Angpao
Lebaran
Karya Ahmad
Zaini
Matahari
senja telah bersemayam di balik rimbun tanaman bambu kampung Baru. Sesaat
kemudian hari berangsur gelap karena malam telah tiba. Segerombolan kelelawar
terbang melintasi cakrawala yang berhias bintang-bintang di langit tinggi. Para
warga bergerombol di gang-gang kampung Baru. Mereka bersiap-siap menyambut kedatangan
lebaran. Tak terkecuali Rara. Gadis kecil dengan dandanan busana muslim yang
semenjak waktu ashar juga ikut menunggu bedug maghrib akhir Ramadhan.
Bedug
maghrib bertalu-talu dari masjid kampung Baru. Takbir berkumandang di seluruh
penjuru
kampung yang padat penduduk itu. Anak-anak yang usai mengikuti shalat
maghrib berhamburan keluar untuk berpesta pora menyambut lebaran. Mereka pulang
mengambil berbagai model kembang api dan petasan untuk dinyalakan bersama-sama
di jalan kampung. Tak ayal dalam waktu sekejap, kampung Baru berpesta ria dengan
aneka macam kembang api dan petasan.
Rara
hanya memandangi permainan laki-laki itu dari kejauhan. Ia tidak berani
mendekat karena takut terkena letusan petasan atau percikan bunga api. Rara
duduk di pinggir jalan bersama teman-teman perempuannya. Ia hanya tertawa,
bertepuk tangan atau sekedar menunjuk-nujukkan jarinya ke arah kembang api yang
paling menarik.
“Rara,
besok kita berkunjung ke mana?” tanya Ratih, teman sekelas Rara.
“Saya
akan mengikuti ayah dan ibu bersilaturrahim ke rumah kakek-nenek, famili serta
para tetangga,” jawab Rara.
“Wah,
anak mama! Tidak kita buat acara sendiri. Benar nggak teman-teman?” ejek
Ratih yang didukung teman-temannya. Rara hanya tersenyum ketika Ratih
mengejeknya seperti itu.
Rara
memang gadis yang ramah dan pemalu. Dia tidak seperti teman-teman lainnya yang
suka bercanda dan bergurau seperti laki-laki. Setiap hari, sepulang sekolah,
Rara selalu di rumah menemani ibunya atau paling tidak menjaga adiknya yang
masih berumur enam bulan.
“Rara,
ayo, main ke kebunku!” ajak Ratih pada suatu siang.
“Maaf,
Ratih! Saya tidak bisa ikut karena menjaga adik,” sahutnya dengan lemah lembut.
Begitulah sikap Rara jika ia menolak diajak main teman-temannya.
***
Suasana
kampung Baru pagi itu ramai sekali. Para warga saling beranjangsana ke rumah
sanak famili dan para tetangga. Mereka saling saling memohon dan meminta maaf
atas segala khilaf dan dosa. Rara, ayah dan ibunya tak ketinggalan. Mereka juga
berkunjung dari rumah tetangga yang satu ke rumah tetangga yang lain.
Gadis
berkulit putih ini berjalan mengikuti langkah ayah dan ibunya. Ia membawa tas
kecil yang berisikan popok adiknya sebagai jaga-jaga kalau adiknya ngompol
di gendongan ibunya.
“Bu,
kita ke mana lagi?” tanya Rara.
“Rara
ikuti saja ayah dan ibu,” jawab ibunya singkat.
Rara
diam. Ia tidak meneruskan pertanyaannya lagi. Rara pasrah mengikuti kedua orang
tuanya melangkah.
Seperti
sudah menjadi budaya bagi warga kampung, jika ada anak-anak yang
bersilaturrahim ke rumahnya, mereka akan membagikan angpao lebaran yang
berisikan uang. Kesempatan seperti ini tidak disia-siakan oleh anak-anak.
Mereka akan berkunjung dari rumah satu ke rumah lainnya untuk mendapatkan
angpao. Jika sudah selesai berkunjung, mereka akan berkumpul lalu menghitung
uang angpao lebaran.
“Saya
mendapatkan lima puluh ribu,” kata Ratih kepada teman-temannya.
“Saya
juga,” sambung yang lainnya.
Setelah
mereka mendapatkan angpao lebaran, kemudian mereka akan beramai-ramai
membelanjakan uangnya. Ada yang membeli bakso, petasan, ada juga yang membeli
kembang api. Setelah itu mereka
berkumpul di tanah lapang untuk berpesta petasan dan kembang api.
Saku
busana muslim Rara penuh dengan angpao. Saku sebelah kanan, saku sebelah kiri
serta tas kecil yang sedianya untuk tempat popok adiknya, kini juga penuh
dengan angpao. Wajahnya yang lugu dan pendiam sedikit berubah ceria karena ia
tahu bahwa angpao-angpao yang ia bawa berisi uang. Sesampai di rumah, angpao
yang disembunyikan di saku dan tas kecil dikeluarkan semua. Rara menghitung
uang dalam angpao di meja tamu.
“Wah,
ada konglomerat baru ini, Bu!” kata ayahnya menggoda.
Rara
tidak terpengaruh dengan godaan ayahnya. Ia serius menghitung lembar demi
lembar uang di atas meja.
“Banyak
sekali!” ucap Rara heran.
Dari
total angpao yang diterima, Rara memperoleh uang 150 ribu. Jumlah uang yang
sangat banyak bagi anak seusia Rara.
Setelah
menghitung uang angpao lebaran, Rara mengemasi uangnya lagi kemudian
menyimpannya baik-baik di laci almari kamar tidurnya.
Rara
tidak seperti teman-temannya yang mendapatkan angpao lebaran kemudian digunakan
untuk berpesta pora dengan petasan dan kembang api. Rara menyimpan uangnya
untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya. Maklumlah, pada awal tahun ajaran baru
kemarin, Rara belum dibelikan sepatu dan tas baru oleh orang tuanya. Oleh
karena itu, uang angpao yang disimpannya akan digunakan untuk membeli tas dan
sepatu.
Pada
hari ketiga lebaran, adik Rara sakit keras. Badannya panas disertai batuk-batuk.
Ayah dan ibu Rara kebingungan karena mereka tidak memiliki uang untuk
memeriksakannya ke dokter. Ibunya sudah berusaha mencari pinjaman ke
tetangganya, tetapi mereka tidak ada yang punya.
“Maaf,
Bu! Uangku sudah habis untuk berlebaran,” kata Ibu Romlah ketika didatangi Ibu
Rara yang akan meminjam uang.
Ibu
Rara pulang dengan wajah kusut. Ia bersedih karena tidak ada biaya memeriksakan
bayinya.
“Ayah,
Ibu, tidak usah panik. Ibu bisa menggunakan uang Rara dulu untuk memeriksakan
adik,” kata Rara.
“Tidak
Rara. Uang itu kamu gunakan membeli sepatu dan tas barumu.”
“Adik
lebih penting dari semua itu, Bu. Sepatu dan tas bisa dibeli lain waktu. Yang
penting adik sembuh,” kata Rara sambil memberikan uang kepada ibunya. Ayah dan
ibu Rara segera berangkat ke dokter memeriksakan adiknya.
“Bagaimana,
Bu kondisi adik?” tanya Rara kepada ibunya yang baru datang dari dokter.
“Adikmu
tidak apa-apa. Ia hanya masuk angin,” jawab ibunya sambil membuka kemasan sirup.
Sesendok
sirup diminumkan ibu Rara kepada adiknya. Sesaat kemudian, panas adiknya
berangsur menurun. Rara, ayah dan ibunya lega karena si kecil telah sembuh.
Adiknya telah sehat dan bisa mengoceh lagi seperti sebelumnya. Mereka tersenyum
bangga karena punya anak Rara yang perhatian kepada adiknya. Akhirnya, mereka
bersama-sama mengucapkan syukur kepada Allah atas anugerah yang mereka terima
ini. (*)
Wanar,
Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar