Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Sabtu, 14 Juli 2012

Nasib Si Buyung


Nasib Si Buyung
Cerpen Ahmad Zaini*

Pancaran matahari menerangi halaman rumah yang ditumbuhi pepohonan dengan daun rindang. Sinar cerahnya memantul saat menerpa daun yang digoyang angin lewat. Hembusan udaranya menerbangkan debu lembut kemudian berlabuh di wajah anak yang sedang bermain riang. Si kecil kemudian berlari sambil mengucek-ucek matanya yang kemasukan sebutir debu. Ia memanggil-manggil nama ibunda yang sedang menjahit pakaian sang bapak karena sobek pada lengan kanannya.
Si ibu dengan penuh rasa kasih sayang segera menghampiri anaknya yang tersedu di depannya. Tangan halusnya kemudian membuka kelopak mata. Sekali tiup debu yang mulai mencair bersama air mata kemudian meloncat keluar. Si kecil segera berlari meninggalkan sang bunda. Ia bermain lagi di bawah rindang pohon di halaman rumahnya.

Menjelang sore, gumpalan awan bergerak menutup pancaran matahari. Remang cahanya membias di atap rumah. Gumpulan awan semakin menebal disusul rintik hujan pelan mengetuk atap rumahnya.
“Buyung…….., masuklah ke rumah! Hujan segera datang,” seru sang bunda. Tumpukan debu yang diaduk dengan air lalu dibentuk menyerupai bangunan rumah, ia tinggalkan begitu saja. Si kecil segera berlari menuju beranda rumah tempat sang bunda memanggilnya.
Titik demi titik hujan menginjak bumi. Tak lama kemudian hujan benar-benar mengguyur pelataran rumah. Si kecil melihat mainan bangunan rumahnya digerus oleh air hujan. Segumpal demi segumpal  bangunan rumah yang ia dirikan sepanjang siang ambruk. Kemudian roboh hanyut bersama aliran air yang masuk ke selokan.
“Tak usah kau sedihkan, Buyung! Esok masih ada waktu untuk membangun rumah-rumahanmu yang ambruk,” kata sang bunda.
Hujan semakin lebat. Deru suaranya mengalahkan rintih kesedihan sang anak. Ia meratapi rumah yang sesungguhnya yang kini ia tempati. Tetesan-tetesan air hujan menerobos celah atap yang mulai rapuh. Mata yang seharian berbinar karena senang dapat membangun rumah-rumahan, kini layu menatap kondisi rumahnya. Ia kemudian merapat ke dekapan sang bunda dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ibu, kapan kita punya rumah bagus?” Tanya si anak kepada ibunda. Bibir sang bunda gemetar tak mampu menahan gejolak yang dirasakan anaknya.
“Sabar, Buyung!” jawabnya.
“Kalau rumah kita hanyut bagaimana?”
“Kita berdoa saja mudah-mudahan tak terjadi apa-apa!”
Sang bunda bangkit sambil menggendong si kecil ke dalam rumah. Ia kemudian melepas baju anaknya yang seharian dipakai bermain di halaman rumah.
Dengan tanggung jawab besar mengasuh anaknya, sang bunda memandikan si kecil di jambangan yang diletakkan di bagian belakang rumah. Jambangan yang penuh dengan air sedikit menghibur kesedihan si kecil. Ia menepuk-nepuk permukaan air lantas mememercik muka sang bunda.
“Berhenti, Buyung! Jangan diteruskan! Ibunda basah kuyup ini,” larang sang bunda.
Si kecil spontan menghentikan tawanya. Ia ngambek dan kecewa kepada sang bunda lantaran sang bunda telah menghentikan tawanya. Si kecil tanpa basa-basi langsung berlari menuju kamar. Tubuh yang masih basah kemudian ditengkurapkan di ranjang yang beralas tikar pandan.
“Kapan bapak pulang. Kapan bapak membangunkan rumah untuk si Buyung, Bu?” wajah polos menatap mata sang bunda.
Sang bunda sendiri tak mampu menjawab pertanyaan si kecil. Semenjak ayah Buyung minggat meninggalkan rumah, hingga kini ia tak mendengar kabar beritanya. Seminggu yang lalu tetangganya ada yang bercerita kepadanya bahwa suaminya kini bekerja sebagai tukang pukul pimpinan perusahaan pengeboran minyak. Tapi juga ada tetangganya yang bercerita bahwa suaminya sekarang menjadi penjudi di sebuah kasino di kota Surabaya.
“Entahlah, Buyung. Saya sendiri juga tidak tahu kapan bapakmu pulang. Yang penting engkau bisa sekolah, bisa makan walau dengan biaya hutangan,” jawabnya dengan suara memelas.
Ruang depan rumah yang berdinding bambu kini mulai sepi. Si kecil tertidur di pangkuan sang bunda. Dengan perlahan sang bunda membopong tubuh kecil itu ke atas ranjang. Hati-hati sekali ia merebahkan tubuh anaknya agar tidak terbangun. Pada sebuah bantal kumal kepala si bocah direbahkan lalu ditutup dengan lembaran kain sarung yang sudah bolong di sana-sini. Sang bunda segera meninggalkan si kecil tidur sendiri. Ia kemudian mengangkati timba yang berjajar di ruang depan. Timba-timba yang menampung tetesan air hujan dari celah atap kemudian ia angkat lantas airnya ditumpahkan di depan halaman rumah.
Bersamaan dengan itu, tak terasa air mata sang bunda tumpah saat ia teringat pertanyaan-pertanyaan lugu anaknya tentang kondisi rumahnya. Sang bunda tak habis pikir kenapa suaminya tak segera kembali untuk menambal bahtera keluarganya yang mulai meretak. Sang bunda kesal dengan pola pikir suaminya yang enggan membangun serpihan-serpihan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
“Kasihan, si buyung!” ucapnya lirih.
Pagi hari si anak bangun tidur. Ia membuka jendela kamar untuk mencari sinar matahari pagi dan udara segar. Ia bangkit sembari menyingkap sarung yang menyelimutinya semalam. Sementara sang bunda sudah duduk di beranda rumah menyulam tirai yang dipesan oleh tetangganya. Kepala dengan rambut yang masih acak-acakan disandarkan di pundak sang bunda. Ia mengeluhkan rasa lapar yang tak tertahan.
“Di belakang sudah kusediakan nasi goreng. Silakan mandi dulu kemudian sarapan!” perintah sang bunda.
Tubuh terhuyung dengan langkah gontai merembet melintasi tanah becek di ruang depan. Percikan-percikan genangan air menerpa dinding bambu yang berlubang di sana-sini. Satu yang ia harapkan yaitu dia cepat dewasa kemudian membantu sang bunda bekerja. Hasil dari bekerjanya digunakan untuk membangun rumahnya yang sudah sangat memprihatinkan ini.
“Pyaaarrr!”
Suara piring pecah dari belakang dapur. Sang bunda yang sedang menyulam tirai kaget dan segera berlari menuju dapur. Ia melihat si kecil meringis memegangi kakinya.
“Kakimu berdarah, Buyung?”  dengan mata terbelalak sang bunda bertanya kepadanya. Ia panik mencari obat merah. Akan tetapi, obat merah yang ia cari kini tinggal bungkusnya saja. Sang bunda berjalan tergopoh-gopoh menuju halaman rumah mencari daun tanaman yodium sebagai obat luka anaknya. Tangannya gemetar meraih daun yang kini mulai langka itu. Setelah memetik dua tangkai daun yodium kemudian ia berlari menghampiri anaknya dengan luka menganga dikakinya karena tergores pecahan piring. Getah daun yodium kemudian diteteskan pada bagian kaki yang terluka.
“Pedih, Bu…..!” rintihnya.
“Tahan, Buyung! Rasa pedih ini hanya sesaat. Besok luka akan mongering dan engkau bisa bermain lagi,” hibur sang bunda.
Sang anak berjalan terpincang-pincang sambil dipapah sang bunda. Ia menyoncong sepiring nasi goreng yang disediakan sang bunda. Sulaman tirainya yang tergeletak di kursi segera ia singkirkan. Sang anak perlahan didudukkan dengan pelan. Sambil mengangkat kaki kiri dan menjulurkan kaki kanannya yang terluka, ia memakan nasi goreng yang disuapkan sang bunda dengan lahap. Dalam sekejap nasi goreng itu telah lenyap tertelan rasa lapar sejak semalam.
Ketika mereka sedang berada di beranda rumahnya, tiba-tiba mereka dikagetkan mobil polisi yang berhenti di depan rumahnya. Hati sang bunda bertanya-tanya kenapa ada mobil polisi berhenti di tempat itu. Ia melihat pintu mobil yang perlahan mulai terbuka. Betapa terkejutnya dia karena yang muncul dari dalam mobil itu adalah wajah sang suami dengan tangan terborgol.
Diapit oleh dua polisi sang suami berjalan mendekat kepada anak dan istrinya. Halaman rumah yang berlumpur karena guyuran hujan sebelumnya hampir saja menggelincirkan kaki salah seorang polisi.
“Bapak, ada apa ini?” Tanya sang istri.
Sang suami diam seribu bahasa. Ia tak mampu berucap apa-apa. Dia hanya menundukkan wajah dengan air mata yang berjatuhan di tanah becek beranda rumahnya.
“Maaf, Bu! Suami Anda terpaksa saya tangkap karena terlibat penipuan,” kata salah seorang petugas.
“Maafkan saya, Bu! Maafkan saya, Buyung! Biarlah Bapak menjalani hukuman dari perbuatan yang selama ini kuperbuat pada kalian,” katanya.
Setelah meminta maaf, polisi segera menyeret laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Sirinenya meraung-raung meninggalkan bekas kesedihan di hati keluarganya yang berbulan-bulan menunggu kedatangannya. Mereka terlihat pasrah dengan semua yang dialami suaminya. (*)
Cerpenis Pembina SMA RM Babat
Tinggal di Wanar Pucuk Lamongan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar