Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah

Kamis, 06 September 2012

Angpao Lebaran


Angpao Lebaran
Karya Ahmad Zaini

Matahari senja telah bersemayam di balik rimbun tanaman bambu kampung Baru. Sesaat kemudian hari berangsur gelap karena malam telah tiba. Segerombolan kelelawar terbang melintasi cakrawala yang berhias bintang-bintang di langit tinggi. Para warga bergerombol di gang-gang kampung Baru. Mereka bersiap-siap menyambut kedatangan lebaran. Tak terkecuali Rara. Gadis kecil dengan dandanan busana muslim yang semenjak waktu ashar juga ikut menunggu bedug maghrib akhir Ramadhan.
Bedug maghrib bertalu-talu dari masjid kampung Baru. Takbir berkumandang di seluruh penjuru
kampung yang padat penduduk itu. Anak-anak yang usai mengikuti shalat maghrib berhamburan keluar untuk berpesta pora menyambut lebaran. Mereka pulang mengambil berbagai model kembang api dan petasan untuk dinyalakan bersama-sama di jalan kampung. Tak ayal dalam waktu sekejap, kampung Baru berpesta ria dengan aneka macam kembang api dan petasan.
Rara hanya memandangi permainan laki-laki itu dari kejauhan. Ia tidak berani mendekat karena takut terkena letusan petasan atau percikan bunga api. Rara duduk di pinggir jalan bersama teman-teman perempuannya. Ia hanya tertawa, bertepuk tangan atau sekedar menunjuk-nujukkan jarinya ke arah kembang api yang paling menarik.
“Rara, besok kita berkunjung ke mana?” tanya Ratih, teman sekelas Rara.
“Saya akan mengikuti ayah dan ibu bersilaturrahim ke rumah kakek-nenek, famili serta para tetangga,” jawab Rara.
“Wah, anak mama! Tidak kita buat acara sendiri. Benar nggak teman-teman?” ejek Ratih yang didukung teman-temannya. Rara hanya tersenyum ketika Ratih mengejeknya seperti itu.
Rara memang gadis yang ramah dan pemalu. Dia tidak seperti teman-teman lainnya yang suka bercanda dan bergurau seperti laki-laki. Setiap hari, sepulang sekolah, Rara selalu di rumah menemani ibunya atau paling tidak menjaga adiknya yang masih berumur enam bulan.
“Rara, ayo, main ke kebunku!” ajak Ratih pada suatu siang.
“Maaf, Ratih! Saya tidak bisa ikut karena menjaga adik,” sahutnya dengan lemah lembut. Begitulah sikap Rara jika ia menolak diajak main teman-temannya.
***
Suasana kampung Baru pagi itu ramai sekali. Para warga saling beranjangsana ke rumah sanak famili dan para tetangga. Mereka saling saling memohon dan meminta maaf atas segala khilaf dan dosa. Rara, ayah dan ibunya tak ketinggalan. Mereka juga berkunjung dari rumah tetangga yang satu ke rumah tetangga yang lain.
Gadis berkulit putih ini berjalan mengikuti langkah ayah dan ibunya. Ia membawa tas kecil yang berisikan popok adiknya sebagai jaga-jaga kalau adiknya ngompol di gendongan ibunya.
“Bu, kita ke mana lagi?” tanya Rara.
“Rara ikuti saja ayah dan ibu,” jawab ibunya singkat.
Rara diam. Ia tidak meneruskan pertanyaannya lagi. Rara pasrah mengikuti kedua orang tuanya melangkah.
Seperti sudah menjadi budaya bagi warga kampung, jika ada anak-anak yang bersilaturrahim ke rumahnya, mereka akan membagikan angpao lebaran yang berisikan uang. Kesempatan seperti ini tidak disia-siakan oleh anak-anak. Mereka akan berkunjung dari rumah satu ke rumah lainnya untuk mendapatkan angpao. Jika sudah selesai berkunjung, mereka akan berkumpul lalu menghitung uang angpao lebaran.
“Saya mendapatkan lima puluh ribu,” kata Ratih kepada teman-temannya.
“Saya juga,” sambung yang lainnya.
Setelah mereka mendapatkan angpao lebaran, kemudian mereka akan beramai-ramai membelanjakan uangnya. Ada yang membeli bakso, petasan, ada juga yang membeli kembang api.  Setelah itu mereka berkumpul di tanah lapang untuk berpesta petasan dan kembang api.
Saku busana muslim Rara penuh dengan angpao. Saku sebelah kanan, saku sebelah kiri serta tas kecil yang sedianya untuk tempat popok adiknya, kini juga penuh dengan angpao. Wajahnya yang lugu dan pendiam sedikit berubah ceria karena ia tahu bahwa angpao-angpao yang ia bawa berisi uang. Sesampai di rumah, angpao yang disembunyikan di saku dan tas kecil dikeluarkan semua. Rara menghitung uang dalam angpao di meja tamu.
“Wah, ada konglomerat baru ini, Bu!” kata ayahnya menggoda.
Rara tidak terpengaruh dengan godaan ayahnya. Ia serius menghitung lembar demi lembar uang di atas meja.
“Banyak sekali!” ucap Rara heran.
Dari total angpao yang diterima, Rara memperoleh uang 150 ribu. Jumlah uang yang sangat banyak bagi anak seusia Rara.
Setelah menghitung uang angpao lebaran, Rara mengemasi uangnya lagi kemudian menyimpannya baik-baik di laci almari kamar tidurnya.
Rara tidak seperti teman-temannya yang mendapatkan angpao lebaran kemudian digunakan untuk berpesta pora dengan petasan dan kembang api. Rara menyimpan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya. Maklumlah, pada awal tahun ajaran baru kemarin, Rara belum dibelikan sepatu dan tas baru oleh orang tuanya. Oleh karena itu, uang angpao yang disimpannya akan digunakan untuk membeli tas dan sepatu.
Pada hari ketiga lebaran, adik Rara sakit keras. Badannya panas disertai batuk-batuk. Ayah dan ibu Rara kebingungan karena mereka tidak memiliki uang untuk memeriksakannya ke dokter. Ibunya sudah berusaha mencari pinjaman ke tetangganya, tetapi mereka tidak ada yang punya.
“Maaf, Bu! Uangku sudah habis untuk berlebaran,” kata Ibu Romlah ketika didatangi Ibu Rara yang akan meminjam uang.
Ibu Rara pulang dengan wajah kusut. Ia bersedih karena tidak ada biaya memeriksakan bayinya.
“Ayah, Ibu, tidak usah panik. Ibu bisa menggunakan uang Rara dulu untuk memeriksakan adik,” kata Rara.
“Tidak Rara. Uang itu kamu gunakan membeli sepatu dan tas barumu.”
“Adik lebih penting dari semua itu, Bu. Sepatu dan tas bisa dibeli lain waktu. Yang penting adik sembuh,” kata Rara sambil memberikan uang kepada ibunya. Ayah dan ibu Rara segera berangkat ke dokter memeriksakan adiknya.
“Bagaimana, Bu kondisi adik?” tanya Rara kepada ibunya yang baru datang dari dokter.
“Adikmu tidak apa-apa. Ia hanya masuk angin,” jawab ibunya sambil membuka kemasan sirup.
Sesendok sirup diminumkan ibu Rara kepada adiknya. Sesaat kemudian, panas adiknya berangsur menurun. Rara, ayah dan ibunya lega karena si kecil telah sembuh. Adiknya telah sehat dan bisa mengoceh lagi seperti sebelumnya. Mereka tersenyum bangga karena punya anak Rara yang perhatian kepada adiknya. Akhirnya, mereka bersama-sama mengucapkan syukur kepada Allah atas anugerah yang mereka terima ini. (*)

Wanar, Agustus 2012






Tidak ada komentar:

Posting Komentar