaman rumah.
Dengan tanggung jawab besar
mengasuh anaknya, sang bunda memandikan si kecil di jambangan yang diletakkan
di bagian belakang rumah. Jambangan yang penuh dengan air sedikit menghibur
kesedihan si kecil. Ia menepuk-nepuk permukaan air lantas mememercik muka sang
bunda.
“Berhenti, Buyung! Jangan
diteruskan! Ibunda basah kuyup ini,” larang sang bunda.
Si kecil spontan menghentikan
tawanya. Ia ngambek dan kecewa kepada
sang bunda lantaran sang bunda telah menghentikan tawanya. Si kecil tanpa
basa-basi langsung berlari menuju kamar. Tubuh yang masih basah kemudian
ditengkurapkan di ranjang yang beralas tikar pandan.
“Kapan bapak pulang. Kapan
bapak membangunkan rumah untuk si Buyung, Bu?” wajah polos menatap mata sang
bunda.
Sang bunda sendiri tak mampu menjawab pertanyaan si
kecil. Semenjak ayah Buyung minggat meninggalkan rumah, hingga kini ia tak mendengar
kabar beritanya. Seminggu yang lalu tetangganya ada yang bercerita kepadanya
bahwa suaminya kini bekerja sebagai tukang pukul pimpinan perusahaan pengeboran
minyak. Tapi juga ada tetangganya yang bercerita bahwa suaminya sekarang
menjadi penjudi di sebuah kasino di kota Surabaya .
“Entahlah, Buyung. Saya sendiri juga tidak tahu kapan
bapakmu pulang. Yang penting engkau bisa sekolah, bisa makan walau dengan biaya
hutangan,” jawabnya dengan suara memelas.
Ruang depan rumah yang berdinding bambu kini mulai sepi.
Si kecil tertidur di pangkuan
sang bunda. Dengan perlahan sang bunda membopong tubuh kecil itu ke atas
ranjang. Hati-hati sekali ia merebahkan tubuh anaknya agar tidak terbangun.
Pada sebuah bantal kumal kepala si bocah direbahkan lalu ditutup dengan lembaran
kain sarung yang sudah bolong di sana-sini. Sang bunda segera meninggalkan si
kecil tidur sendiri. Ia kemudian mengangkati timba yang berjajar di ruang
depan. Timba-timba yang menampung tetesan air hujan dari celah atap kemudian ia
angkat lantas airnya ditumpahkan di depan halaman rumah.
Bersamaan dengan itu, tak
terasa air mata sang bunda tumpah saat ia teringat pertanyaan-pertanyaan lugu
anaknya tentang kondisi rumahnya. Sang bunda tak habis pikir kenapa suaminya
tak segera kembali untuk menambal bahtera keluarganya yang mulai meretak. Sang
bunda kesal dengan pola pikir suaminya yang enggan membangun serpihan-serpihan tanggung
jawabnya sebagai kepala keluarga.
“Kasihan, si buyung!” ucapnya
lirih.
Pagi hari si anak bangun
tidur. Ia membuka jendela kamar untuk mencari sinar matahari pagi dan udara
segar. Ia bangkit sembari menyingkap sarung yang menyelimutinya semalam.
Sementara sang bunda sudah duduk di beranda rumah menyulam tirai yang dipesan
oleh tetangganya. Kepala dengan rambut yang masih
acak-acakan disandarkan di pundak sang bunda. Ia mengeluhkan rasa lapar yang
tak tertahan.
“Di belakang sudah kusediakan nasi goreng. Silakan mandi dulu kemudian sarapan!”
perintah sang bunda.
Tubuh terhuyung dengan langkah gontai merembet melintasi
tanah becek di ruang depan. Percikan-percikan genangan air menerpa dinding bambu
yang berlubang di sana-sini. Satu yang ia harapkan yaitu dia cepat dewasa kemudian
membantu sang bunda bekerja. Hasil dari bekerjanya digunakan untuk membangun
rumahnya yang sudah sangat memprihatinkan ini.
“Pyaaarrr!”
Suara piring pecah dari belakang dapur. Sang bunda yang
sedang menyulam tirai kaget dan segera berlari menuju dapur. Ia melihat si
kecil meringis memegangi kakinya.
“Kakimu berdarah, Buyung?” dengan mata terbelalak sang bunda bertanya
kepadanya. Ia panik mencari obat merah. Akan tetapi, obat merah yang ia cari
kini tinggal bungkusnya saja. Sang bunda berjalan tergopoh-gopoh menuju halaman
rumah mencari daun tanaman yodium sebagai obat luka anaknya. Tangannya gemetar
meraih daun yang kini mulai langka itu. Setelah memetik dua tangkai daun yodium
kemudian ia berlari menghampiri anaknya dengan luka menganga dikakinya karena
tergores pecahan piring. Getah daun yodium kemudian diteteskan pada bagian kaki
yang terluka.
“Pedih, Bu…..!” rintihnya.
“Tahan, Buyung! Rasa pedih ini hanya sesaat. Besok luka
akan mongering dan engkau bisa bermain lagi,” hibur sang bunda.
Sang anak berjalan terpincang-pincang sambil dipapah
sang bunda. Ia menyoncong sepiring nasi goreng yang disediakan sang bunda.
Sulaman tirainya yang tergeletak di kursi segera ia singkirkan. Sang anak
perlahan didudukkan dengan pelan. Sambil mengangkat kaki kiri dan menjulurkan
kaki kanannya yang terluka, ia memakan nasi goreng yang disuapkan sang bunda
dengan lahap. Dalam sekejap nasi goreng itu telah lenyap tertelan rasa lapar
sejak semalam.
Ketika mereka sedang berada di beranda rumahnya,
tiba-tiba mereka dikagetkan mobil polisi yang berhenti di depan rumahnya. Hati sang bunda bertanya-tanya kenapa ada mobil
polisi berhenti di tempat itu. Ia melihat pintu mobil yang perlahan mulai
terbuka. Betapa terkejutnya dia karena yang muncul dari dalam mobil itu adalah wajah
sang suami dengan tangan terborgol.
Diapit oleh dua polisi sang
suami berjalan mendekat kepada anak dan istrinya. Halaman rumah yang berlumpur
karena guyuran hujan sebelumnya hampir saja menggelincirkan kaki salah seorang
polisi.
“Bapak, ada apa ini?” Tanya
sang istri.
Sang suami diam seribu bahasa.
Ia tak mampu berucap apa-apa. Dia hanya menundukkan wajah dengan air mata yang
berjatuhan di tanah becek beranda rumahnya.
“Maaf, Bu! Suami Anda terpaksa
saya tangkap karena terlibat penipuan,” kata salah seorang petugas.
“Maafkan saya, Bu! Maafkan
saya, Buyung! Biarlah Bapak
menjalani hukuman dari perbuatan yang selama ini kuperbuat pada kalian,” katanya.
Setelah meminta maaf, polisi
segera menyeret laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Sirinenya meraung-raung
meninggalkan bekas kesedihan di hati keluarganya yang berbulan-bulan menunggu
kedatangannya. Mereka terlihat pasrah dengan semua yang dialami suaminya. (*)
Cerpenis
Pembina SMA RM Babat
Tinggal di Wanar Pucuk Lamongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar